Saat keluar dari ruangan Juna, Ray dikejutkan oleh keberadaan Irene. Gadis itu menunjukkan wajah bersalahnya ketika berhadapan dengan Ray. Namun, Ray hanya membalasnya dengan sebuah senyuman.Seolah dirinya tak keberatan dimarahi dan diancam tak mendapatkan nilai bagus oleh Juna.“Mau ke dalam? Silakan,” ucap Ray. Dia menahan daun pintu, agar Irene bisa masuk ke dalam ruangan tersebut.Irene mengangguk. “Terima kasih,” balasnya.Ray menutup kembali pintu, sedangkan Irene sudah berada di ruangan tersebut. Juna sudah menatap Irene dari jauh. Seulas senyuman terukir di wajahnya.“Maaf, Pak. Ini dokumen dari Bu Mia,” ucap Irene.Gadis itu memberikan sebuah map berwarna maroon dan menyimpannya di atas meja kerja Juna. Kedua mata cokelatnya itu berusaha untuk menghindar dari tatapan Juna.“Saya permisi, Pak,” pamitnya.Irene berbalik dan mempercepat l
Irene mencoba menyipitkan matanya. Melihat foto profil yang sangat kecil di atas layar. “Jessica?”Gadis itu bergumam, mencoba mengingat nama tersebut. Rasa-rasanya Irene tidak mempunyai teman bernama Jessica. Jeje mungkin iya, tapi Jessica dia tidak mengingatnya. “Oh, Jessica! Astaga,” pekik Irene.Bisa-bisanya dia lupa dengan nama tersebut. Kini perasaan dilema menghantui Irene. Haruskah dia mengangkat panggilan tersebut?Namun, tepat beberapa detik sebelum akhirnya muncul notifikasi panggilan tak terjawab. Irene akhirnya mengangkat panggilan itu. “Hallo, Tante,” panggil Irene.“Hallo, Irene. Kamu lagi sibuk?” tanya Jessica, ibu Juna. “Oh, nggak, Tante ….” Irene menjeda kalimatnya, “tadi aku habis dari toilet,” imbuhnya berbohong. “Oh, Tante takut ganggu kamu soalnya.”“Nggak, kok, Tan. Aku lagi free, baru pulang kerja,” timpalnya. “Syukurlah. Irene lusa kamu kosong? Rencananya saya mau ke Bandung, dan pengin ketemu sama kamu. Bisa?”Panik. Mendapatkan pertanyaan seperti itu I
Halo, kakak-kakak semua. Bagaimana kabarnya? Semoga selalu sehat, ya. Aku sebagai penulis Layanan Telepon Panas Untuk Dosen Impoten, izin memberikan pengumuman. Karena kondisi aku yang sedang tidak baik-baik saja. Kebetulan semalam baru kena musibah, yang mengakibatkan tangan kanan aku terluka cukup parah. Maka dari itu, dengan berat hati, aku harus meliburkan novel ini untuk beberapa hari ke depan. Karena keterbatasan aku yang tidak bisa mengetik dengan baik :”) Semoga kondisi aku segera membaik, dan bisa kembali melanjutkan cerita ini. Aku harap kakak-kakak sekalian bisa memaklumi dan menunggu kisah Irene dan Juna yang sebentar lagi selesai :”). Sekali lagi mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga Tuhan selalu melindungi kita semua, Aamiin. Terima kasih banyak atas pengertiannya. Salam mayuunice
“Papa.”Seorang gadis berumur tujuh belas tahun, baru saja turun dari angkutan umum. Dia berlari menuju IGD sebuah rumah sakit. Suasa di sana terlihat sangat sibuk. Beberapa ambulance yang mengangkut pasien, baru saja tiba di rumah sakit.Air matanya sudah mengalir deras membasahi pipi. Perasaan takut sudah menyelimuti dirinya sejak tadi.“Suster, di mana Papa saya?” tanya gadis yang masih mengenakan seragam putih abu. Di dada kanannya tersemat sebuah papan nama, yang bertuliskan ‘Irene Isabella H’.Namun, bukannya menjawab pertanyaannya, sang suster yang tengah sibuk berlalu begitu saja. Irene mendesah, dia langsung berlari mencari suster lain, yang nampak tak terlalu sibuk. Sialnya, semua yang sedang berada di ruang IGD nampak sangat sibuk. Pandangan Irene terus mengedar ke segala penjuru ruangan. Kepanikan sudah semakin menjalar di dalam dirinya. “Papa! Papa di mana?” teriak Irene. Tak ingin menyerah dia berlari mencari ke setiap celah di ruangan tersebut. Mencoba mengidentifik
Sudah tiga kali Irene mencoba menghungi Juna. Namun, pria itu tak kunjung mengangkatnya. Gadis itu pun mendesah, perasaannya berkecamuk sekarang. Takut, sedih, berselimut kesal. Pasalnya dia memang sedang membutuhkan orang untuk menemaninya. Mimpi buruk barusan, memiliki efek yang sangat kuat untuk dirinya. Alhasil, Irene menyerah. Mungkin memang Juna sudah tak ingin berhubungan dengannya. Segampang itu ternyata bagi Juna untuk berpaling dari Irene. “Irene!” panggil seseorang dari luar sembari mengetuk pintu dengan pelan.“Ya?” Irene segera beranjak membukakan pintu tersebut. Di sana sudah berdiri Raynald, dengan jaket kulitnya. Ya, setelah Juna tidak mengangkat panggilan Irene. Gadis itu segera menghubungi Ray. Beginilah nasib karena sudah tak memiliki teman. Irene merasa hanya dua orang yang memiliki kedekatan dengannya sekarang. Biasanya, jika Irene sedang ketakutan seperti ini, Gita lah yang menemaninya. Perempuan itu pun mengetahui alasan di balik Irene bersikap seperti itu
“Terus dia ke mana sekarang?” tanya Juna yang baru saja mendapatkan panggilan dari Mia. Barusan, Juna meminta bantuan Mia untuk memanggil Irene. Karena dia tidak bisa menghubungi gadis itu sama sekali. Banyak pertanyaan yang ingin diajukan oleh Juna pada Irene. Namun, barusan Mia memberi kabar, bahwa Irene tak bisa menemuinya dengan segera. “Di ruang media, kayaknya memang jadwal dia beres-beres di sana,” jawab Mia. Juna menghela napas. “Oke, makasih banyak, Bu,” jawabnya. Panggilan itu pun berakhir. Juna sendiri segera beranjak dari kursi. Langkah kaki membawanya menuju ruang media. “Aku nggak bisa tinggal diam! Jawaban dia sekarang bakal jadi keputusanku kedepannya,” gumam Juna. Sepanjang jalan beberapa mahasiswa melemparkan sebulan pada Juna. Akan tetapi, sang dosen seolah tak menghiraukan sapaan tersebut. Yang ia pedulikan hanya segera menemui Irene. Handle sebuah pintu besar pun Juna tekan. Ternyata ruangan tersebut tidak di kunci sama sekali. Dengan bebas dan lelu
“Eh?” Seorang gadis terperanjat saat melihat sosok Irene yang baru saja membuka pintu. “Maaf, Mbak saya mau ambil media diminta sama Pak Ir. Kata Bu Mia, Mbak Irene ada di sini,” ucapnya. Irene menjilat bibirnya, lalu dia menarik napas dalam. Kemudian dirinya tersenyum pada mahasiswi tersebut. “Oh, iya, boleh.”Irene mencoba untuk bersikap seprofesional mungkin. Mau tak mau, Irene pun harus kembali memasuki ruangan tersebut. Walau hatinya kini sedang berapi-api. Juna masih ada di dalam sana. Sang mahasiswi pun menyapa Juna. Namun, dia hanya membalas dengan anggukan kecil. Kemudian pria itu pergi meninggalkan ruangan tersebut. Dengan langkah terburu-buru Juna segera menuju ruangannya. Pikiran dan harinya sudah diselimuti bara api. Tak hanya Irene yang merasa emosi. Namun, Juna pun memiliki perasaan yang sama. “Oke kalau maunya begitu, Ren. Aku bisa sembuh tanpa bantuan kamu!” tegasnya. Sebuah keputusan baru yang diambil oleh Juna. Dia tak ingin semakin melukai harga dirinya, de
“Stefan, lo kenapa, sih?” serang Juna. Malam harinya saat Juna mendapatkan panggilan dari Memey. Dia mengajak sahabatnya itu bertemu. “Gue bantu lo. Siapa suruh pergerakan lo lambat?” balasnya. Stefan sudah bosan dengan cerita Juna yang impoten. Dia ingin sahabatnya itu sembuh dan mendapatkan kebahagiaannya. “Bukan lambat, gue masih menimbang.”“Nimbang apa lagi? Berat badan?” sindir Stefan, “gini loh, apa yang menjadi pemberat lo sampai harus menimbang? Lo sendiri udah memutuskan nggak pake Irene, kan? Ya udah, berarti sama Memey. Lagi pula kalian saling mengenal.”“Ya tapi nggak segampang itu juga!” sanggah Juna cepat. “Nah, ini, nggak segampang itu. Karena gue tahu kalau ini nggak gampang. Makanya gue pengin lo mulai pendekatan lagi sama Memey dari sekarang. Emang dia kelihatannya welcome sama lo. Tapi, buat ngajak ‘tidur’ itu nggak mudah, kan?” terang Stefan, “ya, walau jaman kuliah dulu begituan bukan hal asing buat kalian.” Stefan merendahkan nada bicaranya. “Ah, udahlah.”