Tebak, siapa orang yang sedang duduk di depan Irene sekarang? Dengan perasaan canggung, Irene akhirnya mengiyakan ajakan orang tersebut untuk berbicara empat mata. Untungnya Mia mengizinkan Irene untuk izin keluar di jam kerjanya. Orang yang sedang duduk di hadapan Irene ini adalah seorang perempuan. Rambutnya panjang bergelombang, tubuhnya ramping. Untuk visual, jangan ditanya, dia sangat cantik sekali. Irene bukanlah tandingannya. “Maaf, ada perlu apa, Mbak Amara menemui saya?” tanya Irene dengan sopan, sekaligus ia memecahkan keheningan di antara mereka berdua. Benar, perempuan yang sedang bersama dengan Irene adalah mantan istri Juna. Irene begitu terkejut, ketika mendapati Amara jauh-jauh dari Jakarta datang ke Bandung untuk menemuinya. Dan dalam detik itu juga, Irene merasa bulu kuduknya berdiri. Ini pertanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Amara tak langsung menjawab. Dirinya sibuk memindai Irene yang sedang duduk di hadapannya, sembari menyeruput kopi miliknya. “Kamu
“Untuk perkuliahan hari ini cukup sekian. Saya harap kelompok selanjutnya bisa lebih baik dan matang dalam mempresentasikan materi di depan kelas. Terima kasih.”Juna baru saja menutup perkuliahan mahasiswa semester lima. Ia kemudian melangkah keluar kelas, sembari menenteng sebuah map. Sedari tadi, ponselnya terus bergetar di balik saku celana. Khawatir panggilan penting, dia pun segera merogoh dan mengambil ponsel pintar tersebut. Namun, saat ponselnya sudah ia pegang, untuk beberapa saat Juna terdiam. Matanya menyipit, ketika melihat nama yang tertera pada layar ponselnya itu. “Amara?” gumam Juna.Tak ingin ada yang menguping pembicaraannya. Ia pun segera beranjak menuju tempat yang sepi. “Halo,” sapa Juna pada lawan bicaranya yang ada di seberang sana. Untuk pertama kalinya, setelah mereka berdua dinyatakan bercerai oleh pengadilan. Wanita itu kembali menghubungi Juna. “Halo, Juna. Kamu benar bertunangan atau hanya sandiwara belaka?”Tanpa basa-basi, tiba-tiba saja Amara bert
“Mbak Irene?”“Ya?” Seketika Irene tersentak, lalu menatap wajah Erlina yang nampak penasaran. Menunggu Irene menjawab pertanyaannya.“Kamu baik-baik saja, kan?” Erlina memastikan. Pasalnya wajah Irene berubah pucat pasi. “Oh.” Irene meneguk ludahnya kasar. Dia menjilat bibirnya yang terasa kering. Bola matanya bergerak ke kanan dan kiri. “Anu …. Ma-maaf tadi Ibu bilang apa?” Irene mencoba memastikan lagi apa yang baru ia dengar. Erlina menarik napas dalam. “Baik, saya ulangi. Apa benar kalau kamu dan Pak Juna sudah bertunangan?” tanya Erlina. Irene langsung memejamkan mata dalam. ‘Astaga. Kenapa kabar ini sampai ke Bu Erlina. Aku harus ngomong apa coba?’ batinnya. “Maaf, bukannya saya ingin ikut campur. Tapi saya hanya ingin memastikan. Soalnya saya mendapatkan kabar dari Bu Jessica, ibunda Pak Juna,” tegasnya. ‘Mampus. Mampus.’ Irene merutuki dalam hati. Lidahnya ini mendadak kelu, otaknya pun terasa membeku.“Tadi Bu Jessica menghungi saya, dan menanyakan bahwa kabar ini apaka
Di hadapan Juna, kini duduk seorang wanita. Terlihat dia menikmati hidangan yang tersaji di atas meja. Setiap dia datang ke Bandung, restoran ini adalah langganannya. Sebuah restoran yang menyajikan khusus masakan dari tatar Sunda. Juna pun membiarkan wanita itu untuk menghabiskan makanan yang dipesannya. “Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan pada Mama, Juna?” Wanita yang saat ini ada di hadapannya adalah Jessica. Sesuai dengan janjinya, Jessica menemui Juna karena ada yang ingin dibicarakan oleh anak bungsunya itu. “Mama, sehat?” tanya Juna berbasa-basi. Senyuman tipis nampak di wajah Jessica. “Sehat, Sayang.” Ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. “Tapi, sayangnya Mama tidak memiliki banyak waktu. Karena Mama harus segera kembali ke Jakarta. Empat jam lagi papamu ada pertemuan, dan Mama harus menemaninya.” Setelah kakak iparnya menjabat sebagai pemimpin yayasan. Maka, jabatan direktur rumah sakit Atmadjadarma jatuh ke tangan suaminya. “Baik, Ma. Aku hanya
“Sebentar aku cari dulu, ya.” Irene nampak sibuk dengan tumpukan kardus di pojok kamarnya. Gadis itu sedang berbicara dengan seseorang dalam panggilan telepon. Sepasang earphone berwarna putih ia kenakan pada telinganya. Saat ini Irene sedang mencari catatan kuliah miliknya. Ia nampak kesulitan, karena Irene tak mengingat dengan pasti di mana dirinya menyimpan catatan zaman kuliah. Setelah hampir tiga menit Irene membongkar tumpukan kardus tersebut. Akhirnya dia menemukan buku catatan berwarna kuning. Dia masih ingat, ketika semester satu bukunya itu berwarna kuning. Di semester dua berwarna biru, dan setiap semester warna bukunya berbeda. “Ketemu, Ray!” katanya senang. Dia mencoba membuka setiap lembar buku catatannya. “Tapi ini agak lembab bukunya. Maklum udah hampir lima tahun yang lalu.” “Nggak papa, Ren. Tulisannya masih bisa kebaca, kan?” tanya Ray dari seberang sana. “Bisa, kok.” Irene mendaratkan bokongnya di atas kasur, sembari membolak-balikan halaman buku tersebut. “
“Bagaimana kalau kita menikah saja?” Irene langsung terkesiap. Dengan spontan dia menoleh ke arah Juna. Kedua pupilnya membesar, bahkan pipinya mulai memerah. Jangan ditanya bagaimana jantungnya. Sudah berdegup dua kali lebih cepat. “Me-menikah?” timpal Irene dengan suara yang kecil. Walau begitu Juna bisa mendengarnya, dan dia mengangguk. Terlihat senyuman terukir di bibir Irene. Namun, sedetik kemudian, kedua matanya itu berkedip cepat. Irene mendengus—salah tingkah, lalu dia menggelengkan kepalanya. “Ngajak nikah kayak ngajak jajan aja,” ucapnya dengan berusaha terlihat tenang. Padahal dalam hatinya, Irene merasakan seperti ada letupan popcorn. Bahkan dia bisa merasakan ada kupu-kupu yang menari di perutnya. Perempuan mana yang tidak akan terkejut. Ketika seorang pria dewasa mengajaknya menikah. Apalagi perempuan itu memiliki sebuah ketertarikan pada pria tersebut. “Bercanda.”“Hah?” Lagi Irene tersentak. Namun, kali ini berbeda dari sebelumnya. “Bercanda. Lagi pula kamu ju
Sebuah motor besar berhenti tepat di samping Irene. Gadis itu pun mengamati sosok laki-laki yang sedang mengemudikan motor tersebut. “Bener, kan. Kamu ngapain malem-malem jalan sendiri, Irene?” tanya seorang laki-laki yang sedang mengemudikan motor besarnya. Irene harus menyipitkan matanya. Dia tak mengetahui sosok di balik helm full face yang sedang dikenakan laki-laki itu. “Oh, sorry.” Laki-laki itu segera melepaskan helm-nya. Kemudian dia menggelengkan kepala, mengibaskan rambutnya. “Ray?” ucap Irene saat melihat wajah yang sudah tak tertutup helm itu. Ray tersenyum. “Kamu ngapain malem-malem sendirian? Apa nggak takut diculik?”Irene nampak bingung saat ditanya seperti itu. “Oh, aku lagi cari a—“Kruuuk~~Spontan Irene memegang perutnya yang bunyi itu. Kini kepanikan nampak di wajahnya, dan tiba-tiba saja tenggorokannya itu terasa kering. ‘Ah, kenapa nggak bisa kerja sama sebentar aja, sih ini perut?’ batin Irene. Ia tersenyum kaku, menahan rasa malu. “Kamu laper?” tanya Ra
Juna tak berniat untuk mengejar Irene. Dia sengaja membiarkan gadis itu berlari meninggalkannya. Sedangkan dirinya masih diam di tempat, duduk di tepian kasur.Untuk sesaat, Juna merasa kalau apa yang dikatakannya barusan sudah keterlaluan. Maka dari itu, saat Irene memutuskan untuk pergi, Juna membiarkannya. Mungkin gadis itu butuh waktu sejenak. Lagi pula, pikir Juna, Irene hanya pergi sebentar. “Sudah jam berapa ini?” gumam Juna. Dia melihat pada arloji yang tersemat di pergelangan tangan kirinya. “Jam sepuluh. Sudah hampir satu jam dia keluar.”Kepanikan melanda Juna. Akhirnya pria itu pun beranjak, mencoba mencari Irene. Dia turun ke lobi apartemen, tepatnya ke tempat mini market.Akan tetapi, pencarian Juna tidak membuahkan hasil. Mini market itu sudah tutup, dan di depan mini market tesebut—tempat deretan kursi dan meja berada—tidak menampakkan siapa pun di sana.“Ah, dia pergi ke mana? Masalahnya udah malem,” desah Juna. Ponsel yang ada di sakunya pun ia keluarkan. Kemudian m
“Apa? Ada anak laki-laki yang menggoda anak perempuan Papa?” Tiba-tiba saja Juna datang dengan pakaian yang sudah lengkap. Dia langsung menghampiri anak dan istrinya. “Siapa dia, Nathan?” tanya Juna lagi. Nathan menoleh ke arah sang ayah, dia merasa memiliki teman sekarang. “Ada, Pa. Dia anak laki-laki di kelas sebelah. Nathan tidak suka Freya dekat dengan Farrel, karena laki-laki itu sering kali memberikan anak perempuan ikat rambut. Sudah jelas dia bukan laki-laki baik, kan, Pa?” ucap Nathan. “Wah, jelas. Dia bukan laki-laki yang baik. Dia dekat dengan semua perempuan. Bagus, Sayang, kamu harus melindungi adikmu.” Juna langsung mengelus puncak kepala Nathan. Sedangkan anak laki-lakinya itu tersenyum penuh kemenangan. Berbeda dengan Nathan yang merasa dibela oleh sang ayah. Freya terlihat matanya berkaca. “Papa kok membela Kak Nathan?” ucap Freya dengan suaranya yang bergetar, “padahal Papa bilang kalau kita harus menerima pemberian dan niat baik dari orang lain. Freya tahu kal
“Pa, sebaiknya Papa di rumah saja. Nanti Jessica akan mengirim kabar secepatnya,” ucap Jessica pada ayah mertuanya.Kini mereka sedang di rumah sakit. Tidak, tidak ada yang sakit, hanya saja ada seseorang yang hendak melahirkan.“Tidak, Papa tidak bisa menunggu di rumah dengan tenang. Papa sudah sangat menantikan cicit dari Juna,” jawab Jodi yang sedang duduk di kursi roda dan di temani dengan asisten pribadinya.Kesehatan Jodi tidak seprima sebelumnya. Namun, begitu dia sangat mengayomi Irene. Bahkan hampir setiap minggu Jodi selalu mendatangi kediaman Jessica. Karena selama Irene hamil, perempuan itu tinggal dengan ibu mertuanya.Kehadiran anak Juna dan Irene sangat ditunggu-tunggu oleh semua orang, bukan hanya ibu bapaknya saja. Hampir seluruh keluarga besar Juna dan Irene menantikan kelahiran mereka. Bahkan tak sedikit dari mereka yang bertaruh, anaknya akan mirip seperti Juna atau Irene.“Suami Bu Irene apa sudah
“Good evening, My Honey.”Irene masih diam bagaikan patung. Dia merasa sangat sangat terkejut dengan kedatangan Juna. Ya, benar Juna suaminya, kini ada di hadapan Irene.“Kaget, ya?” goda Juna.“Kamu kok ada di sini? Kapan berangkatnya?” tanya Irene dengan mulut sedikit menganga.“Kemarin kalau waktu Indonesia,” jawab Juna cepat, “aku nggak dipersilakan masuk?” tanyanya lagi.Irene mengerejap, dia benar-benar dibuat ternganga oleh kedatangan Juna yang sangat tiba-tiba.“Ah, iya. Ayok masuk, tapi kamar apartemenku kecil. Cuman tipe studio,” ucap Irene.Juna menggeleng. “Tidak apa. Asal bersamamu, tempat sekecil lemari pun aku merasa nyaman,” gombalnya.Irene mendengus, lalu sedikit mendelik. Karena tak banyak bahan makanan yang tersedia. Irene hanya memasak mie instan untuk suaminya.“Maaf aku cuman bisa kasih ini. Kalau kamu bilang, aku bisa prepare,” ucap Irene.“No problem, Honey. Kalau aku bilang, bukan surprise namanya.”Irene menghela napas, lalu memberikan semangkuk mie instan p
Atmosfer di kamar itu terasa sangat panas. Bahkan peluh dua insan manusia itu sudah melebur menjadi satu. Suara napas mereka saling berderu satu sama lain. Tak ketinggalan suara desahan demi desahan terdengar jelas keluar dari mulut sang perempuan muda.“Tahan, ini akan terasa sakit di awal,” ucap Juna sambil menatap kedua mata cokelat milik istrinya.Setelah pemanasan di kamar mandi, mereka pun kembali ke kamar, sesuai dengan permintaan Irene. Pasalnya Irene merasa tidak nyaman dan tidak leluasa. Apalagi dengan nol pengalaman yang dimiliki Irene.“Jun, aku takut,” rintih Irene. Namun, begitu rintihan itu terdengar seperti seseorang yang sedang menikmati nikmatnya dunia.“Tenang, kamu percayakan saja padaku,” kata Juna meyakinkannya. Kemudian dia mengecup kening istrinya.Irene pun mengangguk, walau perasaan takut kini mulai bisa ia rasakan. Dia sedikit ngeri ketika membayangkan sesuatu masuk ke dalam tubuhnya. Apalagi milik Juna terlihat sangat besar dan juga gagah. Apa bisa miliknya
“Silakan, Mas Juna kita sudah sampai,” ucap seorang sopir yang duduk di balik kemudi. Setelah acara pesta selesai, Juna dan Irene menuju sebuah hotel mewah di ibu kota. Mereka belum sempat menyusun acara bulan madu, karena besok Juna ada agenda penting yang tidak bisa ia tinggalkan. Ya, wajarlah, mereka menikah itu the power of dadakan. Ketika Irene sudah mengatakan bahwa dia akan kembali pada Juna. Hanya berselang satu minggu, Juna langsung mempersunting Irene. Bahkan untuk momen tunangan saja mereka melewati hal tersebut. Juna merasa sedikit khawatir, kalau saja Irene kembali berubah pikiran. Atau sebenarnya memang Juna sendiri sudah merasa tidak tahan dengan statusnya sebagai duda loyo? Tak hanya Juna yang memiliki agenda penting, Irene pun sama demikian. Dia harus kembali ke Inggris untuk sementara waktu. Menyelesaikan apa yang seharusnya dia selesaikan terlebih dahulu. “Selamat datang Pak Juna Atmadjadarma dan juga istri,” sambut seorang pria jangkung dan mempunyai tubuh gagah
Juna merasa gelisah, karena dirinya khawatir tidak sempat untuk bertemu dengan Irene. Dirinya langsung keluar dari mobil SUV hitam dan langsung berlari memasuki bandara. Beberapa kali Juna harus menyalip beberapa kerumunan, dan dia terus meminta maaf. “Please, Tuhan. Semoga sempat,” batin Juna, yang tak pernah memperlambat langkahnya. Sampai di suatu titik di mana Juna melihat gadis yang sedang dicarinya sedang berlari dari arah yang berlawanan. Entah apa yang sedang gadis itu lakukan, tapi Juna merasa bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengannya. Juna rela meninggalkan rapat penting demi menyusul Irene. Dia tidak ingin kehilangan gadis itu untuk kesekian kalinya. Juna tidak bisa membiarkan Irene pergi meninggalkannya sendiri. Walau Juna siap menunggu Irene sampai kapan pun, tapi jika masih bisa untuk menahannya maka akan Juna lakukan. Gadis itu semakin dekat dengannya. Juna bisa melihat kalau Irene pun ikut memandangnya. Sedetik kemudian, Juna melihat kalau
Padang rumput yang sangat hijau kini menghiasi pandangan Irene. Bunga butercup terlihat menghiasi di atasnya. Kombinasi warna hijau dan hiasan berwarna kuning, begitu menyejukkan mata.Irene sedang berdiri di tengah-tengah padang rumput itu. Angin sepoi-sepoi sesekali menyibak rambutnya. Ia sesekali menyisir rambut hitamnya itu. Kemudian, tiba-tiba di ujung sana, Irene melihat sebuah objek yang membuat matanya menyipit untuk mengamati objek tersebut.“Mama? Papa?” gumam Irene kecil.Objek itu semakin jelas. Irene bisa melihat sosok kedua orang tuanya sedang memandang Irene dari kejauhan. Terlihat mereka tersenyum lebar, sembari tangannya terulur.“Mama! Papa!” teriak Irene, saat dirinya sudah yakin bahwa yang dilihatnya adalah sosok kedua orang tuanya.Dalam hitungan detik, Irene pun berlari mendekati kedua orang tuanya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung memeluk mereka berdua.“Ma, Pa, aku kangen,” lirih Irene. Air matanya pun tumpah ruah seketika.“Kamu sudah besar, ya, Sayang,” b
Irene sedikit terkejut dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Saat dirinya sedang berjalan mundur, tanpa sengaja dia menabrak nenek yang sudah tua dan renta, yang sedang membawa kayu bakar di punggungnya. Seketika kayu yang dibawa sang nenek berjatuhan. Dengan cepat Irene langsung berjongkok dan membantu sang nenek merapikan ranting dan juga kayu tersebut. “Nek, sekali lagi maafkan saya. Saya tidak sengaja,” ucap Irene dengan perasaan sangat bersalah. “Ndak papa, Nduk,” balas sang nenek yang sudah renta tersebut sambil menatap Irene dan tersenyum. “Biar saya yang bawa saja, Nek. Nenek tinggal di mana? Biar saya antarkan.” Merasa sangat bersalah, Irene pun berinsiatif menawarkan bantuan. “Tidak usah. Tidak apa-apa, rumah Nenek masih jauh,” balas sang Nenek. Irene mendesah, “Apalagi rumah Nenek jauh. Biar saya yang batu, ya, Nek. Nenek jangan menolak,” paksa Irene. Saking tidak mau ditolak bantuanya, Irene langsung menggendong kayu tersebut di punggungnya. Dia sedikit merin
Entah sejak kapan Jessica ada di tempat itu. Namun, sekarang wanita yang sudah terlihat tua itu duduk di hadapan Irene. Mau tidak mau, Irene harus meluangkan waktu untuk sekedar mengobrol dengannya.“Apa kabar?” tanya Jessica membuka pembicaraan.“Baik, Tante,” jawab Irene sambil tersenyum canggung.Jessica pun balas melemparkan senyumannya. “Kamu tambah cantik saja. Gimana kerjaan di sana?” Wanita itu masih berbasa-basi.“Terima kasih banyak, Tante. Lumayan nyaman. Tante dan Om Justin bagaimana kabarnya?” tanya Irene.“Kabar kami baik, Ren.”“Tante, kenapa harus repot-repot datang ke mari?” tanya Irene dengan raut wajah yang sedikit kurang nyaman.Bukan, Irene bukan merasa kurang nyaman dengan Jessica. Melainkan, dia merasa sedikit tidak nyaman karena tiba-tiba saja Jessica ada di sini. Kota yang bisa dibilang lumayan jauh dari tempat tinggalnya.“Tante dapat kabar dari Irgie, kalau kamu pulang ke Indonesia. Jadi, Tante menyempatkan hadir. Tadinya Om Justin juga ingin datang, tapi ka