Atmosfer di apartemen Juna benar-benar terasa panas. Padahal pendingin ruangan menunjukkan suhu enam belas derajat celcius. Suhu yang bisa dikatakan rendah untuk sebuah ruangan dan kota seperti Bandung. Namun, Irene sudah merasakan kegerahan saat memberikan pelayanan pada Juna. Jantungnya itu terus memompa aliran darah yang sudah mendidih ke seluruh tubuhnya. Irene merasa dirinya sudah tak mampu menahan kegilaannya.“Jun,” panggil Irene dengan mendesah. Tatapan matanya sayu, membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa tergoda.Juna yang sudah diselimuti hasrat dan gairah, tiba-tiba menarik Irene yang sedang berjongkok menghadapnya. Tak ada perlawanan, Irene malah menurut dengan usaha Juna. Kemudian laki-laki itu mendudukkan Irene di pangkuannya. “Jun.” Irene lagi-lagi mendesah ketika mendapatkan sentuhan seduktif dari Juna. Tentu Juna kegirangan, karena Irene sama sekali tak menolak. Bahkan dari raut wajahnya Juna bisa melihat dengan jelas, kalau Irene meminta lebih. Tanpa basa-
Irene baru saja turun dari motor besar berwarna merah. “Terima kasih, ya atas tumpangannya. Kalau nggak ada kamu, kayaknya aku harus balik jalan kaki,” ucap Irene sambil tersenyum tipis. “Sama-sama. Lagi pula tujuan kita juga sama, Mbak. Kalau gitu saya balik dulu ke parkiran, ya,” timpal seorang laki-laki yang ternyata dia adalah mahasiswa pindahan dari Bahasa Jerman. Ia dengan baik hati mengantarkan Irene sampai lobi depan fakultas. “Oke, hati-hati, Ray. Sekali lagi terima kasih banyak,” pamit Irene sambil tersenyum. Ray membalas senyuman itu sebelum ia membawa motornya pergi.Mereka berdua bertemu di toko fotocopy fakultas FEB. Gara-gara mesin fotocopy di ruang kerja Irene rusak, ia harus memperbanyak dokumen di luar. Gadis itu harus jauh-jauh pergi ke fakultas lain, karena suatu hal. Toko fotocopy di depan fakultas FIB ramai oleh mahasiswa.Sudah sejak Irene kuliah di sini, tempat itu paling banyak pelanggannya. Bahkan ada yang rela jauh-jauh dari fakultas lain, seperti dari fak
“Lain kali jangan telat dimata kuliah Pak Juna,” ucap Irene. Dia sedang bersama dengan Ray di depan ruang enam. Ray menghela napas. “Paham, tapi ini juga bukan kepengen aku telat, Mbak,” balasnya.“Memangnya kamu dari mana?”“Habis kasih tugas dulu ke Pak Erik, tadi beliau masih di luar. Jadi, saya tunggu dulu sebentar. Tapi ya udahlah udah biasa juga kayak gini,” jawabnya dengan santai.Irene menggeleng. “Tapi jangan dibiasakan juga. Ya sudah saya balik kerja lagi, ya. Semangat!” Irene mengepalkan tangannya sambil tersenyum. Kemudian dibalas oleh Ray. “Mbak Irene,” panggil Ray. “Hmm?” Irene menoleh ke arah Ray yang ada di belakang. Laki-laki itu kemudian melangkah mendekat ke arah Irene. Kedua tangannya terlihat ia masukkan ke dalam saku celana. “Mmm … saya boleh minta kontak Mbak Irene? Denger-denger Mbak Irene juga alumni sini, kan? Dan katanya Mbak Irene juga salah satu mahasiswa berprestasi. Ya, saya mau tanya-tanya aja perihal matkul. Biar cepet mengejar ketertinggalan,” ung
“Irene! Zee!” seru Gita saat dirinya baru saja tiba di stasiun kereta api. Gadis itu langsung memeluk kedua sahabatnya. “Aaak! Kangen,” ucapnya lagi.“Sama! Udah lama banget kita nggak ketemu begini,” timpal Zee. Mereka pun melepas pelukannya. Gita sengaja datang ke Bandung, karena lusa Zee akan wisuda. Setelah beberapa bulan lalu dia dinyatakan lulus yudisium, dan mendapatkan gelar sarjananya. “Udah udah kita ngobrolnya nanti lagi. Sekarang kita ke tempatku dulu. Biar Gita bisa istirahat.” Irene pun menengahi. Kemudian mereka pun segera memesan taxi online dan pergi menuju tempat Irene.Untuk pertama kalinya, Irene membawa orang lain ke apartemen milik Juna. Sebenarnya Irene tak begitu ingin membawa sahabatnya itu. Karena pasti mengundang banyak pertanyaan dari kedua sahabatnya itu. Namun, karena tempat Zee tak bisa disinggahi Gita—karena ada keluarganya yang akan menginap di sana. Mau tak mau, Irene yang harus memberikan tumpangan pada Gita. Dia juga sudah meminta izin pada Juna, s
Akhirnya Irene ingat, kalau dia memiliki satu kelebihan yang sangat langka di antara manusia lainnya.“… karena aku kan berbeda. Kalian tahu sendiri, kan, kalau aku ini spesial?”Gita dan Zee saling melempar tatap. Mereka mengangguk, mempercayai apa yang baru saja dikatakan Irene.“Oke, kamu memang spesial. Kamu lahir di tanggal yang unik, nggak tiap tahun ada,” timpal Zee sambil menepuk pundak temannya.Irene pun langsung mengangguk. Akhirnya dia bisa menggunakan alasan ini. Untuk kali pertama, Irene bersyukur kalau dirinya lahir di tanggal spesial, yang hanya ada empat tahun sekali. Padahal dulu dia sempat mengeluh, karena ketika harus melakukan syukuran atas kelahirannya. Dia harus nebeng di tanggal lain.“Terus siapa orangnya. Apa kita kenal?” Kini giliran Gita yang bertanya.Irene menghela napas, dan memasak mimik kecewa. “Untuk itu aku nggak bisa ngomong. Soalnya privacy dan
Juna sedang merapikan barang-barangnya, dia baru saja menyelesaikan kelas terakhir di jam empat sore. Namun, karena ada pekerjaan lain, Juna pun baru hendak pulang satu jam setengah kemudian. Ponselnya sedari tadi berbunyi, memberi tahu bahwa ada beberapa pesan masuk untuknya. Sembari berjalan meninggalkan ruangannya, Juna memeriksa pesan-pesan itu“Huh.” Juna mendesah, tatkala dia membaca pesan dari sang ibu, Jessica. Rasanya agak malas untuk membalas dan membahas pertanyaan yang berujung sebuah permintaan dari sang ibu. Baru saja Juna hendak menyimpan ponsel pada saku celananya, benda pintar itu tiba-tiba berdering. Kini bukan sebuah pesan yang masuk, melainkan sebuah panggilan.“Halo, Ma,” sapa Juna, sambil mendorong pintu ruang kerjanya. “Kamu sudah selesai kerja, kan, Sayang?” tanya Jessica. Walau umur Juna sudah kepala tiga—bahkan lebih, tapi bagi sang ibu, dia tetaplah anak-anak. “Sudah. Aku baru membaca pesannya,” jawab Juna. Dia sudah tahu kalau tujuan sang ibu meneleponny
“Maksud kamu? Emangnya dia nggak boleh deketin aku? Kenapa?”Jantung Juna berpacu dengan cepat, saat mendengar pertanyaan dari Irene barusan. Sedetik kemudian, dia pun ikut mempertanyakan pertanyaan tersebut pada dirinya sendiri.‘Kenapa aku bisa sekesal itu saat melihat Irene bersama dengan Ray si bocah ingusan itu?’ batinnya. Benar. Juna baru sadar, kalau dirinya memang sedang merasakan kesal. Awalnya dia selalu denial dengan perasaannya ini. Namun, kali ini dia tidak bisa menyangkal apa pun lagi. Melihat Irene dan Ray saling melempar senyuman. Bahkan mengetahui bahwa mereka seakrab itu, sampai dengan santainya mereka memanggil nama mereka masing-masing. Sukses membuat dada Juna merasa tak nyaman. “Juna, awas lampu merah!” seru Irene. Seketika Juna pun terkesiap. Dengan spontan kakinya itu menginjak pedal rem. Saking dadakannya, mereka berdua harus sedikit terpental.“So-Sorry,” ucap Juna. Dia mencoba memastikan ke depan mobilnya. Jarak yang nyaris sekali, terlambat satu detik,
Sepanjang jalan, Irene merasa tidak nyaman. Dia terus memalingkan wajahnya dari Juna. Pikirannya berkelana, membayangkan bagaimana respon keluarga Juna ketika pria itu memperkenalkan Irene sebagai tunangannya.“Sebentar lagi kita sampai,” ucap Juna. Mereka kini sudah berada di Jakarta, lebih tepatnya di daerah Thamrin.Irene menarik napas dalam dan mengembuskannya dengan kasar. Kemudian dia menoleh ke arah Juna. “Jun, aku nggak siap,” kata Irene. “Kenapa? Bukannya tugas ini lebih mudah dari pada melayani aku?” timpal Juna. Irene mencoba menelan ludahnya dengan sudah payah. “Bukan begitu. Tapi … berpura-pura menjadi tunanganmu itu rasanya tidak mudah.”Selama kurang lebih tiga jam perjalanan. Irene memikirkan dampak yang ia terima jika menerima tugas tambahan itu. Terkadang Irene saja suka merasa khawatir ketahuan tentang hubungannya dengan Juna, yang sebagai client dan pemberi jasa. Apalagi sekarang, di mana Juna terang-terangan memberi tahu orang lain kalau Irene adalah tunangan-pa