Mau bagaimana lagi, Irene tak bisa mengelak ajakan dari Juna. Sudah jelas-jelas perutnya berbunyi, kala dirinya hendak mengelak ajakan pria tersebut. Alhasil sekarang Irene sedang duduk di sebuah restoran yang bisa dikatakan mewah, untuk standar Irene. Irene mengedarkan pandangannya. Dia baru pertama kali mengunjungi tempat seperti ini. Desain interior yang terlihat mewah, membuat Irene sedikit jiper. Karena ini adalah pertama kalinya dia menginjakkan kaki di tempat yang menurutnya berkelas “Pesan dulu, Ren,” ucap Juna sambil membuka buku menu. “Hah?” Irene terkesiap, lalu dia melihat Juna. Segera Irene membuka menu tersebut. Sedetik kemudian, matanya langsung membulat. ‘Gila, ini menu apaan? Mana pakai bahasa Inggris, terus mahal pula,’ batinnya. Jujur, Irene tak mengerti nama dari menu-menu yang tersedia. Namanya sangat asing di mata Irene. Selain itu, dia lebih kaget dengan harga yang tertera di sana. ‘Buset! Air mineral aja sampai dua puluh ribu lebih? Ini sih bisa dapat sega
Atmosfer di apartemen Juna benar-benar terasa panas. Padahal pendingin ruangan menunjukkan suhu enam belas derajat celcius. Suhu yang bisa dikatakan rendah untuk sebuah ruangan dan kota seperti Bandung. Namun, Irene sudah merasakan kegerahan saat memberikan pelayanan pada Juna. Jantungnya itu terus memompa aliran darah yang sudah mendidih ke seluruh tubuhnya. Irene merasa dirinya sudah tak mampu menahan kegilaannya.“Jun,” panggil Irene dengan mendesah. Tatapan matanya sayu, membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa tergoda.Juna yang sudah diselimuti hasrat dan gairah, tiba-tiba menarik Irene yang sedang berjongkok menghadapnya. Tak ada perlawanan, Irene malah menurut dengan usaha Juna. Kemudian laki-laki itu mendudukkan Irene di pangkuannya. “Jun.” Irene lagi-lagi mendesah ketika mendapatkan sentuhan seduktif dari Juna. Tentu Juna kegirangan, karena Irene sama sekali tak menolak. Bahkan dari raut wajahnya Juna bisa melihat dengan jelas, kalau Irene meminta lebih. Tanpa basa-
Irene baru saja turun dari motor besar berwarna merah. “Terima kasih, ya atas tumpangannya. Kalau nggak ada kamu, kayaknya aku harus balik jalan kaki,” ucap Irene sambil tersenyum tipis. “Sama-sama. Lagi pula tujuan kita juga sama, Mbak. Kalau gitu saya balik dulu ke parkiran, ya,” timpal seorang laki-laki yang ternyata dia adalah mahasiswa pindahan dari Bahasa Jerman. Ia dengan baik hati mengantarkan Irene sampai lobi depan fakultas. “Oke, hati-hati, Ray. Sekali lagi terima kasih banyak,” pamit Irene sambil tersenyum. Ray membalas senyuman itu sebelum ia membawa motornya pergi.Mereka berdua bertemu di toko fotocopy fakultas FEB. Gara-gara mesin fotocopy di ruang kerja Irene rusak, ia harus memperbanyak dokumen di luar. Gadis itu harus jauh-jauh pergi ke fakultas lain, karena suatu hal. Toko fotocopy di depan fakultas FIB ramai oleh mahasiswa.Sudah sejak Irene kuliah di sini, tempat itu paling banyak pelanggannya. Bahkan ada yang rela jauh-jauh dari fakultas lain, seperti dari fak
“Lain kali jangan telat dimata kuliah Pak Juna,” ucap Irene. Dia sedang bersama dengan Ray di depan ruang enam. Ray menghela napas. “Paham, tapi ini juga bukan kepengen aku telat, Mbak,” balasnya.“Memangnya kamu dari mana?”“Habis kasih tugas dulu ke Pak Erik, tadi beliau masih di luar. Jadi, saya tunggu dulu sebentar. Tapi ya udahlah udah biasa juga kayak gini,” jawabnya dengan santai.Irene menggeleng. “Tapi jangan dibiasakan juga. Ya sudah saya balik kerja lagi, ya. Semangat!” Irene mengepalkan tangannya sambil tersenyum. Kemudian dibalas oleh Ray. “Mbak Irene,” panggil Ray. “Hmm?” Irene menoleh ke arah Ray yang ada di belakang. Laki-laki itu kemudian melangkah mendekat ke arah Irene. Kedua tangannya terlihat ia masukkan ke dalam saku celana. “Mmm … saya boleh minta kontak Mbak Irene? Denger-denger Mbak Irene juga alumni sini, kan? Dan katanya Mbak Irene juga salah satu mahasiswa berprestasi. Ya, saya mau tanya-tanya aja perihal matkul. Biar cepet mengejar ketertinggalan,” ung
“Irene! Zee!” seru Gita saat dirinya baru saja tiba di stasiun kereta api. Gadis itu langsung memeluk kedua sahabatnya. “Aaak! Kangen,” ucapnya lagi.“Sama! Udah lama banget kita nggak ketemu begini,” timpal Zee. Mereka pun melepas pelukannya. Gita sengaja datang ke Bandung, karena lusa Zee akan wisuda. Setelah beberapa bulan lalu dia dinyatakan lulus yudisium, dan mendapatkan gelar sarjananya. “Udah udah kita ngobrolnya nanti lagi. Sekarang kita ke tempatku dulu. Biar Gita bisa istirahat.” Irene pun menengahi. Kemudian mereka pun segera memesan taxi online dan pergi menuju tempat Irene.Untuk pertama kalinya, Irene membawa orang lain ke apartemen milik Juna. Sebenarnya Irene tak begitu ingin membawa sahabatnya itu. Karena pasti mengundang banyak pertanyaan dari kedua sahabatnya itu. Namun, karena tempat Zee tak bisa disinggahi Gita—karena ada keluarganya yang akan menginap di sana. Mau tak mau, Irene yang harus memberikan tumpangan pada Gita. Dia juga sudah meminta izin pada Juna, s
Akhirnya Irene ingat, kalau dia memiliki satu kelebihan yang sangat langka di antara manusia lainnya.“… karena aku kan berbeda. Kalian tahu sendiri, kan, kalau aku ini spesial?”Gita dan Zee saling melempar tatap. Mereka mengangguk, mempercayai apa yang baru saja dikatakan Irene.“Oke, kamu memang spesial. Kamu lahir di tanggal yang unik, nggak tiap tahun ada,” timpal Zee sambil menepuk pundak temannya.Irene pun langsung mengangguk. Akhirnya dia bisa menggunakan alasan ini. Untuk kali pertama, Irene bersyukur kalau dirinya lahir di tanggal spesial, yang hanya ada empat tahun sekali. Padahal dulu dia sempat mengeluh, karena ketika harus melakukan syukuran atas kelahirannya. Dia harus nebeng di tanggal lain.“Terus siapa orangnya. Apa kita kenal?” Kini giliran Gita yang bertanya.Irene menghela napas, dan memasak mimik kecewa. “Untuk itu aku nggak bisa ngomong. Soalnya privacy dan
Juna sedang merapikan barang-barangnya, dia baru saja menyelesaikan kelas terakhir di jam empat sore. Namun, karena ada pekerjaan lain, Juna pun baru hendak pulang satu jam setengah kemudian. Ponselnya sedari tadi berbunyi, memberi tahu bahwa ada beberapa pesan masuk untuknya. Sembari berjalan meninggalkan ruangannya, Juna memeriksa pesan-pesan itu“Huh.” Juna mendesah, tatkala dia membaca pesan dari sang ibu, Jessica. Rasanya agak malas untuk membalas dan membahas pertanyaan yang berujung sebuah permintaan dari sang ibu. Baru saja Juna hendak menyimpan ponsel pada saku celananya, benda pintar itu tiba-tiba berdering. Kini bukan sebuah pesan yang masuk, melainkan sebuah panggilan.“Halo, Ma,” sapa Juna, sambil mendorong pintu ruang kerjanya. “Kamu sudah selesai kerja, kan, Sayang?” tanya Jessica. Walau umur Juna sudah kepala tiga—bahkan lebih, tapi bagi sang ibu, dia tetaplah anak-anak. “Sudah. Aku baru membaca pesannya,” jawab Juna. Dia sudah tahu kalau tujuan sang ibu meneleponny
“Maksud kamu? Emangnya dia nggak boleh deketin aku? Kenapa?”Jantung Juna berpacu dengan cepat, saat mendengar pertanyaan dari Irene barusan. Sedetik kemudian, dia pun ikut mempertanyakan pertanyaan tersebut pada dirinya sendiri.‘Kenapa aku bisa sekesal itu saat melihat Irene bersama dengan Ray si bocah ingusan itu?’ batinnya. Benar. Juna baru sadar, kalau dirinya memang sedang merasakan kesal. Awalnya dia selalu denial dengan perasaannya ini. Namun, kali ini dia tidak bisa menyangkal apa pun lagi. Melihat Irene dan Ray saling melempar senyuman. Bahkan mengetahui bahwa mereka seakrab itu, sampai dengan santainya mereka memanggil nama mereka masing-masing. Sukses membuat dada Juna merasa tak nyaman. “Juna, awas lampu merah!” seru Irene. Seketika Juna pun terkesiap. Dengan spontan kakinya itu menginjak pedal rem. Saking dadakannya, mereka berdua harus sedikit terpental.“So-Sorry,” ucap Juna. Dia mencoba memastikan ke depan mobilnya. Jarak yang nyaris sekali, terlambat satu detik,
“Apa? Ada anak laki-laki yang menggoda anak perempuan Papa?” Tiba-tiba saja Juna datang dengan pakaian yang sudah lengkap. Dia langsung menghampiri anak dan istrinya. “Siapa dia, Nathan?” tanya Juna lagi. Nathan menoleh ke arah sang ayah, dia merasa memiliki teman sekarang. “Ada, Pa. Dia anak laki-laki di kelas sebelah. Nathan tidak suka Freya dekat dengan Farrel, karena laki-laki itu sering kali memberikan anak perempuan ikat rambut. Sudah jelas dia bukan laki-laki baik, kan, Pa?” ucap Nathan. “Wah, jelas. Dia bukan laki-laki yang baik. Dia dekat dengan semua perempuan. Bagus, Sayang, kamu harus melindungi adikmu.” Juna langsung mengelus puncak kepala Nathan. Sedangkan anak laki-lakinya itu tersenyum penuh kemenangan. Berbeda dengan Nathan yang merasa dibela oleh sang ayah. Freya terlihat matanya berkaca. “Papa kok membela Kak Nathan?” ucap Freya dengan suaranya yang bergetar, “padahal Papa bilang kalau kita harus menerima pemberian dan niat baik dari orang lain. Freya tahu kal
“Pa, sebaiknya Papa di rumah saja. Nanti Jessica akan mengirim kabar secepatnya,” ucap Jessica pada ayah mertuanya.Kini mereka sedang di rumah sakit. Tidak, tidak ada yang sakit, hanya saja ada seseorang yang hendak melahirkan.“Tidak, Papa tidak bisa menunggu di rumah dengan tenang. Papa sudah sangat menantikan cicit dari Juna,” jawab Jodi yang sedang duduk di kursi roda dan di temani dengan asisten pribadinya.Kesehatan Jodi tidak seprima sebelumnya. Namun, begitu dia sangat mengayomi Irene. Bahkan hampir setiap minggu Jodi selalu mendatangi kediaman Jessica. Karena selama Irene hamil, perempuan itu tinggal dengan ibu mertuanya.Kehadiran anak Juna dan Irene sangat ditunggu-tunggu oleh semua orang, bukan hanya ibu bapaknya saja. Hampir seluruh keluarga besar Juna dan Irene menantikan kelahiran mereka. Bahkan tak sedikit dari mereka yang bertaruh, anaknya akan mirip seperti Juna atau Irene.“Suami Bu Irene apa sudah
“Good evening, My Honey.”Irene masih diam bagaikan patung. Dia merasa sangat sangat terkejut dengan kedatangan Juna. Ya, benar Juna suaminya, kini ada di hadapan Irene.“Kaget, ya?” goda Juna.“Kamu kok ada di sini? Kapan berangkatnya?” tanya Irene dengan mulut sedikit menganga.“Kemarin kalau waktu Indonesia,” jawab Juna cepat, “aku nggak dipersilakan masuk?” tanyanya lagi.Irene mengerejap, dia benar-benar dibuat ternganga oleh kedatangan Juna yang sangat tiba-tiba.“Ah, iya. Ayok masuk, tapi kamar apartemenku kecil. Cuman tipe studio,” ucap Irene.Juna menggeleng. “Tidak apa. Asal bersamamu, tempat sekecil lemari pun aku merasa nyaman,” gombalnya.Irene mendengus, lalu sedikit mendelik. Karena tak banyak bahan makanan yang tersedia. Irene hanya memasak mie instan untuk suaminya.“Maaf aku cuman bisa kasih ini. Kalau kamu bilang, aku bisa prepare,” ucap Irene.“No problem, Honey. Kalau aku bilang, bukan surprise namanya.”Irene menghela napas, lalu memberikan semangkuk mie instan p
Atmosfer di kamar itu terasa sangat panas. Bahkan peluh dua insan manusia itu sudah melebur menjadi satu. Suara napas mereka saling berderu satu sama lain. Tak ketinggalan suara desahan demi desahan terdengar jelas keluar dari mulut sang perempuan muda.“Tahan, ini akan terasa sakit di awal,” ucap Juna sambil menatap kedua mata cokelat milik istrinya.Setelah pemanasan di kamar mandi, mereka pun kembali ke kamar, sesuai dengan permintaan Irene. Pasalnya Irene merasa tidak nyaman dan tidak leluasa. Apalagi dengan nol pengalaman yang dimiliki Irene.“Jun, aku takut,” rintih Irene. Namun, begitu rintihan itu terdengar seperti seseorang yang sedang menikmati nikmatnya dunia.“Tenang, kamu percayakan saja padaku,” kata Juna meyakinkannya. Kemudian dia mengecup kening istrinya.Irene pun mengangguk, walau perasaan takut kini mulai bisa ia rasakan. Dia sedikit ngeri ketika membayangkan sesuatu masuk ke dalam tubuhnya. Apalagi milik Juna terlihat sangat besar dan juga gagah. Apa bisa miliknya
“Silakan, Mas Juna kita sudah sampai,” ucap seorang sopir yang duduk di balik kemudi. Setelah acara pesta selesai, Juna dan Irene menuju sebuah hotel mewah di ibu kota. Mereka belum sempat menyusun acara bulan madu, karena besok Juna ada agenda penting yang tidak bisa ia tinggalkan. Ya, wajarlah, mereka menikah itu the power of dadakan. Ketika Irene sudah mengatakan bahwa dia akan kembali pada Juna. Hanya berselang satu minggu, Juna langsung mempersunting Irene. Bahkan untuk momen tunangan saja mereka melewati hal tersebut. Juna merasa sedikit khawatir, kalau saja Irene kembali berubah pikiran. Atau sebenarnya memang Juna sendiri sudah merasa tidak tahan dengan statusnya sebagai duda loyo? Tak hanya Juna yang memiliki agenda penting, Irene pun sama demikian. Dia harus kembali ke Inggris untuk sementara waktu. Menyelesaikan apa yang seharusnya dia selesaikan terlebih dahulu. “Selamat datang Pak Juna Atmadjadarma dan juga istri,” sambut seorang pria jangkung dan mempunyai tubuh gagah
Juna merasa gelisah, karena dirinya khawatir tidak sempat untuk bertemu dengan Irene. Dirinya langsung keluar dari mobil SUV hitam dan langsung berlari memasuki bandara. Beberapa kali Juna harus menyalip beberapa kerumunan, dan dia terus meminta maaf. “Please, Tuhan. Semoga sempat,” batin Juna, yang tak pernah memperlambat langkahnya. Sampai di suatu titik di mana Juna melihat gadis yang sedang dicarinya sedang berlari dari arah yang berlawanan. Entah apa yang sedang gadis itu lakukan, tapi Juna merasa bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengannya. Juna rela meninggalkan rapat penting demi menyusul Irene. Dia tidak ingin kehilangan gadis itu untuk kesekian kalinya. Juna tidak bisa membiarkan Irene pergi meninggalkannya sendiri. Walau Juna siap menunggu Irene sampai kapan pun, tapi jika masih bisa untuk menahannya maka akan Juna lakukan. Gadis itu semakin dekat dengannya. Juna bisa melihat kalau Irene pun ikut memandangnya. Sedetik kemudian, Juna melihat kalau
Padang rumput yang sangat hijau kini menghiasi pandangan Irene. Bunga butercup terlihat menghiasi di atasnya. Kombinasi warna hijau dan hiasan berwarna kuning, begitu menyejukkan mata.Irene sedang berdiri di tengah-tengah padang rumput itu. Angin sepoi-sepoi sesekali menyibak rambutnya. Ia sesekali menyisir rambut hitamnya itu. Kemudian, tiba-tiba di ujung sana, Irene melihat sebuah objek yang membuat matanya menyipit untuk mengamati objek tersebut.“Mama? Papa?” gumam Irene kecil.Objek itu semakin jelas. Irene bisa melihat sosok kedua orang tuanya sedang memandang Irene dari kejauhan. Terlihat mereka tersenyum lebar, sembari tangannya terulur.“Mama! Papa!” teriak Irene, saat dirinya sudah yakin bahwa yang dilihatnya adalah sosok kedua orang tuanya.Dalam hitungan detik, Irene pun berlari mendekati kedua orang tuanya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung memeluk mereka berdua.“Ma, Pa, aku kangen,” lirih Irene. Air matanya pun tumpah ruah seketika.“Kamu sudah besar, ya, Sayang,” b
Irene sedikit terkejut dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Saat dirinya sedang berjalan mundur, tanpa sengaja dia menabrak nenek yang sudah tua dan renta, yang sedang membawa kayu bakar di punggungnya. Seketika kayu yang dibawa sang nenek berjatuhan. Dengan cepat Irene langsung berjongkok dan membantu sang nenek merapikan ranting dan juga kayu tersebut. “Nek, sekali lagi maafkan saya. Saya tidak sengaja,” ucap Irene dengan perasaan sangat bersalah. “Ndak papa, Nduk,” balas sang nenek yang sudah renta tersebut sambil menatap Irene dan tersenyum. “Biar saya yang bawa saja, Nek. Nenek tinggal di mana? Biar saya antarkan.” Merasa sangat bersalah, Irene pun berinsiatif menawarkan bantuan. “Tidak usah. Tidak apa-apa, rumah Nenek masih jauh,” balas sang Nenek. Irene mendesah, “Apalagi rumah Nenek jauh. Biar saya yang batu, ya, Nek. Nenek jangan menolak,” paksa Irene. Saking tidak mau ditolak bantuanya, Irene langsung menggendong kayu tersebut di punggungnya. Dia sedikit merin
Entah sejak kapan Jessica ada di tempat itu. Namun, sekarang wanita yang sudah terlihat tua itu duduk di hadapan Irene. Mau tidak mau, Irene harus meluangkan waktu untuk sekedar mengobrol dengannya.“Apa kabar?” tanya Jessica membuka pembicaraan.“Baik, Tante,” jawab Irene sambil tersenyum canggung.Jessica pun balas melemparkan senyumannya. “Kamu tambah cantik saja. Gimana kerjaan di sana?” Wanita itu masih berbasa-basi.“Terima kasih banyak, Tante. Lumayan nyaman. Tante dan Om Justin bagaimana kabarnya?” tanya Irene.“Kabar kami baik, Ren.”“Tante, kenapa harus repot-repot datang ke mari?” tanya Irene dengan raut wajah yang sedikit kurang nyaman.Bukan, Irene bukan merasa kurang nyaman dengan Jessica. Melainkan, dia merasa sedikit tidak nyaman karena tiba-tiba saja Jessica ada di sini. Kota yang bisa dibilang lumayan jauh dari tempat tinggalnya.“Tante dapat kabar dari Irgie, kalau kamu pulang ke Indonesia. Jadi, Tante menyempatkan hadir. Tadinya Om Justin juga ingin datang, tapi ka