“Lo kenapa sih? Mabuk?” Anira mengerutkan kening bingung, akhir-akhir ini, Reksa sering sekali mengeluarkan candaan yang membuatnya terdiam.“Kenapa? Lo langsung panik? Nggak kaya gue minta lo langsung nikahin gue, kan?” pancing Reksa lagi.“Reksa! Please! Gue beneran takut!” Membayangkannya saja, berhasil membuat Anira merinding. Cara bicara Reksa, selalu sama, sehingga dia sulit membedakan apakah pria itu serius, atau bercanda.“Coward.”“Biarin!” Anira merasa ada gejolak di dadanya, mendengar cemoohan itu. “Kalau gue iyain, lo juga gantian panik paling!” balasnya tidak mau kalah.“Kenapa nggak lo coba?”“Coba apa?”“Iyain.”Anira benar-benar kehabisan kata-kata kali ini. “Nggak jelas! Gue tidur dulu! Bye!” Seakan menghindari penagih utang, Anira langsung mengakhiri panggilan itu begitu saja.Dia merasa wajahnya panas, langkahnya sedikit melayang saat beranjak. Anira mencuci wajahnya di kamar mandi.Kemudian menatap pantulan wajahnya sendiri di cermin. ‘Reksa itu sahabatmu! Apa y
Anira mengerutkan kening. “Lo sakit?” Dia mengakui kalau sikapnya tadi sedikit tidak sopan. Namun, dia tidak menyangka kalau reaksi Deril akan sedrastis ini.Reksa bergegas merangkul bahu Deril. “Lo mau tahu kami bicara tentang apa? Biar gue yang cerita.” Merasakan tubuh Deril memberontak, dia berbisik dengan suara lirih. “Lo akan menyesal, kalau buat keributan lagi di sini.”Seketika Deril terdiam, mencerna ucapan sahabatnya itu. Hatinya terasa panas, matanya menatap tajam ke arah Reksa, marah.Tidak peduli dengan reaksi Deril, Reksa menarik pria itu menjauh dari sana. Ketika melewati Anira, dia mengangguk tipis, menenangkan gadis itu. “Thank you,” gumam Anira tanpa suara. Dia orang baru di tempat ini, bermasalah dengan dua orang bos itu di depan karyawan lain bukanlah sesuatu yang ingin dia lakukan.Anira hendak menuju ruangannya, ada berkas yang harus dia urus hari ini. Apa yang terjadi antara Deril dan Reksa sama sekali tidak mempengaruhi harinya.Dia sudah mulai te
Wajah Reksa menegang, menahan murka, dia mempercepat langkahnya, kembali ke ruangan Deril. Membuka pintu itu kasar, dan mendorong Velma ke dalam. Saking terkejutnya, Velma sama sekali tidak bisa melawan.Kakinya sempoyongan berusaha mengembalikan keseimbangannya.“Reksa! Lo ngapain!” Deril menghampiri adiknya itu, dan menangkapnya. Dia kemudian menatap Reksa marah. “Ini kantor! Bukan hutan! Bilang sama adek lo, nggak usah teriak-teriak!” Reksa menatap Velma dingin. “Kalau gue tahu, lo ngejelek-jelekin Anira lagi, nama lo akan blacklist di kantor ini!”Kerutan di kening Deril sama sekali belum hilang. Sementara itu wajah Velma pucat pasi. Meski Reksa terus bersikap dingin padanya, tidak pernah sekalipun dia marah besar pada Velma sampai seperti ini.Apa dia benar-benar mengenal Reksa? Pertanyaan itu terlintas sekilas di benaknya, tapi dia dengan cepat membantahnya. Dia adalah perempuan yang paling mengenal Reksa. Bertahun-tahun sudah dia mencintai pria itu.“Apa yang gue
Reksa hendak bersaing dengannya? Siapa takut? Kalau Anira tidak bekerja di tempat in, dia akan sulit mendekati Anira, apalagi sampai kembali dekat dengannya. Reksa punya kesempatan yang jauh lebih besar.Tetapi, selama gadis itu bekerja satu perusahaan dengannya, dia punya berbagai alasan untuk berbicara dengan gadis itu.Lima tahun, Reksa masih berada di titik yang sama. Dia masih punya kesempatan, kan?Tidak lama setelah permintaan Reksa ke kantor pusat Anira disetujui, berita itu sampai ke Anira.“Apa? Ditambah? Tapi kenapa?” Kening Anira berkerut. “Dalam tiga bulan, proyek ini sudah masuk tahap lanjutan. Kita semua sepakat, kalau tahap selanjutnya akan di-handle sama atasan kan?” Anira benar-benar tidak mengerti, finishing proyek ini bukanlah tanggung jawabnya, ada orang dari divisi berbeda yang bertanggung jawab. “Kamu di sana Cuma untuk ngawasin kok, dari sini tetap akan dikirim orang.”“Kenapa?” Dia masih tidak habis pikir. Keberadaannya di sini setelah tiga bulan, tida
“Apa yang mau dilihat!” Anira mendorong wajah Reksa kuat, hingga wajah pria itu berpaling ke kiri. Dengan cepat, Reksa berpaling kembali menatap Anira lekat. “Masih kelihatan tua?”Saat itu, Anira merasa tenggorokannya terasa sangat kering. “Tua! Lo tua!” gumamnya cepat, suaranya sedikit serak. “Lo nggak perlu dekat-dekat, gue belum rabun!”Anira hendak menyentuh pipi Reksa dan mendorongnya menjauh, tapi tiba-tiba dia merasa sangat canggung, ujung jarinya otomatis melengkung ke dalam. Mendadak, dia merasa seperti melakukan suatu yang salah. Dia akhirnya menghentikan niatnya, dan memilih mengibaskan tangannya dekat wajah pria itu. “Mundur, mundur, nanti rambut lo jatuh di atas makanan!”Reksa tertawa marah, tidak cukup menuduhnya tua, gadis ini juga mengatakan kalau rambutnya rontok? Dia memegang tangan Anira berani dan meletakkannya di rambutnya. “Coba lo periksa, rontok, nggak?”Senasi helaian rambut itu berada di tangannya, tidak bisa dideskripsikan. Reksa selalu menjag
Anira terdiam, langkahnya bahkan terhenti. Dia menatap lekat Reksa, menunggu pria itu mengatakan kalau dia hanya bercanda. “Gimana, menurut lo?”Cukup sudah! Anira menginjak keras kaki Reksa. Lalu meninggalkan pria itu dengan langkah panjang.Sepatu yang dikenakan Anira hari ini memiliki hak pendek tapi cukup tajam. Mulut Reksa terbuka, mengeluarkan teriakan tanpa suara. Dia merasa kakinya ditusuk oleh besi tajam. Ngilu dan perih bercampur jadi satu.Kalau tidak karena malu, mungkin dia sudah berteriak di sini sekarang. Anira tidak menahan diri sama sekali, menumpukan seluruh tenaganya untuk menginjak kakinya.Sepertinya dia benar-benar membuat gadis itu kesal kali ini. Dengan langkah sedikit pincang, dia menyusul gadis itu keluar.Dia menemukan Anira sedang duduk di atas meja motor dengan wajah ditekuk. Dia menatap tajam Reksa. ‘“Lo bener-bener marah?”“Menurut lo? Candaan lo tadi udah kelewatan! Sama sekali nggak lucu! Lo salah makan apa sih beberapa hari ini?” Semua y
“Ma, apa terjadi sesuatu?”Perasaan Anira saat itu benar-benar tidak enak. Rasanya seperti ada laba-laba merayapi punggungnya, membuatnya panik seketika. “Papa baik-baik saja, kan?”Ibu Anira terdiam, dia tidak langsung menjawab. Namun, menarik Anira untuk duduk di teras. Gerakan ibunya itu membuat Anira semakin panik. “Ma, papa kenapa? Aku masuk dulu, biar aku lihat papa.” “Tunggu dulu! Kamu duduk! Mama mau bicara.”Hati Anira terbelah, antara duduk dan masuk ke dalam. Namun, akhirnya dia memutuskan untuk duduk. Kalau ibunya masih bisa bersikap begini, berarti semuanya tidak seburuk itu kan? Pikirnya mencoba positif terhadap apa yang terjadi.“Kenapa, Ma?”Anira menatap lekat wajah ibunya, di bawah sinar lampu malam itu, kerutan di wajah ibunya semakin jelas terlihat. Hatinya teriris, saat menyadari hal itu.Hal tersulit yang dihadapi setiap anak, adalah menyadari kalau orangtuanya sudah tidak muda lagi. Kerutan-kerutan tanda perjuangan atas kehidupan itu membuatnya menyadari k
Tatapan itu begitu bening, tapi penuh arti. Seolah banyak kata yang hendak terucap, tapi mulut tidak mampu berkata-kata. “Pa, please.” Mata wanita paruh baya itu sudah berkaca-kaca. Ayahnya masih membisu. Matanya sama sekali tidak berkedip, menatap mereka berdua.Anira jauh lebih sigap, dia langsung mengambil ponselnya. “Sebentar, aku akan telepon Kak Leo dulu.” Sejenak kemudian dia tertegun. “Atau ambulan?” Tangannya sedikit bergetar. “Papa selalu bikin kalian khawatir.”Anira membeku. Telinganya masih menempel di ponsel. “Halo, Ra? Ada apa?”Suara Leo terdengar di telinganya, terdengar sangat jauh. “Kak, nanti aku telepon lagi.” Dia mengakhiri panggilan itu sepihak, tanpa mengalihkan pandangan dari ayahnya. “Pa, papa baik-baik saja?”Perlahan ayah Anira mulai bangkit duduk. Dengan sigap Anira dan ibunya membantu. “Papa mau minum dulu?”Pria itu menggelengkan kepalanya. “Kamu baru pulang?”Anira mengangguk, meski ayahnya telah menjawab, dia tetap memberikan segelas