Reksa hendak bersaing dengannya? Siapa takut? Kalau Anira tidak bekerja di tempat in, dia akan sulit mendekati Anira, apalagi sampai kembali dekat dengannya. Reksa punya kesempatan yang jauh lebih besar.Tetapi, selama gadis itu bekerja satu perusahaan dengannya, dia punya berbagai alasan untuk berbicara dengan gadis itu.Lima tahun, Reksa masih berada di titik yang sama. Dia masih punya kesempatan, kan?Tidak lama setelah permintaan Reksa ke kantor pusat Anira disetujui, berita itu sampai ke Anira.“Apa? Ditambah? Tapi kenapa?” Kening Anira berkerut. “Dalam tiga bulan, proyek ini sudah masuk tahap lanjutan. Kita semua sepakat, kalau tahap selanjutnya akan di-handle sama atasan kan?” Anira benar-benar tidak mengerti, finishing proyek ini bukanlah tanggung jawabnya, ada orang dari divisi berbeda yang bertanggung jawab. “Kamu di sana Cuma untuk ngawasin kok, dari sini tetap akan dikirim orang.”“Kenapa?” Dia masih tidak habis pikir. Keberadaannya di sini setelah tiga bulan, tida
“Apa yang mau dilihat!” Anira mendorong wajah Reksa kuat, hingga wajah pria itu berpaling ke kiri. Dengan cepat, Reksa berpaling kembali menatap Anira lekat. “Masih kelihatan tua?”Saat itu, Anira merasa tenggorokannya terasa sangat kering. “Tua! Lo tua!” gumamnya cepat, suaranya sedikit serak. “Lo nggak perlu dekat-dekat, gue belum rabun!”Anira hendak menyentuh pipi Reksa dan mendorongnya menjauh, tapi tiba-tiba dia merasa sangat canggung, ujung jarinya otomatis melengkung ke dalam. Mendadak, dia merasa seperti melakukan suatu yang salah. Dia akhirnya menghentikan niatnya, dan memilih mengibaskan tangannya dekat wajah pria itu. “Mundur, mundur, nanti rambut lo jatuh di atas makanan!”Reksa tertawa marah, tidak cukup menuduhnya tua, gadis ini juga mengatakan kalau rambutnya rontok? Dia memegang tangan Anira berani dan meletakkannya di rambutnya. “Coba lo periksa, rontok, nggak?”Senasi helaian rambut itu berada di tangannya, tidak bisa dideskripsikan. Reksa selalu menjag
Anira terdiam, langkahnya bahkan terhenti. Dia menatap lekat Reksa, menunggu pria itu mengatakan kalau dia hanya bercanda. “Gimana, menurut lo?”Cukup sudah! Anira menginjak keras kaki Reksa. Lalu meninggalkan pria itu dengan langkah panjang.Sepatu yang dikenakan Anira hari ini memiliki hak pendek tapi cukup tajam. Mulut Reksa terbuka, mengeluarkan teriakan tanpa suara. Dia merasa kakinya ditusuk oleh besi tajam. Ngilu dan perih bercampur jadi satu.Kalau tidak karena malu, mungkin dia sudah berteriak di sini sekarang. Anira tidak menahan diri sama sekali, menumpukan seluruh tenaganya untuk menginjak kakinya.Sepertinya dia benar-benar membuat gadis itu kesal kali ini. Dengan langkah sedikit pincang, dia menyusul gadis itu keluar.Dia menemukan Anira sedang duduk di atas meja motor dengan wajah ditekuk. Dia menatap tajam Reksa. ‘“Lo bener-bener marah?”“Menurut lo? Candaan lo tadi udah kelewatan! Sama sekali nggak lucu! Lo salah makan apa sih beberapa hari ini?” Semua y
“Ma, apa terjadi sesuatu?”Perasaan Anira saat itu benar-benar tidak enak. Rasanya seperti ada laba-laba merayapi punggungnya, membuatnya panik seketika. “Papa baik-baik saja, kan?”Ibu Anira terdiam, dia tidak langsung menjawab. Namun, menarik Anira untuk duduk di teras. Gerakan ibunya itu membuat Anira semakin panik. “Ma, papa kenapa? Aku masuk dulu, biar aku lihat papa.” “Tunggu dulu! Kamu duduk! Mama mau bicara.”Hati Anira terbelah, antara duduk dan masuk ke dalam. Namun, akhirnya dia memutuskan untuk duduk. Kalau ibunya masih bisa bersikap begini, berarti semuanya tidak seburuk itu kan? Pikirnya mencoba positif terhadap apa yang terjadi.“Kenapa, Ma?”Anira menatap lekat wajah ibunya, di bawah sinar lampu malam itu, kerutan di wajah ibunya semakin jelas terlihat. Hatinya teriris, saat menyadari hal itu.Hal tersulit yang dihadapi setiap anak, adalah menyadari kalau orangtuanya sudah tidak muda lagi. Kerutan-kerutan tanda perjuangan atas kehidupan itu membuatnya menyadari k
Tatapan itu begitu bening, tapi penuh arti. Seolah banyak kata yang hendak terucap, tapi mulut tidak mampu berkata-kata. “Pa, please.” Mata wanita paruh baya itu sudah berkaca-kaca. Ayahnya masih membisu. Matanya sama sekali tidak berkedip, menatap mereka berdua.Anira jauh lebih sigap, dia langsung mengambil ponselnya. “Sebentar, aku akan telepon Kak Leo dulu.” Sejenak kemudian dia tertegun. “Atau ambulan?” Tangannya sedikit bergetar. “Papa selalu bikin kalian khawatir.”Anira membeku. Telinganya masih menempel di ponsel. “Halo, Ra? Ada apa?”Suara Leo terdengar di telinganya, terdengar sangat jauh. “Kak, nanti aku telepon lagi.” Dia mengakhiri panggilan itu sepihak, tanpa mengalihkan pandangan dari ayahnya. “Pa, papa baik-baik saja?”Perlahan ayah Anira mulai bangkit duduk. Dengan sigap Anira dan ibunya membantu. “Papa mau minum dulu?”Pria itu menggelengkan kepalanya. “Kamu baru pulang?”Anira mengangguk, meski ayahnya telah menjawab, dia tetap memberikan segelas
“Hmm. Biar papa yang ngomong langsung sama Reksa.”Anira semakin kebingungan. Apa yang harus dibicarakan sampai harus sembunyi-sembunyi seperti ini? Dia malah jadi semakin penasaran. Anira menatap ibunya, tapi ibunya juga tersenyum setuju.“Kayanya Reksa udah sampai rumah. Besok aja, gimana?” tanyanya, sambil menatap reaksi kedua orangtuanya.Semakin mereka menutupi, semakin dia penasaran. Dia tidak bisa memikirkan satu pun, topik yang harus dibicarakan dengan Reksa, sampai orangtuanya harus menyembunyikan hal itu darinya.“Ya sudah, kalau gitu. Bilang Reksa, ketemu papa besok, pas kalian pulang kerja.”“Pulang kerja? Tapi, Reksa besok ke sini pagi doang. Malam mungkin nggak.”Ayah Anira mengangkat sebelah alisnya. “Itu sengaja banget. Kamu kesal?”Anira memilih mengangkat bahunya, sambil mengerucutkan bibirnya. “Papa udah bikin cemas, habis itu bikin penasaran, nggak papa kan aku balas dikit,” tanyanya sambil menjulurkan lidahnya konyol.Pasangan suami istri itu saling berpandang
Berapa kali sudah ini? Dia menelepon Reksa berjam-jam di malam hari?Entah darimana, kesadaran itu menamparnya begitu saja. Dia melakukannya dengan natural seolah memang itu adalah normal terjadi.Namun, tidak sama sekali! Pesan dari Deril itu membuka matanya lebar-lebar. Ternyata, dia mengakhiri harinya dengan berbicara ke Reksa.‘Itu karena aku punya sesuatu yang harus dibicarakan dengannya,’ batinnya cepat. Namun, sekali pikiran itu terlintas di kepalanya, tidak mudah menyingkirkannya.Sejak kapan hubungannya dengan Reksa berubah jadi seperti ini? Kenapa dia jadi sangat memperhatikan gerak-gerik Reksa?Begitu lama mereka bersahabat, dan bahkan nyaris semua masalahnya Anira selalu bercerita pada Reksa. Pria itu sudah seperti kakak, keluarga sendiri baginya. Apa Reksa menyukainya?Anira menggeleng kuat. Terlalu takut dengan apa yang ada di benaknya saat ini. Dia melarang dirinya sendiri untuk berpikir lebih jauh.Buru-buru dia meletakkan ponselnya di sudut paling jauh meja yang
Anira memukul bahu Reksa kesal. “Ckk! Nggak usah kasar!” ujarnya dengan ekspresi berlebihan.Reksa tertawa. Anira naik ke atas sepeda motor itu lalu memukul Reksa sedikit lebih keras. “Untung kita berdua nggak jatuh.”“Tenang saja, Cuma kejatuhan lo nggak akan bikin gue jatuh.” Dia menoleh ke belakang. “Udah?”“Udah.” Anira merapikan posisi duduknya. “Lo yakin nggak mau cerita?”Reksa tertawa geli. “Nggak. Lo tanya sama Om dan Tante aja nanti.”“Apa sih, pakai main rahasia-rahasiaan segala,” gerutunya. Dia merasa disisihkan, tingkah orangtuanya dan Reksa yang dengan sengaja mengalihkan pembicaraan saat dia datang, membuatnya merasa tidak dianggap. Dan itu rasanya sangat tidak menyenangkan.“Kalau om dan tante nggak ngasih tahu sama lo, berarti itu memang bukan sesuatu yang lo perlu tahu.”Tentu saja,Anira tahu logika sederhana di balik hal semacam itu. Namun, menerimanya juga bukan hal yang mudah. Setelah kalimat itu, Anira tidak lagi bertanya tapi wajahnya masih masam. Ketika Re