Berapa kali sudah ini? Dia menelepon Reksa berjam-jam di malam hari?Entah darimana, kesadaran itu menamparnya begitu saja. Dia melakukannya dengan natural seolah memang itu adalah normal terjadi.Namun, tidak sama sekali! Pesan dari Deril itu membuka matanya lebar-lebar. Ternyata, dia mengakhiri harinya dengan berbicara ke Reksa.‘Itu karena aku punya sesuatu yang harus dibicarakan dengannya,’ batinnya cepat. Namun, sekali pikiran itu terlintas di kepalanya, tidak mudah menyingkirkannya.Sejak kapan hubungannya dengan Reksa berubah jadi seperti ini? Kenapa dia jadi sangat memperhatikan gerak-gerik Reksa?Begitu lama mereka bersahabat, dan bahkan nyaris semua masalahnya Anira selalu bercerita pada Reksa. Pria itu sudah seperti kakak, keluarga sendiri baginya. Apa Reksa menyukainya?Anira menggeleng kuat. Terlalu takut dengan apa yang ada di benaknya saat ini. Dia melarang dirinya sendiri untuk berpikir lebih jauh.Buru-buru dia meletakkan ponselnya di sudut paling jauh meja yang
Anira memukul bahu Reksa kesal. “Ckk! Nggak usah kasar!” ujarnya dengan ekspresi berlebihan.Reksa tertawa. Anira naik ke atas sepeda motor itu lalu memukul Reksa sedikit lebih keras. “Untung kita berdua nggak jatuh.”“Tenang saja, Cuma kejatuhan lo nggak akan bikin gue jatuh.” Dia menoleh ke belakang. “Udah?”“Udah.” Anira merapikan posisi duduknya. “Lo yakin nggak mau cerita?”Reksa tertawa geli. “Nggak. Lo tanya sama Om dan Tante aja nanti.”“Apa sih, pakai main rahasia-rahasiaan segala,” gerutunya. Dia merasa disisihkan, tingkah orangtuanya dan Reksa yang dengan sengaja mengalihkan pembicaraan saat dia datang, membuatnya merasa tidak dianggap. Dan itu rasanya sangat tidak menyenangkan.“Kalau om dan tante nggak ngasih tahu sama lo, berarti itu memang bukan sesuatu yang lo perlu tahu.”Tentu saja,Anira tahu logika sederhana di balik hal semacam itu. Namun, menerimanya juga bukan hal yang mudah. Setelah kalimat itu, Anira tidak lagi bertanya tapi wajahnya masih masam. Ketika Re
“Maksudnya?”Anira sebenarnya sudah menyesal setelah dia mengatakan hal itu. Kenapa dia harus membuat suasana semakin kikuk.“Bukan apa-apa. Motor gue di sana. Duluan ya.”Untungnya, tempat parkir motor dan mobil berada tempat yang berbeda sehingga Anira bisa dengan mudah bisa menemukan alasan untuk menghindar. “Tunggu!” Tanpa ragu, Deril menahan lengan Anira. “Kamu belum jawab pertanyaanku.”“Gue salah bicara tadi. Lupakan saja.” Dia berusaha menarik tangannya.“Kamu kira aku sudah berubah pikiran? Semudah itu menerima kalau kamu menyukai laki-laki lain?” Deril tersenyum miris. “Ini sama sekali nggak mudah juga untukku.” “Ril, aku nggak mau dengar!” Di tengah kepanikannya, dia kembali mengubah panggilannya untuk pria itu. “Aku mau pulang.” Deril tersenyum, dia tidak tahu apakah dia sakit atau sudah gila. Rasanya ada kelegaan yang melebur dari dasar hatinya, ketika mendengar Anira memanggilnya seperti itu.Sedikit saja reaksi dari Anira, begitu berarti untuknya.“Aku Cuma ber
“Really?” “Ril, teman nggak akan menggoda temannya sampai seperti ini.” Deril terdiam, dia lalu tersenyum. “Sorry, aku kelepasan. Sepertinya kamu harus sering mengingatkan aku.” Ada yang aneh dengan pembicaraan mereka. Dan keduanya menyadari itu. Seketika tawa keduanya meledak. Antara konyol dan miris bercampur jadi satu. Apa ada orang yang berteman, melakukan pembicaraan seperti ini? Namun, ini adalah awal, Anira masih ingin meyakini itu. “Well, ternyata menahan diri itu benar-benar nggak mudah,” ujar Deril. “Aku semakin salut pada Reksa selama ini.” Selain itu juga menyadari kalau dia benar-benar kurang peka terhadap perasaan Reksa selama ini. Sebagai sahabat, dia juga menyadari perasaan Reksa. Namun, dia membiarkan Reksa terus-menerus berada di antara mereka berdua dulu. Sekarang, Deril bertanya-tanya apa ini semua adalah karma karena apa yang dia lakukan dulu? Dia merasakan bagaimana rasanya menjadi Reksa. Hanya bisa berteman dengan Anira tanpa bisa melewati batas sedi
BAB 39 Polos atau munafik? Sayangnya, Anira menyadari kalau dia tidak polos sama sekali.“Maaf, kalau aku salah bersikap tadi. Aku kelepasan. Tenang saja hal semacam itu tidak akan terjadi lagi.”“Apa benar segampang itu?” Zeva mendengus. “Kamu mau salah bicara berapa kali?”Anira tidak suka dipertanyakan seperti itu, dia ingin marah. Dia bisa saja marah, tapi dia tidak ingin melakukan itu.Zeva berhak marah, setelah apa yang dia lakukan. “Aku nggak tahu sampai mana kamu tahu tentang aku dan Deril, tapi kalau kamu tahu, kamu akan sadar, kemungkinan kami kembali bersama itu sangat kecil.” “Sangat kecil, ya?” Mata Zeva terlihat melankolis. “Sepertinya, Deril masih menolak percaya itu.”“Deril akan percaya suatu hari nanti.” Zeva mematikan keran wastafel itu, dengan sedikit kasar dia memercikkan sisa air yang ada di tangannya ke wajah Anira. “Dia akan! Kalau kamu berhenti memberinya harapan tentang pertemanan bullshit kalian!”Anira memejamkan matanya, menahan emosi yang mulai
Saat itu lampu merah, dan mobil itu berhenti tepat dekatnya. Tanpa sengaja, matanya memandang mobil itu, ketika membungkuk mengambil jas hujan dari dalam joknya.Itu mobil Deril! Kaca mobil pria itu tidak begitu gelap, dia masih bisa melihat siapa yang berada di dalam mobil. Zeva duduk di sebelah Deril di mobil itu, asyik bercerita. Kemudian dia melihat Deril tertawa juga.Hujan semakin deras, beberapa pengguna motor yang ada di depan dan di belakangnya sudah buru-buru mengenakan jas hujan dan melanjutkan kembali perjalanan, sebagian menepikan motornya dan memilih berteduh di halte busway yang ada dekat situ.Tangannya masih sibuk bergerak, berusaha memasang jas hujan itu di tubuhnya. Namun, matanya lekat menatap ke arah mobil itu.“Mbak, mbak berteduh dulu. Hujannya deras banget ini.” Salah seorang pria terssenyum memuakkan ke arah Anira. Beberapa pengendara lain yang mungkin adalah teman pria itu bersiul heboh menggoda.Sesama pengemudi yang juga perempuan hanya bisa mena
“Jadwal apa?” Anira melotot menatap sahabatnya itu. “Liburan apa?”“Kan tadi lo udah setuju.”Wajah Reksa terlihat kalem, sebelah alisnya terangkat. Meski mereka terpisah layar, tapi Anira seolah bisa merasakan ketidakpuasan pria itu. “Lo lupa? Tadi lo udah bilang iya.”“Astaga!”“Sisi mau ikut liburan!” Dengan polosnya anak itu berteriak semangat. Anira menepuk jidatnya. “Nggak semendadak ini juga. Kita belum merencanakan apa-apa.”“Tadi lo udah bilang iya.” Reksa mengingatkan. “Kalau ini penipuan, lo udah tertipu dari tadi dan masih belum sadar!” ujarnya memperingatkan.Dia sudah menduga kalau gadis itu akan kebingungan, dari responnya yang setengah hati tadi siang. Makanya dia sengaja mengingatkan kembali ke Anira di malam hari.Anira perlu mengerutkan keningnya, untuk mengingat apa yang dimaksud Reksa. Karena sibuk, dia bahkan lupa kalau tadi siang dia sempat berbicara dengan Reksa.“Lo tahu gue lagi nggak fokus.”“Gue udah mastiin lagi tadi, dan lo bilang iya. Gue udah pesa
“Lo ngomong apa!” Suara Anira terdengar semakin sengit. “Lo belum jawab pertanyaan gue.”“Gue bisa jawab pertanyaan lo, tapi apa lo bisa jawab pertanyaan gue?” Anira terdiam, tapi dia masih menatap Reksa keras kepala. “Apa?” Meski dia memasang wajah berani, tapi hatinya sedikit berdebar kuat. Dia tidak yakin sebenarnya. Namun dia tidak ingin kehilangan momentum.“Kenapa lo sampai semarah ini?”“....” Secepat itu, penyesalan muncul di hatinya. Kalau dia tahu ini adalah pertanyaan yang diajukan oleh Reksa, dia tidak akan dengan berani menjawab.“Karena lo bicara yang bukan-bukan.”“Yakin, Cuma karena itu?”“Hmm! Memangnya apa lagi?” Anira menjawab dengan sangat cepat. Rasanya bahkan sedikit terlalu cepat. Jawaban itu terdengar bagai alasan yang dibuat-buat.“Fine.” Reksa menatap Anira. “Gue Cuma mau tahu, apa lo masih punya perasaan ke Deril.”Berbanding terbalik dengan Anira yang mudah panik. Reksa adalah pria yang sangat tenang. Bahkan di tengah gugupnya pria itu masih sanga