“Aku mau punya dua anak. Satu laki-laki, satu perempuan. Kalau bisa anak pertamanya laki-laki aja, biar dia bisa melindungi adeknya.”Begitu kata Deril dulu, sewaktu mereka masih bersama. Anira bahkan masih ingat apa yang dia katakan saat itu.“Kamu kira hamil itu kaya mesan makanan? Bisa request?”Meski dia berkata seperti itu, tapi hatinya sangat berbunga-bunga waktu itu. Khayalannya sudah sangat jauh ke depan saat itu. Seolah apa yang mereka rencanakan itu sudah tercapai. Namun, satu kejadian memecahkan impian itu hingga tidak berbentuk.Anira tidak tahu, ia menangisi hubungan yang kandas, atau menangisi impiannya yang telah hancur tidak bersisa.“Ra?”Anira terpaku, dia menoleh ke arah sumber suara itu. “Kamu ngapain di sini?!” tanyanya panik. Suaranya masih terdengar serak karena tangis tadi. Namun, kebeadaan Deril di tempat itu membuatnya sangat terkejut. ,“kenapa kamu nangis?” Deril seolah tidak mendengarkan apa yang dikatakan Anira. Dia berjalan mendekati Anira dan me
“Apa Anira yang minta?”Deril mengerutkan keningnya. “Gue nggak tahu apa yang dibilang Velma sama lo tentang Anira, tapi Anira nggak seburuk dugaan lo.”“Oh, jadi Anira yang suruh.” Zeva bergumam paham. “Lo bener-bener lebih pilih Anira dibanding Velma. Sayang Anira masih nggak milih lo.”Sekarang Deril mulai menyesal, apakah mengajak Zeva adalah keputusan yang tepat? “Kalau gue lebih milih dia. Gue nggak akan pisah sama Anira sekarang.”“....”Ada sedikit kepuasan dalam hati Deril, ketika Zeva terdiam kehilangan kata-kata. “Jadi gimana? Ya ataut tidak?”“Jadi lo mau bilang kalau lo lebih milih Velma dibanding Anira?”“Sejak awal, gue nggak punya pilihan! Gue nggak bisa memilih orang lain selain keluarga gue!” Deril tidak tahu apa yang membuatnya mengatakan itu semua ke Zeva.Bahkan saat dia melamar Anira lima tahun lalu setelah kejadian itu. Dan saat dia berharap Anira kembali mempertimbangkan kembali padanya beberapa bulan lalu. Mindset-nya tetap sama.Dia akan berusaha membuat An
“Tunggu dulu! Ketopraknya udah mau jadi.” Reksa memegang tangan Anira, menahannya. Matanya masih menatap tajam laki-laki yang tadi menggoda Anira.Tetapi, dia sudah memasang badan melindungi Anira yang berada di belakangnya. Anira benar-benar cemas sekarang.Reksa bukanlah pria yang gampang tersulut emosinya. Bahkan pria itu cenderung tidak peduli dengan provokasi orang lain.Apa yang salah dengan Reksa hari ini? kenapa dia langsung marah? Apa karena dia kelelahan? “Reksa, please. Jangan cari masalah.” Dia takut, benar-benar takut.Orang yang dalam pengaruh alkohol, tidak akan bisa diajak bicara. Orang-orang ini bahkan mungkin sudah tidak kenal takut lagi.Reksa masih tenang, menatap kawanan itu. Sementara Anira melirik ke arah tukang ketoprak yang semakin mempercepat gerakannya.Pria tua yang berjualan ketoprak itu juga sangat gugup. Kenapa dia begitu sial, berpapasan dengan masalah malam ini?Dia hanya ingin mencari sesuap nasi, kenapa sangat sulit?“Tuh, cewek lo aja udah takut.
Anira tidak pernah berpikir kalau hatinya akan berdebar pada Reksa! Dia sudah menganggap pria itu seperti keluarganya sendiri.Kenapa tiba-tiba perasaannya berubah? Bagaimana dia harus mengahadapi Reksa dengan keadaan ini?“Ra, lo baik-baik aja, kan?”Karena Anira tidak kunjung kembali, Reksa menyusul gadis itu ke dapur, dan menemukannya berdiri di depan wastafel cucian piring, melamun sendirian. Anira nyaris melompat terkejut mendengar suara Reksa. “Lo bikin kaget!” protesnya dengan sedikit rasa bersalah.“Lo yang aneh. Ngapain melamun di dapur?” Reksa menghampiri Anira lebih dekat. “Muka lo merah. Lo masih terkejut karena kejadian tadi?”“Bukan itu. Gue Cuma ngerasa panas aja.” Anira melangkah mundur sembari menggeser piring yang berada di tepi meja, berharap tidak begitu terlihat kalau dia sedang menghindari Reksa.“Panas?”Reksa mengerutkan keningnya. Dia sama sekali tidak merasa panas.Anira mengibaskan tangan. “Lupakan! Mungkin perasaan gue aja, karena kita baru dari luar ru
“Mama bicara apa? Aku nggak paham.”Anira berjalan ke dalam rumah dengan langkah cepat berusaha menghindari ibunya itu.“Mama serius!” Dengan cepat ibunya menyusul dan menyamai langkah anaknya itu. “Sejak dulu, kamu selalu bilang mau nikah muda, tapi karena semua yang terjadi, semuanya jadi tertunda hingga sekarang.” Anira langsung memeluk ibunya. “Ma, semuanya sudah takdir. Manusia Cuma bisa berencana, tapi Tuhan yang mengatur. Kita nggak usah membicarakan tentang ini lagi ya?Belum sampai pembicaraan itu panjang, Anira langsung memotongnya di awal. Dia takut menangis lagi seperti saat kemarin bersama Deril.Hal itu ternyata jauh lebih melukainya daripada yang dia pikirkan selama ini. “Kamu mau sampai kapan menghindar kaya ginu? Ngomong sama mama aja nggak mau.”“Bukan nggak mau. Cuma nikah atau apapun itu, kan perlu pasangan Ma. Aku Sekarang masih belum punya pasangan.”“Nggak punya, atau belum mau membuka hati? Itu ada laki-laki berkualitas di sebelah kamu, malah dianggurin teru
“Lo yakin, berharap gue berani?”Deril tidak seyakin dulu menganggukkan kepalanya. “Gue nggak sebaik itu ternyata. Sorry, kalau selama ini gue terdengar munafik.”Reksa tertegun, dia tidak menyangka akan mendapatkan permintaan maaf, dan dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. “Lo nggak perlu minta maaf lagi.”“Gue takut, apalagi di saat hati Anira saat ini nggak tahu ada di siapa.” Deril berkata setengah jujur. “Tapi jangan biarkan gue atau siapapun menghentikan lo untuk mendekati Anira.”Ini adalah jawaban yang Deril temukan setelah dia berpikir sangat panjang. Kali ini, dia bisa dengan sepenuh hati mengatakannya.Dengan mudah menerima mungkin tidak akan pernah dia rasakan. Namun, setidaknya dia bisa bersaing dengan cara yang lebih sehat dengan seperti ini.“Kita bersaing secara adil, kan?”Deril menjulurkan tangannya ke arah Reksa.“Adil?” Reksa menatap tangan terjulur itu dengan pandangan yang sulit diartikan. “Hal seperti ini nggak pernah ada kata adil, Ril.”Itu adalah s
***“Pastikan lagi semuanya sudah kamu bawa.”Anira mengangguk bosan, dia menutup tas jinjingnya, lalu menghadap ibunya. “Aku udah bawa semuanya Ma,” jelasnya untuk yang kesekian kali.“Baju ganti? Alat mandi? Lotion nyamuk?”“Udah, Ma.” “Pepper spray? Pisau serba guna, udah semua?”Anira mengerutkan keningnya. “Ma, aku Cuma mau liburan ke puncak. Kami juga tidur di villa bukannya pergi camping.” Dia tidak mengerti, kenapa ibunya begitu khawatir sejak kemarin. “Tapi, kan nggak ada salahnya jaga-jaga.”“Mama tenang saja, ada Reksa dan Deril juga kan? Aku ke sana nggak Cuma sama perempuan kan.”Anira kadang mempertanyakan umurnya sendiri. Dia sudah hampir kepala tiga tapi dia masih tidak bisa membuat orangtuanya tenang ketika dia akan bepergian.Apa kedua orangtuanya yang terlalu overprotektif atau dia yang memang kurang meyakinkan. “Fine, fine. Mana tas kamu? Biar mama periksa sekali lagi. Obat-obatan udah masuk?”“Udah juga, Ma. Aku Cuma pergi dua hari. Besok sore udah samp
“Lo serius nanya?”Reksa menganggukkan kepalanya. “Lo bahkan pernah nggak mandi waktu kita berangkat ke Jogja, waktu itu kita bahkan naik pesawat dan lo santai aja.”Anira ingin sekali mencakar wajah polos Reksa saat mengatakan itu. Kenapa pria itu harus mengingatkan bagian memalukan itu padanya.“Beda!” gumamnya dongkol. Kalau dia tahu suatu saat hatinya akan berdetak untuk Reksa, dia juga tidak akan bersikap semaunya dulu.Di saat dia peduli pada penampilannya di depan Reksa, pria itu sudah terlalu terbiasa dengan sisi cueknya.“Beda di mananya?”Anira menahan tangannya yang hendak mengacak rambutnya frustrasi. “Kan lo sendiri tadi yang bilang kalau takut macet. Membayangkan gue belum mandi di tengah kemacetan, gue belum secuek itu!” gumamnya dongkol.Hilang sudah mood ambigu tadi, padahal di luar matahari baru saja terbit dan semburatnya sangat cantik menerpa wajah mereka. Namun, suasana di mobil itu sangat jauh dari kata manis.Anira menyesal tadi sudah terlalu banyak berpik
Ia hanya bisa menatap Velma tersenyum sembari menyantap makanannya. Zeva akhirnya memilih memendam sisanya di hatinya.Gadis itu memutuskan akan berusaha bersikap senetral mungkin. Keadaan sudah cukup ricuh tanpa ia harus ikut berkecipung di air keruh itu. Mereka hampir selesai makan, ketika ponsel Velma berbunyi. Ekspresi di wajah gadis itu menjadi semakin ceria, ketika melihat siapa yang mengiriminya pesan itu.“Kak Reksa nge-chat gue!” Ini semua bagai mimpi, sesuatu yang tidak akan berani dia harapkan lagi setelah kejadian beberapa tahun lalu. Untuk sejenak, Velma menjadi semakin yakin, kalau usahanya selama ini membuahkan hasil.Reksa pada akhirnya melunak dengan persistensinya dan bersedia membuka hati terhadapnya sekali lagi. Velma merasa dia nyaris melayang saat ini.Secepat kilat dia mengambil ponselnya dan membuka pesan yang dikirim Reksa itu. Namun, begitu matanya melihat, seluruh senyum di wajahnya lenyap seketika.Reksa [Sorry, Vel. Tadi gue nggak sempat bilang, gu
Setelah Deril mengatakan itu, ia menatap Velma lama, memastikan kalau adiknya itu tidak akan berteriak lagi barulah dia melepas mulut adiknya itu.Velma menarik napas serakah, lalu memukul Deril keras. “Kalau lo teriak, gue beneran bakal blacklist lo dari kantor ini!”Velma yang tadinya hendak membentak Deril jadi sedikit ciut juga mendengar ancaman kakaknya itu. “Reksa nggak pernah ngasih gue harapan? Tapi, dia juga nggak pernah punya pacar, Kak!”“Jadi, kalau Reksa punya pacar, lo bakal mundur?” selidik Deril tajam. Dalam hati, ia harap-harap cemas saat menanyakan itu. Hatinya condong menginginkan Velma akan menjawab ya.Ia benar-benar ingin adiknya itu berhenti terobsesi pada Reksa. Kemungkinan sahabatnya itu akan membalas perasaan Velma, lebih rendah daripada nol.“Nggak usah membicarakan hal yang belum terjadi!” elak Velma langsung. Nada suaranya meninggi tatapannya berubah murka.Saat itu, Deril menyadari kalau keputusannya menyuruh Reksa menyembunyikan hubungannya d
Deril mengangkat bahunya, seakan dia baik-baik saja. “Gue nggak pernah berpikir gitu. Lo yang terlalu overthinking. Mungkin lo ngerasa bersalah?”“Lo yang bilang, gue bisa ngejar Anira!” Reksa memperingatkan. “Jangan bilang, sekarang lo nyesal?” “Gue nggak nyesal!” Cepat Deril membantah. Namun, penyangkalan itu terjadi terlalu cepat, seolah dia hendak menutupi sesuatu. “Gue Cuma mau tahu, itu saja.”“Sekarang lo udah tahu, kan? Kayang gue bilang tadi, tidak usah sampaikan ini ke Anira dulu.”Setelah menyampaikan itu, Reksa langsung berbalik badan, mendahului Deril menjauh dari sana. Deril termenung, tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Perasaannya berkecamuk hebat. Sejujurnya, tidak ada pria yang lebiih dia percaya selain Reksa.Kalau memang dia tidak bisa bersama Anira, ia ingin gadis itu tetap berada di tangan yang tepat. Namun, merelakan wanita yang sudah bertahun-tahun mengisi hatinya bukan hal mudah ternyata. Melihat Reksa sudah berjalan semakin jauh, Deril
Reksa menghela napas panjang. Apa lagi memangnya yang bisa dia katakan. Ia hanya bisa membiarkan Anira melakukan sesukanya.Anira menahan senyumnya, cukup puas melihat ekspresi pasrah di wajah kekasihnya itu. Sekarang, ia tahu daripada malu-malu dan terus digoda Reksa. Bersikap sama beraninya dengan pria itu dan membalas Reksa, jauh lebih efetif ternyata.Dia bersandar di bahu pria itu, mengusap pipinya lembut, dan bahkan sesekali mengusap lengan Reksa lembut.Tentu saja, dia berani seperti ini, hanya ketika dia tahu kalau mereka sedang berada di jalan dan Reksa tidak bisa melakukan apapun untuk membalasnya.Dengan Anira terus menempel rapat mengganggu Reksa dan pria itu yang setengah hati berusaha menghindar, mereka akhirnya tiba di kantor.Begitu mobil itu terparkir rapi di parkiran, secepat kilat Anira langsung melepaskan sabuk pengamannya dan membuka pintu. “Kita sudah sampai!Anira tahu kalau Reksa tidak akan melepaskannya begitu saja begitu mobil itu berhenti. Jadi, dia h
Terlebih ketika dia mengatakan semua itu di depan orangtua Anira. Dia tidak ingin mendapatkan skor negatif di awal hubungannya dengan Anira.“Ckk!” Anira mendecakkan lidahnya kesal, kaerna tidak ada satu orang pun yang ada di pihaknya kali ini.“Perempuan jangan berdecak gitu! Nggak sopan!” Anira ingin sekali mengacak rambutnya frustrasi. Kedua orangtuanya cepat sekali berubah, termasuk mengontrol perilaku yang biasa juga dia tunjukan di depan Reksa, jadi terkesan kurang ‘perempuan’ di mata ibunya dan mungkin juga ayahnya.“Iya, Ma.” Tahu dia tidak akan pernah menang berdebat dengan ibunya, Anira langsung mengiyakan saja. Reksa menahan tawanya, dan memilih lanjut berbicara dengan ayah Anira. Hingga selesai sarapan. Saat makan, ia melirik Anira dan menemukan ujung bibir gadis itu masih cemberut, meski sembari menyantap makanannya.Reksa menyentuh lutut gadis itu lembut, di saat kedua orangtua Anira tidak memperhatikan dan menepuknya lembut. “Kalau kamu mau, kita bisa nai
“Bicara apa?” Anira mengerutkan keningnya. Namun, sebelum Reksa menjawab, dia langsung teringat. “Tadi, Deril sempat mau bicara, tapi nggak jadi. Terus tadi, dia juga nelepon tapi aku nggak tahu apa yang mau dia bicarakan.”“Kamu udah telepon balik?”Dengan polos Anira menggelengkan kepalanya. “Tapi, pesannya udah gue bales, tenang saja.” Reksa masih merasa mengganjal dengan perubahan panggilan Anira padanya yang terus berubah-ubah. Namun dia tidak lagi berkomentar. “Kamu tahu apa yang mau dibicarakan Deril?”Anira menggeleng. “Lo pikir, dia curiga tentang hubungan kita? Lo sih terlalu blak-blakan!” omelnya. “Ah, tapi mungkin juga nggak. Mungkin dia Cuma mau bilang ke kita kalau Velma menyusul ke Puncak?”Reksa tersenyum geli. “Kamu sebenarnya sedang berusaha meyakinkan siapa?”“Meyakinkan diri sendiri!” balas Anira gemas. “Hh, nggak tahulah. Gue bingung.”“Bingung kenapa?” “Nggak tahu, bingung saja.”Selain perubahan hubungan mereka, dan cara menghadapi Deril dia juga masih b
“Nggak!” Anira sedikit terkejut dengan insting tajam ayahnya. “Kalau terjadi sesuatu, aku nggak akan bilang not bad?”Ia tidak mengatakan apa-apa, kenapa ayahnya bisa menebak? Apa ada yang salah dengan ekspresi di wajahnya?Anira tidak ingin menceritakan kejadian buruk yang terjadi padanya. Menurutnya, semua itu sudah selesai ketika dia meninggalkan kantor polisi tadi. Kedua orangtuanya tahu hanya akan membuat mereka jadi ikut cemas dan sedih untuknya.“Kalau memang liburannya menyenangkan, kamu nggak akan berhenti di kalimat ‘not bad’ itu!” Ibu Anira ikut menimpali. Anira mengerutkan kening bingung, tapi hatinya sedikit ketar-ketir. Ternyata sulit juga memiliki orang tua yang sangat paham dengannya. Sedikit saja tingkahnya yang aneh tidak bisa lolos dari mata elang keduanya.“Well, puncak ramai banget karena akhir pekan. Jadi macetnya juga luar biasa!” keluhnya sambil menyandarkan kepala di pundak ibunya.Ibu Anira mengusap kepala anaknya lembut. “Dari dulu juga puncak memang g
“Velma?” Reksa ikut menoleh. “Ngapain dia di sini?” Anira menggelengkan kepala. “Mungkin gue yang salah lihat?”Reksa memicingkan matanya, kaca yang agak gelap memang menghalangi pandangannya. Karena penasaran, dia membuka kaca mobil, hingga dia bisa lebih mudah menatap keluar.“Itu benar-benar Velma.”“Mau tanya dulu?” Anira tetap mengusulkan walau dia enggan. Reksa menatap lagi, kemudian menggelengkan kepalanya. “Nggak perlu. Mungkin dia ada keperluan lain. Di sekitar sini.”“Yakin?”Anira masih melihat ke mobil itu, kalau melihat ekspresi di wajah Velma, dia tidak bisa seyakin Reksa. “Lo yakin dia nggak ada masalah?”Velma adalah manusia yang mengenakan perasaannya di wajahnya. Seluruh emosi yang dirasakan oleh gadis itu terteraa jelas di wajahnya.Kening berkerut, bibir cemberut, dan tangan yang terus-menerus menekan klakson hingga menambah suara bising di tengah kepadatan yang sudah cukup ramai itu.“Hmm, nggak usah terlalu dipikirkan.”“Menurut lo, apa mungkin Velma ke pun
Anira menunjuk dirinya sendiri. “Gue?” Dia lalu menoleh ke arah Zeva. Zeva, gadis itu hanya diam saja. Dia memperhatikan keduanya dengan seksama.“Oke, bicara saja kalau gitu.”Deril menatap Zeva. “Di sini?” Anira mengangguk. “Memangnya kenapa? Apa yang mau lo bicarakan sampai nggak boleh didengar orang?”Meski dia bertanya berani seperti itu, tapi jantungnya berdebar kencang. Dia tidak siap dengan pertanyaan yang akan ditanyakan Deril.“Kamu yakin?”Anira menguatkan hatinya, lalu menganggukkan kepalanya percaya diri. “Tentu saja. Memangnya mau bicara apa sih? Segala penuh rahasia gitu?”Deril menatap Zeva, berharap gadis itu akan peka dan memberikannya waktu berdua dengan Anira. Namun, Zeva memilih menatap ke arah lain dan bersikap seolah dia tidak menyadari itu. Setelah berpikir sejenak, Deril akhirnya mengurungkan niatnya. “Nanti saja kalau begitu.” Anira mengerutkan keningnya. Namun, dia tidak berani mendesak lagi. “Oke?” jawabnya ragu.Pria itu menatap Anira beberapa