“Lo serius nanya?”Reksa menganggukkan kepalanya. “Lo bahkan pernah nggak mandi waktu kita berangkat ke Jogja, waktu itu kita bahkan naik pesawat dan lo santai aja.”Anira ingin sekali mencakar wajah polos Reksa saat mengatakan itu. Kenapa pria itu harus mengingatkan bagian memalukan itu padanya.“Beda!” gumamnya dongkol. Kalau dia tahu suatu saat hatinya akan berdetak untuk Reksa, dia juga tidak akan bersikap semaunya dulu.Di saat dia peduli pada penampilannya di depan Reksa, pria itu sudah terlalu terbiasa dengan sisi cueknya.“Beda di mananya?”Anira menahan tangannya yang hendak mengacak rambutnya frustrasi. “Kan lo sendiri tadi yang bilang kalau takut macet. Membayangkan gue belum mandi di tengah kemacetan, gue belum secuek itu!” gumamnya dongkol.Hilang sudah mood ambigu tadi, padahal di luar matahari baru saja terbit dan semburatnya sangat cantik menerpa wajah mereka. Namun, suasana di mobil itu sangat jauh dari kata manis.Anira menyesal tadi sudah terlalu banyak berpik
Suara Deril itu mengagetkan Anira hingga dia melangkah maju tanpa peringatan. Saat itu tangan Reksa masih berada di leher Anira dan sedang memijatnya, jadi saat Anira menarik diri, tangan Reksa refleks berusaha menangkap.“Ahh!” Saat itu, tangan Reksa hanya berhasil menangkap sebagian kecil dari kulit leher Anira. dan meninggalkan bekas seperti cubitan di leher gadis itu. “Reksa sakit!” serunya keras.“Lo juga ngapain maju tiba-tiba. Mana gue tahu!” Reksa bergegas mendekati Anira, melihat bekas itu. “Mana coba gue lihat.”Deril dan Zeva yang baru saja datang hanya bisa menatap tanpa bisa ikut pembicaraan keduanya.Deril merasa seperti ada lingkaran yang tidak bisa dia tembus di antara dua orang itu. Mungkin, waktu memang mengubah banyak hal. Ini adalah konsekuensi yang harus dia terima.“Kalian berdua kaya lagi berbuat mesum!” celetuknya pedas.“Gue masih punya otak! Nggak akan macam-macam di depan publik!” balas Anira tidak mau kalah.“Berarti, kalau di tempat sepi kamu mau?”
Anira benar-benar mengumpulkan keberaniannya saat mengatakan itu. Mungkin dia terbawa suasana, atau dia hanya ingin mencoba untuk jujur sesekali, dia tidak tahu. Tetapi, sayangnya, saat melihat ekspresi di wajah Reksa, semua keberanian itu lenyap seketika.“Gue bercanda! Lo nggak usah serius gitu.”“Gue serius, Ra.” Anira terdiam. “Fine. Gue juga serius.”Tatapan Reksa semakin skeptis, dia merasa dipermainkan oleh wanita yang dia cintai itu. “Lo tahu nggak kalimat lo itu bisa bikin orang salah paham.”“Makanya gue Cuma ngomong ini sama lo. Nggak sama orang lain.”Anira paling tidak bisa ditantang, dan mundur. Dia akan memilih nekat maju, meski pada akirnya dia harus malu. “Susah ngomong serius sama lo.” Anira tertawa kecil, dia sedikit sedih juga. Dia benar-benar mencoba untuk jujur, tapi masih dikira bercanda. Mungkin, memang tidak seharusnya perasaan ini sampai ke Reksa.“Mungkin, lo harus menilai lagi, apa yang dimaksud dengan bicara serius.”Anira hanya bisa menjulurkan l
Suaranya menggema di seluruh rumah itu. Namun, mulutnya sudah dibekap kuat. Matanya bersinar panik. Lampu yang dia pegang sudah jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi yang cukup keras. Botol minuman bersoda yang ada di tangannya juga jatuh menggelinding entah kemana. Anira berusaha melepaskan diri, dia menarik, memukul, mencakar tangan yang menutupi mulutnya dan berusaha melepaskan diri. Namun, tangan itu jauh lebih kuat darinya.Dari tangan itu dia mencium aroma alkohol yang sangat kuat, hingga membuat perutnya mual.Apa dia akan mati di sini? Apa yang akan terjadi padanya? Siapapun, tolong dia!Nyaris putus asa, dia menggigit tangan orang itu. “Argh!” Sejenak tangan itu terlepas dari mulutnya. Anira tidak menyia-nyiakan kesempatan. “Tolong!!!” serunya sekeras yang dia bisa.Berharap siapapun di luar sana bisa mendengar suaranya. Sekarang, baru dia merasa kalau villa itu terlalu besar. Anira memijak kaki orang yang di belakangnya membuat orang itu berseru kesakitan sekal
“Gue Cuma ingat dia bau alkohol,” gumamnya cepat. Kemudian menggelengkan kepalanya kuat. “Aku nggak bisa ingat apa-apa lagi!”Dia ingin mengusir semua bayangan itu dari kepalanya. Dia tidak ingin ingat lagi apapun lagi.“Nggak usah dipaksa kalau kamu memang nggak ingat.” Deril memotong, tidak tega lagi melihat Anira tersiksa seperti itu.Reksa juga melihat kalau keadaan Anira sudah tidak kondusif. “Lo tenangin diri dulu, gue dan Deril akan masak makan malam.” Acara barbeque sudah tidak mungkin lagi mereka teruskan, tapi mereka masih perlu untuk makan malam.Zeva dan Anira mengangguk, membiarkan dua pria itu mengambil alih dapur untuk mereka.Anira menyandarkan tubuhnya ke belakang, sembari menatap langit-langit. Saat ini, rasanya setiap kali dia memejamkan matanya dia merasa seolah kembali ke kejadian tadi.“Padahal, gue baru mau memanas-manasi lo karena berhasil pergi sama Deril seharian ini. Tapi, lo malah kaya gini.”Anira tertegun, kemudian tertawa kecil mendengar perkataan Zev
Anira seketika menajamkan pendengarannya, ia tidak bisa menahan antisipasi dirinya akan jawaban yang diberikan Reksa.“Gue?” Reksa menunjuk dirinya sendiri. “Gue nggak gitu ingat, udah terlalu lama.” Zeva melirik Reksa kesal, pria ini benar-benar kaku. Apa dia tidak tahu, kalau dia sedang membantunya di sini.Mendadak, dia mengerti kenapa bahkan setelah sekian lama Anira dan Deril berpisah, Reksa masih berada di tempat yang sama. Tidak ada kemajuan yang berarti dengan hubungan mereka berdua.Selain karena Anira sendiri memang kurang peka, faktor terbesar terletak di Reksa sendiri. Pria itu terlalu kaku. Flirting dan caranya mendekati wanita terlalu ambigu.Jarak antara pertemanan dan cinta itu sendiri terasa sangat kabur.“Lo bener-bener nggak peka!” gerutu Zeva, bahkan ketika dia berniat membantu akan sulit kalau yang hendak dibantu tidak sadar sama sekali. “Di mana gue nggak pekanya?” Reksa terlihat sangat bingung.Kali ini, Deril yang tertawa geli. “Sudahlah. Percuma! Rek
“Haha! Nggak lucu!” Anira menjawab sinis. “Gue nggak akan tertipu lagi sama kata-kata kaya gitu.”Reksa mengerutkan kening. “Lo mikirin apa?” tanyanya heran. Hanya butuh beberapa saat untuknya menyadari kalau kalimatnya tadi telah membuat Anira salah paham. “Nggak mikir apa-apa, Cuma ngerasa kalau lelucon lo itu garing dan sama sekali nggak lucu.”“Gue nggak maksud macam-macam, kalau itu yang lo takut.” Ishak menjelaskan. “Gue Cuma bilang gue di sini sampai lo tidur.”Anira terlihat salah tingkah. “Oh,” jawabnya kikuk bersikap seolah itu bukanlah apa-apa. Tetapi itu terlambat. Reksa sudah menjadi penasaran. Ia tidak akan tinggal diam ketika menemukan sesuatu yang bisa dia gunakan untuk menggoda Anira. Ia mendekati gadis itu, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Anira.“Kasih tahu, lo mikir apa memangnya?” tanyanya menggoda.“Nggak mikir apa-apa!” Anira berkilah. “Lo yang kalimatnya terlalu ambigu sejak awal!” Mata Reksa berbinar jahil. “Oh, kalimat gue ambigu? Jadi, lo mikir ke a
“Laki-laki yang gue suka?” Anira menatap Reksa dengan mata melebar. “Lo ngapain nanya itu?”“Cuma mau tahu. Apa nggak boleh?”Anira mengangkat bahu, berpura-pura santai seolah pertanyaan itu tidak membuat detak jantungnya bertambah kencang. “Bukan gitu, gue Cuma heran aja. Lo mau cari jodoh buat gue?”“Gue mau daftar jadi satu!”Anira terdiam, matanya lekat menatap sahabatnya itu. “Sa, kalimat lo itu kalau di orang lain bisa bikin mereka salah paham, lo tahu!”Ia mencoba menenangkan hatinya yang nyaris tidak bisa dikontrol lagi. Ia bahkan merasa jantungnya hendak melompat dari rongganya. Reksa tidak tahu apa yang dia katakan! Pria itu hanya mencoba menenangkannya, agar tidak terus-menerus memikirkan kejadian tadi!Berkali-kali, kalimat itu coba dia tanamkan di kepalanya. Dia ulang-ulang bagai kaset rusak.“Salah paham kenapa?”“Salah paham, kalau lo lagi flirting!” Anira nyaris berteriak, ketika dia mengucapkan itu. Ia benar-benar frustrasi pada Reksa.“Akhirnya lo sadar juga!” Rek