“Gue Cuma ingat dia bau alkohol,” gumamnya cepat. Kemudian menggelengkan kepalanya kuat. “Aku nggak bisa ingat apa-apa lagi!”Dia ingin mengusir semua bayangan itu dari kepalanya. Dia tidak ingin ingat lagi apapun lagi.“Nggak usah dipaksa kalau kamu memang nggak ingat.” Deril memotong, tidak tega lagi melihat Anira tersiksa seperti itu.Reksa juga melihat kalau keadaan Anira sudah tidak kondusif. “Lo tenangin diri dulu, gue dan Deril akan masak makan malam.” Acara barbeque sudah tidak mungkin lagi mereka teruskan, tapi mereka masih perlu untuk makan malam.Zeva dan Anira mengangguk, membiarkan dua pria itu mengambil alih dapur untuk mereka.Anira menyandarkan tubuhnya ke belakang, sembari menatap langit-langit. Saat ini, rasanya setiap kali dia memejamkan matanya dia merasa seolah kembali ke kejadian tadi.“Padahal, gue baru mau memanas-manasi lo karena berhasil pergi sama Deril seharian ini. Tapi, lo malah kaya gini.”Anira tertegun, kemudian tertawa kecil mendengar perkataan Zev
Anira seketika menajamkan pendengarannya, ia tidak bisa menahan antisipasi dirinya akan jawaban yang diberikan Reksa.“Gue?” Reksa menunjuk dirinya sendiri. “Gue nggak gitu ingat, udah terlalu lama.” Zeva melirik Reksa kesal, pria ini benar-benar kaku. Apa dia tidak tahu, kalau dia sedang membantunya di sini.Mendadak, dia mengerti kenapa bahkan setelah sekian lama Anira dan Deril berpisah, Reksa masih berada di tempat yang sama. Tidak ada kemajuan yang berarti dengan hubungan mereka berdua.Selain karena Anira sendiri memang kurang peka, faktor terbesar terletak di Reksa sendiri. Pria itu terlalu kaku. Flirting dan caranya mendekati wanita terlalu ambigu.Jarak antara pertemanan dan cinta itu sendiri terasa sangat kabur.“Lo bener-bener nggak peka!” gerutu Zeva, bahkan ketika dia berniat membantu akan sulit kalau yang hendak dibantu tidak sadar sama sekali. “Di mana gue nggak pekanya?” Reksa terlihat sangat bingung.Kali ini, Deril yang tertawa geli. “Sudahlah. Percuma! Rek
“Haha! Nggak lucu!” Anira menjawab sinis. “Gue nggak akan tertipu lagi sama kata-kata kaya gitu.”Reksa mengerutkan kening. “Lo mikirin apa?” tanyanya heran. Hanya butuh beberapa saat untuknya menyadari kalau kalimatnya tadi telah membuat Anira salah paham. “Nggak mikir apa-apa, Cuma ngerasa kalau lelucon lo itu garing dan sama sekali nggak lucu.”“Gue nggak maksud macam-macam, kalau itu yang lo takut.” Ishak menjelaskan. “Gue Cuma bilang gue di sini sampai lo tidur.”Anira terlihat salah tingkah. “Oh,” jawabnya kikuk bersikap seolah itu bukanlah apa-apa. Tetapi itu terlambat. Reksa sudah menjadi penasaran. Ia tidak akan tinggal diam ketika menemukan sesuatu yang bisa dia gunakan untuk menggoda Anira. Ia mendekati gadis itu, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Anira.“Kasih tahu, lo mikir apa memangnya?” tanyanya menggoda.“Nggak mikir apa-apa!” Anira berkilah. “Lo yang kalimatnya terlalu ambigu sejak awal!” Mata Reksa berbinar jahil. “Oh, kalimat gue ambigu? Jadi, lo mikir ke a
“Laki-laki yang gue suka?” Anira menatap Reksa dengan mata melebar. “Lo ngapain nanya itu?”“Cuma mau tahu. Apa nggak boleh?”Anira mengangkat bahu, berpura-pura santai seolah pertanyaan itu tidak membuat detak jantungnya bertambah kencang. “Bukan gitu, gue Cuma heran aja. Lo mau cari jodoh buat gue?”“Gue mau daftar jadi satu!”Anira terdiam, matanya lekat menatap sahabatnya itu. “Sa, kalimat lo itu kalau di orang lain bisa bikin mereka salah paham, lo tahu!”Ia mencoba menenangkan hatinya yang nyaris tidak bisa dikontrol lagi. Ia bahkan merasa jantungnya hendak melompat dari rongganya. Reksa tidak tahu apa yang dia katakan! Pria itu hanya mencoba menenangkannya, agar tidak terus-menerus memikirkan kejadian tadi!Berkali-kali, kalimat itu coba dia tanamkan di kepalanya. Dia ulang-ulang bagai kaset rusak.“Salah paham kenapa?”“Salah paham, kalau lo lagi flirting!” Anira nyaris berteriak, ketika dia mengucapkan itu. Ia benar-benar frustrasi pada Reksa.“Akhirnya lo sadar juga!” Rek
“Sepercaya diri itu?” Anira ingin punya setengah saja, rasa percaya diri yang saat ini dimiliki oleh Reksa.Mungkin, hidupnya akan sedikit lebih baik?“Gue nggak akan bilang hal semacam ini kalau gue nggak percaya diri.” Seperti yang sudah Anira katakan, harganya sangat mahal.Reksa sebenarnya sudah sangat terbiasa dengan pertemanan ini. Kalau tadi Deril dan Anira tidak berpisah, mungkin dia akan menjadi sahabat Anira selamanya.Membiarkan anak Anira dan Deril memanggilnya dengan sebutan Om, dan menjalani sisa hidupnya dengan berdamai pada kenyataan.Namun, langit seolah bersimpati padanya. Semuanya bergeser dari apa yang sudah mereka perkirakan. Reksa hanya mencoba mendapatkan kesempatan untuk dirinya sendiri.“Reksa, gue bukan mau nolak lo, tapi ....” Anira menggantung kalimatnya, mencoba menyusun kalimatnya agar tidak menyakiti hati pria di depannya ini.“Kenapa harus ada kata tapi? Lo sendiri yang bilang kalau lo juga suka sama gue, kan?” Anira memukul punggung Reksa, kemudia
“Cuma itu pilihan yang gue punya?”Anira mengangguk dengan takut-takut. “Sorry.”Apa lagi memangnya yang bisa dia katakan saat ini? Hanya itu yang kata yang terpikirkan olehnya.“Kalau gue setuju, berapa lama lo akan menyembunyikan hal ini?”Seketika, Anira mendongak, dia tidak menyangka akan mendapat jawaban itu. “Lo setuju?”“Lo belum jawab pertanyaan gue!” Anira kembali menundukkan kepalanya. Pandang mata Rekas terlalu serius sekarang. Reksa menakutkan kalau sudah marah.Ia selalu jeri, berhadapan dengan Reksa yang seperti ini“Sampai Deril bisa menerima Zeva,” gumamnya lirih. “Atau siapapun perempuan yang nanti dipilihnya.”Reksa menghela napas panjang. Ia tidak bisa marah lama-lama dengan gadis ini. Selalu saja ada cara Anira untuk membuatnya melunak.“Sebenarnya, lo juga nggak perlu menutupi. Deril itu lebih tegar dari yang lo kira.”“Kejadian waktu di awal gue sampai di Jakarta buat gue ragu.” Anira terlihat skeptis. Apa yang dilakukan Deril di hari pertama dia tiba di Jak
“Akhir-akhir ini mungkin?” Anira berpikir sejenak, kemudian menggelengkan kepalanya.“Iya atau nggak? Lo nggak jelas banget sih!”Anira geli dengan reaksi Zeva. “Kenapa malah lo nggak sabaran? Harusnya lo senang kan? Orang yang lo anggap saingan ini sudah punya pacar sekarang?”Ia tidak pernah menganggap diri saingan Zeva. Meski Zeva mungkin tidak percaya, tapi Anira hingga saat ini belum pernah memikirkan kalau dia dan Deril punya kesempatan untuk kembali bersama.Bahkan sebelum dia menyadari perasaannya pada Reksa, dan masih merasa sakit, ketika mengetahui kalau Zeva dan Deril akan segera bertunangan.Tidak terlintas sedikit pun di benaknya untuk berusaha kembali dengan Deril.“Gue nggak takut saingan sama lo!” bantah Zeva! “Jangan mengalihkan pembicaraan, jawaban lo tadi sama sekali nggak jelas.”“Gue baru mau jawab, tapi lo motong pembicaraan terus!” “Ya udah! Gue nggak motong lagi! Buruan jawab!”Anira menggelengkan kepalanya. Zeva dan dirinya benar-benar tipe perempuan ya
“Dendam?” Mata Anira sedikit melebar. “Pertanyaan ini, gue juga selalu nanya ke diri gue sendiri.” Ia kemudian menggelengkan kepalanya.“Yakin? Kan dia ....”Zeva menghentikan ucapannya. Menyadari kalau dia baru saja menyentuh topik yang sensitif.“Gue marah, menyesal, menyalahkan dia, dan menyalahkan diri gue sendiri. Cuma ketika berpikir apakah gue akan melakukan hal yang sama ke dia.” Anira menggeleng. “Nggak gue nggak minat.” Hidupnya sudah cukup melelahkan tanpa semua itu. Dia tidak ingin menjalani kehidupannya dengan kebencian semacam itu.“Kalau Velma mengajak lo berdamai, dan berkata dia akan menyesali semua perbuatannya?”“Mungkin gue akan lega? Mungkin juga nggak peduli? Gue juga nggak tahu.” Untuk yang satu ini, Anira benar-benar tidak bisa menemukan jawabannya.Apakah dia masih mengharap maaf setelah semua waktu yang berlalu?“Lo nggak jelas.”Anira tertawa. “Gue juga masih sering nggak ngerti sama diri gue sendiri.”Zeva mengangguk. Ia bisa melihat kebenaran di kal
Ia hanya bisa menatap Velma tersenyum sembari menyantap makanannya. Zeva akhirnya memilih memendam sisanya di hatinya.Gadis itu memutuskan akan berusaha bersikap senetral mungkin. Keadaan sudah cukup ricuh tanpa ia harus ikut berkecipung di air keruh itu. Mereka hampir selesai makan, ketika ponsel Velma berbunyi. Ekspresi di wajah gadis itu menjadi semakin ceria, ketika melihat siapa yang mengiriminya pesan itu.“Kak Reksa nge-chat gue!” Ini semua bagai mimpi, sesuatu yang tidak akan berani dia harapkan lagi setelah kejadian beberapa tahun lalu. Untuk sejenak, Velma menjadi semakin yakin, kalau usahanya selama ini membuahkan hasil.Reksa pada akhirnya melunak dengan persistensinya dan bersedia membuka hati terhadapnya sekali lagi. Velma merasa dia nyaris melayang saat ini.Secepat kilat dia mengambil ponselnya dan membuka pesan yang dikirim Reksa itu. Namun, begitu matanya melihat, seluruh senyum di wajahnya lenyap seketika.Reksa [Sorry, Vel. Tadi gue nggak sempat bilang, gu
Setelah Deril mengatakan itu, ia menatap Velma lama, memastikan kalau adiknya itu tidak akan berteriak lagi barulah dia melepas mulut adiknya itu.Velma menarik napas serakah, lalu memukul Deril keras. “Kalau lo teriak, gue beneran bakal blacklist lo dari kantor ini!”Velma yang tadinya hendak membentak Deril jadi sedikit ciut juga mendengar ancaman kakaknya itu. “Reksa nggak pernah ngasih gue harapan? Tapi, dia juga nggak pernah punya pacar, Kak!”“Jadi, kalau Reksa punya pacar, lo bakal mundur?” selidik Deril tajam. Dalam hati, ia harap-harap cemas saat menanyakan itu. Hatinya condong menginginkan Velma akan menjawab ya.Ia benar-benar ingin adiknya itu berhenti terobsesi pada Reksa. Kemungkinan sahabatnya itu akan membalas perasaan Velma, lebih rendah daripada nol.“Nggak usah membicarakan hal yang belum terjadi!” elak Velma langsung. Nada suaranya meninggi tatapannya berubah murka.Saat itu, Deril menyadari kalau keputusannya menyuruh Reksa menyembunyikan hubungannya d
Deril mengangkat bahunya, seakan dia baik-baik saja. “Gue nggak pernah berpikir gitu. Lo yang terlalu overthinking. Mungkin lo ngerasa bersalah?”“Lo yang bilang, gue bisa ngejar Anira!” Reksa memperingatkan. “Jangan bilang, sekarang lo nyesal?” “Gue nggak nyesal!” Cepat Deril membantah. Namun, penyangkalan itu terjadi terlalu cepat, seolah dia hendak menutupi sesuatu. “Gue Cuma mau tahu, itu saja.”“Sekarang lo udah tahu, kan? Kayang gue bilang tadi, tidak usah sampaikan ini ke Anira dulu.”Setelah menyampaikan itu, Reksa langsung berbalik badan, mendahului Deril menjauh dari sana. Deril termenung, tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Perasaannya berkecamuk hebat. Sejujurnya, tidak ada pria yang lebiih dia percaya selain Reksa.Kalau memang dia tidak bisa bersama Anira, ia ingin gadis itu tetap berada di tangan yang tepat. Namun, merelakan wanita yang sudah bertahun-tahun mengisi hatinya bukan hal mudah ternyata. Melihat Reksa sudah berjalan semakin jauh, Deril
Reksa menghela napas panjang. Apa lagi memangnya yang bisa dia katakan. Ia hanya bisa membiarkan Anira melakukan sesukanya.Anira menahan senyumnya, cukup puas melihat ekspresi pasrah di wajah kekasihnya itu. Sekarang, ia tahu daripada malu-malu dan terus digoda Reksa. Bersikap sama beraninya dengan pria itu dan membalas Reksa, jauh lebih efetif ternyata.Dia bersandar di bahu pria itu, mengusap pipinya lembut, dan bahkan sesekali mengusap lengan Reksa lembut.Tentu saja, dia berani seperti ini, hanya ketika dia tahu kalau mereka sedang berada di jalan dan Reksa tidak bisa melakukan apapun untuk membalasnya.Dengan Anira terus menempel rapat mengganggu Reksa dan pria itu yang setengah hati berusaha menghindar, mereka akhirnya tiba di kantor.Begitu mobil itu terparkir rapi di parkiran, secepat kilat Anira langsung melepaskan sabuk pengamannya dan membuka pintu. “Kita sudah sampai!Anira tahu kalau Reksa tidak akan melepaskannya begitu saja begitu mobil itu berhenti. Jadi, dia h
Terlebih ketika dia mengatakan semua itu di depan orangtua Anira. Dia tidak ingin mendapatkan skor negatif di awal hubungannya dengan Anira.“Ckk!” Anira mendecakkan lidahnya kesal, kaerna tidak ada satu orang pun yang ada di pihaknya kali ini.“Perempuan jangan berdecak gitu! Nggak sopan!” Anira ingin sekali mengacak rambutnya frustrasi. Kedua orangtuanya cepat sekali berubah, termasuk mengontrol perilaku yang biasa juga dia tunjukan di depan Reksa, jadi terkesan kurang ‘perempuan’ di mata ibunya dan mungkin juga ayahnya.“Iya, Ma.” Tahu dia tidak akan pernah menang berdebat dengan ibunya, Anira langsung mengiyakan saja. Reksa menahan tawanya, dan memilih lanjut berbicara dengan ayah Anira. Hingga selesai sarapan. Saat makan, ia melirik Anira dan menemukan ujung bibir gadis itu masih cemberut, meski sembari menyantap makanannya.Reksa menyentuh lutut gadis itu lembut, di saat kedua orangtua Anira tidak memperhatikan dan menepuknya lembut. “Kalau kamu mau, kita bisa nai
“Bicara apa?” Anira mengerutkan keningnya. Namun, sebelum Reksa menjawab, dia langsung teringat. “Tadi, Deril sempat mau bicara, tapi nggak jadi. Terus tadi, dia juga nelepon tapi aku nggak tahu apa yang mau dia bicarakan.”“Kamu udah telepon balik?”Dengan polos Anira menggelengkan kepalanya. “Tapi, pesannya udah gue bales, tenang saja.” Reksa masih merasa mengganjal dengan perubahan panggilan Anira padanya yang terus berubah-ubah. Namun dia tidak lagi berkomentar. “Kamu tahu apa yang mau dibicarakan Deril?”Anira menggeleng. “Lo pikir, dia curiga tentang hubungan kita? Lo sih terlalu blak-blakan!” omelnya. “Ah, tapi mungkin juga nggak. Mungkin dia Cuma mau bilang ke kita kalau Velma menyusul ke Puncak?”Reksa tersenyum geli. “Kamu sebenarnya sedang berusaha meyakinkan siapa?”“Meyakinkan diri sendiri!” balas Anira gemas. “Hh, nggak tahulah. Gue bingung.”“Bingung kenapa?” “Nggak tahu, bingung saja.”Selain perubahan hubungan mereka, dan cara menghadapi Deril dia juga masih b
“Nggak!” Anira sedikit terkejut dengan insting tajam ayahnya. “Kalau terjadi sesuatu, aku nggak akan bilang not bad?”Ia tidak mengatakan apa-apa, kenapa ayahnya bisa menebak? Apa ada yang salah dengan ekspresi di wajahnya?Anira tidak ingin menceritakan kejadian buruk yang terjadi padanya. Menurutnya, semua itu sudah selesai ketika dia meninggalkan kantor polisi tadi. Kedua orangtuanya tahu hanya akan membuat mereka jadi ikut cemas dan sedih untuknya.“Kalau memang liburannya menyenangkan, kamu nggak akan berhenti di kalimat ‘not bad’ itu!” Ibu Anira ikut menimpali. Anira mengerutkan kening bingung, tapi hatinya sedikit ketar-ketir. Ternyata sulit juga memiliki orang tua yang sangat paham dengannya. Sedikit saja tingkahnya yang aneh tidak bisa lolos dari mata elang keduanya.“Well, puncak ramai banget karena akhir pekan. Jadi macetnya juga luar biasa!” keluhnya sambil menyandarkan kepala di pundak ibunya.Ibu Anira mengusap kepala anaknya lembut. “Dari dulu juga puncak memang g
“Velma?” Reksa ikut menoleh. “Ngapain dia di sini?” Anira menggelengkan kepala. “Mungkin gue yang salah lihat?”Reksa memicingkan matanya, kaca yang agak gelap memang menghalangi pandangannya. Karena penasaran, dia membuka kaca mobil, hingga dia bisa lebih mudah menatap keluar.“Itu benar-benar Velma.”“Mau tanya dulu?” Anira tetap mengusulkan walau dia enggan. Reksa menatap lagi, kemudian menggelengkan kepalanya. “Nggak perlu. Mungkin dia ada keperluan lain. Di sekitar sini.”“Yakin?”Anira masih melihat ke mobil itu, kalau melihat ekspresi di wajah Velma, dia tidak bisa seyakin Reksa. “Lo yakin dia nggak ada masalah?”Velma adalah manusia yang mengenakan perasaannya di wajahnya. Seluruh emosi yang dirasakan oleh gadis itu terteraa jelas di wajahnya.Kening berkerut, bibir cemberut, dan tangan yang terus-menerus menekan klakson hingga menambah suara bising di tengah kepadatan yang sudah cukup ramai itu.“Hmm, nggak usah terlalu dipikirkan.”“Menurut lo, apa mungkin Velma ke pun
Anira menunjuk dirinya sendiri. “Gue?” Dia lalu menoleh ke arah Zeva. Zeva, gadis itu hanya diam saja. Dia memperhatikan keduanya dengan seksama.“Oke, bicara saja kalau gitu.”Deril menatap Zeva. “Di sini?” Anira mengangguk. “Memangnya kenapa? Apa yang mau lo bicarakan sampai nggak boleh didengar orang?”Meski dia bertanya berani seperti itu, tapi jantungnya berdebar kencang. Dia tidak siap dengan pertanyaan yang akan ditanyakan Deril.“Kamu yakin?”Anira menguatkan hatinya, lalu menganggukkan kepalanya percaya diri. “Tentu saja. Memangnya mau bicara apa sih? Segala penuh rahasia gitu?”Deril menatap Zeva, berharap gadis itu akan peka dan memberikannya waktu berdua dengan Anira. Namun, Zeva memilih menatap ke arah lain dan bersikap seolah dia tidak menyadari itu. Setelah berpikir sejenak, Deril akhirnya mengurungkan niatnya. “Nanti saja kalau begitu.” Anira mengerutkan keningnya. Namun, dia tidak berani mendesak lagi. “Oke?” jawabnya ragu.Pria itu menatap Anira beberapa