Di ruang tamu saat itu selain mereka bertambah tiga orang lagi. Salah satunya adalah penjaga villa yang semalam mereka temui kemarin, ada satu orang pria paruh baya dan yang satunya berhasil membuat Anira kehilangan semua rona wajahnya.Blush tipis yang tadi dipolesnya tidak mampu menyembunyikannya.Reksa dan Deril langsung bangkit serentak hendak menghampiri Anira. Namun, Zeva cepat menahan Deril sehingga Reksa lebih dulu menghampiri Anira.“Kita duduk dulu,” ujar Reksa, sembari memegangi Anira dan membimbingnya untuk duduk.“Gue mau di sana!” gumamnya, menunjuk tempat yang paling jauh dari tamu mereka, di sebelah Zeva.Reksa tidak mengatakan apa-apa, dia mengantar Anira duduk, lalu menjaga gadis itu di sebelahnya di bagian arm rest dari sofa itu.Anira menatap pria berusia tiga puluh tahunan itu dengan pandangan benci bercampur takut. Meski dia tidak melihat dengan jelas orang yang melakukan itu padanya semalam, dia langsung tahu begitu melihat.Pandang mata orang itu menjadi sa
Anira langsung menepis tangan Reksa gugup. Suara Deril itu menyadarkannya. “Berhenti usap-usap! Gue bukan kucing!”Berbanding terbalik dengan kepankan Anira, Reksa malah menatap Deril dengan wajah tenang. “Aku pergi dulu kalau gitu,” ujarnya pada Anira.Anira buru-buru mencegah. “Sebentar dulu. Lo ingat kan yang gue bilang tadi? Nggak usah perpanjang lagi masalahnya kalau memang dia udah kapok.”“Kamu itu terlalu cepat lunak! Nggak lihat, dia tadi coba kabur? Apa ada itikad kalau dia menyesali perbuatannya?”“Ril, udahlah.” Anira menoleh ke Deril. “Toh, gue juga nggak kenapa-kenapa akhirnya.”Deril hendak mendebat Anira, mengajarkannya untuk jangan terlalu mudah luluh dan kasihan, tapi Reksa sudah menariknya pergi dari sana.“Tenang saja, aku tahu apa yang harus dilakukan.” Anira menatap dua pria itu dengan pandangan panik. Ia tahu keduanya protektif, dan itu membuatnya semakin cemas.“Tenang saja, mereka akan membereskan semuanya.”Anira menoleh ke Zeva. “Bagaimana kalau kita
“Diam kenapa? Lo ngapain sih?”“Biar, mereka bicara dulu.”Zeva mengerutkan kening. “Kalau lo mau cepat, mending lo langsung ke sana.”Ia tidak mengerti, kenapa sejak tadi gadis itu seperti sedang bermain petak umpet sendirian.“Gue malas, ditanya-tanyain.”Kalau malas ditanyai kenapa dia datang ke tempat ini? Zeva memendam tanya itu tapi dia tidak mengatakan apa yang dia pikirkan. Hanya melihat dengan pandangan tidak setuju.“Maaf, korbannya tidak bisa datang, tapi kami berhasil mengumpulkan bukti yang cukup.”Ia menyerahkan ponselnya, Zeva tahu di sana ada bukti rekaman dari CCTV villa tetangga yang memiliki tenaga listrik cadangan.Ada bukti yang sangat jelas, menunjukkan kalau pria itu keluar dan masuk villa mereka dengan sangat jelas.“Itu apa?” tanya Anira yang tidak sempat melihat rekaman itu tadi. Zeva perlahan menjelaskan.“Kalau semisal mau diperkarakan, harus ada keterangan langsung dari korban dan tanda tangan juga.”Anira mengerutkan kening, ia tidak tahu kalau t
“Reksa dengarin gue dulu!”Reksa mengabaikan Anira. Ia membuka pintu mobilnya, menaruh tangannya di kepala gadis itu agar dia tidak terantuk ketika masuk ke dalam. “Nanti aku dengerin kamu, sekarang masuk dulu!”Anira tidak punya pilihan selain masuk ke dalam. Reksa langsung menutup pintu mobil itu.“Zeva, lo di mobil Deril ya!”Zeva mengacungkan jempolnya setuju, kemudian dia menarik Deril yang marih menatap Reksa lekat. Berusaha menemukan jawaban dari sahabatnya itu.Namun, Reksa sudah lebih dulu masuk ke mobilnya sendiri dan melaju meninggalkan tempat itu.“Lo mau nunggu di sini sampai mereka hilang, atau mau nyusul sekarang?” tanya Zeva sinis.Deril bagai tersadar, dan akhirnya mempercepat langkahnya dan masuk juga ke dalam mobilnya sendiri.Sementara itu di dalam mobil Reksa, Anira sedang berusaha berbicara pada Reksa, tapi pria itu seperti menulikan telinganya dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.“Reksa! Jangan ngebut!”“Kamu diam dulu! Aku lagi marah sekarang!”Anira
“Flirting? Ini yang kamu bilang flirting?”Anira benar-benar gemas dengan wajah sok polos Reksa. “Oh, jadi kalau bukan flirting, apa namanya? Kaya gini cara lo memperlakukan semua teman perempuan lo?”Reksa tersenyum tipis. “Kamu nggak usah nanya, kamu tahu jawabannya.”Anira memutar bola matanya malas. Mau membantah juga dia tidak bisa. Itu adalah efek karena dia terlalu lama bersahabat dengan Reksa. Dia tahu manusia kaku itu bahkan tidak bisa berbicara manis pada perempuan selama ini.“Siapa yang tahu. Mungkin lo melakukannya saat nggak ada gue. Kan gue nggak mengawasi hidup lo 24 jam.”Reksa menghela napas panjang. Ia melaju meninggalkan tempat itu. Tidak menanggapi argumen Anira. Dia tahu, gadis itu berargumen hanya karena menolak kalah.“Terus, gimana sama perempuan yang lo maksud waktu itu?”Reksa melirik Anira. “Kamu serius nanya?”“Memangnya ada yang salah?” Anira mengangkat dagunya berani. Wajah gadis itu mengingatkannya pada kucing persia yang arogan dan penuh dengan per
Anira menunjuk dirinya sendiri. “Gue?” Dia lalu menoleh ke arah Zeva. Zeva, gadis itu hanya diam saja. Dia memperhatikan keduanya dengan seksama.“Oke, bicara saja kalau gitu.”Deril menatap Zeva. “Di sini?” Anira mengangguk. “Memangnya kenapa? Apa yang mau lo bicarakan sampai nggak boleh didengar orang?”Meski dia bertanya berani seperti itu, tapi jantungnya berdebar kencang. Dia tidak siap dengan pertanyaan yang akan ditanyakan Deril.“Kamu yakin?”Anira menguatkan hatinya, lalu menganggukkan kepalanya percaya diri. “Tentu saja. Memangnya mau bicara apa sih? Segala penuh rahasia gitu?”Deril menatap Zeva, berharap gadis itu akan peka dan memberikannya waktu berdua dengan Anira. Namun, Zeva memilih menatap ke arah lain dan bersikap seolah dia tidak menyadari itu. Setelah berpikir sejenak, Deril akhirnya mengurungkan niatnya. “Nanti saja kalau begitu.” Anira mengerutkan keningnya. Namun, dia tidak berani mendesak lagi. “Oke?” jawabnya ragu.Pria itu menatap Anira beberapa
“Velma?” Reksa ikut menoleh. “Ngapain dia di sini?” Anira menggelengkan kepala. “Mungkin gue yang salah lihat?”Reksa memicingkan matanya, kaca yang agak gelap memang menghalangi pandangannya. Karena penasaran, dia membuka kaca mobil, hingga dia bisa lebih mudah menatap keluar.“Itu benar-benar Velma.”“Mau tanya dulu?” Anira tetap mengusulkan walau dia enggan. Reksa menatap lagi, kemudian menggelengkan kepalanya. “Nggak perlu. Mungkin dia ada keperluan lain. Di sekitar sini.”“Yakin?”Anira masih melihat ke mobil itu, kalau melihat ekspresi di wajah Velma, dia tidak bisa seyakin Reksa. “Lo yakin dia nggak ada masalah?”Velma adalah manusia yang mengenakan perasaannya di wajahnya. Seluruh emosi yang dirasakan oleh gadis itu terteraa jelas di wajahnya.Kening berkerut, bibir cemberut, dan tangan yang terus-menerus menekan klakson hingga menambah suara bising di tengah kepadatan yang sudah cukup ramai itu.“Hmm, nggak usah terlalu dipikirkan.”“Menurut lo, apa mungkin Velma ke pun
“Nggak!” Anira sedikit terkejut dengan insting tajam ayahnya. “Kalau terjadi sesuatu, aku nggak akan bilang not bad?”Ia tidak mengatakan apa-apa, kenapa ayahnya bisa menebak? Apa ada yang salah dengan ekspresi di wajahnya?Anira tidak ingin menceritakan kejadian buruk yang terjadi padanya. Menurutnya, semua itu sudah selesai ketika dia meninggalkan kantor polisi tadi. Kedua orangtuanya tahu hanya akan membuat mereka jadi ikut cemas dan sedih untuknya.“Kalau memang liburannya menyenangkan, kamu nggak akan berhenti di kalimat ‘not bad’ itu!” Ibu Anira ikut menimpali. Anira mengerutkan kening bingung, tapi hatinya sedikit ketar-ketir. Ternyata sulit juga memiliki orang tua yang sangat paham dengannya. Sedikit saja tingkahnya yang aneh tidak bisa lolos dari mata elang keduanya.“Well, puncak ramai banget karena akhir pekan. Jadi macetnya juga luar biasa!” keluhnya sambil menyandarkan kepala di pundak ibunya.Ibu Anira mengusap kepala anaknya lembut. “Dari dulu juga puncak memang g