Anira menunjuk dirinya sendiri. “Gue?” Dia lalu menoleh ke arah Zeva. Zeva, gadis itu hanya diam saja. Dia memperhatikan keduanya dengan seksama.“Oke, bicara saja kalau gitu.”Deril menatap Zeva. “Di sini?” Anira mengangguk. “Memangnya kenapa? Apa yang mau lo bicarakan sampai nggak boleh didengar orang?”Meski dia bertanya berani seperti itu, tapi jantungnya berdebar kencang. Dia tidak siap dengan pertanyaan yang akan ditanyakan Deril.“Kamu yakin?”Anira menguatkan hatinya, lalu menganggukkan kepalanya percaya diri. “Tentu saja. Memangnya mau bicara apa sih? Segala penuh rahasia gitu?”Deril menatap Zeva, berharap gadis itu akan peka dan memberikannya waktu berdua dengan Anira. Namun, Zeva memilih menatap ke arah lain dan bersikap seolah dia tidak menyadari itu. Setelah berpikir sejenak, Deril akhirnya mengurungkan niatnya. “Nanti saja kalau begitu.” Anira mengerutkan keningnya. Namun, dia tidak berani mendesak lagi. “Oke?” jawabnya ragu.Pria itu menatap Anira beberapa
“Velma?” Reksa ikut menoleh. “Ngapain dia di sini?” Anira menggelengkan kepala. “Mungkin gue yang salah lihat?”Reksa memicingkan matanya, kaca yang agak gelap memang menghalangi pandangannya. Karena penasaran, dia membuka kaca mobil, hingga dia bisa lebih mudah menatap keluar.“Itu benar-benar Velma.”“Mau tanya dulu?” Anira tetap mengusulkan walau dia enggan. Reksa menatap lagi, kemudian menggelengkan kepalanya. “Nggak perlu. Mungkin dia ada keperluan lain. Di sekitar sini.”“Yakin?”Anira masih melihat ke mobil itu, kalau melihat ekspresi di wajah Velma, dia tidak bisa seyakin Reksa. “Lo yakin dia nggak ada masalah?”Velma adalah manusia yang mengenakan perasaannya di wajahnya. Seluruh emosi yang dirasakan oleh gadis itu terteraa jelas di wajahnya.Kening berkerut, bibir cemberut, dan tangan yang terus-menerus menekan klakson hingga menambah suara bising di tengah kepadatan yang sudah cukup ramai itu.“Hmm, nggak usah terlalu dipikirkan.”“Menurut lo, apa mungkin Velma ke pun
“Nggak!” Anira sedikit terkejut dengan insting tajam ayahnya. “Kalau terjadi sesuatu, aku nggak akan bilang not bad?”Ia tidak mengatakan apa-apa, kenapa ayahnya bisa menebak? Apa ada yang salah dengan ekspresi di wajahnya?Anira tidak ingin menceritakan kejadian buruk yang terjadi padanya. Menurutnya, semua itu sudah selesai ketika dia meninggalkan kantor polisi tadi. Kedua orangtuanya tahu hanya akan membuat mereka jadi ikut cemas dan sedih untuknya.“Kalau memang liburannya menyenangkan, kamu nggak akan berhenti di kalimat ‘not bad’ itu!” Ibu Anira ikut menimpali. Anira mengerutkan kening bingung, tapi hatinya sedikit ketar-ketir. Ternyata sulit juga memiliki orang tua yang sangat paham dengannya. Sedikit saja tingkahnya yang aneh tidak bisa lolos dari mata elang keduanya.“Well, puncak ramai banget karena akhir pekan. Jadi macetnya juga luar biasa!” keluhnya sambil menyandarkan kepala di pundak ibunya.Ibu Anira mengusap kepala anaknya lembut. “Dari dulu juga puncak memang g
“Bicara apa?” Anira mengerutkan keningnya. Namun, sebelum Reksa menjawab, dia langsung teringat. “Tadi, Deril sempat mau bicara, tapi nggak jadi. Terus tadi, dia juga nelepon tapi aku nggak tahu apa yang mau dia bicarakan.”“Kamu udah telepon balik?”Dengan polos Anira menggelengkan kepalanya. “Tapi, pesannya udah gue bales, tenang saja.” Reksa masih merasa mengganjal dengan perubahan panggilan Anira padanya yang terus berubah-ubah. Namun dia tidak lagi berkomentar. “Kamu tahu apa yang mau dibicarakan Deril?”Anira menggeleng. “Lo pikir, dia curiga tentang hubungan kita? Lo sih terlalu blak-blakan!” omelnya. “Ah, tapi mungkin juga nggak. Mungkin dia Cuma mau bilang ke kita kalau Velma menyusul ke Puncak?”Reksa tersenyum geli. “Kamu sebenarnya sedang berusaha meyakinkan siapa?”“Meyakinkan diri sendiri!” balas Anira gemas. “Hh, nggak tahulah. Gue bingung.”“Bingung kenapa?” “Nggak tahu, bingung saja.”Selain perubahan hubungan mereka, dan cara menghadapi Deril dia juga masih b
Terlebih ketika dia mengatakan semua itu di depan orangtua Anira. Dia tidak ingin mendapatkan skor negatif di awal hubungannya dengan Anira.“Ckk!” Anira mendecakkan lidahnya kesal, kaerna tidak ada satu orang pun yang ada di pihaknya kali ini.“Perempuan jangan berdecak gitu! Nggak sopan!” Anira ingin sekali mengacak rambutnya frustrasi. Kedua orangtuanya cepat sekali berubah, termasuk mengontrol perilaku yang biasa juga dia tunjukan di depan Reksa, jadi terkesan kurang ‘perempuan’ di mata ibunya dan mungkin juga ayahnya.“Iya, Ma.” Tahu dia tidak akan pernah menang berdebat dengan ibunya, Anira langsung mengiyakan saja. Reksa menahan tawanya, dan memilih lanjut berbicara dengan ayah Anira. Hingga selesai sarapan. Saat makan, ia melirik Anira dan menemukan ujung bibir gadis itu masih cemberut, meski sembari menyantap makanannya.Reksa menyentuh lutut gadis itu lembut, di saat kedua orangtua Anira tidak memperhatikan dan menepuknya lembut. “Kalau kamu mau, kita bisa nai
Reksa menghela napas panjang. Apa lagi memangnya yang bisa dia katakan. Ia hanya bisa membiarkan Anira melakukan sesukanya.Anira menahan senyumnya, cukup puas melihat ekspresi pasrah di wajah kekasihnya itu. Sekarang, ia tahu daripada malu-malu dan terus digoda Reksa. Bersikap sama beraninya dengan pria itu dan membalas Reksa, jauh lebih efetif ternyata.Dia bersandar di bahu pria itu, mengusap pipinya lembut, dan bahkan sesekali mengusap lengan Reksa lembut.Tentu saja, dia berani seperti ini, hanya ketika dia tahu kalau mereka sedang berada di jalan dan Reksa tidak bisa melakukan apapun untuk membalasnya.Dengan Anira terus menempel rapat mengganggu Reksa dan pria itu yang setengah hati berusaha menghindar, mereka akhirnya tiba di kantor.Begitu mobil itu terparkir rapi di parkiran, secepat kilat Anira langsung melepaskan sabuk pengamannya dan membuka pintu. “Kita sudah sampai!Anira tahu kalau Reksa tidak akan melepaskannya begitu saja begitu mobil itu berhenti. Jadi, dia h
Deril mengangkat bahunya, seakan dia baik-baik saja. “Gue nggak pernah berpikir gitu. Lo yang terlalu overthinking. Mungkin lo ngerasa bersalah?”“Lo yang bilang, gue bisa ngejar Anira!” Reksa memperingatkan. “Jangan bilang, sekarang lo nyesal?” “Gue nggak nyesal!” Cepat Deril membantah. Namun, penyangkalan itu terjadi terlalu cepat, seolah dia hendak menutupi sesuatu. “Gue Cuma mau tahu, itu saja.”“Sekarang lo udah tahu, kan? Kayang gue bilang tadi, tidak usah sampaikan ini ke Anira dulu.”Setelah menyampaikan itu, Reksa langsung berbalik badan, mendahului Deril menjauh dari sana. Deril termenung, tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Perasaannya berkecamuk hebat. Sejujurnya, tidak ada pria yang lebiih dia percaya selain Reksa.Kalau memang dia tidak bisa bersama Anira, ia ingin gadis itu tetap berada di tangan yang tepat. Namun, merelakan wanita yang sudah bertahun-tahun mengisi hatinya bukan hal mudah ternyata. Melihat Reksa sudah berjalan semakin jauh, Deril
Setelah Deril mengatakan itu, ia menatap Velma lama, memastikan kalau adiknya itu tidak akan berteriak lagi barulah dia melepas mulut adiknya itu.Velma menarik napas serakah, lalu memukul Deril keras. “Kalau lo teriak, gue beneran bakal blacklist lo dari kantor ini!”Velma yang tadinya hendak membentak Deril jadi sedikit ciut juga mendengar ancaman kakaknya itu. “Reksa nggak pernah ngasih gue harapan? Tapi, dia juga nggak pernah punya pacar, Kak!”“Jadi, kalau Reksa punya pacar, lo bakal mundur?” selidik Deril tajam. Dalam hati, ia harap-harap cemas saat menanyakan itu. Hatinya condong menginginkan Velma akan menjawab ya.Ia benar-benar ingin adiknya itu berhenti terobsesi pada Reksa. Kemungkinan sahabatnya itu akan membalas perasaan Velma, lebih rendah daripada nol.“Nggak usah membicarakan hal yang belum terjadi!” elak Velma langsung. Nada suaranya meninggi tatapannya berubah murka.Saat itu, Deril menyadari kalau keputusannya menyuruh Reksa menyembunyikan hubungannya d