BAB 39 Polos atau munafik? Sayangnya, Anira menyadari kalau dia tidak polos sama sekali.“Maaf, kalau aku salah bersikap tadi. Aku kelepasan. Tenang saja hal semacam itu tidak akan terjadi lagi.”“Apa benar segampang itu?” Zeva mendengus. “Kamu mau salah bicara berapa kali?”Anira tidak suka dipertanyakan seperti itu, dia ingin marah. Dia bisa saja marah, tapi dia tidak ingin melakukan itu.Zeva berhak marah, setelah apa yang dia lakukan. “Aku nggak tahu sampai mana kamu tahu tentang aku dan Deril, tapi kalau kamu tahu, kamu akan sadar, kemungkinan kami kembali bersama itu sangat kecil.” “Sangat kecil, ya?” Mata Zeva terlihat melankolis. “Sepertinya, Deril masih menolak percaya itu.”“Deril akan percaya suatu hari nanti.” Zeva mematikan keran wastafel itu, dengan sedikit kasar dia memercikkan sisa air yang ada di tangannya ke wajah Anira. “Dia akan! Kalau kamu berhenti memberinya harapan tentang pertemanan bullshit kalian!”Anira memejamkan matanya, menahan emosi yang mulai
Saat itu lampu merah, dan mobil itu berhenti tepat dekatnya. Tanpa sengaja, matanya memandang mobil itu, ketika membungkuk mengambil jas hujan dari dalam joknya.Itu mobil Deril! Kaca mobil pria itu tidak begitu gelap, dia masih bisa melihat siapa yang berada di dalam mobil. Zeva duduk di sebelah Deril di mobil itu, asyik bercerita. Kemudian dia melihat Deril tertawa juga.Hujan semakin deras, beberapa pengguna motor yang ada di depan dan di belakangnya sudah buru-buru mengenakan jas hujan dan melanjutkan kembali perjalanan, sebagian menepikan motornya dan memilih berteduh di halte busway yang ada dekat situ.Tangannya masih sibuk bergerak, berusaha memasang jas hujan itu di tubuhnya. Namun, matanya lekat menatap ke arah mobil itu.“Mbak, mbak berteduh dulu. Hujannya deras banget ini.” Salah seorang pria terssenyum memuakkan ke arah Anira. Beberapa pengendara lain yang mungkin adalah teman pria itu bersiul heboh menggoda.Sesama pengemudi yang juga perempuan hanya bisa mena
“Jadwal apa?” Anira melotot menatap sahabatnya itu. “Liburan apa?”“Kan tadi lo udah setuju.”Wajah Reksa terlihat kalem, sebelah alisnya terangkat. Meski mereka terpisah layar, tapi Anira seolah bisa merasakan ketidakpuasan pria itu. “Lo lupa? Tadi lo udah bilang iya.”“Astaga!”“Sisi mau ikut liburan!” Dengan polosnya anak itu berteriak semangat. Anira menepuk jidatnya. “Nggak semendadak ini juga. Kita belum merencanakan apa-apa.”“Tadi lo udah bilang iya.” Reksa mengingatkan. “Kalau ini penipuan, lo udah tertipu dari tadi dan masih belum sadar!” ujarnya memperingatkan.Dia sudah menduga kalau gadis itu akan kebingungan, dari responnya yang setengah hati tadi siang. Makanya dia sengaja mengingatkan kembali ke Anira di malam hari.Anira perlu mengerutkan keningnya, untuk mengingat apa yang dimaksud Reksa. Karena sibuk, dia bahkan lupa kalau tadi siang dia sempat berbicara dengan Reksa.“Lo tahu gue lagi nggak fokus.”“Gue udah mastiin lagi tadi, dan lo bilang iya. Gue udah pesa
“Lo ngomong apa!” Suara Anira terdengar semakin sengit. “Lo belum jawab pertanyaan gue.”“Gue bisa jawab pertanyaan lo, tapi apa lo bisa jawab pertanyaan gue?” Anira terdiam, tapi dia masih menatap Reksa keras kepala. “Apa?” Meski dia memasang wajah berani, tapi hatinya sedikit berdebar kuat. Dia tidak yakin sebenarnya. Namun dia tidak ingin kehilangan momentum.“Kenapa lo sampai semarah ini?”“....” Secepat itu, penyesalan muncul di hatinya. Kalau dia tahu ini adalah pertanyaan yang diajukan oleh Reksa, dia tidak akan dengan berani menjawab.“Karena lo bicara yang bukan-bukan.”“Yakin, Cuma karena itu?”“Hmm! Memangnya apa lagi?” Anira menjawab dengan sangat cepat. Rasanya bahkan sedikit terlalu cepat. Jawaban itu terdengar bagai alasan yang dibuat-buat.“Fine.” Reksa menatap Anira. “Gue Cuma mau tahu, apa lo masih punya perasaan ke Deril.”Berbanding terbalik dengan Anira yang mudah panik. Reksa adalah pria yang sangat tenang. Bahkan di tengah gugupnya pria itu masih sanga
“Aku mau punya dua anak. Satu laki-laki, satu perempuan. Kalau bisa anak pertamanya laki-laki aja, biar dia bisa melindungi adeknya.”Begitu kata Deril dulu, sewaktu mereka masih bersama. Anira bahkan masih ingat apa yang dia katakan saat itu.“Kamu kira hamil itu kaya mesan makanan? Bisa request?”Meski dia berkata seperti itu, tapi hatinya sangat berbunga-bunga waktu itu. Khayalannya sudah sangat jauh ke depan saat itu. Seolah apa yang mereka rencanakan itu sudah tercapai. Namun, satu kejadian memecahkan impian itu hingga tidak berbentuk.Anira tidak tahu, ia menangisi hubungan yang kandas, atau menangisi impiannya yang telah hancur tidak bersisa.“Ra?”Anira terpaku, dia menoleh ke arah sumber suara itu. “Kamu ngapain di sini?!” tanyanya panik. Suaranya masih terdengar serak karena tangis tadi. Namun, kebeadaan Deril di tempat itu membuatnya sangat terkejut. ,“kenapa kamu nangis?” Deril seolah tidak mendengarkan apa yang dikatakan Anira. Dia berjalan mendekati Anira dan me
“Apa Anira yang minta?”Deril mengerutkan keningnya. “Gue nggak tahu apa yang dibilang Velma sama lo tentang Anira, tapi Anira nggak seburuk dugaan lo.”“Oh, jadi Anira yang suruh.” Zeva bergumam paham. “Lo bener-bener lebih pilih Anira dibanding Velma. Sayang Anira masih nggak milih lo.”Sekarang Deril mulai menyesal, apakah mengajak Zeva adalah keputusan yang tepat? “Kalau gue lebih milih dia. Gue nggak akan pisah sama Anira sekarang.”“....”Ada sedikit kepuasan dalam hati Deril, ketika Zeva terdiam kehilangan kata-kata. “Jadi gimana? Ya ataut tidak?”“Jadi lo mau bilang kalau lo lebih milih Velma dibanding Anira?”“Sejak awal, gue nggak punya pilihan! Gue nggak bisa memilih orang lain selain keluarga gue!” Deril tidak tahu apa yang membuatnya mengatakan itu semua ke Zeva.Bahkan saat dia melamar Anira lima tahun lalu setelah kejadian itu. Dan saat dia berharap Anira kembali mempertimbangkan kembali padanya beberapa bulan lalu. Mindset-nya tetap sama.Dia akan berusaha membuat An
“Tunggu dulu! Ketopraknya udah mau jadi.” Reksa memegang tangan Anira, menahannya. Matanya masih menatap tajam laki-laki yang tadi menggoda Anira.Tetapi, dia sudah memasang badan melindungi Anira yang berada di belakangnya. Anira benar-benar cemas sekarang.Reksa bukanlah pria yang gampang tersulut emosinya. Bahkan pria itu cenderung tidak peduli dengan provokasi orang lain.Apa yang salah dengan Reksa hari ini? kenapa dia langsung marah? Apa karena dia kelelahan? “Reksa, please. Jangan cari masalah.” Dia takut, benar-benar takut.Orang yang dalam pengaruh alkohol, tidak akan bisa diajak bicara. Orang-orang ini bahkan mungkin sudah tidak kenal takut lagi.Reksa masih tenang, menatap kawanan itu. Sementara Anira melirik ke arah tukang ketoprak yang semakin mempercepat gerakannya.Pria tua yang berjualan ketoprak itu juga sangat gugup. Kenapa dia begitu sial, berpapasan dengan masalah malam ini?Dia hanya ingin mencari sesuap nasi, kenapa sangat sulit?“Tuh, cewek lo aja udah takut.
Anira tidak pernah berpikir kalau hatinya akan berdebar pada Reksa! Dia sudah menganggap pria itu seperti keluarganya sendiri.Kenapa tiba-tiba perasaannya berubah? Bagaimana dia harus mengahadapi Reksa dengan keadaan ini?“Ra, lo baik-baik aja, kan?”Karena Anira tidak kunjung kembali, Reksa menyusul gadis itu ke dapur, dan menemukannya berdiri di depan wastafel cucian piring, melamun sendirian. Anira nyaris melompat terkejut mendengar suara Reksa. “Lo bikin kaget!” protesnya dengan sedikit rasa bersalah.“Lo yang aneh. Ngapain melamun di dapur?” Reksa menghampiri Anira lebih dekat. “Muka lo merah. Lo masih terkejut karena kejadian tadi?”“Bukan itu. Gue Cuma ngerasa panas aja.” Anira melangkah mundur sembari menggeser piring yang berada di tepi meja, berharap tidak begitu terlihat kalau dia sedang menghindari Reksa.“Panas?”Reksa mengerutkan keningnya. Dia sama sekali tidak merasa panas.Anira mengibaskan tangan. “Lupakan! Mungkin perasaan gue aja, karena kita baru dari luar ru