“Maksudnya?”Anira sebenarnya sudah menyesal setelah dia mengatakan hal itu. Kenapa dia harus membuat suasana semakin kikuk.“Bukan apa-apa. Motor gue di sana. Duluan ya.”Untungnya, tempat parkir motor dan mobil berada tempat yang berbeda sehingga Anira bisa dengan mudah bisa menemukan alasan untuk menghindar. “Tunggu!” Tanpa ragu, Deril menahan lengan Anira. “Kamu belum jawab pertanyaanku.”“Gue salah bicara tadi. Lupakan saja.” Dia berusaha menarik tangannya.“Kamu kira aku sudah berubah pikiran? Semudah itu menerima kalau kamu menyukai laki-laki lain?” Deril tersenyum miris. “Ini sama sekali nggak mudah juga untukku.” “Ril, aku nggak mau dengar!” Di tengah kepanikannya, dia kembali mengubah panggilannya untuk pria itu. “Aku mau pulang.” Deril tersenyum, dia tidak tahu apakah dia sakit atau sudah gila. Rasanya ada kelegaan yang melebur dari dasar hatinya, ketika mendengar Anira memanggilnya seperti itu.Sedikit saja reaksi dari Anira, begitu berarti untuknya.“Aku Cuma ber
“Really?” “Ril, teman nggak akan menggoda temannya sampai seperti ini.” Deril terdiam, dia lalu tersenyum. “Sorry, aku kelepasan. Sepertinya kamu harus sering mengingatkan aku.” Ada yang aneh dengan pembicaraan mereka. Dan keduanya menyadari itu. Seketika tawa keduanya meledak. Antara konyol dan miris bercampur jadi satu. Apa ada orang yang berteman, melakukan pembicaraan seperti ini? Namun, ini adalah awal, Anira masih ingin meyakini itu. “Well, ternyata menahan diri itu benar-benar nggak mudah,” ujar Deril. “Aku semakin salut pada Reksa selama ini.” Selain itu juga menyadari kalau dia benar-benar kurang peka terhadap perasaan Reksa selama ini. Sebagai sahabat, dia juga menyadari perasaan Reksa. Namun, dia membiarkan Reksa terus-menerus berada di antara mereka berdua dulu. Sekarang, Deril bertanya-tanya apa ini semua adalah karma karena apa yang dia lakukan dulu? Dia merasakan bagaimana rasanya menjadi Reksa. Hanya bisa berteman dengan Anira tanpa bisa melewati batas sedi
BAB 39 Polos atau munafik? Sayangnya, Anira menyadari kalau dia tidak polos sama sekali.“Maaf, kalau aku salah bersikap tadi. Aku kelepasan. Tenang saja hal semacam itu tidak akan terjadi lagi.”“Apa benar segampang itu?” Zeva mendengus. “Kamu mau salah bicara berapa kali?”Anira tidak suka dipertanyakan seperti itu, dia ingin marah. Dia bisa saja marah, tapi dia tidak ingin melakukan itu.Zeva berhak marah, setelah apa yang dia lakukan. “Aku nggak tahu sampai mana kamu tahu tentang aku dan Deril, tapi kalau kamu tahu, kamu akan sadar, kemungkinan kami kembali bersama itu sangat kecil.” “Sangat kecil, ya?” Mata Zeva terlihat melankolis. “Sepertinya, Deril masih menolak percaya itu.”“Deril akan percaya suatu hari nanti.” Zeva mematikan keran wastafel itu, dengan sedikit kasar dia memercikkan sisa air yang ada di tangannya ke wajah Anira. “Dia akan! Kalau kamu berhenti memberinya harapan tentang pertemanan bullshit kalian!”Anira memejamkan matanya, menahan emosi yang mulai
Saat itu lampu merah, dan mobil itu berhenti tepat dekatnya. Tanpa sengaja, matanya memandang mobil itu, ketika membungkuk mengambil jas hujan dari dalam joknya.Itu mobil Deril! Kaca mobil pria itu tidak begitu gelap, dia masih bisa melihat siapa yang berada di dalam mobil. Zeva duduk di sebelah Deril di mobil itu, asyik bercerita. Kemudian dia melihat Deril tertawa juga.Hujan semakin deras, beberapa pengguna motor yang ada di depan dan di belakangnya sudah buru-buru mengenakan jas hujan dan melanjutkan kembali perjalanan, sebagian menepikan motornya dan memilih berteduh di halte busway yang ada dekat situ.Tangannya masih sibuk bergerak, berusaha memasang jas hujan itu di tubuhnya. Namun, matanya lekat menatap ke arah mobil itu.“Mbak, mbak berteduh dulu. Hujannya deras banget ini.” Salah seorang pria terssenyum memuakkan ke arah Anira. Beberapa pengendara lain yang mungkin adalah teman pria itu bersiul heboh menggoda.Sesama pengemudi yang juga perempuan hanya bisa mena
“Jadwal apa?” Anira melotot menatap sahabatnya itu. “Liburan apa?”“Kan tadi lo udah setuju.”Wajah Reksa terlihat kalem, sebelah alisnya terangkat. Meski mereka terpisah layar, tapi Anira seolah bisa merasakan ketidakpuasan pria itu. “Lo lupa? Tadi lo udah bilang iya.”“Astaga!”“Sisi mau ikut liburan!” Dengan polosnya anak itu berteriak semangat. Anira menepuk jidatnya. “Nggak semendadak ini juga. Kita belum merencanakan apa-apa.”“Tadi lo udah bilang iya.” Reksa mengingatkan. “Kalau ini penipuan, lo udah tertipu dari tadi dan masih belum sadar!” ujarnya memperingatkan.Dia sudah menduga kalau gadis itu akan kebingungan, dari responnya yang setengah hati tadi siang. Makanya dia sengaja mengingatkan kembali ke Anira di malam hari.Anira perlu mengerutkan keningnya, untuk mengingat apa yang dimaksud Reksa. Karena sibuk, dia bahkan lupa kalau tadi siang dia sempat berbicara dengan Reksa.“Lo tahu gue lagi nggak fokus.”“Gue udah mastiin lagi tadi, dan lo bilang iya. Gue udah pesa
“Lo ngomong apa!” Suara Anira terdengar semakin sengit. “Lo belum jawab pertanyaan gue.”“Gue bisa jawab pertanyaan lo, tapi apa lo bisa jawab pertanyaan gue?” Anira terdiam, tapi dia masih menatap Reksa keras kepala. “Apa?” Meski dia memasang wajah berani, tapi hatinya sedikit berdebar kuat. Dia tidak yakin sebenarnya. Namun dia tidak ingin kehilangan momentum.“Kenapa lo sampai semarah ini?”“....” Secepat itu, penyesalan muncul di hatinya. Kalau dia tahu ini adalah pertanyaan yang diajukan oleh Reksa, dia tidak akan dengan berani menjawab.“Karena lo bicara yang bukan-bukan.”“Yakin, Cuma karena itu?”“Hmm! Memangnya apa lagi?” Anira menjawab dengan sangat cepat. Rasanya bahkan sedikit terlalu cepat. Jawaban itu terdengar bagai alasan yang dibuat-buat.“Fine.” Reksa menatap Anira. “Gue Cuma mau tahu, apa lo masih punya perasaan ke Deril.”Berbanding terbalik dengan Anira yang mudah panik. Reksa adalah pria yang sangat tenang. Bahkan di tengah gugupnya pria itu masih sanga
“Aku mau punya dua anak. Satu laki-laki, satu perempuan. Kalau bisa anak pertamanya laki-laki aja, biar dia bisa melindungi adeknya.”Begitu kata Deril dulu, sewaktu mereka masih bersama. Anira bahkan masih ingat apa yang dia katakan saat itu.“Kamu kira hamil itu kaya mesan makanan? Bisa request?”Meski dia berkata seperti itu, tapi hatinya sangat berbunga-bunga waktu itu. Khayalannya sudah sangat jauh ke depan saat itu. Seolah apa yang mereka rencanakan itu sudah tercapai. Namun, satu kejadian memecahkan impian itu hingga tidak berbentuk.Anira tidak tahu, ia menangisi hubungan yang kandas, atau menangisi impiannya yang telah hancur tidak bersisa.“Ra?”Anira terpaku, dia menoleh ke arah sumber suara itu. “Kamu ngapain di sini?!” tanyanya panik. Suaranya masih terdengar serak karena tangis tadi. Namun, kebeadaan Deril di tempat itu membuatnya sangat terkejut. ,“kenapa kamu nangis?” Deril seolah tidak mendengarkan apa yang dikatakan Anira. Dia berjalan mendekati Anira dan me
“Apa Anira yang minta?”Deril mengerutkan keningnya. “Gue nggak tahu apa yang dibilang Velma sama lo tentang Anira, tapi Anira nggak seburuk dugaan lo.”“Oh, jadi Anira yang suruh.” Zeva bergumam paham. “Lo bener-bener lebih pilih Anira dibanding Velma. Sayang Anira masih nggak milih lo.”Sekarang Deril mulai menyesal, apakah mengajak Zeva adalah keputusan yang tepat? “Kalau gue lebih milih dia. Gue nggak akan pisah sama Anira sekarang.”“....”Ada sedikit kepuasan dalam hati Deril, ketika Zeva terdiam kehilangan kata-kata. “Jadi gimana? Ya ataut tidak?”“Jadi lo mau bilang kalau lo lebih milih Velma dibanding Anira?”“Sejak awal, gue nggak punya pilihan! Gue nggak bisa memilih orang lain selain keluarga gue!” Deril tidak tahu apa yang membuatnya mengatakan itu semua ke Zeva.Bahkan saat dia melamar Anira lima tahun lalu setelah kejadian itu. Dan saat dia berharap Anira kembali mempertimbangkan kembali padanya beberapa bulan lalu. Mindset-nya tetap sama.Dia akan berusaha membuat An
Ia hanya bisa menatap Velma tersenyum sembari menyantap makanannya. Zeva akhirnya memilih memendam sisanya di hatinya.Gadis itu memutuskan akan berusaha bersikap senetral mungkin. Keadaan sudah cukup ricuh tanpa ia harus ikut berkecipung di air keruh itu. Mereka hampir selesai makan, ketika ponsel Velma berbunyi. Ekspresi di wajah gadis itu menjadi semakin ceria, ketika melihat siapa yang mengiriminya pesan itu.“Kak Reksa nge-chat gue!” Ini semua bagai mimpi, sesuatu yang tidak akan berani dia harapkan lagi setelah kejadian beberapa tahun lalu. Untuk sejenak, Velma menjadi semakin yakin, kalau usahanya selama ini membuahkan hasil.Reksa pada akhirnya melunak dengan persistensinya dan bersedia membuka hati terhadapnya sekali lagi. Velma merasa dia nyaris melayang saat ini.Secepat kilat dia mengambil ponselnya dan membuka pesan yang dikirim Reksa itu. Namun, begitu matanya melihat, seluruh senyum di wajahnya lenyap seketika.Reksa [Sorry, Vel. Tadi gue nggak sempat bilang, gu
Setelah Deril mengatakan itu, ia menatap Velma lama, memastikan kalau adiknya itu tidak akan berteriak lagi barulah dia melepas mulut adiknya itu.Velma menarik napas serakah, lalu memukul Deril keras. “Kalau lo teriak, gue beneran bakal blacklist lo dari kantor ini!”Velma yang tadinya hendak membentak Deril jadi sedikit ciut juga mendengar ancaman kakaknya itu. “Reksa nggak pernah ngasih gue harapan? Tapi, dia juga nggak pernah punya pacar, Kak!”“Jadi, kalau Reksa punya pacar, lo bakal mundur?” selidik Deril tajam. Dalam hati, ia harap-harap cemas saat menanyakan itu. Hatinya condong menginginkan Velma akan menjawab ya.Ia benar-benar ingin adiknya itu berhenti terobsesi pada Reksa. Kemungkinan sahabatnya itu akan membalas perasaan Velma, lebih rendah daripada nol.“Nggak usah membicarakan hal yang belum terjadi!” elak Velma langsung. Nada suaranya meninggi tatapannya berubah murka.Saat itu, Deril menyadari kalau keputusannya menyuruh Reksa menyembunyikan hubungannya d
Deril mengangkat bahunya, seakan dia baik-baik saja. “Gue nggak pernah berpikir gitu. Lo yang terlalu overthinking. Mungkin lo ngerasa bersalah?”“Lo yang bilang, gue bisa ngejar Anira!” Reksa memperingatkan. “Jangan bilang, sekarang lo nyesal?” “Gue nggak nyesal!” Cepat Deril membantah. Namun, penyangkalan itu terjadi terlalu cepat, seolah dia hendak menutupi sesuatu. “Gue Cuma mau tahu, itu saja.”“Sekarang lo udah tahu, kan? Kayang gue bilang tadi, tidak usah sampaikan ini ke Anira dulu.”Setelah menyampaikan itu, Reksa langsung berbalik badan, mendahului Deril menjauh dari sana. Deril termenung, tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Perasaannya berkecamuk hebat. Sejujurnya, tidak ada pria yang lebiih dia percaya selain Reksa.Kalau memang dia tidak bisa bersama Anira, ia ingin gadis itu tetap berada di tangan yang tepat. Namun, merelakan wanita yang sudah bertahun-tahun mengisi hatinya bukan hal mudah ternyata. Melihat Reksa sudah berjalan semakin jauh, Deril
Reksa menghela napas panjang. Apa lagi memangnya yang bisa dia katakan. Ia hanya bisa membiarkan Anira melakukan sesukanya.Anira menahan senyumnya, cukup puas melihat ekspresi pasrah di wajah kekasihnya itu. Sekarang, ia tahu daripada malu-malu dan terus digoda Reksa. Bersikap sama beraninya dengan pria itu dan membalas Reksa, jauh lebih efetif ternyata.Dia bersandar di bahu pria itu, mengusap pipinya lembut, dan bahkan sesekali mengusap lengan Reksa lembut.Tentu saja, dia berani seperti ini, hanya ketika dia tahu kalau mereka sedang berada di jalan dan Reksa tidak bisa melakukan apapun untuk membalasnya.Dengan Anira terus menempel rapat mengganggu Reksa dan pria itu yang setengah hati berusaha menghindar, mereka akhirnya tiba di kantor.Begitu mobil itu terparkir rapi di parkiran, secepat kilat Anira langsung melepaskan sabuk pengamannya dan membuka pintu. “Kita sudah sampai!Anira tahu kalau Reksa tidak akan melepaskannya begitu saja begitu mobil itu berhenti. Jadi, dia h
Terlebih ketika dia mengatakan semua itu di depan orangtua Anira. Dia tidak ingin mendapatkan skor negatif di awal hubungannya dengan Anira.“Ckk!” Anira mendecakkan lidahnya kesal, kaerna tidak ada satu orang pun yang ada di pihaknya kali ini.“Perempuan jangan berdecak gitu! Nggak sopan!” Anira ingin sekali mengacak rambutnya frustrasi. Kedua orangtuanya cepat sekali berubah, termasuk mengontrol perilaku yang biasa juga dia tunjukan di depan Reksa, jadi terkesan kurang ‘perempuan’ di mata ibunya dan mungkin juga ayahnya.“Iya, Ma.” Tahu dia tidak akan pernah menang berdebat dengan ibunya, Anira langsung mengiyakan saja. Reksa menahan tawanya, dan memilih lanjut berbicara dengan ayah Anira. Hingga selesai sarapan. Saat makan, ia melirik Anira dan menemukan ujung bibir gadis itu masih cemberut, meski sembari menyantap makanannya.Reksa menyentuh lutut gadis itu lembut, di saat kedua orangtua Anira tidak memperhatikan dan menepuknya lembut. “Kalau kamu mau, kita bisa nai
“Bicara apa?” Anira mengerutkan keningnya. Namun, sebelum Reksa menjawab, dia langsung teringat. “Tadi, Deril sempat mau bicara, tapi nggak jadi. Terus tadi, dia juga nelepon tapi aku nggak tahu apa yang mau dia bicarakan.”“Kamu udah telepon balik?”Dengan polos Anira menggelengkan kepalanya. “Tapi, pesannya udah gue bales, tenang saja.” Reksa masih merasa mengganjal dengan perubahan panggilan Anira padanya yang terus berubah-ubah. Namun dia tidak lagi berkomentar. “Kamu tahu apa yang mau dibicarakan Deril?”Anira menggeleng. “Lo pikir, dia curiga tentang hubungan kita? Lo sih terlalu blak-blakan!” omelnya. “Ah, tapi mungkin juga nggak. Mungkin dia Cuma mau bilang ke kita kalau Velma menyusul ke Puncak?”Reksa tersenyum geli. “Kamu sebenarnya sedang berusaha meyakinkan siapa?”“Meyakinkan diri sendiri!” balas Anira gemas. “Hh, nggak tahulah. Gue bingung.”“Bingung kenapa?” “Nggak tahu, bingung saja.”Selain perubahan hubungan mereka, dan cara menghadapi Deril dia juga masih b
“Nggak!” Anira sedikit terkejut dengan insting tajam ayahnya. “Kalau terjadi sesuatu, aku nggak akan bilang not bad?”Ia tidak mengatakan apa-apa, kenapa ayahnya bisa menebak? Apa ada yang salah dengan ekspresi di wajahnya?Anira tidak ingin menceritakan kejadian buruk yang terjadi padanya. Menurutnya, semua itu sudah selesai ketika dia meninggalkan kantor polisi tadi. Kedua orangtuanya tahu hanya akan membuat mereka jadi ikut cemas dan sedih untuknya.“Kalau memang liburannya menyenangkan, kamu nggak akan berhenti di kalimat ‘not bad’ itu!” Ibu Anira ikut menimpali. Anira mengerutkan kening bingung, tapi hatinya sedikit ketar-ketir. Ternyata sulit juga memiliki orang tua yang sangat paham dengannya. Sedikit saja tingkahnya yang aneh tidak bisa lolos dari mata elang keduanya.“Well, puncak ramai banget karena akhir pekan. Jadi macetnya juga luar biasa!” keluhnya sambil menyandarkan kepala di pundak ibunya.Ibu Anira mengusap kepala anaknya lembut. “Dari dulu juga puncak memang g
“Velma?” Reksa ikut menoleh. “Ngapain dia di sini?” Anira menggelengkan kepala. “Mungkin gue yang salah lihat?”Reksa memicingkan matanya, kaca yang agak gelap memang menghalangi pandangannya. Karena penasaran, dia membuka kaca mobil, hingga dia bisa lebih mudah menatap keluar.“Itu benar-benar Velma.”“Mau tanya dulu?” Anira tetap mengusulkan walau dia enggan. Reksa menatap lagi, kemudian menggelengkan kepalanya. “Nggak perlu. Mungkin dia ada keperluan lain. Di sekitar sini.”“Yakin?”Anira masih melihat ke mobil itu, kalau melihat ekspresi di wajah Velma, dia tidak bisa seyakin Reksa. “Lo yakin dia nggak ada masalah?”Velma adalah manusia yang mengenakan perasaannya di wajahnya. Seluruh emosi yang dirasakan oleh gadis itu terteraa jelas di wajahnya.Kening berkerut, bibir cemberut, dan tangan yang terus-menerus menekan klakson hingga menambah suara bising di tengah kepadatan yang sudah cukup ramai itu.“Hmm, nggak usah terlalu dipikirkan.”“Menurut lo, apa mungkin Velma ke pun
Anira menunjuk dirinya sendiri. “Gue?” Dia lalu menoleh ke arah Zeva. Zeva, gadis itu hanya diam saja. Dia memperhatikan keduanya dengan seksama.“Oke, bicara saja kalau gitu.”Deril menatap Zeva. “Di sini?” Anira mengangguk. “Memangnya kenapa? Apa yang mau lo bicarakan sampai nggak boleh didengar orang?”Meski dia bertanya berani seperti itu, tapi jantungnya berdebar kencang. Dia tidak siap dengan pertanyaan yang akan ditanyakan Deril.“Kamu yakin?”Anira menguatkan hatinya, lalu menganggukkan kepalanya percaya diri. “Tentu saja. Memangnya mau bicara apa sih? Segala penuh rahasia gitu?”Deril menatap Zeva, berharap gadis itu akan peka dan memberikannya waktu berdua dengan Anira. Namun, Zeva memilih menatap ke arah lain dan bersikap seolah dia tidak menyadari itu. Setelah berpikir sejenak, Deril akhirnya mengurungkan niatnya. “Nanti saja kalau begitu.” Anira mengerutkan keningnya. Namun, dia tidak berani mendesak lagi. “Oke?” jawabnya ragu.Pria itu menatap Anira beberapa