“Ma, apa terjadi sesuatu?”Perasaan Anira saat itu benar-benar tidak enak. Rasanya seperti ada laba-laba merayapi punggungnya, membuatnya panik seketika. “Papa baik-baik saja, kan?”Ibu Anira terdiam, dia tidak langsung menjawab. Namun, menarik Anira untuk duduk di teras. Gerakan ibunya itu membuat Anira semakin panik. “Ma, papa kenapa? Aku masuk dulu, biar aku lihat papa.” “Tunggu dulu! Kamu duduk! Mama mau bicara.”Hati Anira terbelah, antara duduk dan masuk ke dalam. Namun, akhirnya dia memutuskan untuk duduk. Kalau ibunya masih bisa bersikap begini, berarti semuanya tidak seburuk itu kan? Pikirnya mencoba positif terhadap apa yang terjadi.“Kenapa, Ma?”Anira menatap lekat wajah ibunya, di bawah sinar lampu malam itu, kerutan di wajah ibunya semakin jelas terlihat. Hatinya teriris, saat menyadari hal itu.Hal tersulit yang dihadapi setiap anak, adalah menyadari kalau orangtuanya sudah tidak muda lagi. Kerutan-kerutan tanda perjuangan atas kehidupan itu membuatnya menyadari k
Tatapan itu begitu bening, tapi penuh arti. Seolah banyak kata yang hendak terucap, tapi mulut tidak mampu berkata-kata. “Pa, please.” Mata wanita paruh baya itu sudah berkaca-kaca. Ayahnya masih membisu. Matanya sama sekali tidak berkedip, menatap mereka berdua.Anira jauh lebih sigap, dia langsung mengambil ponselnya. “Sebentar, aku akan telepon Kak Leo dulu.” Sejenak kemudian dia tertegun. “Atau ambulan?” Tangannya sedikit bergetar. “Papa selalu bikin kalian khawatir.”Anira membeku. Telinganya masih menempel di ponsel. “Halo, Ra? Ada apa?”Suara Leo terdengar di telinganya, terdengar sangat jauh. “Kak, nanti aku telepon lagi.” Dia mengakhiri panggilan itu sepihak, tanpa mengalihkan pandangan dari ayahnya. “Pa, papa baik-baik saja?”Perlahan ayah Anira mulai bangkit duduk. Dengan sigap Anira dan ibunya membantu. “Papa mau minum dulu?”Pria itu menggelengkan kepalanya. “Kamu baru pulang?”Anira mengangguk, meski ayahnya telah menjawab, dia tetap memberikan segelas
“Hmm. Biar papa yang ngomong langsung sama Reksa.”Anira semakin kebingungan. Apa yang harus dibicarakan sampai harus sembunyi-sembunyi seperti ini? Dia malah jadi semakin penasaran. Anira menatap ibunya, tapi ibunya juga tersenyum setuju.“Kayanya Reksa udah sampai rumah. Besok aja, gimana?” tanyanya, sambil menatap reaksi kedua orangtuanya.Semakin mereka menutupi, semakin dia penasaran. Dia tidak bisa memikirkan satu pun, topik yang harus dibicarakan dengan Reksa, sampai orangtuanya harus menyembunyikan hal itu darinya.“Ya sudah, kalau gitu. Bilang Reksa, ketemu papa besok, pas kalian pulang kerja.”“Pulang kerja? Tapi, Reksa besok ke sini pagi doang. Malam mungkin nggak.”Ayah Anira mengangkat sebelah alisnya. “Itu sengaja banget. Kamu kesal?”Anira memilih mengangkat bahunya, sambil mengerucutkan bibirnya. “Papa udah bikin cemas, habis itu bikin penasaran, nggak papa kan aku balas dikit,” tanyanya sambil menjulurkan lidahnya konyol.Pasangan suami istri itu saling berpandang
Berapa kali sudah ini? Dia menelepon Reksa berjam-jam di malam hari?Entah darimana, kesadaran itu menamparnya begitu saja. Dia melakukannya dengan natural seolah memang itu adalah normal terjadi.Namun, tidak sama sekali! Pesan dari Deril itu membuka matanya lebar-lebar. Ternyata, dia mengakhiri harinya dengan berbicara ke Reksa.‘Itu karena aku punya sesuatu yang harus dibicarakan dengannya,’ batinnya cepat. Namun, sekali pikiran itu terlintas di kepalanya, tidak mudah menyingkirkannya.Sejak kapan hubungannya dengan Reksa berubah jadi seperti ini? Kenapa dia jadi sangat memperhatikan gerak-gerik Reksa?Begitu lama mereka bersahabat, dan bahkan nyaris semua masalahnya Anira selalu bercerita pada Reksa. Pria itu sudah seperti kakak, keluarga sendiri baginya. Apa Reksa menyukainya?Anira menggeleng kuat. Terlalu takut dengan apa yang ada di benaknya saat ini. Dia melarang dirinya sendiri untuk berpikir lebih jauh.Buru-buru dia meletakkan ponselnya di sudut paling jauh meja yang
Anira memukul bahu Reksa kesal. “Ckk! Nggak usah kasar!” ujarnya dengan ekspresi berlebihan.Reksa tertawa. Anira naik ke atas sepeda motor itu lalu memukul Reksa sedikit lebih keras. “Untung kita berdua nggak jatuh.”“Tenang saja, Cuma kejatuhan lo nggak akan bikin gue jatuh.” Dia menoleh ke belakang. “Udah?”“Udah.” Anira merapikan posisi duduknya. “Lo yakin nggak mau cerita?”Reksa tertawa geli. “Nggak. Lo tanya sama Om dan Tante aja nanti.”“Apa sih, pakai main rahasia-rahasiaan segala,” gerutunya. Dia merasa disisihkan, tingkah orangtuanya dan Reksa yang dengan sengaja mengalihkan pembicaraan saat dia datang, membuatnya merasa tidak dianggap. Dan itu rasanya sangat tidak menyenangkan.“Kalau om dan tante nggak ngasih tahu sama lo, berarti itu memang bukan sesuatu yang lo perlu tahu.”Tentu saja,Anira tahu logika sederhana di balik hal semacam itu. Namun, menerimanya juga bukan hal yang mudah. Setelah kalimat itu, Anira tidak lagi bertanya tapi wajahnya masih masam. Ketika Re
“Maksudnya?”Anira sebenarnya sudah menyesal setelah dia mengatakan hal itu. Kenapa dia harus membuat suasana semakin kikuk.“Bukan apa-apa. Motor gue di sana. Duluan ya.”Untungnya, tempat parkir motor dan mobil berada tempat yang berbeda sehingga Anira bisa dengan mudah bisa menemukan alasan untuk menghindar. “Tunggu!” Tanpa ragu, Deril menahan lengan Anira. “Kamu belum jawab pertanyaanku.”“Gue salah bicara tadi. Lupakan saja.” Dia berusaha menarik tangannya.“Kamu kira aku sudah berubah pikiran? Semudah itu menerima kalau kamu menyukai laki-laki lain?” Deril tersenyum miris. “Ini sama sekali nggak mudah juga untukku.” “Ril, aku nggak mau dengar!” Di tengah kepanikannya, dia kembali mengubah panggilannya untuk pria itu. “Aku mau pulang.” Deril tersenyum, dia tidak tahu apakah dia sakit atau sudah gila. Rasanya ada kelegaan yang melebur dari dasar hatinya, ketika mendengar Anira memanggilnya seperti itu.Sedikit saja reaksi dari Anira, begitu berarti untuknya.“Aku Cuma ber
“Really?” “Ril, teman nggak akan menggoda temannya sampai seperti ini.” Deril terdiam, dia lalu tersenyum. “Sorry, aku kelepasan. Sepertinya kamu harus sering mengingatkan aku.” Ada yang aneh dengan pembicaraan mereka. Dan keduanya menyadari itu. Seketika tawa keduanya meledak. Antara konyol dan miris bercampur jadi satu. Apa ada orang yang berteman, melakukan pembicaraan seperti ini? Namun, ini adalah awal, Anira masih ingin meyakini itu. “Well, ternyata menahan diri itu benar-benar nggak mudah,” ujar Deril. “Aku semakin salut pada Reksa selama ini.” Selain itu juga menyadari kalau dia benar-benar kurang peka terhadap perasaan Reksa selama ini. Sebagai sahabat, dia juga menyadari perasaan Reksa. Namun, dia membiarkan Reksa terus-menerus berada di antara mereka berdua dulu. Sekarang, Deril bertanya-tanya apa ini semua adalah karma karena apa yang dia lakukan dulu? Dia merasakan bagaimana rasanya menjadi Reksa. Hanya bisa berteman dengan Anira tanpa bisa melewati batas sedi
BAB 39 Polos atau munafik? Sayangnya, Anira menyadari kalau dia tidak polos sama sekali.“Maaf, kalau aku salah bersikap tadi. Aku kelepasan. Tenang saja hal semacam itu tidak akan terjadi lagi.”“Apa benar segampang itu?” Zeva mendengus. “Kamu mau salah bicara berapa kali?”Anira tidak suka dipertanyakan seperti itu, dia ingin marah. Dia bisa saja marah, tapi dia tidak ingin melakukan itu.Zeva berhak marah, setelah apa yang dia lakukan. “Aku nggak tahu sampai mana kamu tahu tentang aku dan Deril, tapi kalau kamu tahu, kamu akan sadar, kemungkinan kami kembali bersama itu sangat kecil.” “Sangat kecil, ya?” Mata Zeva terlihat melankolis. “Sepertinya, Deril masih menolak percaya itu.”“Deril akan percaya suatu hari nanti.” Zeva mematikan keran wastafel itu, dengan sedikit kasar dia memercikkan sisa air yang ada di tangannya ke wajah Anira. “Dia akan! Kalau kamu berhenti memberinya harapan tentang pertemanan bullshit kalian!”Anira memejamkan matanya, menahan emosi yang mulai