Hanya ada satu alasan kenapa seseorang begitu sulit kamu lupakan: dia terlalu berkesan.
Berkesan sakitnya, atau justru terlalu berkesan pula jejak kenangan yang ditinggalkannya.Back To You |02|***
Ayya sibuk menggulir lembar microsoft exel. Di sana tercatat data pasien Rumah Sakit Gardenia yang tinggal di rumah singgah Azalea. Kebanyakan berasal dari luar kota. Namun, tak sedikit pula yang memang tinggal di Bandung.
Anak Rendra contohnya. Diketahui, ada tumor pada saluran cernanya. Dia berasal dari Soreang, Kabupaten Bandung, tetapi karena jarak tempuh antara rumah ke rumah sakit cukup jauh, orang tuanya memilih tinggal di rumah singgah. Pihak rumah singgah sempat menawarkan fasilitas antar jemput, jadi mereka bisa tetap berkumpul bersama keluarga, tak sulit dan memakan biaya banyak juga untuk ke rumah sakit. Namun, mereka menolak karena dirasa itu cukup merepotkan pihak rumah singgah.
"Bu Alinda sama suaminya pulang, Al?
"Radioterapinya dijadwalkan bulan depan, Teh. Makanya mereka pulang dulu. Pak Dayat juga pulang, katanya mau memperpanjang rujukan," sahut Alden.
Perempuan itu mengangguk-angguk. Surat rujukan sekarang ini memang hanya berlaku tiga bulan lamanya. Jadi, satu minggu sebelum habis, sudah harus diperpanjang lagi agar tidak ada kendala saat pengobatan. "Oh iya, siapa yang antar?"
"Mas Kelvin, Teh. Pak Dayat, kan, di Tasik. Nah, katanya Mas Kelvin sekalian mau cek lokasi buat mendirikan apotek."
Ayya menghela napas lega. Ia bersyukur karena orang-orang yang bergabung dengan Komunitas Peduli Sesama—walaupun berasal dari ragam profesi—sungguh orang yang berhati baik. Mereka selalu saja melakukan hal-hal tak terduga. Seperti dua minggu yang lalu, Pak Anton yang berprofesi sebagai pengacara memutuskan untuk membeli tanah dan membangun satu rumah singgah lagi. Atau Huda, anak dari CEO salah satu stasiun televisi swasta yang menghibahkan dua buah mobil untuk kepentingan di sini.
"Alhamdulillah, kita dikelilingi orang-orang baik, ya, Al."
Alden mengangguk. "Terima kakasih sudah mendirikan KPS, Teh. KPS menjembatani kami untuk melakukan banyak hal positif."
Sudut bibir gadis berambut panjang itu melengkung, membentuk seulas senyum. "Saya haya berusaha melakukan sesuatu yang bermanfaat. KPS juga enggak mungkin jalan tanpa kalian semua. Jadi, berterima kasihlah pada diri sendiri karena memiliki kesadaran untuk membantu orang lain."
"Iya, Teh."
"Al, nanti sore kita akan kedatangan pasien baru. Pak Yoga sama Bu Hanifah namanya. Mereka dari Sukabumi. Belum ada jadwal pengobatan karena masih melakukan serangkaian pemeriksaan. Kondisinya enggak bisa berjalan, jadi nanti tolong siapkan minimal dua laki-laki untuk menjemput mereka ke rumah sakit, ya, selesai pemeriksaan."
"Siap, laksanakan! Eh, kalau sekarang mereka ke rumah sakitnya bagaimana, Teh?"
Ayya terkekeh. "Sekarang diantar dengan ambulans dari desanya. Ada beberapa keluarga yang ikut juga. Tapi, setelah itu mereka ditinggal."
"Oke, Teh."
"Saya pamit dulu, ya. Nanti kalau ada apa-apa kabari saja," ujar Ayya lagi. Ia bangkit dari duduknya, mengambil tas, lalu berpamitan karena kurang dari satu jam lagi Ayya harus bertemu dengan salah satu donatur rumah singgah Azalea. Selain dari keuangan pribadi, Yendra, sumbangan anggota komunitas, ada beberapa donatur juga yang turut membantunya memenuhi kebutuhan orang-orang di rumah singgah.
***
Kafa melangkah gontai meninggalkan ruangan tempatnya bekerja. Setelah salat, biasanya ia beristirahat sejenak untuk sekadar mengisi perut atau merokok. Apalagi, pagi tadi lelaki itu benar-benar tak sempat sarapan karena bangun terlalu siang.
Jika Kafa menggunakan jas putih kebesarannya, semua orang pasti langsung menatapnya aneh, lalu bertanya, Dokter kok merokok? Bagaimana lagi, walaupun tahu resikonya, tetapi Kafa dan rokok seperti satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Dulu Ayya bahkan sering mengomelinya karena dalam sehari Kafa bisa menghabiskan satu bungkus rokok. Parahnya, gadis itu menyematkan 'asbak berjalan' di belakang namanya.
Ah, lagi. Kenapa Ayya selalu semudah itu muncul dalam otaknya? Dia serupa narkotika, membuat orang kecanduan, butuh waktu yang lama dan terapi khusus untuk meninggalkan atau melupakan semua tentangnya.
Hingga tiba-tiba, kedua netra lelaki itu menangkap sosok perempuan paruh baya yang tampak sedang kebingungan. Tanpa ragu, Kafa mendekat. "Ibu mencari apa?"
"Itu, saya teh mau beli makanan, Dok. Yang murah-murah, tapi bikin kenyang di mana, ya, biasanya? Soalnya kalau di depan mahal."
"Ibu dari sini lurus, lewat gedung cardiac center sama radiologi, nanti belok kiri, lewat poliklinik paliatif, terus keluar gerbang. Di situ biasanya ada nasi kuning, kupat tahu, bubur, sama nasi rames, Bu. Enak dan murah juga."
"Aduh, hatur nuhun, Dok. Tos kasep, bageur deui."
"Sama-sama, Bu."
Pria itu melanjutkan langkahnya keluar dari area rumah sakit. Kakinya terayun mantap menyusuri setiap inci jembatan penyeberangan orang menuju restoran cepat saji yang ada di seberang rumah sakit. Sesekali ia menunduk, melihat padatnya lalu lintas di bawah sana. Jalanan di sini memang tak pernah sepi. Apalagi saat pagi atau sore hari.
Pandangannya terhenti saat untuk kesekian kali, matanya bersirobok dengan orang yang berpakaian sama. Kafa mengambil kesimpulan kalau itu merupakan komunitas besar, mengingat jumlah mereka yang lumayan. "Komunitas Peduli Sesama?" gumamnya saat membaca tulisan di bagian depan kaos mereka.
Jujur saja Kafa penasaran. Namun, suara perut membuatnya tersadar untuk segera menuntaskan tujuannya. Makan siang.
***
Yendra melirik ponsel yang tergeletak di atas meja kerjanya. Sudah sore, tetapi Ayya belum juga menghubunginya. Terkadang, Yendra sengaja tidak menghubungi gadis itu lebih dulu. Sekadar ingin tahu apakah Ayya akan mencarinya? Namun, setiap kali ia berpikir seegois itu, sisi laki-lakinya bicara, bahwa Yendra harus berjuang membuat hati Ayya utuh untuknya.
Lelah mencintai sendiri. Tak mudah pula menghapus nama dalam hati gadisnya yang sudah tercatat lama. Yendra bukan tak tahu ihwal Ayya yang ditinggal menikah oleh kekasihnya dulu, tetapi ... itu sudah terlalu lama. Sudah waktunya Ayya bergerak melupakan semua kesakitannya saat itu.
"Dok, ada pasien yang minta home-visit, mau diterima?"
Lamunannya buyar seketika saat seseorang tahu-tahu masuk tanpa mengetuk pintu. "Tinggalnya di mana? Bagaimana kondisinya? Dia laki-laki atau perempuan?"
"Enggak jauh dari sini, Dok. Katanya sudah beberapa hari merasa nyeri di area perut puncaknya semalam, dan hari ini tidak kat bangun sama sekali. Dia laki-laki, namanya Arjuna."
"Boleh. Siapkan apa-apa saja yang harus dibawa. Nanti kita ke sana."
"Baik, Dok."
Yendra langsung menyiapkan segala sesuatu yang akan dibawanya ke rumah pasien. Sebenarnya, ia bisa meminta bantuan perawat, tetapi Yendra lebih nyaman seperti ini.
Ya, hanya dengan menyibukkan diri Yendra bisa melupakan fakta bahwa ia sedang mencintai sendiri. Meski hatinya terus melambungkan harap bahwa suatu hari nanti Ayya bisa berbalik rasa, mencintainya begitu dalam. Sebagaimana Yendra mencintai gadis itu selama ini. Hanya Tuhan yang sanggup membolak-balikkan hati manusia, bukan? Jadi, Yendra tak pernah berhenti berharap.
|Bersambung|
Obat bisa bersifat terapeutik, bisa pula toksik. Tak jauh berbeda dengan cinta. Ada masa di mana cinta bertugas sebagai penyembuh, tetapi dalam kasus berbeda sanggup menjadi pembunuh.Lanjut Salah, Berhenti Susah|03|***"Shit!"Kafa mengumpat kesal. Lelaki itu turun tergesa dan langsung dihadapkan pada bagian samping mobil kesayangannya yang ternyata sudah tergores. Tadi Kafa sengaja berhenti sejenak untuk mengangkat sambungan telepon dari sang istri. Namun, tiba-tiba seseorang menabrak mobilnya yang terparkir di bahu jalan.Pandangan pria itu meliar, mengamati dalam diam mobil yang baru saja berbenturan dengan mobilnya. Tidak ada pergerakan sama sekali dari dalam sama. Entah karena orang itu gugup dan takut, atau mungkin ... orang itu pingsan? Nalurinya sebagai seorang dokter mu
Kendati sudah berusaha menutup mata dan telinga agar tak melihat atau mendengar apa pun lagi tentangnya, otak justru kepayahan untuk sekadar menghapus nama yang telanjur tercatat. Dan hati dengan tak tahu diri mengabadikan kenangan yang telah dalam terpahat.Lanjut Salah, Berhenti Susah|04|***Kafa terbatuk beberapa kali, meski sedikit tertahan. Padahal, posisinya sekarang tengah memeriksa pasien. Tangan pemuda itu terangkat, membetulkan letak masker yang sedikit merosot. Sudah hampir seminggu setelah pertemuan tengah malam dengan Yendra, Kafa didera flu berat, lengkap dengan radang tenggorokan yang lumayan menyiksa. Selain membuatnya kesulitan menelan makanan, kondisi itu juga memaksanya menelan methyl prednisolon yang pahit bukan main jika bersentuhan dengan indra perasa. Namun, itu tak membuatnya malas bekerja. Bagaimanapun menghabis
Saat bibir terkatup rapat, seolah kehilangan daya untuk sekadar mengatakan aku mencintaimu. Jantung justru sukses besar melakukan tugasnya, dengan berdebar cepat saat berhadapan tepat dengan pemilik hatimu.Lanjut Salah, Berhenti Susah |05|***"Wow, kenapa harus seheboh ini sih?" Kafa bertanya-tanya sendiri saat detak jantungnya sulit dikendalikan.Sebenarnya bukan hanya sekarang—saat menunggu perempuan bernama Ayya— jantungnya mengamuk seolah minta keluar, tetapi sejak di rumah sakit tadi setelah mengobrol dengan Suster Gendis ihwal Komunitas Peduli Sesama binaan perempuan itu.Kafa ingin memastikan, apakah benar Ayya yang dimaksud adalah gadisnya? Ah, gadis dari masa lalunya. Berselancar di internet juga tak memberi banyak petunjuk, sebab yang tertulis hanya visi, misi, dan apa pun yang berkaitan dengan ko
Jika tahu salah, kenapa tidak sama-sama menyerah?Bahagia memang harus diperjuangkan. Tetapi, dengan melukai hati orang, tidak bisa dikategorikan ke dalam usaha memperjuangkan kebahagiaan.Lanjut Salah, Berhenti Susah|06|***KafaAy, makan siang, yuk?Aku belum makan.Ayya tersedak salivanya sendiri saat membaca pesan yang dikirim Kafa. Bukan apa-apa, posisinya saat ini sedang makan siang bersama Yendra. Bahaya kalau sampai lelaki itu melihat dan pada akhirnya berpikir yang tidak-tidak."Pelan-pelan, Sayang," ujar lelaki itu lembut sembari mengusap punggung calon istrinya.Setelah pertemuan hari itu, Kafa memang gencar mengajaknya bertemu. Alasannya ingin membahas tentang beberapa pasien yang ditanganinya. Ayya sempat meminta orang lain untuk menggantikanny
Kafa berdiri di depan cermin, meraba area leher yang memang terlihat membengkak. Ia bukan tidak menyadari hal itu sebelumnya, tetapi mulai curiga saat Ayya yang mengingatkannya. Semula, Kafa berpikir kalau pembengkakan kelenjar getah bening terjadi karena batuk flu yang dideritanya selama seminggu lebih. Namun, sakitnya hilang pun ternyata benjolan itu tak mengecil, justru semakin kentara.Tubuhnya tiba-tiba menegang saat seseorang memeluknya dari belakang. Sungguh, Kafa berharap yang melakukan hal tersebut adalah Ayya, meski ia harus menuai kecewa karena orang itu Arini."A, mau ngobrol.""Bisa besok aja? Aku capek."Senyum yang semula tercetak manis di bibir Arini berubah redup karena Kafa seolah enggan menanggapinya. Begitu pulang, Kafa juga sama sekali tak menyentuh Arka. Jujur itu membuat hatinya sedih. Arini merasa ia dan putranya diabaikan. Ah, atau mungkin Arini saja yang terlalu sensitif. Kafa pas
"Cinta boleh, bego jangan."Kalimat sederhana, tetapi menohok itu berhasil membuat Yendra tersenyum kecil. Ia anggap itu bentuk perhatian sang adik terhadapnya. Dibanding Zian, Zio memang cenderung bersikap masa bodoh dengan semua yang terjadi di sekelilingnya. Namun, jika kakaknya disentuh apalagi disakiti, anak itu langsung lepas kontrol. Hari ini Yendra melihat sisi lain anak itu, meski tidak secara gamblang."Tolong ambil paracetamol di kotak obat dong, Dek. Mas pusing."Bibir Zio mengerucut. Ia satu-satunya orang yang tersisa di rumah ini. Mama Jihan sedang pergi, Zian juga belum pulang dari sekolah. Baru pertama kali Zio menyesal membolos kalau pada akhirnya harus dihadapkan pada kakak beda ibu yang sedang sakit. Semalam, sang kakak pulang menjelang pagi setelah berkeliling mencari kekasihnya. Bodoh bukan?Sembari melangkah hendak mengambil obat, pemuda itu berpikir. Entah perasaannya saja atau sejak
Kafa baru saja menjejakkan kedua kakinya di rumah, tetapi begitu sampai ia langsung disambut omelan dari mama mertuanya. Lelaki itu menghela napas lelah. Sungguh, Kafa tidak punya tenaga untuk berdebat."Bukan Ibu mau ikut campur urusan kalian. Ibu cuma kasihan lihat Teteh sakit, terus di rumah sendiri."Lagi, Kafa menghela napas. Jam kerjanya sudah berakhir sore tadi, tetapi ia menyempatkan diri berkunjung ke rumah singgah. Kafa mengobrol dengan beberapa pasien juga keluarga pasien di sana, dan baru pulang saat malam mulai larut. Ya, harus diakui kalau sebenarnya Kafa juga menunggu Ayya, tetapi ternyata perempuan itu tidak datang ke rumah singgah."Maaf, Bu. Tadi memang ada pekerjaan di luar.""Ya kasih kabar seharusnya ke rumah. Kalau Ibu enggak ke sini, Arka siapa yang jaga? Istrimu itu lemas seharian. Kamu sebagai suami harus lebih sigap sebagai suami. Bagaimanapun, istri kamu itu sedang hamil."
Kafa baru saja menjejakkan kedua kakinya di rumah, tetapi begitu sampai ia langsung disambut omelan dari mama mertuanya. Lelaki itu menghela napas lelah. Sungguh, Kafa tidak punya tenaga untuk berdebat."Bukan Ibu mau ikut campur urusan kalian. Ibu cuma kasihan lihat Teteh sakit, terus di rumah sendiri."Lagi, Kafa menghela napas. Jam kerjanya sudah berakhir sore tadi, tetapi ia menyempatkan diri berkunjung ke rumah singgah. Kafa mengobrol dengan beberapa pasien juga keluarga pasien di sana, dan baru pulang saat malam mulai larut. Ya, harus diakui kalau sebenarnya Kafa juga menunggu Ayya, tetapi ternyata perempuan itu tidak datang ke rumah singgah."Maaf, Bu. Tadi memang ada pekerjaan di luar.""Ya kasih kabar seharusnya ke rumah. Kalau Ibu enggak ke sini, Arka siapa yang jaga? Istrimu itu lemas seharian. Kamu sebagai suami harus lebih sigap sebagai suami. Bagaimanapun, istri kamu itu sedang hamil."