Saat bibir terkatup rapat, seolah kehilangan daya untuk sekadar mengatakan aku mencintaimu. Jantung justru sukses besar melakukan tugasnya, dengan berdebar cepat saat berhadapan tepat dengan pemilik hatimu.
Lanjut Salah, Berhenti Susah |05|***
"Wow, kenapa harus seheboh ini sih?" Kafa bertanya-tanya sendiri saat detak jantungnya sulit dikendalikan.
Sebenarnya bukan hanya sekarang—saat menunggu perempuan bernama Ayya— jantungnya mengamuk seolah minta keluar, tetapi sejak di rumah sakit tadi setelah mengobrol dengan Suster Gendis ihwal Komunitas Peduli Sesama binaan perempuan itu.
Kafa ingin memastikan, apakah benar Ayya yang dimaksud adalah gadisnya? Ah, gadis dari masa lalunya. Berselancar di internet juga tak memberi banyak petunjuk, sebab yang tertulis hanya visi, misi, dan apa pun yang berkaitan dengan komunitas itu saja. Langsung menghubungi kontak yang tertera pada website juga rasanya terlalu ekstrem.
Lelaki itu bersin dan terbatuk bergantian, hingga menjadi pusat perhatian beberapa pengunjung. Sebenarnya, Kafa bisa saja beristirahat di rumah hari ini, tetapi rasa penasarannya mengalahkan semua. Jika benar itu Ayya yang ia cari, sakitnya pasti langsung sembuh. Setidaknya sugesti bisa membantu proses penyembuhan, pikirnya.
"Ini orangnya. Silakan, Mbak."
Refleks Kafa menoleh begitu mendengar seseorang bersuara. Saat masuk tadi, ia memang meminta agar tamu yang memiliki janji bertemu dengannya langsung diarahkan ke mejanya. Pria itu mematung saat kedua matanya bersitatap dengan perempuan itu. Rindu yang selama ini terpendam meluap begitu saja. Entah mendapat keberanian dari mana, Kafa tiba-tiba memeluk Ayya. "Aku kangen, Ay."
Ayya sendiri terkejut. Hatinya tak pernah salah. Debar semacam ini memang hanya ia rasakan saat bersama Kafa. Tubuhnya mendingin saat lelaki di hadapannya bergerak memeluk. Walau sebenarnya, permukaan kulit yang tersentuh saat wajahnya tenggelem dalam ceruk leher Kafa justru terasa panas.
"Kamu demam?"
Bodoh memang. Hanya kalimat itu yang berhasil keluar dari tenggorokannya. Harusnya Ayya berontak, bila perlu menampar Kafa yang sudah lancang memeluknya. Namun, ia justru menikmati kehangatan yang timbul akibat aksi berpelukan mereka.
"Aku sedang flu," sahut Kafa sembari melepas pelukannya, lalu mempersilakan Ayya duduk.
"Langsung saja. Apa yang ingin kamu bicarakan?" Ayya langsung bertanya setelah benar-benar menguasai diri. "Saya enggak punya banyak waktu," imbuhnya.
Kafa terbatuk lagi, yang tentu saja membuat pertahanan pura-pura Ayya runtuh. Perempuan itu memanggil pelayan, lalu memesan dua minuman hangat. Tidak tega juga melihat Kafa seperti sekarang. Wajahnya sedikit pucat, hidung memerah, suara serak, bibir yang kering juga pecah-pecah. Jelas sekali terlihat bahwa lelaki itu sedang tidak sehat.
"Daripada terlalu malam, sambil menunggu minuman, lebih baik saya jelaskan sedikit demi sedikit tentang KPS."
"Harus banget pakai saya, ya? Rasanya terlalu formal. Aku lebih suka kita bicara dengan santai."
"Kafa, aku ke sini sebagai bentuk rasa tanggung jawab atas apa yang sedang aku emban. Bukan utuk menyelami lagi apa yang sudah terjadi di masa lalu."
"Memangnya aku sedang menuntut kamu untuk mengungkit masa lalu? Aku cuma mau kita bicara santai, jangan terlalu formal. Apa itu salah?"
Ayya mengumpat dalam hati menyadari kebodohan keduanya. Dengan mengatakan hal itu, Kafa pasti menertawakannya karena ternyata belum bisa sepenuhnya move on.
"Aku bercanda, Ay," ujar pria itu cepat seraya mengusap punggung tangan mantan kekasihnya.
"Jangan seperti ini, Kafa. Aku sudah memiliki tunangan."
"Aku juga sudah beristri. Kamu tahu itu."
Kalau sama-sama sadar bahwa keduanya berpemilik, untuk apa mereka berada di sini sekarang?
Kafa berusaha menyibak kecanggungan. Tidak seharusnya mereka membicarakan status masing-masing dalam kondisi seperti ini. Bukankah awalnya mereka bertemu untuk membicarakan hal lain? Lelaki itu berdeham, sebelum akhirnya mulai bersuara, "Ay, motivasi kamu mendirikan komunitas ini sebelumnya apa?"
"Waktu itu, aku melihat seorang laki-laki yang hanya didampingi istrinya tidur di depan ruang MRI. Sebenarnya bukan hanya sekali dua kali, banyak pasien yang kedapatan tidur di depan ruangan lain. Waktu itu di depan gerbang ke lantai dua poliklinik THT. Dan setelah ditanya, jawaban mereka hampir sama, ruangan penuh sampai akhirnya kemoterapi ditunda.
Mereka terpaksa tidur di sana. Selain karena tidak mungkin kembali ke kota asal, sekadar pergi ke rumah singgah pun enggak cukup tenaga mengingat kondisi pasien saat itu hanya bisa berbaring dan enggak bisa terlalu banyak melakukan pergerakan. Dari situ aku sadar, di luar materi, mereka juga butuh teman."
Melihat Ayya seperti hampir menangis, membuat hati Kafa perih. Teringat hari di mana ia harus memutuskan perempuan itu dulu. "Lalu bagaimana?"
"Berdirilah KPS. Beberapa teman dekatku bergabung. Awalnya hanya lima orang, sepuluh, kemudian semakin banyak. Kebetulan Mas Yendra juga mau membantu. Dia memeriksa beberapa anggota yang ditugaskan berjaga di rumah sakit untuk memastikan mereka sehat dan enggak akan menularkan penyakit dan mungkin memperparah kondisi pasien. Apalagi pada pasien-pasien kemotarapi yang daya tahan tubuhnya enggak begitu baik."
"Apa mereka mendapat upah dari apa yang mereka lakukan?"
Ayya menggeleng. "Justru mereka membantu menyumbang dana untuk kebutuhan rumah singgah atau transportasi. Mungkin ada beberapa yang kurang mampu, mereka menyumbangkan tenaga. Ada juga yang bantu-bantu di kantor, menjaga rumah singgah dan lain sebagainya."
"Bagaimana kalau ada yang memanfaatkan kebaikan kalian?"
"Mereka itu sakit, dalam tekanan. Mana sempat berpikir untuk memanfaatkan orang? Kalaupun ada orang seperti itu, yang penting niat kami tulus ingin membantu. Biar itu jadi urusan dia dengan Tuhan."
Senyum tipis tercetak di bibir Kafa. Sejak dulu, Ayya memang tidak pernah berubah. Gadis itu selalu merasa kesal jika ada orang yang memberi pada tunawisma tapi menggerutu, bahkan menuduh yang tidak-tidak. Padahal, kalau memang berniat ingin memberi, lakukan dengan sukarela.
"Aku mau bergabung, tapi mungkin hanya bisa ikut kegiatan di luar jadwal kerjaku."
"Boleh. Komunitas kami terbuka untuk siapa pun."
"Kalau hati kamu?"
Ah, pertanyaan tersebut begitu sulit bagi Ayya. Mau menjawab iya, Kafa pasti masuk seenaknya. Mau bilang tidak? Toh selalu ada tempat untuk lelaki itu. Lantas, Ayya harus menjawab apa?
Tak banyak yang akhirnya Ayya katakan. Perempuan itu memilih mengalihkan pembicaraan, tidak ingin tenggelam semakin jauh dalam kenangan mereka dulu.
"Kalau kamu mau bergabung, sekali-kali juga mungkin bisa mampir ke kantor buat kenalan sama tim. Kamu juga bisa berkunjung ke rumah singgah untuk melihat kondisi pasien-pasien rumah sakit. Mengobrol atau memberi motivasi juga boleh."
"Aku pasti sering datang. Apalagi, kalau ada kamu."
"Kalau niat beramal jangan setengah-setengah. Datang aja sekalipun aku enggak ada."
"Kan aneh, Ay kalau aku tiba-tiba datang tanpa kamu. Mereka pasti bingung aku siapa? Mau ngapain? Iya, 'kan?"
Ah, bodoh. Kenapa Ayya tidak terpikir ke sana? Mungkin karena gugup ia jadi hilang akal. "Ya ... ya udah, buat pertama nanti kabarin aja kalau emang mau ke kantor."
Kafa terkekeh geli melihat ekspresi gadis di hadapannya. Ayya masih tak berubah sejak dulu, dan itulah yang membuat Kafa masih selalu merindukannya sampai detik ini.
|Bersambung|
Jika tahu salah, kenapa tidak sama-sama menyerah?Bahagia memang harus diperjuangkan. Tetapi, dengan melukai hati orang, tidak bisa dikategorikan ke dalam usaha memperjuangkan kebahagiaan.Lanjut Salah, Berhenti Susah|06|***KafaAy, makan siang, yuk?Aku belum makan.Ayya tersedak salivanya sendiri saat membaca pesan yang dikirim Kafa. Bukan apa-apa, posisinya saat ini sedang makan siang bersama Yendra. Bahaya kalau sampai lelaki itu melihat dan pada akhirnya berpikir yang tidak-tidak."Pelan-pelan, Sayang," ujar lelaki itu lembut sembari mengusap punggung calon istrinya.Setelah pertemuan hari itu, Kafa memang gencar mengajaknya bertemu. Alasannya ingin membahas tentang beberapa pasien yang ditanganinya. Ayya sempat meminta orang lain untuk menggantikanny
Kafa berdiri di depan cermin, meraba area leher yang memang terlihat membengkak. Ia bukan tidak menyadari hal itu sebelumnya, tetapi mulai curiga saat Ayya yang mengingatkannya. Semula, Kafa berpikir kalau pembengkakan kelenjar getah bening terjadi karena batuk flu yang dideritanya selama seminggu lebih. Namun, sakitnya hilang pun ternyata benjolan itu tak mengecil, justru semakin kentara.Tubuhnya tiba-tiba menegang saat seseorang memeluknya dari belakang. Sungguh, Kafa berharap yang melakukan hal tersebut adalah Ayya, meski ia harus menuai kecewa karena orang itu Arini."A, mau ngobrol.""Bisa besok aja? Aku capek."Senyum yang semula tercetak manis di bibir Arini berubah redup karena Kafa seolah enggan menanggapinya. Begitu pulang, Kafa juga sama sekali tak menyentuh Arka. Jujur itu membuat hatinya sedih. Arini merasa ia dan putranya diabaikan. Ah, atau mungkin Arini saja yang terlalu sensitif. Kafa pas
"Cinta boleh, bego jangan."Kalimat sederhana, tetapi menohok itu berhasil membuat Yendra tersenyum kecil. Ia anggap itu bentuk perhatian sang adik terhadapnya. Dibanding Zian, Zio memang cenderung bersikap masa bodoh dengan semua yang terjadi di sekelilingnya. Namun, jika kakaknya disentuh apalagi disakiti, anak itu langsung lepas kontrol. Hari ini Yendra melihat sisi lain anak itu, meski tidak secara gamblang."Tolong ambil paracetamol di kotak obat dong, Dek. Mas pusing."Bibir Zio mengerucut. Ia satu-satunya orang yang tersisa di rumah ini. Mama Jihan sedang pergi, Zian juga belum pulang dari sekolah. Baru pertama kali Zio menyesal membolos kalau pada akhirnya harus dihadapkan pada kakak beda ibu yang sedang sakit. Semalam, sang kakak pulang menjelang pagi setelah berkeliling mencari kekasihnya. Bodoh bukan?Sembari melangkah hendak mengambil obat, pemuda itu berpikir. Entah perasaannya saja atau sejak
Kafa baru saja menjejakkan kedua kakinya di rumah, tetapi begitu sampai ia langsung disambut omelan dari mama mertuanya. Lelaki itu menghela napas lelah. Sungguh, Kafa tidak punya tenaga untuk berdebat."Bukan Ibu mau ikut campur urusan kalian. Ibu cuma kasihan lihat Teteh sakit, terus di rumah sendiri."Lagi, Kafa menghela napas. Jam kerjanya sudah berakhir sore tadi, tetapi ia menyempatkan diri berkunjung ke rumah singgah. Kafa mengobrol dengan beberapa pasien juga keluarga pasien di sana, dan baru pulang saat malam mulai larut. Ya, harus diakui kalau sebenarnya Kafa juga menunggu Ayya, tetapi ternyata perempuan itu tidak datang ke rumah singgah."Maaf, Bu. Tadi memang ada pekerjaan di luar.""Ya kasih kabar seharusnya ke rumah. Kalau Ibu enggak ke sini, Arka siapa yang jaga? Istrimu itu lemas seharian. Kamu sebagai suami harus lebih sigap sebagai suami. Bagaimanapun, istri kamu itu sedang hamil."
Kafa baru saja menjejakkan kedua kakinya di rumah, tetapi begitu sampai ia langsung disambut omelan dari mama mertuanya. Lelaki itu menghela napas lelah. Sungguh, Kafa tidak punya tenaga untuk berdebat."Bukan Ibu mau ikut campur urusan kalian. Ibu cuma kasihan lihat Teteh sakit, terus di rumah sendiri."Lagi, Kafa menghela napas. Jam kerjanya sudah berakhir sore tadi, tetapi ia menyempatkan diri berkunjung ke rumah singgah. Kafa mengobrol dengan beberapa pasien juga keluarga pasien di sana, dan baru pulang saat malam mulai larut. Ya, harus diakui kalau sebenarnya Kafa juga menunggu Ayya, tetapi ternyata perempuan itu tidak datang ke rumah singgah."Maaf, Bu. Tadi memang ada pekerjaan di luar.""Ya kasih kabar seharusnya ke rumah. Kalau Ibu enggak ke sini, Arka siapa yang jaga? Istrimu itu lemas seharian. Kamu sebagai suami harus lebih sigap sebagai suami. Bagaimanapun, istri kamu itu sedang hamil."
"Dok, hasil FNAB-nya sudah keluar."Kafa langsung bergegas ke gedung cardiac center untuk mengambil hasil pemeriksaannya. Tiga hari yang lalu ia memang sempat melakukan serangkaian pemeriksaan, seperti foto thorax, CT-scan, pemeriksaan darah lengkap, dan biopsi jarum halus atau FNAB. Itu ia lakukan karena benjolan yang semula biasa saja mulai terasa sakit, dan Kafa juga baru sadar kalau berat badannya turun lumayan banyak hanya dalam waktu singkat. Itu merupakan pemeriksaan FNAB keduanya.Setelah hasil pemeriksaannya dibuka, Kafa hanya menemukan peradangan kronis pada bagian kesimpulan. Meski bisa dengan mudah membaca hasil yang didapat, tetapi Kafa harus tetap berkonsultasi dengan dokter yang menanganinya.Sembari menunggu, lelaki itu melebarkan pandang, berharap kalau Ayya ada sekitar sini menemani salah satu pasien. Kafa merindukan Ayya. Sejak pertemuan malam itu Ayya menghilang tanpa kabar. Sulit sekali dihubu
Alden mengetuk-ngetukkan ujung pena pada meja. Sungguh, ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya tadi. Bagaimana mungkin perempuan yang paling Alden kagumi bisa berbuat serendah itu?Sebenarnya tujuan Alden ke rumah sakit tadi untuk menggantikan Mahesa yang kebetulan ada acara dadakan. Padahal, Alden juga punya banyak pekerjaan di rumah singgah. Ternyata begitu sampai ke rumah sakit ia justru dihadapkan pada pemandangan kurang mengenakan."Al, lihat Ayya?"Pemuda itu terlonjak saat mendengar suara berat seseorang. Lamunannya buyar seketika, berganti gugup. "Eh, Mas. Kapan datang?""Barusan. Ayya agak susah dihubungi. Saya pikir Ayya sibuk, jadi saya ke sini bawa makan siang.""Teh Ayya lagi pergi, Mas. Mungkin sebentar lagi pulang. Udah dari tadi kok.""Antar pasien?" tanya Yendra."Iya, cuma kontrol kok.""Kamu udah makan? Saya bawa ba
Ayya bimbang. Kafa tiba-tiba mengajaknya berlibur. Semenjak tahu kalau lelaki itu sakit, ia memang memberi perhatian lebih. Apalagi, Kafa sering mengancam tidak akan melakukan operasi jika Ayya tak mau menuruti permintaannya. Seperti tempo hari. Seharusnya Ayya tak peduli, terlebih mereka tak lagi memiliki ikatan, selain label mantan. Namun, semua menjadi tak mudah karena kondisi Kafa sekarang. Ayya juga tidak sekejam itu membiarkan Kafa diam saja dengan penyakit yang semakin memburuk. Dari berbagai artikel yang ia telusuri, tumor parotis atau kelenjar ludah bisa dikategorikan jinak, bisa pula ganas. Ayya hanya berharap kalau yang diderita Kafa termasuk jinak dan bisa sembuh dengan melakukan pembedahan.KafaGimana, Ay?Anggap ini permintaan terakhirku. Enggak pernah ada yang benar-benar tahu apa yang akan terjadi saat operasi.Tuh kan! Lagi-lagi lelaki itu menyinggung sesuatu yang sama sekali tidak ingi