Kafa berdiri di depan cermin, meraba area leher yang memang terlihat membengkak. Ia bukan tidak menyadari hal itu sebelumnya, tetapi mulai curiga saat Ayya yang mengingatkannya. Semula, Kafa berpikir kalau pembengkakan kelenjar getah bening terjadi karena batuk flu yang dideritanya selama seminggu lebih. Namun, sakitnya hilang pun ternyata benjolan itu tak mengecil, justru semakin kentara.
Tubuhnya tiba-tiba menegang saat seseorang memeluknya dari belakang. Sungguh, Kafa berharap yang melakukan hal tersebut adalah Ayya, meski ia harus menuai kecewa karena orang itu Arini.
"A, mau ngobrol."
"Bisa besok aja? Aku capek."
Senyum yang semula tercetak manis di bibir Arini berubah redup karena Kafa seolah enggan menanggapinya. Begitu pulang, Kafa juga sama sekali tak menyentuh Arka. Jujur itu membuat hatinya sedih. Arini merasa ia dan putranya diabaikan. Ah, atau mungkin Arini saja yang terlalu sensitif. Kafa pasti lelah setelah bekerja seharian, jadi ia harus memaklumi.
"Hm, oke. Aa tidur aja sekarang," sahut Arini sembari melepas pelukannya. Perempuan itu kemudian berjalan mendekati tempat tidur putranya. Berpura-pura sibuk mengawasi Arka. Padahal, ia sedang berusaha mengalihkan rasa sakit di hatinya.
Menyadari kalau istrinya terluka karenanya, Kafa berjalan mendekat. "Maaf, aku cuma capek."
"Enggak apa-apa, A."
Kafa menghela napas. Perasaan bersalah menyeruak melihat raut muram istrinya. "Arka anteng enggak hari ini?" tanyanya basa-basi.
"Kakak rewel seharian. Enggak tahu kenapa. Nangis terus."
"Kakak?" tanya Kafa. Perasaannya berubah cemas saat Arini menyematkan panggilan itu untuk putra mereka.
Arini berbalik, lalu tersenyum. "Iya, Arka mau punya adik," sahutnya sembari mengusap perut yang masih rata.
Lelaki itu mengumpat dalam hati, merutuki kebodohannya. Bagaimana mungkin hubungan mereka bisa berakhir kalau dalam rahim Arini justru ada satu nyawa lagi?
"Aku mau bilang itu tadi, tapi Aa lagi capek."
"Sudah berapa bulan?"
"Tiga minggu, A."
"Jaga dia baik-baik," ujar Kafa lagi. Tangannya terulur mengusap perut sang istri.
Entah perasaannya saja atau Kafa memang tidak terlihat bahagia dengan berita tersebut. Padahal, Arini berharap kalau suaminya itu menyambut dengan antusias. Namun, kenyataannya justru berlainan. Setelah mengatakan itu Kafa bahkan pergi tak tahu hendak ke mana. Apa salah kalau hari ini Arini merasa marah dan terluka?
***
Ayya sudah sangat cantik dengan balutan dress selutut warna baby blue, sepatu warna senada, serta riasan wajah natural. Ia tinggal berangkat menemui calon suaminya, memenuhi janji bertemu. Bagaimanapun akhir-akhir ini Ayya begitu sibuk. Sibuk dengan KPS dan Kafa tentu saja.
Perempuan itu bangkit, memilih tas yang cocok untuk dikenakan hari ini. Namun, tiba-tiba ponsel yang tergeletak di atas meja rias berbunyi nyaring. "Mas Yendra enggak sabaran banget," ujarnya sedikit kesal. Sedari tadi Yendra memang terus mengiriminya pesan, menanyakan posisi dan meminta Ayya berhati-hati. Yendra sengaja tak menjemputnya karena ingin memberi kejutan. Begitu katanya.
Saat kunci layar ponselnya terbuka, justru nama Kafa yang tertera di urutan pertama dari sekian banyak pesan yang masuk. "Kafa." Ayya bergumam pelan, lalu membuka pesan dari laki-laki itu.
Kafa
Ay, bisa kita bertemu?Ada berita buruk hari ini yang membuat aku berpikir kalau aku mati hari itu justru akan lebih baik, daripada dia yang terluka.Ayya tertegun membaca pesan tersebut.
Me
Kamu di mana?Me
Lagi enggak mikir aneh-aneh, 'kan?Kafa
Enggak tahu.Rasanya pengin pergi jauh.Me
Please, bilang kamu di mana?Kafa
Disuatu tempat.
Cuma kita berdua yang tahu.
Ayya berdecak kesal. Kafa sudah tua masih saja bertingkah kekanakan. Entah masalah apa yang tengah dihadapinya, tetapi Ayya yakin pria itu tidak sedang baik-baik saja. Tanpa pikir panjang, Ayya mengambil tas, kunci mobil, lalu bergegas ke luar. Ia tahu di mana Kafa berada sekarang.
***
Lebih dari satu jam Yendra menunggu. Namun, Ayya tak juga menunjukkan batang hidungnya. Dihubungi pun tak diangkat atau membalas sama sekali. Ia cemas karena begitu menelepon ke rumah gadisnya, sang calon mama mertua justru mengatakan bahwa Ayya sudah pergi sejak tadi. Yendra semakin khawatir karena tunangannya itu pergi dengan mengendarai mobil sendiri. Pikirannya kalut. Ia takut kalau sesuatu yang buruk terjadi.
Yendra bangkit, berniat mencari Ayya. Melupakan sejenak rencana makan malam manis dengan dekorasi mewah yang sudah dirangkainya sedemikian rupa. Kemewahan itu tidak berguna jika gadisnya saja tak ada di sana. Sayang, belum sempat kakinya terayun, langit malam yang memang sudah muram sejak sore tadi menumpahkan seluruh bebannya. Berpayung jemari tangan yang teranyam di atas kepala, Yendra berlari menuju parkiran. Tatanan busana berikut rambut yang semula rapi, kini tampak tak beraturan. Rambutnya lepek sudah, kemeja pun celananya basah.
"Ay, kamu di mana sih? Kenapa bikin khawatir."
Sembari menyetir Yendra berusaha menghubungi beberapa orang yang dikenalnya dalam Komunitas Peduli Sesama, barangkali Ayya ke sana karena ada acara atau pertemuan mendadak. Namun, pernyataan Alden berhasil mematahkan semuanya. Ayya tidak ada di sana, bahkan hari ini perempuan itu meminta izin tidak datang ke rumah singgah karena katanya ada acara bersama Yendra. Memang benar, tetapi hanya makan siang, bukan? Lalu, ke mana perginya gadis itu setelah bertemu Yendra tadi?
Satu hal yang membuat Yendra kecewa. Ayya berbohong. Pantas saja sewaktu Yendra menawarkan diri untuk mengantar perempuan itu langsung ditolak tanpa berpikir. Apa yang salah sebenarnya? Atau, apa yang sebenarnya tengah Ayya sembunyikan?
***
"Arini hamil lagi."
Setelah cukup lama saling diam, akhirnya Kafa bersuara. Kalimat sederhana itu cukup untuk membuat seorang Ayyara Gauri Carabella menahan napas beberapa saat. "Aku bilang juga apa. Katanya kamu menderita, tapi ternyata menikmati."
"Bukan begitu, Ay."
"Lalu bagaimana? Aku merasa hanya jadi pelarian saat kamu jenuh dengan istri kamu."
"Semua enggak sesederhana itu kalau sudah menikah. Kamu tidak bisa menolak sesuatu yang wajib hukumnya. Atau berpura-pura buta akan sesuatu yang menjadi tanggung jawab kamu. Itu dosa, Ay."
Perempuan itu tersenyum meremehkan. "Kamu tahu dosa? Lalu, yang sedang kita lakukan sekarang apa bukan dosa?"
Salah bicara lagi. Kafa kembali mengumpat. Setelah ini obrolan mereka pasti berubah tidak nyaman seperti yang sudah-sudah. "Kita hanya berusaha menenangkan satu sama lain, kemudian bahagia. Setahuku dikatakan dosa bila memberikan mudarat bagi yang melakukannya."
"Kamu hanya sedang mencari pembanaran."
Kefa meraih jemari tangan Ayya, lalu menghadiahkn kecupan singkat di punggung tangan perempuan itu. "Bukan mencari pembenaran, tetapi berusaha menunjukkan kebenaran tentang seberapa besar aku cinta sama kamu, Ay."
Bodohnya Ayya tak berkutik. Ia justru diam saja saat Kafa tak hanya mencium tangannya, tetapi juga memeluknya. Pelukan yang sejak beberapa tahun lalu selalu mampu menenangkan resahnya. "Tanpa bilang pun, kamu pasti tahu bahwa hatiku juga menyuarakan kalimat yang sama. Tapi, situasinya sekarang berbeda Kafa. Aku masih mungkin mengakhiri hubungan dengan calon suamiku, sedangkan kamu tidak bisa begitu saja melepaskan istri dan anakmu. Ayo kembali, jangan berjalan terlalu jauh. Kasihan mereka."
"Jangan meminta aku melakukan sesuatu yang enggak mungkin aku lakukan. Tolong jangan pergi, Ay. Kalaupun kita memang harus berpisah, biar malaikat maut yang melakukan tugasnya. Bukan karena alasan apa pun di luar itu."
Ayya menyeka cairan bening yang meluncur bebas dari sudut matanya. Sekarang ia semakin merasa bersalah pada Yendra karena dalam diam justru menyetujui ucapan Kafa. Yendra? Ayya melepas pelukan Kafa tergesa. Karena mencemaskan Kafa, Ayya sampai melupakan janjinya. Ia merogoh tas, mencari keberadaan ponselnya, tetapi tak ada. Ponselnya tertinggal. "Sial!"
"Kenapa, Ay?"
"Aku harus pergi. Lebih baik sekarang kamu pulang. Kita bisa bertemu lain waktu. Hujan juga sudah reda. Hati-hati, Kafa!"
Kafa kebingungan, tetapi berusaha mengontrol diri. Setidaknya ia mendapat kepastian bahwa Ayya tidak akan meninggalkannya. Itu lebih dari cukup.
|Bersambung|
"Cinta boleh, bego jangan."Kalimat sederhana, tetapi menohok itu berhasil membuat Yendra tersenyum kecil. Ia anggap itu bentuk perhatian sang adik terhadapnya. Dibanding Zian, Zio memang cenderung bersikap masa bodoh dengan semua yang terjadi di sekelilingnya. Namun, jika kakaknya disentuh apalagi disakiti, anak itu langsung lepas kontrol. Hari ini Yendra melihat sisi lain anak itu, meski tidak secara gamblang."Tolong ambil paracetamol di kotak obat dong, Dek. Mas pusing."Bibir Zio mengerucut. Ia satu-satunya orang yang tersisa di rumah ini. Mama Jihan sedang pergi, Zian juga belum pulang dari sekolah. Baru pertama kali Zio menyesal membolos kalau pada akhirnya harus dihadapkan pada kakak beda ibu yang sedang sakit. Semalam, sang kakak pulang menjelang pagi setelah berkeliling mencari kekasihnya. Bodoh bukan?Sembari melangkah hendak mengambil obat, pemuda itu berpikir. Entah perasaannya saja atau sejak
Kafa baru saja menjejakkan kedua kakinya di rumah, tetapi begitu sampai ia langsung disambut omelan dari mama mertuanya. Lelaki itu menghela napas lelah. Sungguh, Kafa tidak punya tenaga untuk berdebat."Bukan Ibu mau ikut campur urusan kalian. Ibu cuma kasihan lihat Teteh sakit, terus di rumah sendiri."Lagi, Kafa menghela napas. Jam kerjanya sudah berakhir sore tadi, tetapi ia menyempatkan diri berkunjung ke rumah singgah. Kafa mengobrol dengan beberapa pasien juga keluarga pasien di sana, dan baru pulang saat malam mulai larut. Ya, harus diakui kalau sebenarnya Kafa juga menunggu Ayya, tetapi ternyata perempuan itu tidak datang ke rumah singgah."Maaf, Bu. Tadi memang ada pekerjaan di luar.""Ya kasih kabar seharusnya ke rumah. Kalau Ibu enggak ke sini, Arka siapa yang jaga? Istrimu itu lemas seharian. Kamu sebagai suami harus lebih sigap sebagai suami. Bagaimanapun, istri kamu itu sedang hamil."
Kafa baru saja menjejakkan kedua kakinya di rumah, tetapi begitu sampai ia langsung disambut omelan dari mama mertuanya. Lelaki itu menghela napas lelah. Sungguh, Kafa tidak punya tenaga untuk berdebat."Bukan Ibu mau ikut campur urusan kalian. Ibu cuma kasihan lihat Teteh sakit, terus di rumah sendiri."Lagi, Kafa menghela napas. Jam kerjanya sudah berakhir sore tadi, tetapi ia menyempatkan diri berkunjung ke rumah singgah. Kafa mengobrol dengan beberapa pasien juga keluarga pasien di sana, dan baru pulang saat malam mulai larut. Ya, harus diakui kalau sebenarnya Kafa juga menunggu Ayya, tetapi ternyata perempuan itu tidak datang ke rumah singgah."Maaf, Bu. Tadi memang ada pekerjaan di luar.""Ya kasih kabar seharusnya ke rumah. Kalau Ibu enggak ke sini, Arka siapa yang jaga? Istrimu itu lemas seharian. Kamu sebagai suami harus lebih sigap sebagai suami. Bagaimanapun, istri kamu itu sedang hamil."
"Dok, hasil FNAB-nya sudah keluar."Kafa langsung bergegas ke gedung cardiac center untuk mengambil hasil pemeriksaannya. Tiga hari yang lalu ia memang sempat melakukan serangkaian pemeriksaan, seperti foto thorax, CT-scan, pemeriksaan darah lengkap, dan biopsi jarum halus atau FNAB. Itu ia lakukan karena benjolan yang semula biasa saja mulai terasa sakit, dan Kafa juga baru sadar kalau berat badannya turun lumayan banyak hanya dalam waktu singkat. Itu merupakan pemeriksaan FNAB keduanya.Setelah hasil pemeriksaannya dibuka, Kafa hanya menemukan peradangan kronis pada bagian kesimpulan. Meski bisa dengan mudah membaca hasil yang didapat, tetapi Kafa harus tetap berkonsultasi dengan dokter yang menanganinya.Sembari menunggu, lelaki itu melebarkan pandang, berharap kalau Ayya ada sekitar sini menemani salah satu pasien. Kafa merindukan Ayya. Sejak pertemuan malam itu Ayya menghilang tanpa kabar. Sulit sekali dihubu
Alden mengetuk-ngetukkan ujung pena pada meja. Sungguh, ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya tadi. Bagaimana mungkin perempuan yang paling Alden kagumi bisa berbuat serendah itu?Sebenarnya tujuan Alden ke rumah sakit tadi untuk menggantikan Mahesa yang kebetulan ada acara dadakan. Padahal, Alden juga punya banyak pekerjaan di rumah singgah. Ternyata begitu sampai ke rumah sakit ia justru dihadapkan pada pemandangan kurang mengenakan."Al, lihat Ayya?"Pemuda itu terlonjak saat mendengar suara berat seseorang. Lamunannya buyar seketika, berganti gugup. "Eh, Mas. Kapan datang?""Barusan. Ayya agak susah dihubungi. Saya pikir Ayya sibuk, jadi saya ke sini bawa makan siang.""Teh Ayya lagi pergi, Mas. Mungkin sebentar lagi pulang. Udah dari tadi kok.""Antar pasien?" tanya Yendra."Iya, cuma kontrol kok.""Kamu udah makan? Saya bawa ba
Ayya bimbang. Kafa tiba-tiba mengajaknya berlibur. Semenjak tahu kalau lelaki itu sakit, ia memang memberi perhatian lebih. Apalagi, Kafa sering mengancam tidak akan melakukan operasi jika Ayya tak mau menuruti permintaannya. Seperti tempo hari. Seharusnya Ayya tak peduli, terlebih mereka tak lagi memiliki ikatan, selain label mantan. Namun, semua menjadi tak mudah karena kondisi Kafa sekarang. Ayya juga tidak sekejam itu membiarkan Kafa diam saja dengan penyakit yang semakin memburuk. Dari berbagai artikel yang ia telusuri, tumor parotis atau kelenjar ludah bisa dikategorikan jinak, bisa pula ganas. Ayya hanya berharap kalau yang diderita Kafa termasuk jinak dan bisa sembuh dengan melakukan pembedahan.KafaGimana, Ay?Anggap ini permintaan terakhirku. Enggak pernah ada yang benar-benar tahu apa yang akan terjadi saat operasi.Tuh kan! Lagi-lagi lelaki itu menyinggung sesuatu yang sama sekali tidak ingi
Ayya dan Kafa memutuskan naik kendaraan umum untuk sampai ke Lembang. Tentu saja agar keberadaan keduanya sama-sama tak mudah terendus oleh orang-orang yang mungkin mengenal mereka."Kalau sakit, kenapa kamu harus memaksakan diri?"Kafa yang saat ini tidur dengan posisi bersandar di bahu gadisnya hanya tersenyum kecil. Tidak ada alasan untuk melewatkan kesempatan sebaik ini. Menghabiskan waktu bersama Ayya.Andai dulu Kafa tidak memutuskan untuk menikahi perempuan lain, mungkin situasinya tidak akan seburuk ini. Semua serba salah. Pergi sulit, bertahan pun bukan pilihan yang tepat. Setiap mengingat bagaimana istri Kafa di rumah menanti suaminya, Ayya merasa ingin berhenti saat itu juga. Namun, egonya tak lebih kecil dari kesadarannya akan kesalahan yang terang-terangan mereka lakukan.Ponsel dalam genggamannya bergetar, dan Ayya melihat satu pesan masuk. Nama Alden tertera di sana. Meski sudah sering berki
Rencana liburan mereka akhirnya hanya dihabiskan di penginapan. Ayya tidak mau ambil resiko dengan mengajak lelaki itu pergi. Jadi, mereka hanya melakukan hal-hal kecil di penginapan, memasak salah satunya. Ayya tengah berkutat di dapur saat tiba-tiba Kafa memeluknya dari belakang. Terang saja perempuan itu terkejut, membuat sudut pisau nyaris menyentuh jemarinya. "Ya ampun, Kafa. Aku kaget. Kamu ngapain ke sini? Tidur aja sana," ujarnya. "Aku ke sini buat sama kamu. Kalau cuma tiduran, apa bedanya di sini sama di rumah?" Ayya menghela napas, kemudian berbalik menghadap lelaki itu. "Kafa, aku begini karena peduli. Kalau sampai ada apa-apa gimana? Kita juga tetap enggak akan bisa ngapa-ngapain, 'kan?" Mau tak mau Kafa mengangguk. Melihat hal itu, Ayya kembali melanjutkan aktivitas memasaknya, sementara Kafa menatap perempuan itu dari meja makan. Banyak hal yang tiba-tiba melintas di ke