"Cinta boleh, bego jangan."
Kalimat sederhana, tetapi menohok itu berhasil membuat Yendra tersenyum kecil. Ia anggap itu bentuk perhatian sang adik terhadapnya. Dibanding Zian, Zio memang cenderung bersikap masa bodoh dengan semua yang terjadi di sekelilingnya. Namun, jika kakaknya disentuh apalagi disakiti, anak itu langsung lepas kontrol. Hari ini Yendra melihat sisi lain anak itu, meski tidak secara gamblang.
"Tolong ambil paracetamol di kotak obat dong, Dek. Mas pusing."
Bibir Zio mengerucut. Ia satu-satunya orang yang tersisa di rumah ini. Mama Jihan sedang pergi, Zian juga belum pulang dari sekolah. Baru pertama kali Zio menyesal membolos kalau pada akhirnya harus dihadapkan pada kakak beda ibu yang sedang sakit. Semalam, sang kakak pulang menjelang pagi setelah berkeliling mencari kekasihnya. Bodoh bukan?
Sembari melangkah hendak mengambil obat, pemuda itu berpikir. Entah perasaannya saja atau sejak
Kafa baru saja menjejakkan kedua kakinya di rumah, tetapi begitu sampai ia langsung disambut omelan dari mama mertuanya. Lelaki itu menghela napas lelah. Sungguh, Kafa tidak punya tenaga untuk berdebat."Bukan Ibu mau ikut campur urusan kalian. Ibu cuma kasihan lihat Teteh sakit, terus di rumah sendiri."Lagi, Kafa menghela napas. Jam kerjanya sudah berakhir sore tadi, tetapi ia menyempatkan diri berkunjung ke rumah singgah. Kafa mengobrol dengan beberapa pasien juga keluarga pasien di sana, dan baru pulang saat malam mulai larut. Ya, harus diakui kalau sebenarnya Kafa juga menunggu Ayya, tetapi ternyata perempuan itu tidak datang ke rumah singgah."Maaf, Bu. Tadi memang ada pekerjaan di luar.""Ya kasih kabar seharusnya ke rumah. Kalau Ibu enggak ke sini, Arka siapa yang jaga? Istrimu itu lemas seharian. Kamu sebagai suami harus lebih sigap sebagai suami. Bagaimanapun, istri kamu itu sedang hamil."
Kafa baru saja menjejakkan kedua kakinya di rumah, tetapi begitu sampai ia langsung disambut omelan dari mama mertuanya. Lelaki itu menghela napas lelah. Sungguh, Kafa tidak punya tenaga untuk berdebat."Bukan Ibu mau ikut campur urusan kalian. Ibu cuma kasihan lihat Teteh sakit, terus di rumah sendiri."Lagi, Kafa menghela napas. Jam kerjanya sudah berakhir sore tadi, tetapi ia menyempatkan diri berkunjung ke rumah singgah. Kafa mengobrol dengan beberapa pasien juga keluarga pasien di sana, dan baru pulang saat malam mulai larut. Ya, harus diakui kalau sebenarnya Kafa juga menunggu Ayya, tetapi ternyata perempuan itu tidak datang ke rumah singgah."Maaf, Bu. Tadi memang ada pekerjaan di luar.""Ya kasih kabar seharusnya ke rumah. Kalau Ibu enggak ke sini, Arka siapa yang jaga? Istrimu itu lemas seharian. Kamu sebagai suami harus lebih sigap sebagai suami. Bagaimanapun, istri kamu itu sedang hamil."
"Dok, hasil FNAB-nya sudah keluar."Kafa langsung bergegas ke gedung cardiac center untuk mengambil hasil pemeriksaannya. Tiga hari yang lalu ia memang sempat melakukan serangkaian pemeriksaan, seperti foto thorax, CT-scan, pemeriksaan darah lengkap, dan biopsi jarum halus atau FNAB. Itu ia lakukan karena benjolan yang semula biasa saja mulai terasa sakit, dan Kafa juga baru sadar kalau berat badannya turun lumayan banyak hanya dalam waktu singkat. Itu merupakan pemeriksaan FNAB keduanya.Setelah hasil pemeriksaannya dibuka, Kafa hanya menemukan peradangan kronis pada bagian kesimpulan. Meski bisa dengan mudah membaca hasil yang didapat, tetapi Kafa harus tetap berkonsultasi dengan dokter yang menanganinya.Sembari menunggu, lelaki itu melebarkan pandang, berharap kalau Ayya ada sekitar sini menemani salah satu pasien. Kafa merindukan Ayya. Sejak pertemuan malam itu Ayya menghilang tanpa kabar. Sulit sekali dihubu
Alden mengetuk-ngetukkan ujung pena pada meja. Sungguh, ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya tadi. Bagaimana mungkin perempuan yang paling Alden kagumi bisa berbuat serendah itu?Sebenarnya tujuan Alden ke rumah sakit tadi untuk menggantikan Mahesa yang kebetulan ada acara dadakan. Padahal, Alden juga punya banyak pekerjaan di rumah singgah. Ternyata begitu sampai ke rumah sakit ia justru dihadapkan pada pemandangan kurang mengenakan."Al, lihat Ayya?"Pemuda itu terlonjak saat mendengar suara berat seseorang. Lamunannya buyar seketika, berganti gugup. "Eh, Mas. Kapan datang?""Barusan. Ayya agak susah dihubungi. Saya pikir Ayya sibuk, jadi saya ke sini bawa makan siang.""Teh Ayya lagi pergi, Mas. Mungkin sebentar lagi pulang. Udah dari tadi kok.""Antar pasien?" tanya Yendra."Iya, cuma kontrol kok.""Kamu udah makan? Saya bawa ba
Ayya bimbang. Kafa tiba-tiba mengajaknya berlibur. Semenjak tahu kalau lelaki itu sakit, ia memang memberi perhatian lebih. Apalagi, Kafa sering mengancam tidak akan melakukan operasi jika Ayya tak mau menuruti permintaannya. Seperti tempo hari. Seharusnya Ayya tak peduli, terlebih mereka tak lagi memiliki ikatan, selain label mantan. Namun, semua menjadi tak mudah karena kondisi Kafa sekarang. Ayya juga tidak sekejam itu membiarkan Kafa diam saja dengan penyakit yang semakin memburuk. Dari berbagai artikel yang ia telusuri, tumor parotis atau kelenjar ludah bisa dikategorikan jinak, bisa pula ganas. Ayya hanya berharap kalau yang diderita Kafa termasuk jinak dan bisa sembuh dengan melakukan pembedahan.KafaGimana, Ay?Anggap ini permintaan terakhirku. Enggak pernah ada yang benar-benar tahu apa yang akan terjadi saat operasi.Tuh kan! Lagi-lagi lelaki itu menyinggung sesuatu yang sama sekali tidak ingi
Ayya dan Kafa memutuskan naik kendaraan umum untuk sampai ke Lembang. Tentu saja agar keberadaan keduanya sama-sama tak mudah terendus oleh orang-orang yang mungkin mengenal mereka."Kalau sakit, kenapa kamu harus memaksakan diri?"Kafa yang saat ini tidur dengan posisi bersandar di bahu gadisnya hanya tersenyum kecil. Tidak ada alasan untuk melewatkan kesempatan sebaik ini. Menghabiskan waktu bersama Ayya.Andai dulu Kafa tidak memutuskan untuk menikahi perempuan lain, mungkin situasinya tidak akan seburuk ini. Semua serba salah. Pergi sulit, bertahan pun bukan pilihan yang tepat. Setiap mengingat bagaimana istri Kafa di rumah menanti suaminya, Ayya merasa ingin berhenti saat itu juga. Namun, egonya tak lebih kecil dari kesadarannya akan kesalahan yang terang-terangan mereka lakukan.Ponsel dalam genggamannya bergetar, dan Ayya melihat satu pesan masuk. Nama Alden tertera di sana. Meski sudah sering berki
Rencana liburan mereka akhirnya hanya dihabiskan di penginapan. Ayya tidak mau ambil resiko dengan mengajak lelaki itu pergi. Jadi, mereka hanya melakukan hal-hal kecil di penginapan, memasak salah satunya. Ayya tengah berkutat di dapur saat tiba-tiba Kafa memeluknya dari belakang. Terang saja perempuan itu terkejut, membuat sudut pisau nyaris menyentuh jemarinya. "Ya ampun, Kafa. Aku kaget. Kamu ngapain ke sini? Tidur aja sana," ujarnya. "Aku ke sini buat sama kamu. Kalau cuma tiduran, apa bedanya di sini sama di rumah?" Ayya menghela napas, kemudian berbalik menghadap lelaki itu. "Kafa, aku begini karena peduli. Kalau sampai ada apa-apa gimana? Kita juga tetap enggak akan bisa ngapa-ngapain, 'kan?" Mau tak mau Kafa mengangguk. Melihat hal itu, Ayya kembali melanjutkan aktivitas memasaknya, sementara Kafa menatap perempuan itu dari meja makan. Banyak hal yang tiba-tiba melintas di ke
"Kalau kamu memang perempuan baik-baik, tidak seharusnya kamu menerima ajakan bertemu seorang pria yang sudah beristri."Ayya tersentak kaget saat perempuan yang baru saja selesai memaki, ganti mendorong kuat tubuhnya hingga tersungkur jatuh. Sedangkan lelaki di sebelahnya tak banyak bicara, membela pun seolah enggan. Padahal, dia yang mengajaknya ke sini.Perempuan yang lebih tinggi dari Ayya itu maju selangkah, menunduk, lalu kembali memukuli Ayya dengan brutal. Meski pukulan tersebut cukup kuat dan menyakitkan, tetap tak lebih sakit dibanding hatinya sekarang."Kenapa kamu jahat? Apa lelaki di dunia ini sudah benar-benar habis sampai kamu nekat menggoda suami orang?" ujarnya lagi dengan sorot yang lebih redup dari sebelumnya. Perempuan itu beralih pandang, menatap sang suami yang saat ini membatu di tempatnya. "Dan kamu, A, kenapa bisa sejauh ini? Apa kehadiran Arka di hidup kita tidak cukup untuk membuat kamu mencintai