"Kalau kamu memang perempuan baik-baik, tidak seharusnya kamu menerima ajakan bertemu seorang pria yang sudah beristri."
Ayya tersentak kaget saat perempuan yang baru saja selesai memaki, ganti mendorong kuat tubuhnya hingga tersungkur jatuh. Sedangkan lelaki di sebelahnya tak banyak bicara, membela pun seolah enggan. Padahal, dia yang mengajaknya ke sini.
Perempuan yang lebih tinggi dari Ayya itu maju selangkah, menunduk, lalu kembali memukuli Ayya dengan brutal. Meski pukulan tersebut cukup kuat dan menyakitkan, tetap tak lebih sakit dibanding hatinya sekarang.
"Kenapa kamu jahat? Apa lelaki di dunia ini sudah benar-benar habis sampai kamu nekat menggoda suami orang?" ujarnya lagi dengan sorot yang lebih redup dari sebelumnya. Perempuan itu beralih pandang, menatap sang suami yang saat ini membatu di tempatnya. "Dan kamu, A, kenapa bisa sejauh ini? Apa kehadiran Arka di hidup kita tidak cukup untuk membuat kamu mencintaiku?"
"Aku cinta sama kamu, Rin, tapi bohong kalau aku sudah bisa melupakan Ayya. Ada beberapa tahun yang aku habiskan bersama dia, jauh sebelum aku mengikat kamu dalam sebuah pernikahan."
"Kamu jahat, A." Perempuan bermata sipit itu bertutur lirih. Tubuhnya merosot jatuh, bertumpu penuh pada tanah yang dipijaknya.
Ayya gemetar melihat tatapan nyalang perempuan itu. Tubuh yang sebelumnya tampak sudah kehilangan daya, seolah kembali terisi penuh. Tangan Arini terangkat, siap mengayunkan pukulan atau minimal satu tamparan lagi. Namun, belum sempat tangan mulus itu mendarat, seseorang lebih dulu mengguncang tubuhnya.
"Teh Ayya, bangun dulu. Ini Hani mau kasih lihat desain baru baju untuk komunitas kita."
Ayya menggeliat pelan. Kedua netranya mengerjap beberapa kali sebelum benar-benar terbuka. "Ya ampun, saya ketiduran."
Hani tersenyum tipis. "Teteh pasti capek semalaman jaga di rumah sakit. Maaf karena Hani jadi ganggu Teteh."
"Enggak. Saya justru berterima kasih karena kamu bangunkan. Sebenarnya hari ini saya ada janji sama Mas Yendra," terang perempuan itu. Ia bangkit, lalu meraih selembar kertas dalam genggaman Hani. "Ini desain barunya?"
"Iya, Teh. Menurut Teteh bagaimana?"
"Wah, ini bagus. Saya suka."Enam bulan belakangan ini, Ayyara Gauri Carabella memang aktif membina Komunitas Peduli Sesama. Sebuah komunitas yang bergerak memberi pendampingan pada pasien dengan penyakit kronis dan membutuhkan pengobatan jangka panjang. Pasien radioterapi contohnya. Dua puluh sampai tiga puluh kali radiasi jelas membutuhkan banyak waktu, sedangkan tidak semua pasien didampingi penuh oleh keluarganya.
"Kalau Teteh sudah setuju, biar nanti Hani bicarakan sama yang lain juga supaya cepat dibuat."
"Boleh," singkatnya. Ayya melirik jam warna putih yang melingkar di pergelangan tangannya, dan langsung memekik tertahan. Pasalnya, ia sudah terlambat tiga puluh menit untuk bertemu tunangannya. "Hani, saya pergi dulu, ya. Tolong bilang sama Alden kalau data pasien di rumah singgah Azalea sudah saya kirim via email."
"Iya, Teh, nanti saya bilang. Teteh hati-hati di jalan, ya."
Ayya hanya mengacungkan jempol sebagai jawaban. Ia buru-buru karena Yendra pasti sudah terlalu lama menunggu.
***
"Bapak, simulasinya kita jadwalkan tanggal 2 Juli, ya. Seminggu sebelum itu Bapak sudah harus ke sini untuk cek darah," terang Suster Gendis.
"Dok, kenapa jadwalnya lama? Kapan Bapak sembuh kalau pengobatannya diundur terus."
Kafa yang semula sibuk menulis resep untuk pasiennya refleks mengangkat kepala. Netranya beradu dengan sorot sendu gadis berperawakan mungil yang duduk di sebelah ayahnya. "Karena kondisinya, ayah kamu bahkan dijadwalkan lebih cepat dibanding yang lain. Jadi, kamu harus sabar karena semuanya memang butuh proses."
Gadis berambut sebahu itu tak bisa mengatakan apa-apa selain pasrah. Karena bagaimanapun, dokter lebih tahu kondisi dan yang terbaik untuk ayahnya.
Setelah pasien terakhirnya meninggalkan ruangan, Kafa langsung berbenah. Dua kali dalam seminggu ia akan dihadapkan pada pasien dengan ragam kondisi, dan jujur tidak ada yang tak membebani pikirannya. Kafa ingin mereka semua sembuh.
Gelar yang tersemat rapi di belakang namanya memang cukup memberatkan. Kafa bertanggung jawab penuh pada profesinya sebagai dokter spesialis onkologi radiasi. Ia berharap semua yang ditangani olehnya bisa melakukan pengobatan dengan baik dan berhasil mencecap kesembuhan. Meski tak mudah, Kafa menikmati setiap proses yang ia lalui. Setidaknya, dengan demikian, pikiran lelaki itu bisa teralih dari gadis masa lalunya.
|Bersambung|
Yang berbahaya itu bukan hanya pertemuan dengan mantan, tetapi berbenturan dengan kenangan. Tak berwujud pun kenangan sanggup mengacaukan sebuah usaha melupakan.Lanjut Salah, Berhenti Susah |01|***"Besok jadi mau minta surat rekomendasi dari IDI, Mas?"Yendra menelan makanan yang tengah dikunyah lebih dulu sebelum akhirnya bersuara, "Iya, jadi. Siapa tahu kalau persyaratannya rampung dilengkapi, perizinan bisa keluar secepatnya."Ayya mengangguk mafhum. Calon suaminya itu memang tengah sibuk mengurus segala sesuatu terkait klinik yang baru didirikan. Wajar kalau intensitas pertemuan mereka semakin menyempit. Yendra tak hanya harus pintar membagi waktu antara urusan klinik, keluarga, dan Ayya, tetapi juga urusan kampus, mengingat belum lama ini lela
Hanya ada satu alasan kenapa seseorang begitu sulit kamu lupakan: dia terlalu berkesan. Berkesan sakitnya, atau justru terlalu berkesan pula jejak kenangan yang ditinggalkannya.Back To You |02|***Ayya sibuk menggulir lembar microsoft exel. Di sana tercatat data pasien Rumah Sakit Gardenia yang tinggal di rumah singgah Azalea. Kebanyakan berasal dari luar kota. Namun, tak sedikit pula yang memang tinggal di Bandung.Anak Rendra contohnya. Diketahui, ada tumor pada saluran cernanya. Dia berasal dari Soreang, Kabupaten Bandung, tetapi karena jarak tempuh antara rumah ke rumah sakit cukup jauh, orang tuanya memilih tinggal di rumah singgah. Pihak rumah singgah sempat menawarkan fasilitas antar jemput, jadi mereka bisa tetap berkumpul bersama keluarga, tak sulit dan memakan biaya
Obat bisa bersifat terapeutik, bisa pula toksik. Tak jauh berbeda dengan cinta. Ada masa di mana cinta bertugas sebagai penyembuh, tetapi dalam kasus berbeda sanggup menjadi pembunuh.Lanjut Salah, Berhenti Susah|03|***"Shit!"Kafa mengumpat kesal. Lelaki itu turun tergesa dan langsung dihadapkan pada bagian samping mobil kesayangannya yang ternyata sudah tergores. Tadi Kafa sengaja berhenti sejenak untuk mengangkat sambungan telepon dari sang istri. Namun, tiba-tiba seseorang menabrak mobilnya yang terparkir di bahu jalan.Pandangan pria itu meliar, mengamati dalam diam mobil yang baru saja berbenturan dengan mobilnya. Tidak ada pergerakan sama sekali dari dalam sama. Entah karena orang itu gugup dan takut, atau mungkin ... orang itu pingsan? Nalurinya sebagai seorang dokter mu
Kendati sudah berusaha menutup mata dan telinga agar tak melihat atau mendengar apa pun lagi tentangnya, otak justru kepayahan untuk sekadar menghapus nama yang telanjur tercatat. Dan hati dengan tak tahu diri mengabadikan kenangan yang telah dalam terpahat.Lanjut Salah, Berhenti Susah|04|***Kafa terbatuk beberapa kali, meski sedikit tertahan. Padahal, posisinya sekarang tengah memeriksa pasien. Tangan pemuda itu terangkat, membetulkan letak masker yang sedikit merosot. Sudah hampir seminggu setelah pertemuan tengah malam dengan Yendra, Kafa didera flu berat, lengkap dengan radang tenggorokan yang lumayan menyiksa. Selain membuatnya kesulitan menelan makanan, kondisi itu juga memaksanya menelan methyl prednisolon yang pahit bukan main jika bersentuhan dengan indra perasa. Namun, itu tak membuatnya malas bekerja. Bagaimanapun menghabis
Saat bibir terkatup rapat, seolah kehilangan daya untuk sekadar mengatakan aku mencintaimu. Jantung justru sukses besar melakukan tugasnya, dengan berdebar cepat saat berhadapan tepat dengan pemilik hatimu.Lanjut Salah, Berhenti Susah |05|***"Wow, kenapa harus seheboh ini sih?" Kafa bertanya-tanya sendiri saat detak jantungnya sulit dikendalikan.Sebenarnya bukan hanya sekarang—saat menunggu perempuan bernama Ayya— jantungnya mengamuk seolah minta keluar, tetapi sejak di rumah sakit tadi setelah mengobrol dengan Suster Gendis ihwal Komunitas Peduli Sesama binaan perempuan itu.Kafa ingin memastikan, apakah benar Ayya yang dimaksud adalah gadisnya? Ah, gadis dari masa lalunya. Berselancar di internet juga tak memberi banyak petunjuk, sebab yang tertulis hanya visi, misi, dan apa pun yang berkaitan dengan ko
Jika tahu salah, kenapa tidak sama-sama menyerah?Bahagia memang harus diperjuangkan. Tetapi, dengan melukai hati orang, tidak bisa dikategorikan ke dalam usaha memperjuangkan kebahagiaan.Lanjut Salah, Berhenti Susah|06|***KafaAy, makan siang, yuk?Aku belum makan.Ayya tersedak salivanya sendiri saat membaca pesan yang dikirim Kafa. Bukan apa-apa, posisinya saat ini sedang makan siang bersama Yendra. Bahaya kalau sampai lelaki itu melihat dan pada akhirnya berpikir yang tidak-tidak."Pelan-pelan, Sayang," ujar lelaki itu lembut sembari mengusap punggung calon istrinya.Setelah pertemuan hari itu, Kafa memang gencar mengajaknya bertemu. Alasannya ingin membahas tentang beberapa pasien yang ditanganinya. Ayya sempat meminta orang lain untuk menggantikanny
Kafa berdiri di depan cermin, meraba area leher yang memang terlihat membengkak. Ia bukan tidak menyadari hal itu sebelumnya, tetapi mulai curiga saat Ayya yang mengingatkannya. Semula, Kafa berpikir kalau pembengkakan kelenjar getah bening terjadi karena batuk flu yang dideritanya selama seminggu lebih. Namun, sakitnya hilang pun ternyata benjolan itu tak mengecil, justru semakin kentara.Tubuhnya tiba-tiba menegang saat seseorang memeluknya dari belakang. Sungguh, Kafa berharap yang melakukan hal tersebut adalah Ayya, meski ia harus menuai kecewa karena orang itu Arini."A, mau ngobrol.""Bisa besok aja? Aku capek."Senyum yang semula tercetak manis di bibir Arini berubah redup karena Kafa seolah enggan menanggapinya. Begitu pulang, Kafa juga sama sekali tak menyentuh Arka. Jujur itu membuat hatinya sedih. Arini merasa ia dan putranya diabaikan. Ah, atau mungkin Arini saja yang terlalu sensitif. Kafa pas
"Cinta boleh, bego jangan."Kalimat sederhana, tetapi menohok itu berhasil membuat Yendra tersenyum kecil. Ia anggap itu bentuk perhatian sang adik terhadapnya. Dibanding Zian, Zio memang cenderung bersikap masa bodoh dengan semua yang terjadi di sekelilingnya. Namun, jika kakaknya disentuh apalagi disakiti, anak itu langsung lepas kontrol. Hari ini Yendra melihat sisi lain anak itu, meski tidak secara gamblang."Tolong ambil paracetamol di kotak obat dong, Dek. Mas pusing."Bibir Zio mengerucut. Ia satu-satunya orang yang tersisa di rumah ini. Mama Jihan sedang pergi, Zian juga belum pulang dari sekolah. Baru pertama kali Zio menyesal membolos kalau pada akhirnya harus dihadapkan pada kakak beda ibu yang sedang sakit. Semalam, sang kakak pulang menjelang pagi setelah berkeliling mencari kekasihnya. Bodoh bukan?Sembari melangkah hendak mengambil obat, pemuda itu berpikir. Entah perasaannya saja atau sejak