Obat bisa bersifat terapeutik, bisa pula toksik. Tak jauh berbeda dengan cinta. Ada masa di mana cinta bertugas sebagai penyembuh, tetapi dalam kasus berbeda sanggup menjadi pembunuh.
Lanjut Salah, Berhenti Susah|03|***
"Shit!"
Kafa mengumpat kesal. Lelaki itu turun tergesa dan langsung dihadapkan pada bagian samping mobil kesayangannya yang ternyata sudah tergores. Tadi Kafa sengaja berhenti sejenak untuk mengangkat sambungan telepon dari sang istri. Namun, tiba-tiba seseorang menabrak mobilnya yang terparkir di bahu jalan.
Pandangan pria itu meliar, mengamati dalam diam mobil yang baru saja berbenturan dengan mobilnya. Tidak ada pergerakan sama sekali dari dalam sama. Entah karena orang itu gugup dan takut, atau mungkin ... orang itu pingsan? Nalurinya sebagai seorang dokter mulai bicara. Dengan langkah cepat Kafa menghampiri mobil hitam di belakangnya. Matanya membelalak melihat seorang lelaki nyatanya pingsan dengan tubuh bertumpu penuh pada stir. "Mas!"
Sekarang lewat tengah malam. Jalanan yang dilewatinya pun sudah tampak sepi. Sulit meminta pertolongan dalam kondisi seperti ini. Tangan lelaki itu bergerak brutal menggedor kaca mobil, berharap orang di dalam sana bangun.
Mulutnya terus berteriak memanggil, sementara tangannya tetap bergerak menggedor. "Mas, bangun!"
Setelah cukup lama, usahanya berbuah manis. Lelaki di dalam sana menunjukkan tanda-tanda telah sadar. Pintu terbuka, dan orang itu keluar sembari memegangi pelipis yang tampak sedikit membiru.
"Maaf."
Kafa mengulurkan tangan, hendak membantu membawa lelaki itu ke bahu jalan. "Tenang saja, saya dokter," ujarnya saat mendapat tatapan aneh dari pria yang lebih tinggi darinya.
Yendra tersenyum, meski samar. "Saya juga dokter."
Kafa tak mengindahkan ucapan lelaki itu. Siapa tahu lelaki berkemeja abu-abu itu halusinasi karena benturan tadi. Sekalipun benar, ya, tetap saja membutuhkan pertolongan orang lain.
Dengan cekatan Kafa mulai memeriksa. Ia pun tak henti bicara melontarkan berbagai pertanyaan.
"Saya tidak ingat betul apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, sepertinya saya pingsan bukan karena terbentur. Saya pingsan sesaat sebelum menabrak mobil Anda. Kepala saya memang sudah pusing sejak awal."
"Ck, yang Anda lakukan ini bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain. Kalau tidak sehat, sebaiknya jangan memaksakan. Anda dokter, 'kan? Kenapa bisa seceroboh itu?"
Merasa tersudut, sekali lagi Yendra meminta maaf. Semua pengakuannya memang jujur. Beberapa hari ini tidur, makan, dan pikirannya tersita oleh banyak hal termasuk pekerjaan, Ayya, dan adik kembarnya. Sebagai permintan maaf, Yendra mengajak lelaki yang sudah menolongnya itu ke restoran 24 jam yang tak jauh dari tempat mereka sekarang. Lagi pula, ia tidak mungkin langsung berkendara dalam kondisi seperti ini.
***
"Lho, aku di rumah sakit sekarang, Tante. Memang Mas Yendra belum pulang?"
Suara perempuan di seberang telepon sana sarat akan rasa cemas. Bagaimanapun ini hampir pagi, dan Yendra belum juga pulang. Sementara ia sendiri sama sekali tidak ada komunikasi sejak pagi tadi. Ayya terlalu sibuk sampai tak sempat walau sekadar bertanya lelaki itu sudah malam atau belum.
"Tante jangan cemas, ya. Mungkin Mas Yendra sedang sibuk, jadi belum sempat memberi kabar. Kalau Ayya lagi enggak jaga pasien, mungkin Ayya bisa pergi mencari Mas Yendra."
Setelah sambungan terputus, Ayya mencoba menghubungi calon suaminya. Namun, hingga beberapa kali tak juga ada jawaban walaupun tersambung. Ayya menghela napas. Ia baru menyadari sesuatu. Ternyata separah ini hubungannya dengan lelaki itu. Tidak bisakah mereka menjalin hubungan yang normal? Mungkin bisa, andai Ayya lupa sepenuhnya pada orang di masa lalu.
Me
Mas, kamu di mana?Me
Ini sudah jam berapa?Mama kamu khawatirTak lama setelah mengirim pesan kedua, ponsel gadis itu akhirnya bergetar menandakan ada pesan masuk.
Mas Yendra
Bisa pesankan taksi online, Ay?Aku enggak punya aplikasinya.Me
Lho, mobil Mas kenapa?Mas di mana sekarang?Mas Yendra
Tadi nabrak.Margahayu selatan.Me
Share lokasi Mas, nanti aku pesankanSesaat setelah menerima lokasi yang dikirim Yendra. Ayya langsung bergegas ke kamar nomor sembilan. Untunglah di ruang Kemuning ini ada lebih dari dua orang anggota KPS. Jadi, Ayya bisa meminta tolong untuk menggantikan.
***
"Sekali lagi terima kasih. Kerusakannya biar nanti saya yang membiayai."
Kafa tersenyum. "Enggak perlu. Lain kali hati-hati. Mengemudi dalam keadaan sakit sangat tidak dianjurkan."
Yendra semakin merasa tidak enak karena sudah banyak menyusahkan di waktu selarut ini. Mereka sempat mengobrol banyak tadi, terutama tentang pekerjaan masing-masing. Dan ternyata mereka nyambung. Kafa bahkan memberikan beberapa masukan ihwal hubungan percintaannya saat tidak sengaja Yendra menceritakan apa yang membebani pikirannya.
Terlalu dini memang. Terkesan ceroboh pula menceritakan hal yang sifatnya begitu pribadi pada orang asing. Tapi, bagaimana lagi? Semua meluncur begitu saja.
"Mau saya antar?"
"Ah, nanti saya dijemput taksi online."
"Kalau begitu, saya duluan."
Yendra mengangguk. Mengamati dalam diam pria yang mulai menghilang dari pandangannya. Setelah memastikan pria itu pergi, Yendra menyandarkan tubuh pada mobil, sembari menunggu taksi online pesanan Ayya datang.
"Mas kamu enggak apa-apa?"
Yendra terkesiap. Lebih Dari lima belas menit menunggu, rupanya malah Ayya yang datang. "Kamu ngapain di sini, Ay? Katanya mau pesan taksi online."
"Ya, kamu pikir aku bisa tenang menjaga orang lain, sementara calon suamiku baru saja kecelakaan?"
Lelaki berwajah pucat itu menyunggingkan senyum manis. "Rasanya aku ikhlas kecelakaan berkali-kali, bahkan mati sekalipun, kalau tahu kamu akan sekhawatir ini. Sedikit banyak aku lega karena itu artinya aku berharga buat kamu."
Yendra mengangguk. Lelaki itu diam saja membiarkan Ayya menuntunnya masuk mobil, bahkan membantu membetulkan posisinya agar lebih nyaman. Perempuan itu kemudian melakukan kendaraannya.
"Mas kenapa bisa nabrak? Orang yang Mas tabrak enggak apa-apa?"
"Pusing banget tadi. Orangnya di luar. Mobilnya aja yang aku tabrak. Untungnya dia dokter, jadi tadi sempat nolong aku juga waktu aku pingsan."
"Ya Allah, Mas. Mau ke rumah sakit dulu enggak? Kita periksain, ya, takutnya ada apa-apa. Area kepala kan vital. Ngeri banget kalau ada apa-apa."
"Enggak usah, Ay. Aku baik-baik aja kok. Kita langsung pulang aja. Lagian kasihan Mama pasti nunggu."
"Ya udah, sekarang kita langsung pulang. Ingat, ya, Mas. Aku enggak mau kejadian begini keulang lagi. Kalau kamu emang enggak enak badan, bisa telepon aku atau anak-anak di kantor. Jangan membahayakan diri kamu sendiri dengan nekat nyetir begini."
"Iya, Sayang. Bawel banget, sih, calon istriku ini."
"Aku bawel karena apa coba?"
"Sayang."
"Itu tahu. Jadi, tolong banget hal kayak gini jangan diulang, Mas. Aku benar-benar enggak suka lho."
"Iya. Aku janji lain kali bakal bilang kalau sakit atau apa pun."
"Gitu dong."
Harusnya Yendra merasa lega bukan dengan perhatian yang diberikan Ayya? Sayang, hatinya masih menyangkal bahwa apa yang Ayya katakan benar bentuk sebuah rasa sayang.
|Bersambung|
Kendati sudah berusaha menutup mata dan telinga agar tak melihat atau mendengar apa pun lagi tentangnya, otak justru kepayahan untuk sekadar menghapus nama yang telanjur tercatat. Dan hati dengan tak tahu diri mengabadikan kenangan yang telah dalam terpahat.Lanjut Salah, Berhenti Susah|04|***Kafa terbatuk beberapa kali, meski sedikit tertahan. Padahal, posisinya sekarang tengah memeriksa pasien. Tangan pemuda itu terangkat, membetulkan letak masker yang sedikit merosot. Sudah hampir seminggu setelah pertemuan tengah malam dengan Yendra, Kafa didera flu berat, lengkap dengan radang tenggorokan yang lumayan menyiksa. Selain membuatnya kesulitan menelan makanan, kondisi itu juga memaksanya menelan methyl prednisolon yang pahit bukan main jika bersentuhan dengan indra perasa. Namun, itu tak membuatnya malas bekerja. Bagaimanapun menghabis
Saat bibir terkatup rapat, seolah kehilangan daya untuk sekadar mengatakan aku mencintaimu. Jantung justru sukses besar melakukan tugasnya, dengan berdebar cepat saat berhadapan tepat dengan pemilik hatimu.Lanjut Salah, Berhenti Susah |05|***"Wow, kenapa harus seheboh ini sih?" Kafa bertanya-tanya sendiri saat detak jantungnya sulit dikendalikan.Sebenarnya bukan hanya sekarang—saat menunggu perempuan bernama Ayya— jantungnya mengamuk seolah minta keluar, tetapi sejak di rumah sakit tadi setelah mengobrol dengan Suster Gendis ihwal Komunitas Peduli Sesama binaan perempuan itu.Kafa ingin memastikan, apakah benar Ayya yang dimaksud adalah gadisnya? Ah, gadis dari masa lalunya. Berselancar di internet juga tak memberi banyak petunjuk, sebab yang tertulis hanya visi, misi, dan apa pun yang berkaitan dengan ko
Jika tahu salah, kenapa tidak sama-sama menyerah?Bahagia memang harus diperjuangkan. Tetapi, dengan melukai hati orang, tidak bisa dikategorikan ke dalam usaha memperjuangkan kebahagiaan.Lanjut Salah, Berhenti Susah|06|***KafaAy, makan siang, yuk?Aku belum makan.Ayya tersedak salivanya sendiri saat membaca pesan yang dikirim Kafa. Bukan apa-apa, posisinya saat ini sedang makan siang bersama Yendra. Bahaya kalau sampai lelaki itu melihat dan pada akhirnya berpikir yang tidak-tidak."Pelan-pelan, Sayang," ujar lelaki itu lembut sembari mengusap punggung calon istrinya.Setelah pertemuan hari itu, Kafa memang gencar mengajaknya bertemu. Alasannya ingin membahas tentang beberapa pasien yang ditanganinya. Ayya sempat meminta orang lain untuk menggantikanny
Kafa berdiri di depan cermin, meraba area leher yang memang terlihat membengkak. Ia bukan tidak menyadari hal itu sebelumnya, tetapi mulai curiga saat Ayya yang mengingatkannya. Semula, Kafa berpikir kalau pembengkakan kelenjar getah bening terjadi karena batuk flu yang dideritanya selama seminggu lebih. Namun, sakitnya hilang pun ternyata benjolan itu tak mengecil, justru semakin kentara.Tubuhnya tiba-tiba menegang saat seseorang memeluknya dari belakang. Sungguh, Kafa berharap yang melakukan hal tersebut adalah Ayya, meski ia harus menuai kecewa karena orang itu Arini."A, mau ngobrol.""Bisa besok aja? Aku capek."Senyum yang semula tercetak manis di bibir Arini berubah redup karena Kafa seolah enggan menanggapinya. Begitu pulang, Kafa juga sama sekali tak menyentuh Arka. Jujur itu membuat hatinya sedih. Arini merasa ia dan putranya diabaikan. Ah, atau mungkin Arini saja yang terlalu sensitif. Kafa pas
"Cinta boleh, bego jangan."Kalimat sederhana, tetapi menohok itu berhasil membuat Yendra tersenyum kecil. Ia anggap itu bentuk perhatian sang adik terhadapnya. Dibanding Zian, Zio memang cenderung bersikap masa bodoh dengan semua yang terjadi di sekelilingnya. Namun, jika kakaknya disentuh apalagi disakiti, anak itu langsung lepas kontrol. Hari ini Yendra melihat sisi lain anak itu, meski tidak secara gamblang."Tolong ambil paracetamol di kotak obat dong, Dek. Mas pusing."Bibir Zio mengerucut. Ia satu-satunya orang yang tersisa di rumah ini. Mama Jihan sedang pergi, Zian juga belum pulang dari sekolah. Baru pertama kali Zio menyesal membolos kalau pada akhirnya harus dihadapkan pada kakak beda ibu yang sedang sakit. Semalam, sang kakak pulang menjelang pagi setelah berkeliling mencari kekasihnya. Bodoh bukan?Sembari melangkah hendak mengambil obat, pemuda itu berpikir. Entah perasaannya saja atau sejak
Kafa baru saja menjejakkan kedua kakinya di rumah, tetapi begitu sampai ia langsung disambut omelan dari mama mertuanya. Lelaki itu menghela napas lelah. Sungguh, Kafa tidak punya tenaga untuk berdebat."Bukan Ibu mau ikut campur urusan kalian. Ibu cuma kasihan lihat Teteh sakit, terus di rumah sendiri."Lagi, Kafa menghela napas. Jam kerjanya sudah berakhir sore tadi, tetapi ia menyempatkan diri berkunjung ke rumah singgah. Kafa mengobrol dengan beberapa pasien juga keluarga pasien di sana, dan baru pulang saat malam mulai larut. Ya, harus diakui kalau sebenarnya Kafa juga menunggu Ayya, tetapi ternyata perempuan itu tidak datang ke rumah singgah."Maaf, Bu. Tadi memang ada pekerjaan di luar.""Ya kasih kabar seharusnya ke rumah. Kalau Ibu enggak ke sini, Arka siapa yang jaga? Istrimu itu lemas seharian. Kamu sebagai suami harus lebih sigap sebagai suami. Bagaimanapun, istri kamu itu sedang hamil."
Kafa baru saja menjejakkan kedua kakinya di rumah, tetapi begitu sampai ia langsung disambut omelan dari mama mertuanya. Lelaki itu menghela napas lelah. Sungguh, Kafa tidak punya tenaga untuk berdebat."Bukan Ibu mau ikut campur urusan kalian. Ibu cuma kasihan lihat Teteh sakit, terus di rumah sendiri."Lagi, Kafa menghela napas. Jam kerjanya sudah berakhir sore tadi, tetapi ia menyempatkan diri berkunjung ke rumah singgah. Kafa mengobrol dengan beberapa pasien juga keluarga pasien di sana, dan baru pulang saat malam mulai larut. Ya, harus diakui kalau sebenarnya Kafa juga menunggu Ayya, tetapi ternyata perempuan itu tidak datang ke rumah singgah."Maaf, Bu. Tadi memang ada pekerjaan di luar.""Ya kasih kabar seharusnya ke rumah. Kalau Ibu enggak ke sini, Arka siapa yang jaga? Istrimu itu lemas seharian. Kamu sebagai suami harus lebih sigap sebagai suami. Bagaimanapun, istri kamu itu sedang hamil."
"Dok, hasil FNAB-nya sudah keluar."Kafa langsung bergegas ke gedung cardiac center untuk mengambil hasil pemeriksaannya. Tiga hari yang lalu ia memang sempat melakukan serangkaian pemeriksaan, seperti foto thorax, CT-scan, pemeriksaan darah lengkap, dan biopsi jarum halus atau FNAB. Itu ia lakukan karena benjolan yang semula biasa saja mulai terasa sakit, dan Kafa juga baru sadar kalau berat badannya turun lumayan banyak hanya dalam waktu singkat. Itu merupakan pemeriksaan FNAB keduanya.Setelah hasil pemeriksaannya dibuka, Kafa hanya menemukan peradangan kronis pada bagian kesimpulan. Meski bisa dengan mudah membaca hasil yang didapat, tetapi Kafa harus tetap berkonsultasi dengan dokter yang menanganinya.Sembari menunggu, lelaki itu melebarkan pandang, berharap kalau Ayya ada sekitar sini menemani salah satu pasien. Kafa merindukan Ayya. Sejak pertemuan malam itu Ayya menghilang tanpa kabar. Sulit sekali dihubu