Jika tahu salah, kenapa tidak sama-sama menyerah?
Bahagia memang harus diperjuangkan. Tetapi, dengan melukai hati orang, tidak bisa dikategorikan ke dalam usaha memperjuangkan kebahagiaan.Lanjut Salah, Berhenti Susah|06|***
Ayya tersedak salivanya sendiri saat membaca pesan yang dikirim Kafa. Bukan apa-apa, posisinya saat ini sedang makan siang bersama Yendra. Bahaya kalau sampai lelaki itu melihat dan pada akhirnya berpikir yang tidak-tidak.
"Pelan-pelan, Sayang," ujar lelaki itu lembut sembari mengusap punggung calon istrinya.
Setelah pertemuan hari itu, Kafa memang gencar mengajaknya bertemu. Alasannya ingin membahas tentang beberapa pasien yang ditanganinya. Ayya sempat meminta orang lain untuk menggantikannya menemui lelaki itu, tetapi Kafa langsung menolak. Setelah mereka benar bertemu, entah bagaimana caranya, tetapi Kafa berhasil membuat Ayya tenggelam dalam kenangan mereka dulu. Dan sekarang, mendapat perlakuan semanis ini dari Yendra, membuat rasa bersalahnya membuncah karena secara tidak langsung sudah berani bermain di belakang calon suaminya itu.
"Ay, kenapa melamun?"
"Aku merasa melupakan sesuatu, Mas. Tapi, enggak tahu apa."
Yendra menghentikan aktivitasnya sejenak, lalu kembali mengulurkan tangan, kali ini mengusap dahi gadis di hadapannya. "Kamu pasti lelah akhir-akhir ini. Jangan bekerja terlalu keras, nanti sakit."
Sekali lagi hatinya tertohok. Di saat seperti ini pun Yendra masih begitu memikirkannya. Padahal, ketika Yendra sakit, Ayya justru memberi perhatian lebih pada Kafa yang juga sedang sakit. Aneh memang. Sejak duduk di bangku sekolah, satu-satunya orang yang bisa mengalihkan seluruh fokusnya hanya Kafa.
"Mas, perizinan klinik barunya bagaimana? Sudah selesai?"
"Sudah. Sekarang gantian tinggal mengurus SIP dokter gigi."
Sewajarnya ada sepatah atau dua patah kata sebagai bentuk perhatian terhadap Yendra, tetapi lidah Ayya terasa kelu untuk sekadar menyuarakannya.
"Sekarang kamu mau ke mana?"
"Hm ... aku ... aku mau ke rumah singgah."
"Ya sudah, aku antar."
"Eh, enggak perlu Mas. Aku ada janji ketemu pasien dulu."
Yendra tampak berpikir, tetapi detik berikutnya lelaki itu mengangguk. "Oke enggak apa-apa sekarang kamu enggak mau aku antar, tapi nanti malam kita jalan, ya? Lama banget rasanya enggak jalan berdua."
"Sekarang juga jalan berdua, 'kan, Mas?"
"Beda dong."
"Iya, Mas."
"Dandan yang cantik, ya?"
Ayya mengangguk, meski matanya terpusat pada pesan susulan yang masuk.
Kafa
Aku tunggu di depan terminal Leuwi panjang. Sengaja enggak naik mobil biar kita bisa naik bus kota kayak dulu.Me
Oke. Sebentar lagi aku berangkat."Emh, ini Mas yang mau aku temuin itu loh."
"Betul enggak mau aku antar?"
"Iya, Mas. Mas juga pasti sibuk. Lagian kemarin habis sakit, jangan terlalu capek."
"Iya. Kamu hati-hati."
Meski ada tanya di benaknya, sekali lagi Yendra mengangguk. Ia tidak ingin berprasangka karena Yendra percaya seperti apa gadisnya.
***
Kafa berhenti menyeruput kopi panas yang beberapa saat lalu disajikan pemilik warung begitu melihat Ayya turun dari sebuah taksi. Senyumnya mengembang melihat bagaimana perempuan itu dengan ramah menyerahkan sejumlah uang pada sopir taksi. Manis, seperti biasa. "Hai," sapanya kemudian setelah Ayya mendekat.
Ayya tak langsung menjawab. Di sini begitu ramai, dan Ayya takut kalau ada yang mengenalinya. Terlebih sekarang ia sedang bersama laki-laki lain yang bukan tunangannya. "Ada apa?"
"Jutek banget."
"Bayar dulu. Kita jangan ngobrol di sini."
Lelaki itu terkekeh, lalu menyerahkan selembar uang pecahan sepuluh ribu pada pemilik warung untuk membayar kopinya. "Ayo."
"A, kembaliannya?"
"Disimpan aja, Mang," sahut pria itu.
"Hatur nuhun."
Kafa hanya tersenyum sembari mengacungkan jempolnya.
"Kita mau ke mana?"
"Ke tempat biasa."
Tepat saat bus kota jurusan Leuwi Panjang-Ledeng muncul, Kafa melambaikan tangan, kemudian menarik Ayya masuk ke dalam bus. Tak ada lagi bangku kosong, nyaris semua terisi, menyisakan satu bangku prioritas. Kafa meminta Ayya duduk, tetapi begitu melihat seorang gadis yang menuntun ayahnya naik ke dalam bus, Ayya justru memeberi ruang untuk lelaki paruh baya itu duduk.
Melihat Ayya berdiri di bus mengenakan dress selutut sejujurnya membuat Kafa tidak nyaman. Apalagi di dalam bus berdesakan dengan penumpang lain. Semua mata seolah terpusat pada gadisnya. Kafa merapatkan tubuh, sebisa mungkin melindungi Ayya agar tak bersentuhan dengan lelaki lain.
"Jangan begini," kata Ayya pelan.
"Aku enggak rela kamu bersentuhan sama laki-laki lain," balas Kafa tak kalah pelan.
"Kamu pikir calon suamiku rela kalau melihat aku bersentuhan dengan kamu seperti ini?"
Kafa mencondongkan tubuhnya, lantas berbisik, "Istriku di rumah juga pasti enggak rela melihat aku mencoba melindungi perempuan lain."
Akal sehat Ayya mulai bekerja. "Kafa, ini enggak benar."
"Kiri!" Bukannya menjawab, pria itu justru menghentikan laju bus kota, kemudian menuntun Ayya turun. Keduanya belum sampai ke tempat tujuan, tetapi topik pembicaraan mereka yang sedikit sensitif takut didengar orang.
"Ay, bisa enggak jangan bawa-bawa calon suami kamu kalau kita lagi berdua?"
"Kita enggak bisa melanjutkan ini, Kafa. Aku takut kalau hubungan kita akhirnya akan menyakiti calon suamiku dan istrimu."
"Kenapa baru sekarang? Kenapa itu enggak kamu bilang hari itu, saat pertama kita bertemu lagi? Aku enggak mau kehilangan kamu, Ay."
"Jangan konyol. Waktu itu kamu yang memilih pergi. Dan sekarang aku juga sudah punya pilihan sendiri. Jadi, tolong hargai itu."
"Kamu tahu, kan, kalau waktu itu aku terpaksa?"
"Terpaksa? Tapi, kamu menikmati pernikahan kamu, 'kan? Bahkan, sampai kamu punya anak."
Kafa menghela napas. Bukan ini yang ia harapkan dari pertemuan mereka. "Tolong, Ay. Aku sama sekali enggak bahagia sama pernikahanku. Kita jalani saja sekarang. Jangan memusingkan apa yang akan terjadi nanti."
Kalau boleh jujur, Ayya juga tidak benar-benar bahagia bersama Yendra, meskipun pria itu luar biasa baik. Namun, hati kecilnya pun menolak menjalin hubungan diam-diam seperti ini. Terlalu banyak orang yang terluka andai mereka hidup bersama.
"Sekarang aku tanya, kamu bahagia hidup dengan laki-laki itu?"
Ayya diam.
"Kita sama-sama enggak bahagia dengan pasangan sekarang, Ay. Jadi, ayo jalani yang sekarang kita lakukan. Ini salah, tapi menantang. Ayo kita coba. Bisa bertahan sejauh mana hubungan kita?"
Itu terdengar buruk. Ayya bahkan tidak pernah berpikir akan melangkah sejauh ini di belakanh Yendra. "Tapi, Kafa ...,"
"Please, aku capek."
Suara Kafa yang sarat akan rasa lelah, membuat hati Ayya melunak begitu saja. "Ya sudah. Ayo makan. Katanya kamu belum makan."
***
Seharian ini Arka rewel. Arini sudah mengecek popoknya barangkali basah, ternyata tidak. Memberinya ASI siapa tahu anak itu lapar, nyatanya tak berguna. Arka terus menangis.
"Ya Allah Kakak, kamu kenapa sih, Nak?" gumamnya sembari menggendong dan menepuk-nepuk pelan punggung putranya.
Ya, bukan tanpa alasan Arini memanggil putra pertamanya 'kakak' karena Allah menitipkan satu nyawa lagi dalam rahimnya sekarang. Masih sangat muda memang, usia kandungannya baru sekitar tiga minggu.
Arini membaringkan Arka di tempat tidur, lalu mencari keberadaan ponselnya. Ia merasa harus menghubungi Kafa. Namun, pergerakannya tertahan. Arini berpikir ulang untuk menghubungi sang suami. Kafa bilang hendak bertemu pasien, tidak mungkin ia mengganggu hanya karena masalah sepele.
Akhirnya perempuan itu kembali berusaha mendiamkan putranya. Bagaimanapun ia seorang ibu, rasanya tidak mungkin tak bisa membuat putranya tenang.
|Bersambung|
Kafa berdiri di depan cermin, meraba area leher yang memang terlihat membengkak. Ia bukan tidak menyadari hal itu sebelumnya, tetapi mulai curiga saat Ayya yang mengingatkannya. Semula, Kafa berpikir kalau pembengkakan kelenjar getah bening terjadi karena batuk flu yang dideritanya selama seminggu lebih. Namun, sakitnya hilang pun ternyata benjolan itu tak mengecil, justru semakin kentara.Tubuhnya tiba-tiba menegang saat seseorang memeluknya dari belakang. Sungguh, Kafa berharap yang melakukan hal tersebut adalah Ayya, meski ia harus menuai kecewa karena orang itu Arini."A, mau ngobrol.""Bisa besok aja? Aku capek."Senyum yang semula tercetak manis di bibir Arini berubah redup karena Kafa seolah enggan menanggapinya. Begitu pulang, Kafa juga sama sekali tak menyentuh Arka. Jujur itu membuat hatinya sedih. Arini merasa ia dan putranya diabaikan. Ah, atau mungkin Arini saja yang terlalu sensitif. Kafa pas
"Cinta boleh, bego jangan."Kalimat sederhana, tetapi menohok itu berhasil membuat Yendra tersenyum kecil. Ia anggap itu bentuk perhatian sang adik terhadapnya. Dibanding Zian, Zio memang cenderung bersikap masa bodoh dengan semua yang terjadi di sekelilingnya. Namun, jika kakaknya disentuh apalagi disakiti, anak itu langsung lepas kontrol. Hari ini Yendra melihat sisi lain anak itu, meski tidak secara gamblang."Tolong ambil paracetamol di kotak obat dong, Dek. Mas pusing."Bibir Zio mengerucut. Ia satu-satunya orang yang tersisa di rumah ini. Mama Jihan sedang pergi, Zian juga belum pulang dari sekolah. Baru pertama kali Zio menyesal membolos kalau pada akhirnya harus dihadapkan pada kakak beda ibu yang sedang sakit. Semalam, sang kakak pulang menjelang pagi setelah berkeliling mencari kekasihnya. Bodoh bukan?Sembari melangkah hendak mengambil obat, pemuda itu berpikir. Entah perasaannya saja atau sejak
Kafa baru saja menjejakkan kedua kakinya di rumah, tetapi begitu sampai ia langsung disambut omelan dari mama mertuanya. Lelaki itu menghela napas lelah. Sungguh, Kafa tidak punya tenaga untuk berdebat."Bukan Ibu mau ikut campur urusan kalian. Ibu cuma kasihan lihat Teteh sakit, terus di rumah sendiri."Lagi, Kafa menghela napas. Jam kerjanya sudah berakhir sore tadi, tetapi ia menyempatkan diri berkunjung ke rumah singgah. Kafa mengobrol dengan beberapa pasien juga keluarga pasien di sana, dan baru pulang saat malam mulai larut. Ya, harus diakui kalau sebenarnya Kafa juga menunggu Ayya, tetapi ternyata perempuan itu tidak datang ke rumah singgah."Maaf, Bu. Tadi memang ada pekerjaan di luar.""Ya kasih kabar seharusnya ke rumah. Kalau Ibu enggak ke sini, Arka siapa yang jaga? Istrimu itu lemas seharian. Kamu sebagai suami harus lebih sigap sebagai suami. Bagaimanapun, istri kamu itu sedang hamil."
Kafa baru saja menjejakkan kedua kakinya di rumah, tetapi begitu sampai ia langsung disambut omelan dari mama mertuanya. Lelaki itu menghela napas lelah. Sungguh, Kafa tidak punya tenaga untuk berdebat."Bukan Ibu mau ikut campur urusan kalian. Ibu cuma kasihan lihat Teteh sakit, terus di rumah sendiri."Lagi, Kafa menghela napas. Jam kerjanya sudah berakhir sore tadi, tetapi ia menyempatkan diri berkunjung ke rumah singgah. Kafa mengobrol dengan beberapa pasien juga keluarga pasien di sana, dan baru pulang saat malam mulai larut. Ya, harus diakui kalau sebenarnya Kafa juga menunggu Ayya, tetapi ternyata perempuan itu tidak datang ke rumah singgah."Maaf, Bu. Tadi memang ada pekerjaan di luar.""Ya kasih kabar seharusnya ke rumah. Kalau Ibu enggak ke sini, Arka siapa yang jaga? Istrimu itu lemas seharian. Kamu sebagai suami harus lebih sigap sebagai suami. Bagaimanapun, istri kamu itu sedang hamil."
"Dok, hasil FNAB-nya sudah keluar."Kafa langsung bergegas ke gedung cardiac center untuk mengambil hasil pemeriksaannya. Tiga hari yang lalu ia memang sempat melakukan serangkaian pemeriksaan, seperti foto thorax, CT-scan, pemeriksaan darah lengkap, dan biopsi jarum halus atau FNAB. Itu ia lakukan karena benjolan yang semula biasa saja mulai terasa sakit, dan Kafa juga baru sadar kalau berat badannya turun lumayan banyak hanya dalam waktu singkat. Itu merupakan pemeriksaan FNAB keduanya.Setelah hasil pemeriksaannya dibuka, Kafa hanya menemukan peradangan kronis pada bagian kesimpulan. Meski bisa dengan mudah membaca hasil yang didapat, tetapi Kafa harus tetap berkonsultasi dengan dokter yang menanganinya.Sembari menunggu, lelaki itu melebarkan pandang, berharap kalau Ayya ada sekitar sini menemani salah satu pasien. Kafa merindukan Ayya. Sejak pertemuan malam itu Ayya menghilang tanpa kabar. Sulit sekali dihubu
Alden mengetuk-ngetukkan ujung pena pada meja. Sungguh, ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya tadi. Bagaimana mungkin perempuan yang paling Alden kagumi bisa berbuat serendah itu?Sebenarnya tujuan Alden ke rumah sakit tadi untuk menggantikan Mahesa yang kebetulan ada acara dadakan. Padahal, Alden juga punya banyak pekerjaan di rumah singgah. Ternyata begitu sampai ke rumah sakit ia justru dihadapkan pada pemandangan kurang mengenakan."Al, lihat Ayya?"Pemuda itu terlonjak saat mendengar suara berat seseorang. Lamunannya buyar seketika, berganti gugup. "Eh, Mas. Kapan datang?""Barusan. Ayya agak susah dihubungi. Saya pikir Ayya sibuk, jadi saya ke sini bawa makan siang.""Teh Ayya lagi pergi, Mas. Mungkin sebentar lagi pulang. Udah dari tadi kok.""Antar pasien?" tanya Yendra."Iya, cuma kontrol kok.""Kamu udah makan? Saya bawa ba
Ayya bimbang. Kafa tiba-tiba mengajaknya berlibur. Semenjak tahu kalau lelaki itu sakit, ia memang memberi perhatian lebih. Apalagi, Kafa sering mengancam tidak akan melakukan operasi jika Ayya tak mau menuruti permintaannya. Seperti tempo hari. Seharusnya Ayya tak peduli, terlebih mereka tak lagi memiliki ikatan, selain label mantan. Namun, semua menjadi tak mudah karena kondisi Kafa sekarang. Ayya juga tidak sekejam itu membiarkan Kafa diam saja dengan penyakit yang semakin memburuk. Dari berbagai artikel yang ia telusuri, tumor parotis atau kelenjar ludah bisa dikategorikan jinak, bisa pula ganas. Ayya hanya berharap kalau yang diderita Kafa termasuk jinak dan bisa sembuh dengan melakukan pembedahan.KafaGimana, Ay?Anggap ini permintaan terakhirku. Enggak pernah ada yang benar-benar tahu apa yang akan terjadi saat operasi.Tuh kan! Lagi-lagi lelaki itu menyinggung sesuatu yang sama sekali tidak ingi
Ayya dan Kafa memutuskan naik kendaraan umum untuk sampai ke Lembang. Tentu saja agar keberadaan keduanya sama-sama tak mudah terendus oleh orang-orang yang mungkin mengenal mereka."Kalau sakit, kenapa kamu harus memaksakan diri?"Kafa yang saat ini tidur dengan posisi bersandar di bahu gadisnya hanya tersenyum kecil. Tidak ada alasan untuk melewatkan kesempatan sebaik ini. Menghabiskan waktu bersama Ayya.Andai dulu Kafa tidak memutuskan untuk menikahi perempuan lain, mungkin situasinya tidak akan seburuk ini. Semua serba salah. Pergi sulit, bertahan pun bukan pilihan yang tepat. Setiap mengingat bagaimana istri Kafa di rumah menanti suaminya, Ayya merasa ingin berhenti saat itu juga. Namun, egonya tak lebih kecil dari kesadarannya akan kesalahan yang terang-terangan mereka lakukan.Ponsel dalam genggamannya bergetar, dan Ayya melihat satu pesan masuk. Nama Alden tertera di sana. Meski sudah sering berki