Udara malam semakin dingin, dan Elvira bisa merasakan tubuhnya mulai kehilangan energi setelah seharian penuh beraktivitas. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul sebelas malam, tapi kafe tempatnya bekerja masih cukup ramai. Beberapa pelanggan masih asyik mengobrol, sementara yang lain sibuk dengan laptop masing-masing.
Elvira merapikan celemeknya sebelum kembali ke meja kasir, bersiap menangani pesanan berikutnya. Matanya menyapu ruangan, memastikan tidak ada pelanggan yang membutuhkan bantuan. Saat itulah dia melihatnya. Di sudut ruangan, Leonard duduk diam dengan sebuah buku di tangannya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi Elvira tahu betul kalau pria itu sedang memperhatikannya. Sudah berapa lama dia ada di sana? Elvira pura-pura tidak peduli dan segera kembali bekerja, mencoba fokus pada pesanan pelanggan berikutnya. Tapi entah kenapa, perasaan gelisah itu tetap ada. Dia sudah terbiasa dengan cara Leonard yang muncul tiba-tiba, mengejarnya, menuntut jawaban. Tapi setelah beberapa hari tidak muncul, malam ini dia muncul dengan cara yang berbeda. Tidak ada tekanan yang biasanya terasa begitu kuat. Bahkan sejak tadi, Leonard tidak melakukan apa pun. Bingung dengan perubahan itu, Elvira menghela napas panjang. Dia tidak mau memikirkan Leonard lebih dari yang seharusnya. Setelah sibuk bolak-balik mengantarkan pesanan, Elvira akhirnya bisa bersandar sejenak di dekat kasir. Dia menyentuh tengkuknya yang terasa kaku dan menghela napas. Lelah. Besok dia masih harus kuliah, lalu lanjut bekerja lagi di malam harinya. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Elvira menoleh, dan sebelum sempat bereaksi, sebuah gelas kertas muncul di hadapannya. Dia mengangkat sebelah alis. “Apa ini?” Leonard berdiri di depannya, masih dengan ekspresi tenangnya yang sulit ditebak. “Teh hangat.” Elvira berkedip, menatap gelas itu dengan ragu. “Kenapa?” Leonard menatapnya sebentar sebelum menjawab, “Kamu kelihatan lelah.” Jawaban singkat itu membuat Elvira kehilangan kata-kata. Sejujurnya, dia sudah terbiasa dengan Leonard yang mendesaknya dengan pertanyaan. Tapi sekarang... Leonard hanya berdiri di sana, menawarkan teh hangat tanpa penjelasan lebih lanjut. Tanpa paksaan. Tanpa tuntutan. Saat Elvira masih bingung dengan sikap pria itu, sebuah suara dari belakangnya menyela. “Wah, siapa nih yang perhatian?” Elvira spontan menoleh dan melihat Rahmat, salah satu rekan kerjanya, berdiri dengan senyum penuh arti. Di sebelahnya, Indah, barista di kafe ini, juga ikut mengamati mereka dengan mata berbinar-binar. “Eh, bukan siapa-siapa kok,” ujar Elvira buru-buru, merasa pipinya mulai memanas. “Bukan siapa-siapa?” Rahmat menaikkan alisnya, lalu melirik Leonard yang masih berdiri di sana. “Tapi tadi dia ngasih minuman ke kamu, kan?” Indah terkikik. “Iya, iya. Terus ngomongnya ‘Kamu kelihatan lelah’ gitu. So sweet banget.” Elvira hampir tersedak oleh udara sendiri. “Bukan gitu!” Di tengah kekacauan itu, Leonard tetap tenang. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia hanya mengangguk sedikit ke arah Elvira, lalu berbalik dan berjalan kembali ke tempat duduknya. Tingkahnya yang santai justru membuat Rahmat dan Indah makin penasaran. “Kok dia cool banget sih?” Indah berbisik penuh antusias. “Bukan tipe cowok yang banyak omong, tapi aksinya bikin baper.” “Pantas aja Elvira agak grogi,” sahut Rahmat sambil terkekeh. Elvira menutup wajahnya dengan satu tangan. Ini kenapa malah jadi bahan gosip? Dia melirik ke arah Leonard lagi, yang kini sudah kembali membaca bukunya seolah tidak ada yang terjadi. Rasa lelahnya masih ada, tapi sekarang bercampur dengan sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat dadanya terasa sedikit aneh. Elvira menggelengkan kepalanya pelan untuk menghilangkan Leonard dari pikirannya dan melanjutkan pekerjaan. Setelah melewati jam sibuk, Elvira akhirnya bisa melepas celemek dan bersiap pulang. Hujan yang turun sejak sore masih belum berhenti, bahkan semakin deras. Dia berdiri di dekat pintu kafe, menatap tetesan air yang jatuh deras ke aspal. Elvira menghela napas. Dia memang membawa jaket, tapi tidak membawa payung. Dia menoleh ke arah Rahmat dan Indah yang masih sibuk di bagian dalam kafe. “Aku duluan ya!” katanya sambil melambaikan tangan. “Eh, kamu yakin mau nerobos hujan?” tanya Indah. “Kenapa nggak tunggu reda dulu?” Elvira tersenyum kecil. “Aku nggak tahu bakalan reda jam berapa. Lagian, kosanku nggak terlalu jauh.” Rahmat menggeleng sambil tertawa. “Jangan sampai besok kamu masuk angin, Vi.” Elvira hanya mengangkat bahu dan melangkah ke luar. Angin dingin langsung menyambutnya, membuatnya menggigil. Dia menarik resleting jaketnya hingga ke leher, lalu berlari kecil ke tepi jalan untuk mencari ojek online. Namun, tepat saat dia mengeluarkan ponselnya, sebuah bayangan bergerak dari samping. Sebuah payung terbuka di atas kepalanya, melindunginya dari hujan. Elvira menoleh dengan cepat, dan jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat. Leonard. Pria itu berdiri di sebelahnya dengan ekspresi datarnya yang khas. Hujan rintik-rintik yang tertiup angin mengenai bahunya, tapi dia tidak terlihat peduli. Elvira menatapnya dengan bingung. “Kamu–” “Jangan sampai kehujanan.” Suaranya terdengar tenang, tapi ada nada perintah yang samar. Elvira mengerjapkan mata, mencoba memahami situasi ini. “Kenapa kamu masih di sini?” Leonard tidak langsung menjawab. Dia hanya memiringkan sedikit payungnya agar lebih melindungi Elvira dari hujan. “Aku tunggu kamu selesai kerja.” Elvira mengernyit. “Kenapa?” “Tidak ada alasan khusus.” Jawaban itu seharusnya membuatnya kesal, tapi entah kenapa juga membuatnya semakin bingung. Dulu, Leonard akan terus mengejarnya, menuntut jawaban, seolah tidak mau menerima penolakan. Tapi sekarang... Dia hanya ada di sini. Memberikan perlindungan dalam diam. Elvira menggigit bibirnya. Dia tidak tahu bagaimana harus merespons ini. “Naik mobilku,” kata Leonard tiba-tiba. Elvira menatapnya dengan curiga. “Apa?” “Udaranya dingin. Kamu bisa sakit.” Elvira mendengus kecil. “Aku bisa pesan ojek online.” “Tapi kamu belum pesan.” Leonard melirik ponselnya yang masih terbuka di aplikasi, tapi belum menekan tombol ‘pesan’. “Dan hujan semakin deras.” Elvira menghela napas panjang. Dia ingin menolak, tapi tubuhnya sudah terlalu lelah untuk berdebat. Lagipula, jika dia tetap berdiri di sini, dia hanya akan semakin basah. “... Baiklah,” gumamnya akhirnya. Leonard tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya menyesuaikan posisi payungnya dan berjalan mendahului Elvira menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari sana. Elvira mengikutinya dalam diam, tapi ada satu pertanyaan yang terus berputar di kepalanya. Kenapa rasanya dia semakin sulit memahami Leonard? ***** Mobil Leonard melaju dengan tenang melewati jalanan basah yang diterangi lampu-lampu jalan. Di dalam mobil, hanya ada suara lembut dari musik instrumental yang diputar pelan di radio. Elvira duduk diam di kursi penumpang, tangannya menggenggam jaketnya yang lembap karena terkena sedikit hujan sebelum tadi akhirnya berteduh di bawah payung Leonard. Suasana di dalam mobil terasa... Aneh. Bukannya canggung—karena Leonard memang selalu diam—tapi ada sesuatu yang berbeda. Biasanya, jika mereka berada di situasi seperti ini, Leonard pasti akan menggunakan kesempatan ini untuk menanyakan jawaban lamarannya. Tapi malam ini? Tidak ada satu pun kata keluar dari mulutnya. Elvira melirik sekilas ke arah pria itu. Seperti biasa, Leonard menyetir dengan tenang, matanya fokus ke jalan, ekspresinya datar tanpa emosi. Tapi entah kenapa, kesunyian ini justru lebih mengusik daripada saat Leonard terus mengejarnya dulu. Elvira menghela napas pelan dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Hujan masih turun, membuat lampu-lampu jalanan tampak buram di balik kaca mobil. Saat itulah dia merasakan sesuatu yang hangat menyentuh tangannya. Elvira terkejut dan segera menoleh. Leonard baru saja menaruh sesuatu di pangkuannya. “Sapu tangan?” Elvira mengerutkan kening saat melihat kain putih bersih itu. “Tangan dan rambutmu basah.” Elvira menatap tangannya sendiri dan meraba rambutnya, baru menyadari bahwa jari-jarinya dan rambutnya memang masih sedikit basah karena air hujan tadi. Tapi... Kenapa Leonard memperhatikan sampai sedetail itu? Elvira menatapnya curiga. “Sejak kapan kamu suka memperhatikan hal-hal kecil seperti ini?” Leonard tidak langsung menjawab. Dia tetap fokus menyetir, tapi ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya dia berbicara. “Sebelumnya aku tidak peduli.” Elvira terdiam. Jawaban itu... Jujur sekali. Mungkin kalau ini terjadi beberapa hari yang lalu, dia akan menganggapnya sebagai taktik lain untuk membuatnya luluh. Tapi sekarang, melihat bagaimana Leonard hanya menawarkan perhatian kecil tanpa tuntutan, Elvira merasa ada sesuatu yang berbeda. Dengan ragu, dia mengambil sapu tangan itu dan mengeringkan rambut dan tangannya. Bahannya lembut dan memiliki sedikit aroma sabun yang khas, seolah baru saja dicuci. Dia tidak tahu harus berkata apa, jadi dia memilih diam. Beberapa menit kemudian, mobil Leonard berhenti di depan kos Elvira. Elvira membuka seatbelt dan menoleh ke arahnya. “Terima kasih sudah mengantarku.” Leonard hanya mengangguk pelan. Elvira sempat ragu sebelum akhirnya membuka pintu mobil. Namun, saat dia baru saja melangkah keluar, suara Leonard menghentikannya. “Elvira.” Elvira menoleh. “Apa?” Leonard menatapnya dalam diam sebelum akhirnya berkata dengan suara pelan, “Jangan lupa istirahat.” Elvira tidak tahu kenapa, tapi jantungnya terasa berdetak sedikit lebih cepat. Dia buru-buru mengalihkan pandangan. “Aku tahu.” Tanpa menunggu respons lagi, dia segera menutup pintu dan berjalan cepat ke dalam kosannya, mencoba mengabaikan sensasi aneh yang masih tertinggal di dadanya. ***** Hari ini berjalan seperti biasa bagi Elvira. Setelah bekerja sampai larut malam di kafe dan melihat perubahan sikap Leonard, dia berharap bisa menjalani hari tanpa gangguan yang membuat pikirannya penuh. Namun, sejak pagi, ada sesuatu yang berbeda. Entah perasaannya saja atau bukan, tapi sejak memasuki kampus, dia merasa ada sesuatu yang berubah. Biasanya, jika Leonard muncul, itu selalu dengan cara yang terasa mendesak—menunggu di depan kampus, berdiri di sudut tanpa bicara, atau tiba-tiba muncul di hadapannya. Tapi hari ini... Dia tidak melihat Leonard sama sekali. Elvira seharusnya merasa lega, tapi entah kenapa ada sedikit perasaan aneh di hatinya. “Kenapa malah jadi mikirin dia?” gumamnya pelan saat memasuki kelas. Rina, yang duduk di sebelahnya, menoleh. “Hah? Siapa yang kamu pikirin?” Elvira menggeleng cepat. “Bukan siapa-siapa.” Rina mengangkat alis dengan ekspresi penuh selidik, tapi sebelum dia sempat bertanya lebih jauh, dosen masuk dan memulai kelas. Elvira mengalihkan fokusnya ke materi, berusaha mengabaikan pikirannya sendiri. Namun, saat kelas selesai dan dia beranjak keluar menuju laboratorium, matanya menangkap sesuatu yang familiar di ujung koridor. Leonard. Dia tidak berdiri diam seperti biasanya, tapi berjalan santai sambil mengutak-atik ponselnya, seperti benar-benar hanya kebetulan berada di sana. Elvira berpikir untuk segera pergi sebelum dia sadar, tapi sudah terlambat. Saat dia melewati Leonard, pria itu melirik sekilas dan mengangguk kecil. “Hm.” Elvira melambat, sedikit bingung dengan reaksinya. Biasanya Leonard akan langsung menanyakan sesuatu atau menghalangi jalannya. Tapi kali ini, dia hanya... menyapa? “Um... Pagi,” balas Elvira, sedikit ragu. Leonard tidak berkata apa-apa lagi, hanya berjalan melewatinya seperti tidak ada yang terjadi. Elvira mengerutkan kening. Oke... Itu aneh. Namun, dia tidak bisa memikirkan itu terlalu lama. Ada praktikum yang harus dihadiri. ***** Setelah praktikum berakhir, Elvira merasa perutnya mulai keroncongan. Dia memang belum sempat sarapan pagi ini, dan kini sudah hampir siang. Dia berjalan menuju bangku di taman kampus, membuka ponselnya, dan berpikir untuk membeli sesuatu sebelum harus kembali ke kelas berikutnya. Namun, baru saja dia duduk, seseorang berdiri di hadapannya. Leonard. Elvira mendesah pelan. “Ada apa?” Alih-alih menjawab, Leonard hanya mengulurkan sesuatu ke arahnya. Sebuah bungkusan makanan. Elvira menatapnya curiga. “Apa ini?” Leonard tidak langsung menjawab. “Sarapan.” Elvira menatapnya lebih tajam. “Sekarang sudah hampir jam sebelas.” Leonard mengangkat bahu. “Masih bisa disebut sarapan kalau kamu belum makan apa pun.” Elvira ingin membantah, tapi perutnya justru berbunyi pelan, seolah mendukung ucapan Leonard. Wajahnya memanas. Leonard sepertinya mendengar, tapi dia tidak menertawakannya. Dia hanya meletakkan bungkusan itu di samping Elvira dan berkata, “Makan.” Elvira menatap bungkusan itu ragu-ragu. Dia tidak suka berhutang budi pada Leonard. Tapi di sisi lain, rasa laparnya semakin menjadi-jadi. “Kenapa?” gumamnya. Leonard menatapnya dengan ekspresi datar. “Kamu butuh.” Jawaban itu membuat Elvira terdiam. Dulu, Leonard selalu muncul dengan sikap mendesak. Tapi kali ini, dia hanya melakukan sesuatu tanpa memaksa. Dengan enggan, Elvira akhirnya mengambil bungkusan itu dan membukanya. Sebuah sandwich telur dan susu kotak. Sederhana. Tapi... Elvira melirik Leonard. “Kamu beli ini dimana?” Leonard menggeleng. “Buat sendiri.” Elvira hampir tersedak udara. “Hah?” Alih-alih menjawab, Leonard hanya memasukkan tangan ke saku celananya. “Aku pergi dulu.” Tanpa menunggu respons, dia berbalik dan pergi begitu saja. Elvira masih terpaku di tempatnya, menatap punggung Leonard yang menjauh. Oke... Sekarang dia semakin bingung. Elvira masih duduk di bangku taman, menatap sandwich di tangannya dengan ekspresi rumit. Dia tidak pernah membayangkan Leonard—pria yang sejak awal begitu mendesak dan membingungkan—bisa berubah seperti ini. Sebelumnya, setiap kali dia muncul, selalu ada tekanan. Tatapan intensnya, sikapnya yang seolah tidak mau menerima penolakan, caranya mendekati Elvira yang terasa terlalu tiba-tiba. Tapi sekarang... Dia tidak menunggu jawaban. Tidak menuntut apa pun. Tidak memaksa. Hanya... Melakukan sesuatu untuknya. Tanpa berkata banyak, tanpa memandangnya lama-lama seperti biasanya. Dan itu justru membuat Elvira semakin tidak mengerti. Kenapa Leonard melakukan ini? Apa dia punya maksud tersembunyi? Atau... Apakah ini hanya cara lain untuk membuat Elvira menerima lamarannya? Elvira menggigit bibirnya, menatap sandwich itu dengan bimbang. Dia bisa saja membuangnya. Bisa saja menganggap ini hanya permainan lain dari Leonard. Tapi di saat yang sama, perutnya lapar. Dan lebih dari itu—lebih dari sekadar lapar—ada sesuatu dalam diri Elvira yang menolak untuk menolak kebaikan ini. Dengan enggan, dia akhirnya membuka bungkusnya dan menggigit sandwich itu. Rasanya... Lebih enak dari yang dia kira. Mungkin karena dia sudah lapar. Mungkin karena memang dibuat dengan baik. Atau mungkin karena— Elvira buru-buru mengenyahkan pikirannya sendiri. Tidak, dia tidak boleh berpikir terlalu jauh. Meskipun Leonard berubah, itu tidak berarti dia bisa lengah. Tidak berarti dia bisa mulai mempercayainya begitu saja. Dia harus tetap waspada. Tapi kenapa... Kenapa hatinya terasa sedikit lebih hangat dari sebelumnya? Elvira menarik napas panjang, mencoba mengabaikan perasaan yang mulai bercampur dalam dirinya. Dia tidak boleh terpengaruh. Ini hanya sandwich. Hanya perhatian kecil yang mungkin tidak berarti apa-apa bagi Leonard. Tidak lebih dari itu. Dengan pikiran yang masih kacau, Elvira melanjutkan makannya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini bukan awal dari sesuatu yang lebih rumit. Namun jauh di dalam hatinya, dia tahu bahwa hari ini adalah pertama kalinya dia merasa sedikit ragu. Bukan ragu karena Leonard terus mendesaknya... Tapi ragu karena dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi Leonard yang tidak lagi mendesak. Dan itu, entah bagaimana, lebih berbahaya daripada sebelumnya.Sudah tiga hari sejak terakhir kali Elvira melihat Leonard.Setelah dia menghilang karena Elvira mengatakan jika dia capek diikuti terus-menerus dan muncul kembali dengan perubahan sikap, Elvira pikir hari-hari berikutnya dia juga akan bertemu dengan Leonard di tempat yang sama. Tapi ternyata, itu hanya pikirannya saja.Awalnya, dia merasa lega. Setelah semua perhatian kecil yang diberikan pria itu dengan tiba-tiba, dia mendapatkan kembali waktu untuk menjernihkan pikirannya. Butuh jarak agar tidak semakin terbawa arus perasaan yang tidak dia mengerti.Tapi anehnya, bukannya merasa lebih tenang, dia justru merasa ada yang berbeda.Bukan hal besar. Hanya sesuatu yang terasa... Kosong.Dulu, dia tidak pernah memperhatikan sekitarnya seintens ini. Tidak pernah merasa perlu menengok setiap kali ada siluet pria tinggi yang berjalan melewati gedung fakultasnya. Tidak pernah berpikir dua kali saat melangkah ke taman kampus. Tidak pernah memperha
Elvira menatap Leonard yang duduk diam di bangku kantin dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya. Dia sudah menyuruhnya makan, tapi tetap saja rasanya aneh melihat seseorang seperti Leonard dalam keadaan selemah ini. Biasanya, pria itu selalu terlihat tenang dan tak terpengaruh oleh apapun—dingin, bahkan.Tadi, setelah dia memaksa Leonard untuk makan roti dan minum teh hangat, pria itu menurut saja. Itu pun setelah Elvira menunjukkan ekspresi tidak terima kalau dia menolak. Leonard akhirnya menghabiskan semuanya tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik Elvira yang sibuk menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian.Setelah menghabiskan roti dan teh yang dibelikan Elvira, Leonard menghela napas dalam. Meskipun tubuhnya masih terasa berat, setidaknya perutnya sudah terisi. Ia menegakkan punggungnya, bersiap untuk berdiri dari kursi kantin.Namun begitu ia berdiri, kepalanya langsung berputar, dan tubuhnya oleng ke samping. Hampir saja ia kehilangan kes
Elvira Ayu Anindita adalah gadis berumur 20 tahun awal dengan tubuh ramping dan tinggi rata-rata, tidak terlalu mencolok, tapi ada sesuatu dalam caranya membawa diri yang membuat orang memperhatikannya. Rambutnya hitam gelap dengan potongan sebahu, sedikit berantakan karena angin saat ia berjalan tergesa-gesa menuju kampus. Kulitnya cerah, bukan putih pucat, tapi memiliki semburat hangat khas seseorang yang sering terkena sinar matahari.Matanya bulat dengan tatapan tajam dan penuh semangat, meskipun pagi ini matanya terlihat sedikit lelah setelah bergadang belajar. Hidungnya kecil dan sedikit mancung, berpadu dengan bibir tipis yang selalu terlihat sedikit mengerucut saat ia berkonsentrasi membaca materi di ponselnya. Pakaian yang ia kenakan sederhana—kemeja lengan panjang warna peach yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana jeans gelap longgar dan sepatu sneakers yang sudah agak lusuh karena sering dipakai bekerja.Tidak ada perhiasan mencolok di tubuhn
Rina menatap Elvira yang melamun sejak dosen keluar dari kelas. Beberapa menit telah berlalu, bahkan kelas sudah sepi dan hanya menyisakan sedikit mahasiswa. "Kamu kenapa El? Ada masalah? " Tanya Rina. Rina ini adalah teman baik Elvira sejak masa ospek. "Aku masih kepikiran sama lamaran tiba-tiba tadi pagi Rin." Ucap Elvira. "Oh iya, emangnya dia siapa sih? Kok kamu nggak pernah cerita ke aku kalau kamu udah punya pacar sih El, kamu anggap aku apa hah?! Aduuhh.. Mana aku tadi pagi sewot banget lagi, malu deehh" Ucap Rina. "Aku emang nggak punya pacar Rin, aku tadi pagi kan udah bilang kalau aku juga nggak tau dia siapa" Ucap Elvira. "Lah, aneh banget. Mungkin dia secret admirer mu El, kamu kan cantik, baik hati, dan suka menolong" Ucap Rina. "Kamu ngejekin aku ya? Dekil kayak gini kamu bilang cantik? Mana ada yang suka sama cewe lusuh kayak aku gini. Lagian ya Rin, bisa aja kan itu tadi cuma pr
Elvira merebahkan tubuhnya di kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar kosannya. Malam sudah larut, tetapi kantuk sama sekali tidak menghampirinya. Pikirannya terus-menerus kembali ke satu kejadian menyebalkan di kafe tadi. Bukan tentang bagaimana Leonard muncul secara tiba-tiba. Bukan juga tentang tatapan matanya yang seperti menembus isi kepalanya. Tapi tentang satu hal konyol yang terus mengganggu pikirannya—wink itu. Elvira menghela napas panjang. “Kenapa dia melakukan itu, sih?” gerutunya pelan, berbalik ke sisi lain sambil menarik selimut. Leonard menatapnya lama sebelum pergi. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi memilih untuk tidak mengatakannya. Dan wink itu... Itu benar-benar di luar dugaan. Pikirannya kembali ke momen itu. Tatapan Leonard yang tenang, sorot matanya yang sulit ditebak, dan cara bibirnya melengkung tipis s
Sejak pertemuan di perpustakaan, Elvira mulai merasa ada yang tidak beres. Bukan karena kata-kata Leonard yang penuh misteri, tapi karena keberadaannya yang seolah selalu ada di sekitarnya. Setiap kali dia menoleh, dia selalu merasa ada Leonard di sekitarnya. Kadang hanya sekadar duduk di kejauhan, kadang dengan tatapan yang seolah menunggu sesuatu darinya.Awalnya, Elvira masih menganggapnya sebagai kebetulan. Namun, semakin hari, semakin sering dia menemukan Leonard muncul di tempat-tempat yang juga ia datangi.Bahkan saat dia sedang bekerja di kafe, dia merasa seakan-akan ada mata yang mengawasinya.Dia mencoba mengabaikannya, mencoba fokus pada tugas-tugas kuliah dan pekerjaannya. Tapi entah kenapa, setiap kali dia merasa lega karena berpikir Leonard tidak ada, tiba-tiba pria itu muncul.Seperti malam ini, ketika dia berjalan pulang ke kosan setelah kerja.Hawa malam yang seharusnya terasa sejuk malah membuatnya gelisah. Langkahnya le
Suasana malam begitu sunyi, hanya suara deru kendaraan yang melintas di kejauhan. Leonard duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tidak jauh dari apartemennya. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan samar di kaca jendela mobilnya, menciptakan suasana hampa yang seakan mencerminkan pikirannya saat ini. Tangannya menggenggam setir erat, tapi pikirannya mengembara ke kejadian tadi. "Aku capek diikutin terus seperti ini." Suara Elvira masih terngiang di telinganya, menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa jika ia cukup gigih, cukup bertahan, maka semuanya akan berjalan sesuai keinginannya. Tapi tadi malam, untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia merasakan penolakan yang tidak hanya datang dari bibir seseorang, tetapi dari hati. Dan itu membuatnya sadar akan satu hal: ia tidak hanya menginginkan jawaban dari Elvira.
Elvira menatap Leonard yang duduk diam di bangku kantin dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya. Dia sudah menyuruhnya makan, tapi tetap saja rasanya aneh melihat seseorang seperti Leonard dalam keadaan selemah ini. Biasanya, pria itu selalu terlihat tenang dan tak terpengaruh oleh apapun—dingin, bahkan.Tadi, setelah dia memaksa Leonard untuk makan roti dan minum teh hangat, pria itu menurut saja. Itu pun setelah Elvira menunjukkan ekspresi tidak terima kalau dia menolak. Leonard akhirnya menghabiskan semuanya tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik Elvira yang sibuk menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian.Setelah menghabiskan roti dan teh yang dibelikan Elvira, Leonard menghela napas dalam. Meskipun tubuhnya masih terasa berat, setidaknya perutnya sudah terisi. Ia menegakkan punggungnya, bersiap untuk berdiri dari kursi kantin.Namun begitu ia berdiri, kepalanya langsung berputar, dan tubuhnya oleng ke samping. Hampir saja ia kehilangan kes
Sudah tiga hari sejak terakhir kali Elvira melihat Leonard.Setelah dia menghilang karena Elvira mengatakan jika dia capek diikuti terus-menerus dan muncul kembali dengan perubahan sikap, Elvira pikir hari-hari berikutnya dia juga akan bertemu dengan Leonard di tempat yang sama. Tapi ternyata, itu hanya pikirannya saja.Awalnya, dia merasa lega. Setelah semua perhatian kecil yang diberikan pria itu dengan tiba-tiba, dia mendapatkan kembali waktu untuk menjernihkan pikirannya. Butuh jarak agar tidak semakin terbawa arus perasaan yang tidak dia mengerti.Tapi anehnya, bukannya merasa lebih tenang, dia justru merasa ada yang berbeda.Bukan hal besar. Hanya sesuatu yang terasa... Kosong.Dulu, dia tidak pernah memperhatikan sekitarnya seintens ini. Tidak pernah merasa perlu menengok setiap kali ada siluet pria tinggi yang berjalan melewati gedung fakultasnya. Tidak pernah berpikir dua kali saat melangkah ke taman kampus. Tidak pernah memperha
Udara malam semakin dingin, dan Elvira bisa merasakan tubuhnya mulai kehilangan energi setelah seharian penuh beraktivitas. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul sebelas malam, tapi kafe tempatnya bekerja masih cukup ramai. Beberapa pelanggan masih asyik mengobrol, sementara yang lain sibuk dengan laptop masing-masing.Elvira merapikan celemeknya sebelum kembali ke meja kasir, bersiap menangani pesanan berikutnya. Matanya menyapu ruangan, memastikan tidak ada pelanggan yang membutuhkan bantuan.Saat itulah dia melihatnya.Di sudut ruangan, Leonard duduk diam dengan sebuah buku di tangannya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi Elvira tahu betul kalau pria itu sedang memperhatikannya.Sudah berapa lama dia ada di sana?Elvira pura-pura tidak peduli dan segera kembali bekerja, mencoba fokus pada pesanan pelanggan berikutnya. Tapi entah kenapa, perasaan gelisah itu tetap ada.Dia sudah terbiasa dengan cara Leonard yang muncul tiba-
Suasana malam begitu sunyi, hanya suara deru kendaraan yang melintas di kejauhan. Leonard duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tidak jauh dari apartemennya. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan samar di kaca jendela mobilnya, menciptakan suasana hampa yang seakan mencerminkan pikirannya saat ini. Tangannya menggenggam setir erat, tapi pikirannya mengembara ke kejadian tadi. "Aku capek diikutin terus seperti ini." Suara Elvira masih terngiang di telinganya, menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa jika ia cukup gigih, cukup bertahan, maka semuanya akan berjalan sesuai keinginannya. Tapi tadi malam, untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia merasakan penolakan yang tidak hanya datang dari bibir seseorang, tetapi dari hati. Dan itu membuatnya sadar akan satu hal: ia tidak hanya menginginkan jawaban dari Elvira.
Sejak pertemuan di perpustakaan, Elvira mulai merasa ada yang tidak beres. Bukan karena kata-kata Leonard yang penuh misteri, tapi karena keberadaannya yang seolah selalu ada di sekitarnya. Setiap kali dia menoleh, dia selalu merasa ada Leonard di sekitarnya. Kadang hanya sekadar duduk di kejauhan, kadang dengan tatapan yang seolah menunggu sesuatu darinya.Awalnya, Elvira masih menganggapnya sebagai kebetulan. Namun, semakin hari, semakin sering dia menemukan Leonard muncul di tempat-tempat yang juga ia datangi.Bahkan saat dia sedang bekerja di kafe, dia merasa seakan-akan ada mata yang mengawasinya.Dia mencoba mengabaikannya, mencoba fokus pada tugas-tugas kuliah dan pekerjaannya. Tapi entah kenapa, setiap kali dia merasa lega karena berpikir Leonard tidak ada, tiba-tiba pria itu muncul.Seperti malam ini, ketika dia berjalan pulang ke kosan setelah kerja.Hawa malam yang seharusnya terasa sejuk malah membuatnya gelisah. Langkahnya le
Elvira merebahkan tubuhnya di kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar kosannya. Malam sudah larut, tetapi kantuk sama sekali tidak menghampirinya. Pikirannya terus-menerus kembali ke satu kejadian menyebalkan di kafe tadi. Bukan tentang bagaimana Leonard muncul secara tiba-tiba. Bukan juga tentang tatapan matanya yang seperti menembus isi kepalanya. Tapi tentang satu hal konyol yang terus mengganggu pikirannya—wink itu. Elvira menghela napas panjang. “Kenapa dia melakukan itu, sih?” gerutunya pelan, berbalik ke sisi lain sambil menarik selimut. Leonard menatapnya lama sebelum pergi. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi memilih untuk tidak mengatakannya. Dan wink itu... Itu benar-benar di luar dugaan. Pikirannya kembali ke momen itu. Tatapan Leonard yang tenang, sorot matanya yang sulit ditebak, dan cara bibirnya melengkung tipis s
Rina menatap Elvira yang melamun sejak dosen keluar dari kelas. Beberapa menit telah berlalu, bahkan kelas sudah sepi dan hanya menyisakan sedikit mahasiswa. "Kamu kenapa El? Ada masalah? " Tanya Rina. Rina ini adalah teman baik Elvira sejak masa ospek. "Aku masih kepikiran sama lamaran tiba-tiba tadi pagi Rin." Ucap Elvira. "Oh iya, emangnya dia siapa sih? Kok kamu nggak pernah cerita ke aku kalau kamu udah punya pacar sih El, kamu anggap aku apa hah?! Aduuhh.. Mana aku tadi pagi sewot banget lagi, malu deehh" Ucap Rina. "Aku emang nggak punya pacar Rin, aku tadi pagi kan udah bilang kalau aku juga nggak tau dia siapa" Ucap Elvira. "Lah, aneh banget. Mungkin dia secret admirer mu El, kamu kan cantik, baik hati, dan suka menolong" Ucap Rina. "Kamu ngejekin aku ya? Dekil kayak gini kamu bilang cantik? Mana ada yang suka sama cewe lusuh kayak aku gini. Lagian ya Rin, bisa aja kan itu tadi cuma pr
Elvira Ayu Anindita adalah gadis berumur 20 tahun awal dengan tubuh ramping dan tinggi rata-rata, tidak terlalu mencolok, tapi ada sesuatu dalam caranya membawa diri yang membuat orang memperhatikannya. Rambutnya hitam gelap dengan potongan sebahu, sedikit berantakan karena angin saat ia berjalan tergesa-gesa menuju kampus. Kulitnya cerah, bukan putih pucat, tapi memiliki semburat hangat khas seseorang yang sering terkena sinar matahari.Matanya bulat dengan tatapan tajam dan penuh semangat, meskipun pagi ini matanya terlihat sedikit lelah setelah bergadang belajar. Hidungnya kecil dan sedikit mancung, berpadu dengan bibir tipis yang selalu terlihat sedikit mengerucut saat ia berkonsentrasi membaca materi di ponselnya. Pakaian yang ia kenakan sederhana—kemeja lengan panjang warna peach yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana jeans gelap longgar dan sepatu sneakers yang sudah agak lusuh karena sering dipakai bekerja.Tidak ada perhiasan mencolok di tubuhn