Elvira menatap Leonard yang duduk diam di bangku kantin dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya. Dia sudah menyuruhnya makan, tapi tetap saja rasanya aneh melihat seseorang seperti Leonard dalam keadaan selemah ini. Biasanya, pria itu selalu terlihat tenang dan tak terpengaruh oleh apapun—dingin, bahkan.
Tadi, setelah dia memaksa Leonard untuk makan roti dan minum teh hangat, pria itu menurut saja. Itu pun setelah Elvira menunjukkan ekspresi tidak terima kalau dia menolak. Leonard akhirnya menghabiskan semuanya tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik Elvira yang sibuk menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian. Setelah menghabiskan roti dan teh yang dibelikan Elvira, Leonard menghela napas dalam. Meskipun tubuhnya masih terasa berat, setidaknya perutnya sudah terisi. Ia menegakkan punggungnya, bersiap untuk berdiri dari kursi kantin. Namun begitu ia berdiri, kepalanya langsung berputar, dan tubuhnya oleng ke samping. Hampir saja ia kehilangan keseimbangan jika Elvira tidak refleks segera berdiri juga dan buru-buru memegang lengan Leonard. "Leonard! Yaampun demam kamu makin naik" Pria itu memejamkan mata sejenak, menstabilkan tubuhnya sebelum membuka mata lagi. "Aku baik-baik saja." Elvira mendengus. "Bohong banget. Kamu sempoyongan gitu." Leonard menatapnya sejenak, lalu menghela napas. Ia tahu betul kalau kepalanya terasa berat, dan tubuhnya sama sekali tidak bisa diajak kompromi saat ini. Tapi membiarkan Elvira repot mengurusnya terasa aneh baginya. Dia mengusap dahinya, seolah mencoba menahan rasa tidak nyaman di kepalanya. "Aku harus pulang." Elvira mengernyit. "Pulang ke mana?" "Apartemen," jawab Leonard singkat. Elvira melipat tangan di dada. "Sendiri?" Leonard mengangguk. "Aku bisa sendiri." "Oh ya? Dengan kondisi kayak gini?" Elvira menatap Leonard tajam. "Aku nggak percaya. Ayo aku antar ke apartemenmu." Leonard hendak menolak, tapi Elvira sudah lebih dulu memotong, "Jangan bilang kamu bisa sendiri. Udah jelas kamu lagi sakit." Leonard memiringkan kepalanya, keningnya sedikit berkerut. “Kamu bisa nyetir?” Elvira mengerucutkan bibir. “Nggak.” Leonard ingin mengernyit, tapi tubuhnya terlalu lelah untuk merespons. “Terus?” Elvira menahan diri untuk tidak menyumpah. “Ya aku pesenin taksi, lah! Kamu pikir aku bakal angkat kamu ke apartemenmu?” Leonard menatapnya dalam diam. Ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan. Namun, dia tetap tidak berkata apa-apa dan membiarkan Elvira mengambil ponselnya untuk memesan taksi online. “Mana alamat apartemenmu?” tanyanya setelah aplikasi di ponselnya terbuka. Leonard menyebutkan sebuah alamat di daerah elit kota ini, membuat Elvira mengangkat alis. Tapi tak lama dia teringat ucapan mahasiswa yang membicarakan Leonard tadi. Jadi ya wajar saja dia tinggal disitu, dia anak orang kaya. Tak butuh waktu lama, taksi yang mereka tunggu tiba. Dengan sedikit bersusah payah, Leonard berjalan menuju mobil dengan Elvira yang setia menggandeng lengannya, memastikan dia tidak jatuh. Dalam perjalanan, Elvira melirik ke arah Leonard yang bersandar lemah di kursi. Tatapannya kosong menatap ke luar jendela, napasnya sedikit berat. “Kenapa sih kamu nekat ke kampus kalau lagi sakit?” gumam Elvira pelan. Leonard tidak menjawab. "Besok kamu nggak usah masuk kuliah dulu. Istirahat aja," ucap Elvira pelan. Leonard bergumam pelan, matanya tetap menatap keluar. "Lihat nanti." Elvira mendesah. 'Orang ini keras kepala banget.' Setibanya di apartemen Leonard, Elvira kembali membantunya keluar dari mobil dan masuk ke lobi gedung. "Udah, sampai sini aja. Pulanglah," ucap Leonard ketika mereka sampai di depan lift. Elvira menatapnya tajam. "Enggak. Aku ikut ke atas." "Elvira." "Aku nggak tega ninggalin orang sakit sendirian. Kamu tuh keras kepala banget sih. Tinggal nurut aja apa susahnya. Kamar apartemenmu yang mana?" Omel Elvira. Leonard menyerah dan mengangkat tangannya, menunjuk ke arah kamar teratas gedung apartemen tinggi dengan desain minimalis tersebut. Mereka masuk ke dalam, melewati lobi mewah dengan lampu gantung berkilauan, membuat Elvira merasa sedikit canggung. Seorang petugas lobi melirik mereka sebentar, tetapi tidak bertanya apa-apa ketika melihat wajah Leonard. Leonard menghela napas pelan. Mau tidak mau, dia membiarkan Elvira masuk ke lift bersamanya. ***** Setelah sampai di lantai paling atas, dan begitu sampai di unitnya, Leonard membuka pintu dengan sidik jarinya. Setelah pintu apartemen terbuka, Elvira segera membantu Leonard masuk. Apartemennya tidak terlalu besar, tapi terlihat nyaman dan tertata rapi. Warna-warna netral mendominasi ruangan, memberikan kesan tenang. Leonard, yang awalnya bersikeras ingin berjalan sendiri, akhirnya menyerah saat tubuhnya kembali kehilangan keseimbangan. Tanpa banyak bicara, Elvira menuntunnya langsung ke kamar dan membaringkannya di kasur. “Jangan gerak dulu,” kata Elvira sambil meraih bantal dan menyesuaikan posisinya agar Leonard lebih nyaman. Leonard memejamkan mata sesaat, lalu membuka kelopaknya kembali, menatap Elvira yang berdiri di samping kasur dengan ekspresi serius. "Kamu bisa pulang sekarang," katanya dengan suara serak. Elvira melipat tangan di dada. "Nggak, nggak sekarang" Leonard mengerutkan kening, tetapi Elvira mengabaikannya. Dia berbalik dan keluar dari kamar sebentar, mencari sesuatu di dapur. Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan semangkuk air dan kain kecil di tangannya. "Kamu demam. Aku perlu menurunkan panasnya dulu," kata Elvira sambil mencelupkan kain ke dalam air, memerasnya, lalu meletakkannya di dahi Leonard. Leonard terdiam, tidak menghalangi Elvira sama sekali. "Kamu ada paracetamol nggak?" Tanya Elvira. Leonard menggeleng pelan, "Aku alergi paracetamol" Elvira memperhatikannya sesaat. "Ya sudah aku ambilin air hangat dulu. Kalau kamu butuh sesuatu, bilang." Leonard tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap Elvira dengan mata sayu, lalu, tanpa diduga, dia bergumam pelan, hampir seperti bisikan, "Kenapa kamu peduli?" Elvira mengerjap, tidak menyangka pertanyaan itu. "Tentu saja aku peduli. Kamu sakit," jawabnya sederhana. Leonard tetap diam. Matanya yang biasanya tajam kini terlihat lebih lembut, mungkin karena efek demamnya. Elvira berjalan ke dapur, mengisi gelas dengan air hangat, lalu kembali ke kamar Leonard. Ia duduk di kursi samping ranjang Leonard lalu menyodorkan air kepadanya. "Minum" Leonard menerima gelas itu, menyesap isinya perlahan. “Nah, sekarang istirahat,” kata Elvira. “Aku baik-baik saja,” gumam Leonard. Elvira menghela napas panjang. “Leonard, kamu bahkan nyaris pingsan tadi. Sudah, jangan keras kepala.” Leonard menatapnya dengan mata yang mulai sayu, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia merebahkan dirinya di kasur. Elvira menatap lelaki itu yang kini berbaring dengan mata setengah tertutup. Ia mendesah pelan. “Nggak ada orang lain di sini?” tanyanya. Leonard menggeleng lemah. “Aku tinggal sendiri.” Elvira menggigit bibirnya, sedikit ragu. Ia bisa saja pergi sekarang, tapi meninggalkan Leonard sendirian dalam kondisi seperti ini... Dengan berat hati, ia akhirnya menunggu sampai Leonard tertidur. Beberapa menit berlalu dalam keheningan, hanya terdengar suara napas Leonard yang berat. Elvira berniat untuk mengganti kompresnya lalu kembali pulang ke kosnya. Namun, tiba-tiba dia bergumam dengan nada yang lebih lemah, seperti orang yang berbicara dalam tidur. "Elvira..." Elvira menoleh, hanya untuk melihat Leonard menggeliat gelisah. Wajahnya tampak memerah, keringat dingin mulai muncul di dahinya. “Elvira...” ulang Leonard, suaranya serak dan lemah. “Maaf...” Elvira, yang sedang mengganti kain kompresnya, berhenti sejenak. "Hah? Kenapa tiba-tiba minta maaf?” "Maaf... Aku... menghilang... aku...” Suaranya semakin lemah, tetapi masih bisa didengar oleh Elvira. Elvira menatapnya dengan alis berkerut. Leonard masih memejamkan mata, tetapi bibirnya bergerak pelan, seolah sedang mengigau. “Maaf... aku jadi seperti penguntit... aku... Buat kamu nggak nyaman...” Elvira tertegun. Tidak menyangka bahwa Leonard benar-benar meracau dan kata-katanya terasa jujur. Entah dalam keadaan setengah sadar karena demam atau mengigau di alam bawah sadarnya, dia masih memikirkan persaan Elvira. "Maaf... Aku bikin kamu... Nggak nyaman..." lanjutnya, suaranya semakin lirih. Elvira menelan ludah. Dia tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, dia memang kesal dengan Leonard yang sempat terus muncul tiba-tiba, tapi di sisi lain, melihatnya seperti ini justru membuatnya merasa... Merasa bersalah. Perlahan, Elvira menarik napas dalam, lalu mengganti kain kompres di dahi Leonard dengan yang baru dan menekan lembut kain itu ke dahi Leonard, mencoba menurunkan panas tubuhnya. Leonard menggumam lagi, kali ini lebih pelan. “Aku... Nggak tahu... Harus gimana...” Elvira menatapnya. “Sudah, istirahat aja dulu. Jangan kebanyakan mikir,” bisiknya pelan. Leonard tidak menjawab. Napasnya masih berat, tetapi wajahnya terlihat sedikit lebih tenang. Elvira duduk di samping tempat tidur, menatap lelaki itu yang kini tampak jauh lebih damai dalam tidurnya. Ia menggigit bibirnya. “Mungkin aku juga nggak tahu harus gimana,” bisiknya pelan. Ia menunduk dan berpikir bahwa baru kali ini dia melihat sisi Leonard yang seperti ini—rentan, dan... Tidak berdaya. ***** Beberapa jam berlalu sejak Elvira pertama kali tiba di apartemen Leonard. Selama itu, dia tetap berada di samping tempat tidur, memastikan suhu tubuh Leonard tidak semakin naik sambil mengerjakan tugas di handphone miliknya. Sesekali dia mengganti kain kompres yang mulai menghangat, lalu duduk kembali di kursi di samping ranjang. Matanya tidak lepas dari wajah Leonard yang masih tampak lelah. Hari sudah gelap, kini Elvira memutuskan untuk pulang. Namun saat dia mengecek suhu tubuhnya dengan menyentuh dahi Leonard, pria itu tiba-tiba memegang tangannya dan menggeliat kecil lalu bergumam pelan. “Elvira...” Elvira terkejut. Dia tidak menyangka Leonard akan menyebut namanya saat tengah mengigau. "Apa sih yang dipikirin orang ini?" gumamnya pelan, tanpa sadar menghela napas. Saat dia ingin melepas cekalan lemah tangan Leonard, tiba-tiba tangan itu memegangnya dengan lebih kuat. Dia menatap Leonard dengan ekspresi campur aduk. Sejak awal, Leonard memang aneh. Datang tiba-tiba dengan lamaran absurd, lalu menghilang, lalu muncul lagi dengan perhatian-perhatian kecil yang membingungkan. Sekarang, dalam kondisi sakit seperti ini, dia bahkan tetap berhasil membuat Elvira bertanya-tanya tentang dirinya. Leonard kembali bergerak gelisah. Dia terlihat resah, seperti sedang bermimpi buruk. “Jangan pergi...” gumamnya, nyaris tak terdengar. Elvira mengerutkan kening. Dia ingin menanyai Leonard apa maksudnya, tapi tentu saja itu tidak mungkin. Akhirnya, dia hanya mendesah pelan dan mengganti kain kompres di dahi Leonard sekali lagi. Beberapa saat kemudian, ponsel Elvira bergetar di dalam sakunya. Dia mengeluarkannya dan melihat ada pesan dari Rina. Rina: Kamu di mana? Kok dari tadi gak kelihatan? Elvira menggigit bibir, ragu sejenak sebelum membalas. Elvira: Lagi ngurusin orang sakit. Tak butuh waktu lama sebelum balasan datang. Rina: Siapa yang sakit? Elvira belum menatap tangannya yang masih dipegang Leonard. Rina: Jangan bilang Leonard??? Elvira menghela napas pelan dan melirik Leonard yang masih tertidur, lalu mengetik balasan singkat. Elvira: ...Nanti aku ceritain. Rina hanya membalas dengan stiker penasaran, membuat Elvira menghela napas. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi dan melirik jam di dinding. Sudah hampir malam. "Apa aku harus pulang?" gumamnya pelan. Namun, saat dia kembali menoleh ke arah Leonard, dan melihat tangannya yang digenggam kuat oleh Leonard, dia tahu jawabannya. Tidak. Dia tidak bisa meninggalkan Leonard sendirian dalam keadaan seperti ini. Lagipula malam ini dirinya juga sedang libur kerja. Jadi, dengan sedikit pasrah, Elvira menyesuaikan posisi duduknya dan memutuskan untuk tetap tinggal. ***** Sinar matahari pagi masuk melalui celah tirai jendela kamar, menciptakan suasana yang hangat di dalam ruangan. Leonard membuka matanya perlahan, tubuhnya masih terasa sedikit lemas, tetapi jauh lebih baik dibanding semalam. Saat kesadarannya pulih sepenuhnya, pandangannya jatuh pada sosok yang tertidur di samping ranjangnya—Elvira. Dia tertidur di kursi, tetapi tubuh bagian atasnya bersandar ke kasur. Napasnya teratur, wajahnya tampak tenang meskipun posisi tidurnya tidak nyaman. Tangannya tergeletak di atas seprai sambil memegang tangannya. Ralat, tangannya lah yang memegang tangan Elvira. Tapi sejak kapan? Ketika menyadarinya, terbentuk semburat kemerahan di wajahnya. Leonard menatapnya dalam diam sambil tersenyum. Bukan senyum tipis yang biasa dia tunjukkan, melainkan senyuman teduh dan tulus yang bisa melelehkan hati kaum hawa. Sejak kapan terakhir kali ada seseorang yang menjaganya saat sakit? Entahlah. Dia bahkan hampir tidak ingat. Dengan hati-hati, dia melepaskan tangannya dari tangan Elvira dan bangkit dari ranjang, mencoba tidak membuat suara yang bisa membangunkan Elvira. Lalu, dia membungkuk sedikit, meraih tubuh Elvira dengan perlahan, dan memindahkan posisinya ke atas kasur. Elvira bergerak sedikit, bergumam pelan, tetapi tidak benar-benar bangun. Leonard menarik selimut dan menyelimutinya sebelum mundur pelan, memastikan dia tetap nyaman. Setelah itu, dia mandi dan berganti pakaian dengan kaos oblong dan celana selutut yang menurutnya lebih santai–karena dia tertidur masih dengan kemejanya yang dipakai kemarin. Selanjutnya dia berjalan keluar kamar dan menuju dapur. Meskipun masih sedikit pusing, dia merasa cukup baik untuk memasak sesuatu. Lagipula, dia tahu Elvira pasti belum makan sejak semalam. Leonard menyisir rambutnya yang sedikit berantakan dengan tangan, lalu mulai membuka kulkas. Beberapa menit kemudian, aroma harum telur dan roti panggang mulai mengisi udara apartemen. Leonard sibuk menyiapkan sarapan sederhana—omelet dengan keju, roti panggang, dan teh hangat. Saat dia hampir selesai memasak, suara pelan terdengar dari belakangnya. Leonard menoleh dan melihat Elvira berdiri di ambang pintu dapur, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya masih setengah mengantuk. "Kamu bangun," komentar Leonard singkat. Elvira mengucek matanya. "Iya... Aku ketiduran?" Leonard mengangkat alis. "Kamu pikir?" Elvira menoleh ke arah ruang tamu, melihat jam dinding. Saat menyadari sudah pagi, dia langsung terbelalak. "Astaga, aku nggak pulang semalaman?!" "Kelihatannya begitu." Elvira langsung panik. "Aku harus pulang—" "Kamu sarapan dulu." Elvira menoleh ke Leonard yang sudah menaruh piring di meja makan. Wajah pria itu tetap datar, tetapi ada nada tegas dalam suaranya. "Tapi aku harus—" "Ini weekend." Leonard melipat tangan. "Kamu nggak buru-buru ke mana-mana, kan?" Elvira terdiam. Memang benar hari ini hari Sabtu, jadi tidak ada kelas. Tapi tetap saja... "Kamu masih pasti lelah mengurusku semalaman," lanjut Leonard. "Jadi duduk, makan, mandi, baru pulang." Elvira ingin membantah, tetapi perutnya justru berbunyi, membuatnya semakin malu. Leonard menatapnya sebentar sebelum menghela napas. "Duduk." Elvira akhirnya menyerah dan berjalan ke meja makan. Ketika dia duduk dan melihat makanan yang telah disiapkan Leonard, dia terkejut. "Kamu masak ini?" tanyanya. Leonard duduk di seberangnya dan mulai menyendok makanannya sendiri. "Kelihatannya begitu." Elvira menatap piringnya, lalu mengangkat garpu dan mulai makan. Saat suapan pertama masuk ke mulutnya, dia terdiam. "Enak?" tanya Leonard sambil minum teh. Elvira meliriknya, lalu akhirnya mengangguk. Leonard tersenyum tipis, tetapi tidak berkomentar apa-apa. Mereka makan dalam keheningan selama beberapa menit sebelum Elvira akhirnya berbicara lagi. "Jadi... Kamu udah baikan?" Leonard mengangkat bahu. "Lebih baik daripada semalam." Elvira menatapnya beberapa saat sebelum menghela napas. "Kamu harus lebih jaga kesehatan." "Kenapa?" Leonard menatapnya. Elvira melipat tangan. "Kalau kamu sakit lagi, aku yang bakal repot." Leonard tersenyum kecil. "Jadi kamu peduli?" Elvira mengerutkan dahi, menyadari jebakan di balik pertanyaan itu. "Aku... Aku cuma nggak mau ada kejadian kayak semalam lagi." Leonard tidak menjawab, tetapi sorot matanya tampak sedikit lebih lembut. Setelah selesai makan, Elvira akhirnya bersiap untuk pulang. Tapi saat dia akan melangkah ke pintu, suara Leonard menghentikannya. "Kamu yakin mau pulang sekarang?" Elvira menoleh. "Iya, kenapa?" "Mandi duluan saja biar segar. Lihatlah wajahmu di cermin" Ucap Leonard. Elvira menuruti ucapan Leonard untuk melihat di cermin. Dan benar saja, wajahnya sekarang sangat terlihat jika baru bangun tidur, rambutnya sedikit berantakan, bahkan bajunya juga terlihat kusut. Wajah Elvira memerah seperti tomat, tanpa menatap Leonard kembali, dia berbalik dan meletakkan tasnya di sofa lalu berlari ke dalam kamar mandi. "Jangan mengintip!!" Teriak Elvira yang di balas kekehan kecil oleh Leonard. Beberapa detik kemudian Leonard berdeham pelan, sudah berapa lama dirinya tidak tertawa? Entahlah, sejak orang-orang yang menyinari hidupnya dulu satu persatu menghilang, dia tak pernah lagi tertawa dalam hidupnya. Bahkan hidupnya pun suram. Dan kini, tanpa ia sadari, Elvira mulai mengubah hidupnya, Lagi.Elvira Ayu Anindita adalah gadis berumur 20 tahun awal dengan tubuh ramping dan tinggi rata-rata, tidak terlalu mencolok, tapi ada sesuatu dalam caranya membawa diri yang membuat orang memperhatikannya. Rambutnya hitam gelap dengan potongan sebahu, sedikit berantakan karena angin saat ia berjalan tergesa-gesa menuju kampus. Kulitnya cerah, bukan putih pucat, tapi memiliki semburat hangat khas seseorang yang sering terkena sinar matahari.Matanya bulat dengan tatapan tajam dan penuh semangat, meskipun pagi ini matanya terlihat sedikit lelah setelah bergadang belajar. Hidungnya kecil dan sedikit mancung, berpadu dengan bibir tipis yang selalu terlihat sedikit mengerucut saat ia berkonsentrasi membaca materi di ponselnya. Pakaian yang ia kenakan sederhana—kemeja lengan panjang warna peach yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana jeans gelap longgar dan sepatu sneakers yang sudah agak lusuh karena sering dipakai bekerja.Tidak ada perhiasan mencolok di tubuhn
Rina menatap Elvira yang melamun sejak dosen keluar dari kelas. Beberapa menit telah berlalu, bahkan kelas sudah sepi dan hanya menyisakan sedikit mahasiswa. "Kamu kenapa El? Ada masalah? " Tanya Rina. Rina ini adalah teman baik Elvira sejak masa ospek. "Aku masih kepikiran sama lamaran tiba-tiba tadi pagi Rin." Ucap Elvira. "Oh iya, emangnya dia siapa sih? Kok kamu nggak pernah cerita ke aku kalau kamu udah punya pacar sih El, kamu anggap aku apa hah?! Aduuhh.. Mana aku tadi pagi sewot banget lagi, malu deehh" Ucap Rina. "Aku emang nggak punya pacar Rin, aku tadi pagi kan udah bilang kalau aku juga nggak tau dia siapa" Ucap Elvira. "Lah, aneh banget. Mungkin dia secret admirer mu El, kamu kan cantik, baik hati, dan suka menolong" Ucap Rina. "Kamu ngejekin aku ya? Dekil kayak gini kamu bilang cantik? Mana ada yang suka sama cewe lusuh kayak aku gini. Lagian ya Rin, bisa aja kan itu tadi cuma pr
Elvira merebahkan tubuhnya di kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar kosannya. Malam sudah larut, tetapi kantuk sama sekali tidak menghampirinya. Pikirannya terus-menerus kembali ke satu kejadian menyebalkan di kafe tadi. Bukan tentang bagaimana Leonard muncul secara tiba-tiba. Bukan juga tentang tatapan matanya yang seperti menembus isi kepalanya. Tapi tentang satu hal konyol yang terus mengganggu pikirannya—wink itu. Elvira menghela napas panjang. “Kenapa dia melakukan itu, sih?” gerutunya pelan, berbalik ke sisi lain sambil menarik selimut. Leonard menatapnya lama sebelum pergi. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi memilih untuk tidak mengatakannya. Dan wink itu... Itu benar-benar di luar dugaan. Pikirannya kembali ke momen itu. Tatapan Leonard yang tenang, sorot matanya yang sulit ditebak, dan cara bibirnya melengkung tipis s
Sejak pertemuan di perpustakaan, Elvira mulai merasa ada yang tidak beres. Bukan karena kata-kata Leonard yang penuh misteri, tapi karena keberadaannya yang seolah selalu ada di sekitarnya. Setiap kali dia menoleh, dia selalu merasa ada Leonard di sekitarnya. Kadang hanya sekadar duduk di kejauhan, kadang dengan tatapan yang seolah menunggu sesuatu darinya.Awalnya, Elvira masih menganggapnya sebagai kebetulan. Namun, semakin hari, semakin sering dia menemukan Leonard muncul di tempat-tempat yang juga ia datangi.Bahkan saat dia sedang bekerja di kafe, dia merasa seakan-akan ada mata yang mengawasinya.Dia mencoba mengabaikannya, mencoba fokus pada tugas-tugas kuliah dan pekerjaannya. Tapi entah kenapa, setiap kali dia merasa lega karena berpikir Leonard tidak ada, tiba-tiba pria itu muncul.Seperti malam ini, ketika dia berjalan pulang ke kosan setelah kerja.Hawa malam yang seharusnya terasa sejuk malah membuatnya gelisah. Langkahnya le
Suasana malam begitu sunyi, hanya suara deru kendaraan yang melintas di kejauhan. Leonard duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tidak jauh dari apartemennya. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan samar di kaca jendela mobilnya, menciptakan suasana hampa yang seakan mencerminkan pikirannya saat ini. Tangannya menggenggam setir erat, tapi pikirannya mengembara ke kejadian tadi. "Aku capek diikutin terus seperti ini." Suara Elvira masih terngiang di telinganya, menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa jika ia cukup gigih, cukup bertahan, maka semuanya akan berjalan sesuai keinginannya. Tapi tadi malam, untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia merasakan penolakan yang tidak hanya datang dari bibir seseorang, tetapi dari hati. Dan itu membuatnya sadar akan satu hal: ia tidak hanya menginginkan jawaban dari Elvira.
Udara malam semakin dingin, dan Elvira bisa merasakan tubuhnya mulai kehilangan energi setelah seharian penuh beraktivitas. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul sebelas malam, tapi kafe tempatnya bekerja masih cukup ramai. Beberapa pelanggan masih asyik mengobrol, sementara yang lain sibuk dengan laptop masing-masing.Elvira merapikan celemeknya sebelum kembali ke meja kasir, bersiap menangani pesanan berikutnya. Matanya menyapu ruangan, memastikan tidak ada pelanggan yang membutuhkan bantuan.Saat itulah dia melihatnya.Di sudut ruangan, Leonard duduk diam dengan sebuah buku di tangannya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi Elvira tahu betul kalau pria itu sedang memperhatikannya.Sudah berapa lama dia ada di sana?Elvira pura-pura tidak peduli dan segera kembali bekerja, mencoba fokus pada pesanan pelanggan berikutnya. Tapi entah kenapa, perasaan gelisah itu tetap ada.Dia sudah terbiasa dengan cara Leonard yang muncul tiba-
Sudah tiga hari sejak terakhir kali Elvira melihat Leonard.Setelah dia menghilang karena Elvira mengatakan jika dia capek diikuti terus-menerus dan muncul kembali dengan perubahan sikap, Elvira pikir hari-hari berikutnya dia juga akan bertemu dengan Leonard di tempat yang sama. Tapi ternyata, itu hanya pikirannya saja.Awalnya, dia merasa lega. Setelah semua perhatian kecil yang diberikan pria itu dengan tiba-tiba, dia mendapatkan kembali waktu untuk menjernihkan pikirannya. Butuh jarak agar tidak semakin terbawa arus perasaan yang tidak dia mengerti.Tapi anehnya, bukannya merasa lebih tenang, dia justru merasa ada yang berbeda.Bukan hal besar. Hanya sesuatu yang terasa... Kosong.Dulu, dia tidak pernah memperhatikan sekitarnya seintens ini. Tidak pernah merasa perlu menengok setiap kali ada siluet pria tinggi yang berjalan melewati gedung fakultasnya. Tidak pernah berpikir dua kali saat melangkah ke taman kampus. Tidak pernah memperha
Elvira menatap Leonard yang duduk diam di bangku kantin dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya. Dia sudah menyuruhnya makan, tapi tetap saja rasanya aneh melihat seseorang seperti Leonard dalam keadaan selemah ini. Biasanya, pria itu selalu terlihat tenang dan tak terpengaruh oleh apapun—dingin, bahkan.Tadi, setelah dia memaksa Leonard untuk makan roti dan minum teh hangat, pria itu menurut saja. Itu pun setelah Elvira menunjukkan ekspresi tidak terima kalau dia menolak. Leonard akhirnya menghabiskan semuanya tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik Elvira yang sibuk menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian.Setelah menghabiskan roti dan teh yang dibelikan Elvira, Leonard menghela napas dalam. Meskipun tubuhnya masih terasa berat, setidaknya perutnya sudah terisi. Ia menegakkan punggungnya, bersiap untuk berdiri dari kursi kantin.Namun begitu ia berdiri, kepalanya langsung berputar, dan tubuhnya oleng ke samping. Hampir saja ia kehilangan kes
Sudah tiga hari sejak terakhir kali Elvira melihat Leonard.Setelah dia menghilang karena Elvira mengatakan jika dia capek diikuti terus-menerus dan muncul kembali dengan perubahan sikap, Elvira pikir hari-hari berikutnya dia juga akan bertemu dengan Leonard di tempat yang sama. Tapi ternyata, itu hanya pikirannya saja.Awalnya, dia merasa lega. Setelah semua perhatian kecil yang diberikan pria itu dengan tiba-tiba, dia mendapatkan kembali waktu untuk menjernihkan pikirannya. Butuh jarak agar tidak semakin terbawa arus perasaan yang tidak dia mengerti.Tapi anehnya, bukannya merasa lebih tenang, dia justru merasa ada yang berbeda.Bukan hal besar. Hanya sesuatu yang terasa... Kosong.Dulu, dia tidak pernah memperhatikan sekitarnya seintens ini. Tidak pernah merasa perlu menengok setiap kali ada siluet pria tinggi yang berjalan melewati gedung fakultasnya. Tidak pernah berpikir dua kali saat melangkah ke taman kampus. Tidak pernah memperha
Udara malam semakin dingin, dan Elvira bisa merasakan tubuhnya mulai kehilangan energi setelah seharian penuh beraktivitas. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul sebelas malam, tapi kafe tempatnya bekerja masih cukup ramai. Beberapa pelanggan masih asyik mengobrol, sementara yang lain sibuk dengan laptop masing-masing.Elvira merapikan celemeknya sebelum kembali ke meja kasir, bersiap menangani pesanan berikutnya. Matanya menyapu ruangan, memastikan tidak ada pelanggan yang membutuhkan bantuan.Saat itulah dia melihatnya.Di sudut ruangan, Leonard duduk diam dengan sebuah buku di tangannya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi Elvira tahu betul kalau pria itu sedang memperhatikannya.Sudah berapa lama dia ada di sana?Elvira pura-pura tidak peduli dan segera kembali bekerja, mencoba fokus pada pesanan pelanggan berikutnya. Tapi entah kenapa, perasaan gelisah itu tetap ada.Dia sudah terbiasa dengan cara Leonard yang muncul tiba-
Suasana malam begitu sunyi, hanya suara deru kendaraan yang melintas di kejauhan. Leonard duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tidak jauh dari apartemennya. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan samar di kaca jendela mobilnya, menciptakan suasana hampa yang seakan mencerminkan pikirannya saat ini. Tangannya menggenggam setir erat, tapi pikirannya mengembara ke kejadian tadi. "Aku capek diikutin terus seperti ini." Suara Elvira masih terngiang di telinganya, menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa jika ia cukup gigih, cukup bertahan, maka semuanya akan berjalan sesuai keinginannya. Tapi tadi malam, untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia merasakan penolakan yang tidak hanya datang dari bibir seseorang, tetapi dari hati. Dan itu membuatnya sadar akan satu hal: ia tidak hanya menginginkan jawaban dari Elvira.
Sejak pertemuan di perpustakaan, Elvira mulai merasa ada yang tidak beres. Bukan karena kata-kata Leonard yang penuh misteri, tapi karena keberadaannya yang seolah selalu ada di sekitarnya. Setiap kali dia menoleh, dia selalu merasa ada Leonard di sekitarnya. Kadang hanya sekadar duduk di kejauhan, kadang dengan tatapan yang seolah menunggu sesuatu darinya.Awalnya, Elvira masih menganggapnya sebagai kebetulan. Namun, semakin hari, semakin sering dia menemukan Leonard muncul di tempat-tempat yang juga ia datangi.Bahkan saat dia sedang bekerja di kafe, dia merasa seakan-akan ada mata yang mengawasinya.Dia mencoba mengabaikannya, mencoba fokus pada tugas-tugas kuliah dan pekerjaannya. Tapi entah kenapa, setiap kali dia merasa lega karena berpikir Leonard tidak ada, tiba-tiba pria itu muncul.Seperti malam ini, ketika dia berjalan pulang ke kosan setelah kerja.Hawa malam yang seharusnya terasa sejuk malah membuatnya gelisah. Langkahnya le
Elvira merebahkan tubuhnya di kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar kosannya. Malam sudah larut, tetapi kantuk sama sekali tidak menghampirinya. Pikirannya terus-menerus kembali ke satu kejadian menyebalkan di kafe tadi. Bukan tentang bagaimana Leonard muncul secara tiba-tiba. Bukan juga tentang tatapan matanya yang seperti menembus isi kepalanya. Tapi tentang satu hal konyol yang terus mengganggu pikirannya—wink itu. Elvira menghela napas panjang. “Kenapa dia melakukan itu, sih?” gerutunya pelan, berbalik ke sisi lain sambil menarik selimut. Leonard menatapnya lama sebelum pergi. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi memilih untuk tidak mengatakannya. Dan wink itu... Itu benar-benar di luar dugaan. Pikirannya kembali ke momen itu. Tatapan Leonard yang tenang, sorot matanya yang sulit ditebak, dan cara bibirnya melengkung tipis s
Rina menatap Elvira yang melamun sejak dosen keluar dari kelas. Beberapa menit telah berlalu, bahkan kelas sudah sepi dan hanya menyisakan sedikit mahasiswa. "Kamu kenapa El? Ada masalah? " Tanya Rina. Rina ini adalah teman baik Elvira sejak masa ospek. "Aku masih kepikiran sama lamaran tiba-tiba tadi pagi Rin." Ucap Elvira. "Oh iya, emangnya dia siapa sih? Kok kamu nggak pernah cerita ke aku kalau kamu udah punya pacar sih El, kamu anggap aku apa hah?! Aduuhh.. Mana aku tadi pagi sewot banget lagi, malu deehh" Ucap Rina. "Aku emang nggak punya pacar Rin, aku tadi pagi kan udah bilang kalau aku juga nggak tau dia siapa" Ucap Elvira. "Lah, aneh banget. Mungkin dia secret admirer mu El, kamu kan cantik, baik hati, dan suka menolong" Ucap Rina. "Kamu ngejekin aku ya? Dekil kayak gini kamu bilang cantik? Mana ada yang suka sama cewe lusuh kayak aku gini. Lagian ya Rin, bisa aja kan itu tadi cuma pr
Elvira Ayu Anindita adalah gadis berumur 20 tahun awal dengan tubuh ramping dan tinggi rata-rata, tidak terlalu mencolok, tapi ada sesuatu dalam caranya membawa diri yang membuat orang memperhatikannya. Rambutnya hitam gelap dengan potongan sebahu, sedikit berantakan karena angin saat ia berjalan tergesa-gesa menuju kampus. Kulitnya cerah, bukan putih pucat, tapi memiliki semburat hangat khas seseorang yang sering terkena sinar matahari.Matanya bulat dengan tatapan tajam dan penuh semangat, meskipun pagi ini matanya terlihat sedikit lelah setelah bergadang belajar. Hidungnya kecil dan sedikit mancung, berpadu dengan bibir tipis yang selalu terlihat sedikit mengerucut saat ia berkonsentrasi membaca materi di ponselnya. Pakaian yang ia kenakan sederhana—kemeja lengan panjang warna peach yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana jeans gelap longgar dan sepatu sneakers yang sudah agak lusuh karena sering dipakai bekerja.Tidak ada perhiasan mencolok di tubuhn