Rina menatap Elvira yang melamun sejak dosen keluar dari kelas. Beberapa menit telah berlalu, bahkan kelas sudah sepi dan hanya menyisakan sedikit mahasiswa.
"Kamu kenapa El? Ada masalah? " Tanya Rina. Rina ini adalah teman baik Elvira sejak masa ospek. "Aku masih kepikiran sama lamaran tiba-tiba tadi pagi Rin." Ucap Elvira. "Oh iya, emangnya dia siapa sih? Kok kamu nggak pernah cerita ke aku kalau kamu udah punya pacar sih El, kamu anggap aku apa hah?! Aduuhh.. Mana aku tadi pagi sewot banget lagi, malu deehh" Ucap Rina. "Aku emang nggak punya pacar Rin, aku tadi pagi kan udah bilang kalau aku juga nggak tau dia siapa" Ucap Elvira. "Lah, aneh banget. Mungkin dia secret admirer mu El, kamu kan cantik, baik hati, dan suka menolong" Ucap Rina. "Kamu ngejekin aku ya? Dekil kayak gini kamu bilang cantik? Mana ada yang suka sama cewe lusuh kayak aku gini. Lagian ya Rin, bisa aja kan itu tadi cuma prank, atau cuma truth or dare gitu. Apalagi cincin yang dia berikan itu cuma cincin biasa Rin,cincin yang biasanya dijual di toko aksesoris gitu loh Rin" Ucap Elvira. Dia diam sejenak sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. "Tapi ya Rin, kalau cuma prank, kenapa dia sampai ngirim pesan ke nomerku? Trus dia tanya apa aku sudah memikirkannya? Dia juga ingin bicara denganku dan menyuruhku untuk bertemu dengannya di depan kampus. Kalau hanya prank, mungkin pesan pertama yang dia kirimkan bukan pertanyaan itu, tapi ungkapan kalau tadi cuma prank" Lanjut Elvira. "Dia chat kamu? Dia dapat nomormu dari mana?" Ucap Rina. "Aku juga nggak tau Rin, kita aja baru bertemu tadi pagi, dan itu sangat singkat karena kita buru-buru" Ucap Elvira. "Trus sekarang gimana? Kamu mau menerimanya atau menolaknya?" Tanya Rina. "Aku belum memikirkannya. Aku nggak mau menikah muda Rin, aku cuma mau menyelesaikan study ku dan bekerja. Kamu tau kan kalau aku juga harus membayar uang kuliahku sendiri dan membantu ekonomi keluargaku sedikit-sedikit. Lagipula aku juga nggak kenal dia, aku juga nggak cinta sama dia Rin" Ucap Elvira. "Aku tahu kamu kerja keras buat keluarga, tapi jangan sampai kamu ngorbanin kebahagiaanmu sendiri vir, bisa aja menikah membuatmu bahagia, tapi bisa juga malah membuatmu tidak nyaman. Kamu harus tahu apa yang paling penting buat kamu sekarang. Kamu mau lanjut kuliah, kerja, atau tiba-tiba menikah sama orang yang bahkan kamu nggak kenal?" Ucap Rina. Dia meminum air mineral yang ada ditasnya sebentar lalu lanjut berbicara. "Nikah itu bukan hal kecil, Vir. Sekali kamu ambil keputusan, bakal susah balik lagi. Aku tahu ini bikin kamu pusing, tapi jangan ambil keputusan cuma karena tekanan. Jangan sampai keputusan impulsif bikin kamu nyesel nantinya. Kalau dia serius, dia pasti bakal menunggumu sampai kamu siap dengan pasti apa jawabanmu kok" Ucap Rina. Elvira diam sambil mendengarkan saran dari Rina. Pikirannya kembali terlintas kalimat yang diucapkan pria itu. 'menikahlah denganku.' "Lagian cowok itu tuh siapa sih sebenarnya? Kenapa tiba-tiba ngelamar kamu? Jangan-jangan ada sesuatu dibalik ini semua. Minimal kamu cari tahu dulu deh El alasannya ngelamar kamu sebelum kamu tolak atau terima" Ucap Rina. "Bener sih Rin ucapanmu itu, tapi aku masih belum siap kalau harus bertemu dengannya hari ini, gimana kalau dia tetap memaksaku untuk menerimanya? Aku harus apa Rin? Ini semua terlalu mendadak tau nggak sih, pengen nangis aja aku rasanya ya Tuhaann.." Ucap Elvira frustasi. "Kamu mending ikut aku ngerjain tugas sama temen-temen yang lain deh El, biar kamu nggak ketemu dia" Ucap Rina memberi usulan. "Aku harus pergi bekerja Rin, tapi aku naik ojek online aja deh nggak mau pakai angkot, biar bisa cepat-cepat pergi dari kampus" Ucap Elvira. "Ide bagus tuh El, yaudah ayo kita keluar kelas. Udah tinggal kita berdua ini disini" Ucap Rina. Mereka berdua keluar dari kelas dan berpisah jalan. Rina pergi ke kantin karena akan mengerjakan tugas dengan teman-temannya yang lain, sedangkan Elvira berjalan keluar gedung fakultasnya. Dia melangkah dengan cepat dan berbaur dengan sekumpulan mahasiswa lain yang juga berjalan kaki menuju depan kampus supaya tidak terlihat oleh pria aneh itu. Dia merasa lega karena tidak melihatnya di dekat pintu. Segera, dia mempercepat langkahnya menuju pintu keluar kampus. Dia melihat ke sekeliling, mencari tanda-tanda pria tersebut dan merasa lega karena tidak melihatnya di sekitar tempat. Segera, dia mempercepat langkahnya menuju gerbang keluar kampus. Namun, di tengah jalan dia merasakan sebuah tatapan intens. Dan entah mengapa, instingnya langsung mengatakan kalau dia ada di dekat sini. Elvira menundukkan kepala dan semakin mempercepat langkah. Tiba-tiba, ada suara tenang namun tegas berbisik di telinganya. “Jangan menghindar” Elvira terkejut dan menoleh. Pria itu sudah berdiri di hadapannya dengan ekspresi datar, matanya tajam mengamati Elvira yang jelas-jelas ketahuan ingin menghindar. “Aku sibuk,” jawab Elvira singkat, berusaha terlihat tidak peduli. “Lalu, kapan aku bisa dapat jawaban?” pria itu tetap berdiri di jalannya, tidak memberi Elvira kesempatan kabur. Elvira mendesah frustasi. “Kamu benar-benar serius melamarku? ” Pria itu mengangkat bahu. “Aku tidak punya waktu bermain-main.” "Tapi kamu seperti bermain-main tau nggak sih" Ucap Elvira. "Tapi aku tidak sedang bermain-main" Balasnya. Elvira semakin bingung. Tawaran ini terlalu mendadak, terlalu tidak masuk akal. Dia punya masalah sendiri: tugas, ujian, dan pekerjaan, jadi mana ada waktu memikirkan lamaran seseorang yang baru ditemuinya beberapa jam lalu? Dia berusaha berjalan melewati pria tersebut, tapi pria itu mengikuti langkahnya. Elvira akhirnya kesal. “Ck, kamu apa-apaan sih. aku nggak tahu kamu siapa dan kenapa tiba-tiba meminta orang asing sepertiku untuk menikah denganmu. Kenapa kamu nggak meminta temanmu atau pacarmu untuk menikah denganmu? Aku punya hidup sendiri, dan menikah adalah bagian terakhir dari rencana hidupku.” Pria itu tetap tenang. “Aku tidak punya teman perempuan, pacar juga tidak.” Dia menatap Elvira dengan intens lalu berkata, “Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan, tapi aku tidak akan mengubah pikiranku.” Elvira mendecak kesal, dia mengeluarkan kotak cincin dari tasnya. "Ini, ambil kembali. Aku nggak butuh ini, aku nggak mau menikah muda" ucapnya sambil mengulurkan kotak cincin itu. Pria itu melirik kotak cincin di tangan Elvira, tapi tidak bergerak untuk mengambilnya. Matanya tetap tertuju pada wajah gadis itu, seperti sedang menilai sesuatu. "Aku tidak suka ditolak," katanya akhirnya. Elvira mengernyit. "Itu bukan urusanku. Aku nggak bisa terima ini, dan aku juga nggak ngerti kenapa kamu—" Pria itu mendorong tangan Elvira perlahan, menolak cincin itu kembali. "Bawa saja. Aku sudah memberikannya, dan aku tidak suka menarik kembali sesuatu yang sudah kuberikan." Elvira mendengus frustrasi. "Kamu tuh kenapa, sih?! Aku aja nggak kenal kamu!" Pria itu tetap tenang, matanya tak terbaca. Dan dengan suaranya yang berat dia berkata, "Kenali aku, kalau begitu." Jantung Elvira berdegup lebih cepat. Pria ini benar-benar aneh. Elvira menatap cincin itu dengan gemas, lalu menatap pria tersebut, berharap dia akan berubah pikiran dan mengambilnya kembali. Elvira berdecak sambil melihat jam, dia lalu tersadar. Waktu shift bekerjanya sebentar lagi. "Aku nggak ada waktu buat omong kosong ini," desisnya sebelum berbalik dan berjalan cepat meninggalkan pria itu. Pria tersebut hanya berdiri di tempatnya, memperhatikan punggung Elvira yang menjauh. Senyum kecil tersungging di wajahnya. "Aku akan menunggu jawabanmu." Elvira tidak menoleh. Dia hanya menggenggam cincin itu dengan erat, mengumpat dalam hati karena pria itu benar-benar aneh. Dia berlari menuju ojek online yang dia pesan dan semakin menjauh dari pria itu. Namun, dia tetap merasakan tatapan intens di punggungnya sampai dia benar-benar keluar dari kampus. Selama perjalanan Elvira menuju tempat bekerjanya, tanpa dia sadari, sejak tadi dia masih menggenggam kotak cincin itu di tangannya dengan pikiran yang berkecamuk antara kesal atau justru semakin penasaran dengan pria itu dan alasan dia melamarnya tiba-tiba. ***** Elvira baru saja tiba di tempat kerja, masih merasa kesal karena pertemuan sebelumnya dengan pria aneh itu. Dia mencoba fokus bekerja dan mengabaikan segala hal yang mengganggu pikirannya. "Kamu kenapa El? Daritadi aku lihat sepertinya kamu lagi banyak pikiran" Ucap Dea, teman kerja Elvira. "Oh nggak papa kok De, cuma banyak tugas kuliah aja, haha" Ucap Elvira. "Oalah.. Semangat terus ya El, kamu harus tetap kuat. Ini, kamu bawa pesanan ini ke meja nomor 9 ya" Ucap Dea. Elvira membawa nampan ke meja pelanggan dengan ekspresi datar. Namun, begitu dia melihat siapa yang duduk di meja itu, langkahnya terhenti sejenak. "Kenapa dia ada disini?" Batin Elvira. Ya, pria itu ada disana, sedang duduk dan tampak santai seolah-olah ini bukan kebetulan besar. Matanya langsung mengunci ke arah Elvira, seolah menunggunya bereaksi. Elvira menghela napas, mencoba tetap profesional. “Pesanan Anda,” katanya dingin sambil menunjukkan senyum terpaksa, meletakkan minuman dan makanan di atas meja. “Kamu bekerja di sini?” pria itu bertanya, meski jelas sebenarnya sudah tahu jawabannya. “Sepertinya kamu bisa melihatnya sendiri,” Elvira menjawab tanpa ekspresi. Pria itu mengangguk kecil, lalu berkata, “Jadi, aku bisa sering datang ke sini.” Elvira nyaris tersedak udara. “haha, Jangan bercanda.” “Aku tidak bercanda.” pria itu mengaduk minumannya dengan tenang. “Aku hanya ingin memastikan jika kamu tidak menghindariku lagi.” Elvira menatapnya curiga. “Kamu mengejarku sampai ke tempat kerja kan?” “Aku hanya pelanggan yang kebetulan ingin minum kopi.” Elvira mendecak kesal. Dia tidak ingin berurusan dengan pria itu lebih lama, apalagi saat bekerja. “Kalau begitu, silakan menikmati pesanan Anda.” Lalu dia berbalik hendak pergi. "Elvira.” pria itu memanggilnya. Elvira terhenti sejenak, lalu menoleh dengan kening berkerut. “Dari mana kau tahu namaku?” Leonard mengangkat bahu santai. “Kau pakai name tag.” Elvira melihat ke dadanya dan sadar name tag-nya memang masih tergantung. Dia mendecak kesal. “Jadi?” Leonard menyesap kopinya lalu berkata singkat, “Leonard.” Elvira masih bingung. “Apa?” Leonard menatapnya, ekspresinya tetap datar. “Namaku. Leonard.” Elvira terdiam sejenak lalu berbalik badan kembali hendak pergi dari pria itu. Namun sebelum dia benar-benar pergi, Leonard berkata dengan nada santai, “Jangan lupa, aku menunggu jawabanmu.” Elvira langsung merasa kesal. Dia benar-benar ingin menolaknya agar Leonard berhenti mengganggunya, tapi melihat sifatnya yang tidak ingin ditolak membuatnya semakin frustasi. Dia melirik Leonard sekilas, dan pria itu justru tampak menikmati situasi ini. "Apa sebenarnya maumu, Leonard?" pikir Elvira dalam hati. Setelah Elvira pergi, Leonard tersenyum kecil sambil menyesap kopinya. Dia tidak terbiasa mengejar sesuatu, tapi entah kenapa, kali ini dia melakukannya. "Sebenarnya aku sudah mengetahui semua tentangmu Elvira" Batinnya. ***** Tatapan Leonard sejak tadi tidak lepas dari sosok Elvira. Memperhatikan gerak-gerik Elvira saat bekerja entah mengapa mampu membuatnya tertarik berlama-lama untuk menatapnya. Sedangkan Elvira sejak tadi mencoba mengalihkan fokusnya dari tatapan Leonard yang terus-menerus memperhatikannya dari kejauhan sehingga membuatnya tak nyaman. Namun, semakin dia berusaha mengabaikannya, semakin terasa kehadiran pria itu menekan. Tangannya bergerak cepat mencatat pesanan pelanggan, tetapi pikirannya sama sekali tidak berada di tempatnya. Jari-jarinya refleks menuliskan sesuatu di atas kertas pesanan, tanpa benar-benar membaca kembali apa yang ia tulis dan memberikan kertas pesanan tersebut ke pelanggan. “Ada yang aneh dengan ini,” suara pelanggan membuatnya tersentak. Elvira mengerjapkan mata, dia melihat kembali pesanan pelanggan yang tertulis di kertas nota miliknya dan baru sadar bahwa dia telah menuliskan sesuatu yang tidak nyambung di kertas pesanan. Alih-alih menuliskan "Latte panas tanpa gula," dia malah menulis "Latar panas tanpa gula." Sial. Wajahnya terasa panas ketika pelanggan itu mengerutkan kening, dan di saat yang bersamaan, dia mendengar suara kekehan pelan dari arah meja Leonard. Elvira menoleh dengan cepat dan menemukan pria itu masih duduk dengan santai, satu tangan menopang dagunya, sementara bibirnya melengkung tipis—nyaris seperti sedang menahan tawa. Dia menertawakan Elvira. Rasanya ingin sekali dia melemparkan buku pesanan ini ke wajah pria itu. Dengan kesal dan sambil tersenyum ke pelanggan, Elvira buru-buru merobek kertas yang salah tulis dan mencatat ulang pesanan pelanggan tersebut. Tapi entah kenapa, rasa gugupnya malah semakin menjadi. Tatapan Leonard terus mengawasi setiap gerak-geriknya, seolah menikmati bagaimana dirinya dibuat salah tingkah. "Maaf atas kesalahan penulisan saya ya pak, mohon ditunggu sebentar untuk pesanannya, terimakasih" Ucap Elvira sambil tersenyum berusaha untuk tetap profesional, walaupun sebenarnya dia cepat-cepat untuk pergi dari situ dan menghindari tatapan Leonard. Beberapa menit berlalu. Elvira memaksa dirinya fokus bekerja, mengabaikan keberadaan pria itu. Tapi sebelum dia sempat benar-benar tenang, tiba-tiba dia mendengar suara ponsel yang berdering dari arah Leonard dan melihatnya mengangkat telepon dengan ekspresi yang sedikit berubah. Sejenak, tatapan Leonard teralihkan. Dahinya sedikit berkerut, dan rahangnya menegang. Dia tidak mengatakan apa pun, hanya mendengarkan, tetapi ada perubahan halus dalam auranya. Sesuatu dalam pembicaraan itu tampaknya serius. Kemudian, tanpa peringatan, Leonard bangkit dari kursinya. Dia berjalan menuju kasir dan mengeluarkan uang tunai berwarna merah yang jumlahnya lebih dari yang seharusnya. “Ambil sisanya, anggap saja tip,” katanya datar, suaranya rendah dan sedikit berat. Elvira yang sedang merapikan nampan pelanggan otomatis menoleh. Untuk sesaat, tatapan mereka bertemu. Leonard tidak segera pergi. Dia menatapnya beberapa detik lebih lama dari seharusnya. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu, sebelum Elvira bisa memahami arti tatapan itu, Leonard tiba-tiba mengangkat sebelah alisnya dan memberikan kedipan mata yang begitu santai, begitu... jahil. Elvira spontan mencelos. Dia bahkan tidak sempat bereaksi ketika pria itu sudah membalikkan badan dan berjalan keluar dari kafe, meninggalkannya dalam keadaan tertegun dan—untuk pertama kalinya—bingung dengan apa yang sebenarnya diinginkan pria itu darinya.Elvira merebahkan tubuhnya di kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar kosannya. Malam sudah larut, tetapi kantuk sama sekali tidak menghampirinya. Pikirannya terus-menerus kembali ke satu kejadian menyebalkan di kafe tadi. Bukan tentang bagaimana Leonard muncul secara tiba-tiba. Bukan juga tentang tatapan matanya yang seperti menembus isi kepalanya. Tapi tentang satu hal konyol yang terus mengganggu pikirannya—wink itu. Elvira menghela napas panjang. “Kenapa dia melakukan itu, sih?” gerutunya pelan, berbalik ke sisi lain sambil menarik selimut. Leonard menatapnya lama sebelum pergi. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi memilih untuk tidak mengatakannya. Dan wink itu... Itu benar-benar di luar dugaan. Pikirannya kembali ke momen itu. Tatapan Leonard yang tenang, sorot matanya yang sulit ditebak, dan cara bibirnya melengkung tipis s
Sejak pertemuan di perpustakaan, Elvira mulai merasa ada yang tidak beres. Bukan karena kata-kata Leonard yang penuh misteri, tapi karena keberadaannya yang seolah selalu ada di sekitarnya. Setiap kali dia menoleh, dia selalu merasa ada Leonard di sekitarnya. Kadang hanya sekadar duduk di kejauhan, kadang dengan tatapan yang seolah menunggu sesuatu darinya.Awalnya, Elvira masih menganggapnya sebagai kebetulan. Namun, semakin hari, semakin sering dia menemukan Leonard muncul di tempat-tempat yang juga ia datangi.Bahkan saat dia sedang bekerja di kafe, dia merasa seakan-akan ada mata yang mengawasinya.Dia mencoba mengabaikannya, mencoba fokus pada tugas-tugas kuliah dan pekerjaannya. Tapi entah kenapa, setiap kali dia merasa lega karena berpikir Leonard tidak ada, tiba-tiba pria itu muncul.Seperti malam ini, ketika dia berjalan pulang ke kosan setelah kerja.Hawa malam yang seharusnya terasa sejuk malah membuatnya gelisah. Langkahnya le
Suasana malam begitu sunyi, hanya suara deru kendaraan yang melintas di kejauhan. Leonard duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tidak jauh dari apartemennya. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan samar di kaca jendela mobilnya, menciptakan suasana hampa yang seakan mencerminkan pikirannya saat ini. Tangannya menggenggam setir erat, tapi pikirannya mengembara ke kejadian tadi. "Aku capek diikutin terus seperti ini." Suara Elvira masih terngiang di telinganya, menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa jika ia cukup gigih, cukup bertahan, maka semuanya akan berjalan sesuai keinginannya. Tapi tadi malam, untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia merasakan penolakan yang tidak hanya datang dari bibir seseorang, tetapi dari hati. Dan itu membuatnya sadar akan satu hal: ia tidak hanya menginginkan jawaban dari Elvira.
Udara malam semakin dingin, dan Elvira bisa merasakan tubuhnya mulai kehilangan energi setelah seharian penuh beraktivitas. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul sebelas malam, tapi kafe tempatnya bekerja masih cukup ramai. Beberapa pelanggan masih asyik mengobrol, sementara yang lain sibuk dengan laptop masing-masing.Elvira merapikan celemeknya sebelum kembali ke meja kasir, bersiap menangani pesanan berikutnya. Matanya menyapu ruangan, memastikan tidak ada pelanggan yang membutuhkan bantuan.Saat itulah dia melihatnya.Di sudut ruangan, Leonard duduk diam dengan sebuah buku di tangannya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi Elvira tahu betul kalau pria itu sedang memperhatikannya.Sudah berapa lama dia ada di sana?Elvira pura-pura tidak peduli dan segera kembali bekerja, mencoba fokus pada pesanan pelanggan berikutnya. Tapi entah kenapa, perasaan gelisah itu tetap ada.Dia sudah terbiasa dengan cara Leonard yang muncul tiba-
Sudah tiga hari sejak terakhir kali Elvira melihat Leonard.Setelah dia menghilang karena Elvira mengatakan jika dia capek diikuti terus-menerus dan muncul kembali dengan perubahan sikap, Elvira pikir hari-hari berikutnya dia juga akan bertemu dengan Leonard di tempat yang sama. Tapi ternyata, itu hanya pikirannya saja.Awalnya, dia merasa lega. Setelah semua perhatian kecil yang diberikan pria itu dengan tiba-tiba, dia mendapatkan kembali waktu untuk menjernihkan pikirannya. Butuh jarak agar tidak semakin terbawa arus perasaan yang tidak dia mengerti.Tapi anehnya, bukannya merasa lebih tenang, dia justru merasa ada yang berbeda.Bukan hal besar. Hanya sesuatu yang terasa... Kosong.Dulu, dia tidak pernah memperhatikan sekitarnya seintens ini. Tidak pernah merasa perlu menengok setiap kali ada siluet pria tinggi yang berjalan melewati gedung fakultasnya. Tidak pernah berpikir dua kali saat melangkah ke taman kampus. Tidak pernah memperha
Elvira menatap Leonard yang duduk diam di bangku kantin dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya. Dia sudah menyuruhnya makan, tapi tetap saja rasanya aneh melihat seseorang seperti Leonard dalam keadaan selemah ini. Biasanya, pria itu selalu terlihat tenang dan tak terpengaruh oleh apapun—dingin, bahkan.Tadi, setelah dia memaksa Leonard untuk makan roti dan minum teh hangat, pria itu menurut saja. Itu pun setelah Elvira menunjukkan ekspresi tidak terima kalau dia menolak. Leonard akhirnya menghabiskan semuanya tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik Elvira yang sibuk menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian.Setelah menghabiskan roti dan teh yang dibelikan Elvira, Leonard menghela napas dalam. Meskipun tubuhnya masih terasa berat, setidaknya perutnya sudah terisi. Ia menegakkan punggungnya, bersiap untuk berdiri dari kursi kantin.Namun begitu ia berdiri, kepalanya langsung berputar, dan tubuhnya oleng ke samping. Hampir saja ia kehilangan kes
Elvira Ayu Anindita adalah gadis berumur 20 tahun awal dengan tubuh ramping dan tinggi rata-rata, tidak terlalu mencolok, tapi ada sesuatu dalam caranya membawa diri yang membuat orang memperhatikannya. Rambutnya hitam gelap dengan potongan sebahu, sedikit berantakan karena angin saat ia berjalan tergesa-gesa menuju kampus. Kulitnya cerah, bukan putih pucat, tapi memiliki semburat hangat khas seseorang yang sering terkena sinar matahari.Matanya bulat dengan tatapan tajam dan penuh semangat, meskipun pagi ini matanya terlihat sedikit lelah setelah bergadang belajar. Hidungnya kecil dan sedikit mancung, berpadu dengan bibir tipis yang selalu terlihat sedikit mengerucut saat ia berkonsentrasi membaca materi di ponselnya. Pakaian yang ia kenakan sederhana—kemeja lengan panjang warna peach yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana jeans gelap longgar dan sepatu sneakers yang sudah agak lusuh karena sering dipakai bekerja.Tidak ada perhiasan mencolok di tubuhn
Elvira menatap Leonard yang duduk diam di bangku kantin dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya. Dia sudah menyuruhnya makan, tapi tetap saja rasanya aneh melihat seseorang seperti Leonard dalam keadaan selemah ini. Biasanya, pria itu selalu terlihat tenang dan tak terpengaruh oleh apapun—dingin, bahkan.Tadi, setelah dia memaksa Leonard untuk makan roti dan minum teh hangat, pria itu menurut saja. Itu pun setelah Elvira menunjukkan ekspresi tidak terima kalau dia menolak. Leonard akhirnya menghabiskan semuanya tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik Elvira yang sibuk menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian.Setelah menghabiskan roti dan teh yang dibelikan Elvira, Leonard menghela napas dalam. Meskipun tubuhnya masih terasa berat, setidaknya perutnya sudah terisi. Ia menegakkan punggungnya, bersiap untuk berdiri dari kursi kantin.Namun begitu ia berdiri, kepalanya langsung berputar, dan tubuhnya oleng ke samping. Hampir saja ia kehilangan kes
Sudah tiga hari sejak terakhir kali Elvira melihat Leonard.Setelah dia menghilang karena Elvira mengatakan jika dia capek diikuti terus-menerus dan muncul kembali dengan perubahan sikap, Elvira pikir hari-hari berikutnya dia juga akan bertemu dengan Leonard di tempat yang sama. Tapi ternyata, itu hanya pikirannya saja.Awalnya, dia merasa lega. Setelah semua perhatian kecil yang diberikan pria itu dengan tiba-tiba, dia mendapatkan kembali waktu untuk menjernihkan pikirannya. Butuh jarak agar tidak semakin terbawa arus perasaan yang tidak dia mengerti.Tapi anehnya, bukannya merasa lebih tenang, dia justru merasa ada yang berbeda.Bukan hal besar. Hanya sesuatu yang terasa... Kosong.Dulu, dia tidak pernah memperhatikan sekitarnya seintens ini. Tidak pernah merasa perlu menengok setiap kali ada siluet pria tinggi yang berjalan melewati gedung fakultasnya. Tidak pernah berpikir dua kali saat melangkah ke taman kampus. Tidak pernah memperha
Udara malam semakin dingin, dan Elvira bisa merasakan tubuhnya mulai kehilangan energi setelah seharian penuh beraktivitas. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul sebelas malam, tapi kafe tempatnya bekerja masih cukup ramai. Beberapa pelanggan masih asyik mengobrol, sementara yang lain sibuk dengan laptop masing-masing.Elvira merapikan celemeknya sebelum kembali ke meja kasir, bersiap menangani pesanan berikutnya. Matanya menyapu ruangan, memastikan tidak ada pelanggan yang membutuhkan bantuan.Saat itulah dia melihatnya.Di sudut ruangan, Leonard duduk diam dengan sebuah buku di tangannya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi Elvira tahu betul kalau pria itu sedang memperhatikannya.Sudah berapa lama dia ada di sana?Elvira pura-pura tidak peduli dan segera kembali bekerja, mencoba fokus pada pesanan pelanggan berikutnya. Tapi entah kenapa, perasaan gelisah itu tetap ada.Dia sudah terbiasa dengan cara Leonard yang muncul tiba-
Suasana malam begitu sunyi, hanya suara deru kendaraan yang melintas di kejauhan. Leonard duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tidak jauh dari apartemennya. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan samar di kaca jendela mobilnya, menciptakan suasana hampa yang seakan mencerminkan pikirannya saat ini. Tangannya menggenggam setir erat, tapi pikirannya mengembara ke kejadian tadi. "Aku capek diikutin terus seperti ini." Suara Elvira masih terngiang di telinganya, menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa jika ia cukup gigih, cukup bertahan, maka semuanya akan berjalan sesuai keinginannya. Tapi tadi malam, untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia merasakan penolakan yang tidak hanya datang dari bibir seseorang, tetapi dari hati. Dan itu membuatnya sadar akan satu hal: ia tidak hanya menginginkan jawaban dari Elvira.
Sejak pertemuan di perpustakaan, Elvira mulai merasa ada yang tidak beres. Bukan karena kata-kata Leonard yang penuh misteri, tapi karena keberadaannya yang seolah selalu ada di sekitarnya. Setiap kali dia menoleh, dia selalu merasa ada Leonard di sekitarnya. Kadang hanya sekadar duduk di kejauhan, kadang dengan tatapan yang seolah menunggu sesuatu darinya.Awalnya, Elvira masih menganggapnya sebagai kebetulan. Namun, semakin hari, semakin sering dia menemukan Leonard muncul di tempat-tempat yang juga ia datangi.Bahkan saat dia sedang bekerja di kafe, dia merasa seakan-akan ada mata yang mengawasinya.Dia mencoba mengabaikannya, mencoba fokus pada tugas-tugas kuliah dan pekerjaannya. Tapi entah kenapa, setiap kali dia merasa lega karena berpikir Leonard tidak ada, tiba-tiba pria itu muncul.Seperti malam ini, ketika dia berjalan pulang ke kosan setelah kerja.Hawa malam yang seharusnya terasa sejuk malah membuatnya gelisah. Langkahnya le
Elvira merebahkan tubuhnya di kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar kosannya. Malam sudah larut, tetapi kantuk sama sekali tidak menghampirinya. Pikirannya terus-menerus kembali ke satu kejadian menyebalkan di kafe tadi. Bukan tentang bagaimana Leonard muncul secara tiba-tiba. Bukan juga tentang tatapan matanya yang seperti menembus isi kepalanya. Tapi tentang satu hal konyol yang terus mengganggu pikirannya—wink itu. Elvira menghela napas panjang. “Kenapa dia melakukan itu, sih?” gerutunya pelan, berbalik ke sisi lain sambil menarik selimut. Leonard menatapnya lama sebelum pergi. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi memilih untuk tidak mengatakannya. Dan wink itu... Itu benar-benar di luar dugaan. Pikirannya kembali ke momen itu. Tatapan Leonard yang tenang, sorot matanya yang sulit ditebak, dan cara bibirnya melengkung tipis s
Rina menatap Elvira yang melamun sejak dosen keluar dari kelas. Beberapa menit telah berlalu, bahkan kelas sudah sepi dan hanya menyisakan sedikit mahasiswa. "Kamu kenapa El? Ada masalah? " Tanya Rina. Rina ini adalah teman baik Elvira sejak masa ospek. "Aku masih kepikiran sama lamaran tiba-tiba tadi pagi Rin." Ucap Elvira. "Oh iya, emangnya dia siapa sih? Kok kamu nggak pernah cerita ke aku kalau kamu udah punya pacar sih El, kamu anggap aku apa hah?! Aduuhh.. Mana aku tadi pagi sewot banget lagi, malu deehh" Ucap Rina. "Aku emang nggak punya pacar Rin, aku tadi pagi kan udah bilang kalau aku juga nggak tau dia siapa" Ucap Elvira. "Lah, aneh banget. Mungkin dia secret admirer mu El, kamu kan cantik, baik hati, dan suka menolong" Ucap Rina. "Kamu ngejekin aku ya? Dekil kayak gini kamu bilang cantik? Mana ada yang suka sama cewe lusuh kayak aku gini. Lagian ya Rin, bisa aja kan itu tadi cuma pr
Elvira Ayu Anindita adalah gadis berumur 20 tahun awal dengan tubuh ramping dan tinggi rata-rata, tidak terlalu mencolok, tapi ada sesuatu dalam caranya membawa diri yang membuat orang memperhatikannya. Rambutnya hitam gelap dengan potongan sebahu, sedikit berantakan karena angin saat ia berjalan tergesa-gesa menuju kampus. Kulitnya cerah, bukan putih pucat, tapi memiliki semburat hangat khas seseorang yang sering terkena sinar matahari.Matanya bulat dengan tatapan tajam dan penuh semangat, meskipun pagi ini matanya terlihat sedikit lelah setelah bergadang belajar. Hidungnya kecil dan sedikit mancung, berpadu dengan bibir tipis yang selalu terlihat sedikit mengerucut saat ia berkonsentrasi membaca materi di ponselnya. Pakaian yang ia kenakan sederhana—kemeja lengan panjang warna peach yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana jeans gelap longgar dan sepatu sneakers yang sudah agak lusuh karena sering dipakai bekerja.Tidak ada perhiasan mencolok di tubuhn