Elvira merebahkan tubuhnya di kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar kosannya. Malam sudah larut, tetapi kantuk sama sekali tidak menghampirinya. Pikirannya terus-menerus kembali ke satu kejadian menyebalkan di kafe tadi.
Bukan tentang bagaimana Leonard muncul secara tiba-tiba. Bukan juga tentang tatapan matanya yang seperti menembus isi kepalanya. Tapi tentang satu hal konyol yang terus mengganggu pikirannya—wink itu. Elvira menghela napas panjang. “Kenapa dia melakukan itu, sih?” gerutunya pelan, berbalik ke sisi lain sambil menarik selimut. Leonard menatapnya lama sebelum pergi. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi memilih untuk tidak mengatakannya. Dan wink itu... Itu benar-benar di luar dugaan. Pikirannya kembali ke momen itu. Tatapan Leonard yang tenang, sorot matanya yang sulit ditebak, dan cara bibirnya melengkung tipis sebelum akhirnya mengedipkan sebelah mata dengan begitu santai. Itu bukan wink genit seperti yang sering dilakukan cowok-cowok sok asik di kampus. Wink Leonard... Lebih ke arah jahil, seakan dia tahu itu akan membuat Elvira kesal. Dan benar saja. “Astaga, aku kenapa sampai kepikiran begini sih” Elvira mengacak rambutnya sendiri, frustrasi. Dia bahkan mulai bertanya-tanya, apakah Leonard memang berniat mempermainkannya? Atau itu hanya sekadar kebiasaannya saja? Tidak. Elvira yakin, Leonard bukan tipe orang yang melakukan sesuatu tanpa alasan. Lamaran itu... Tatapan misteriusnya... Wink menyebalkan itu... “Apa maunya dia sebenarnya?” gumamnya. Elvira tidak bisa memungkiri bahwa sejak pertemuan pertama mereka, Leonard selalu bersikap penuh teka-teki. Dia jarang bicara, tapi tindakannya selalu menyiratkan sesuatu. Seperti saat dia dengan santainya menyodorkan cincin di awal pertemuan mereka. Seperti saat dia bersikeras menunggu jawaban Elvira. Seperti saat dia muncul di kafe, lalu memperhatikannya dari kejauhan. Dan sekarang, bahkan setelah Leonard pergi, pikirannya masih dipenuhi olehnya. Elvira menutup wajahnya dengan bantal. “Aku gila,” desisnya. Tiba-tiba, suara notifikasi mengusik keheningan malam. Dengan malas, Elvira meraih ponselnya dan melihat nama Rina di layar. Rina: Udah tidur, Vir? Elvira: Belum. Kenapa? Rina: Kebetulan. Aku ke kosanmu sekarang, ya? Elvira: Hah? Ngapain malam-malam? Rina: Bawain kamu jajanan. Bentar lagi nyampe. Elvira mendengus pelan, tapi dalam hati bersyukur. Setidaknya, dia punya seseorang untuk diajak bicara. Lima belas menit kemudian, Rina datang dengan plastik berisi beberapa bungkus makanan ringan. Elvira membiarkan temannya masuk dan duduk di lantai, membuka satu bungkus keripik lalu menyeruput minuman dingin yang ia bawa. “Kenapa mukamu kayak orang habis ditagih utang?” goda Rina sambil mengunyah. Elvira mendesah lelah. “Bukan utang, tapi lebih menyebalkan dari itu.” Rina menaikkan alis. “Jangan bilang kalau ini tentang cowok tampan yang melamarmu tiba-tiba itu?” Elvira memutar bola matanya. “Jangan panggil dia begitu.” “Jadi benar?” Rina tertawa kecil. “Wow, aku nggak nyangka kamu bakal kepikiran soal dia.” Elvira menatap temannya dengan ekspresi datar. “Aku bukan kepikiran dalam arti seperti itu, tapi lebih ke arah terganggu. Dia muncul terus di mana-mana, lalu—astaga, dia itu ngeselin banget, Rin!” “Apa lagi yang dia lakuin?” Elvira mengambil bantal dan memeluknya erat. “Dia muncul di kafe tempat aku kerja.” Mata Rina membesar. “Hah? Dia ngikutin kamu?” “Dia bilang cuma pelanggan biasa,” Elvira menghela napas, “tapi aku yakin itu cuma alasan.” Rina menyengir. “Terus? Dia ngapain?” Elvira terdiam sejenak, menimbang apakah ia harus menceritakan bagian paling menyebalkan atau tidak. Tapi akhirnya, dia menghembuskan napas dan berkata, “Dia... Wink ke aku.” Sekarang giliran Rina yang terdiam. Lalu, dalam waktu tiga detik, dia tertawa terbahak-bahak. “Wink? Dia ngasih wink ke kamu? HAHAHA!” Elvira memukul lengan Rina dengan kesal. “BERHENTI KETAWA!” Tapi Rina tidak bisa berhenti. Dia bahkan menepuk-nepuk pahanya sendiri saking terhiburnya. “Astaga, ini fenomena terbaik yang aku dengar minggu ini! Aku nggak nyangka cowok yang kelihatannya sekalem dia ternyata bisa jail juga.” Elvira menghela napas. “Aku serius, Rin. Aku nggak ngerti kenapa dia melakukan itu. Apa dia sengaja? Apa dia cuma mau ganggu aku? Terus kenapa dia tatap aku lama banget sebelum itu? Itu... Aneh.” Rina akhirnya berhasil mengendalikan tawanya, meski masih menyisakan senyum lebar di wajahnya. “Vir, kamu sadar nggak sih?” “Sadar apa?” “Kamu mikirin dia terus.” Elvira terdiam. “Dari tadi tuh kamu terus membahas dia tau. Matanya, tatapannya, bahkan wink-nya. Kamu sampai pusing sendiri gara-gara itu.” Elvira menatap Rina dengan kesal. “Bukan karena aku suka dia! Aku cuma penasaran!” “Tapi tetap saja, itu tanda kalau dia berhasil bikin kamu mikirin dia,” ujar Rina dengan nada menggoda. “Kamu udah mempertimbangkan lamarannya?” Elvira menghela napas panjang. “Aku nggak tahu, Rin. Logikanya, harusnya aku menolak. Tapi... Dia nggak seperti 'cowok kaya' yang dulu itu. Aku nggak tahu apakah aku harus percaya atau tidak.” Rina menatap Elvira dengan lebih serius sekarang. “Kalau kamu masih ragu, jangan langsung ambil keputusan. Cari tahu lebih banyak tentang dia dulu.” Elvira terdiam, menimbang kata-kata Rina sambil sesekali mencomot keripik dan minum minuman kaleng yang dibawa rina. Mereka pun lanjut bercerita membahas hal lain, seperti tugas kuliah, dan bergosip tentang dosen ataupun teman sekelasnya. ***** Elvira masih duduk di kasurnya setelah Rina pulang, menatap layar ponselnya yang mati. Percakapan mereka tadi membuat pikirannya semakin kusut. Dia memang kesal dengan Leonard, tapi dia juga tidak bisa mengabaikan lamaran itu begitu saja. Rina benar—dia harus mencari tahu lebih banyak sebelum mengambil keputusan. Drrt! Getaran ponselnya membuat Elvira tersentak. Dia buru-buru mengambilnya dari kasur dan melihat nama pengirim pesan. Leonard: Jangan tidur terlalu larut. Nanti sakit. Elvira membeku. Matanya menatap layar dengan penuh kebingungan. Dari mana Leonard tahu dia belum tidur? Jantungnya berdebar tak nyaman. Dia otomatis melirik ke jendela kamarnya, memastikan apakah ada seseorang di luar sana. Tapi tentu saja, tidak ada siapa-siapa. Ini bukan film thriller di mana seorang pria misterius mengawasi dari kejauhan. Tapi tetap saja... Bagaimana Leonard bisa tahu? Dengan cepat, jari-jarinya mengetik balasan. Elvira: Kamu ngikutin aku? Tidak butuh waktu lama sampai balasannya masuk. Leonard: Tidak. Aku hanya menebak. Elvira mengernyit. Elvira: Menebak? Leonard: Wajahmu pagi tadi terlihat seperti seseorang yang sering begadang. Tebakanku benar, kan? Elvira terdiam. Tangannya melemah, hampir menjatuhkan ponsel. Dia menatap layar cukup lama, seakan berharap ada kelanjutan dari pesan itu. Tapi tidak ada. Hanya itu. Sederhana. Tidak berlebihan. Tapi tetap saja, itu cukup untuk membuat Elvira merasa semakin terusik. Dia menelan ludah. Jari-jarinya mengetik sesuatu, tapi kemudian menghapusnya lagi. Entah kenapa, dia tidak tahu harus membalas apa. Pada akhirnya, dia hanya menaruh ponselnya di samping bantal dan membalikkan badan, mencoba memejamkan mata. Tapi di kepalanya, nama Leonard terus berputar. Untuk pertama kalinya, Elvira frustasi bukan karena kesal. Tapi karena dia mulai merasa penasaran. ***** Elvira menghirup udara pagi dalam-dalam sambil berjalan menuju kampus. Matahari belum terlalu terik, angin sejuk masih terasa di kulitnya. Hari yang cukup baik untuk sedikit menenangkan pikiran—terutama setelah gangguan yang ia alami kemarin. Tadi malam, dia sulit tidur. Bukan hanya karena pekerjaannya yang melelahkan, tapi juga karena satu pesan dari Leonard yang terus berputar di kepalanya. 'Tebakanku benar, kan?' Bagaimana dia bisa tau? Padahal pertemuan mereka hanya sebentar. Elvira menggeleng cepat, mengusir suara itu dari pikirannya. Tidak, hari ini aku tidak akan memikirkan dia lagi. Setidaknya di kampus, dia bisa merasa lebih tenang. Tidak mungkin Leonard tiba-tiba muncul di sini lagi, kan? Ketika sampai di kampus, Elvira tidak mendapati keberadaan Leonard dimana pun. Ia pun menghela napas lega dan melalui kelasnya dengan sedikit lebih tenang. Begitu selesai kelas, Elvira langsung menuju perpustakaan. Ada tugas yang harus ia selesaikan, dan tempat paling nyaman untuk mengerjakannya adalah di sana. Perpustakaan kampus cukup besar, dengan deretan rak tinggi yang dipenuhi buku-buku tebal. Cahaya alami dari jendela besar membuat suasana di dalam terasa lebih damai, tidak suram seperti perpustakaan kebanyakan. Namun, baru beberapa langkah masuk, Elvira tiba-tiba berhenti. Matanya menangkap sosok seseorang yang duduk di salah satu meja dekat jendela. Seseorang dengan rambut hitam rapi, mengenakan kemeja sederhana, dan sedang fokus membaca sebuah buku tebal di tangannya. Seseorang yang sangat dikenalnya. Seseorang yang mungkin 'seharusnya' tidak ada di sini. Leonard. Elvira otomatis mundur setengah langkah, napasnya tercekat. 'Kenapa dia ada di sini?!' Ini perpustakaan kampus, tentu saja tempat ini terbuka untuk siapa saja, termasuk Leonard. Tapi tetap saja, melihatnya di sini adalah sesuatu yang tidak pernah ia harapkan. Dia buru-buru melangkah ke arah lain, bersembunyi di balik salah satu rak buku. Dengan hati-hati, ia mengintip ke arah Leonard. Laki-laki itu masih sibuk dengan bukunya, tidak menyadari kehadiran Elvira. Oke, tenang. Aku hanya perlu mencari tempat yang jauh darinya dan berpura-pura dia tidak ada di sini, batin Elvira Elvira berjalan memutari beberapa rak, memilih meja yang cukup jauh dari tempat Leonard duduk. Setelah merasa jika tempat itu cukup aman, ia menarik kursi dan mulai mengeluarkan buku serta laptopnya. Namun, meskipun sudah duduk sejauh ini, pikirannya masih tidak tenang. Entah kenapa, kehadiran Leonard membuatnya tidak bisa fokus. Ia bahkan mulai mempertanyakan apakah dia ada disini itu hanyalah kebetulan atau... Sesuatu yang lebih dari itu. Apa Leonard sengaja ada di sini? Atau ini hanya paranoid berlebihan karena dia masih kesal dengan kejadian kemarin yang selalu dibuntuti Leonard? Elvira menarik napas panjang. 'Sudahlah, fokus. Abaikan saja dia.' Tapi tetap saja, sesekali matanya melirik ke arah lelaki itu, memastikan bahwa dia masih sibuk dengan bukunya dan tidak menyadari keberadaannya di sini. Untuk sekarang, sepertinya dia masih aman. Tapi tetap saja... Elvira merasa seolah-olah sedang bermain petak umpet dengan seseorang yang bahkan dia saja tidak sadar jika sedang diperhatikan. ***** Elvira masih fokus pada laptopnya, jari-jarinya mengetik cepat di keyboard. Setelah beberapa menit berlalu, dia mulai merasa lebih tenang. Mungkin dia terlalu paranoid tadi. Leonard sepertinya tidak menyadari keberadaannya di sini, jadi dia benar-benar bisa fokus pada tugasnya sekarang. Namun, di balik rak buku, Leonard sudah memperhatikan sejak beberapa saat lalu. Saat sedang membaca, dia merasa ada tatapan yang mengarah padanya. Instingnya segera bekerja, dan dia pun melihat sekilas ke arah sumber tatapan itu. 'Elvira.' Senyuman tipis terukir di bibirnya. Gadis itu terlihat seperti seekor kelinci yang ketahuan bersembunyi, lalu buru-buru kabur sebelum tertangkap. Leonard tahu Elvira takut dan tidak ingin bertemu dengannya. Itu tidak mengejutkan. Tapi dia juga tahu, jika dia langsung mendekati gadis itu sekarang, Elvira akan lari lagi. Jadi dia memutuskan untuk menunggu. Dibiarkannya Elvira merasa aman. Seakan dia benar-benar tidak menyadarinya. Dan benar saja, beberapa menit kemudian, Elvira sudah kembali sibuk dengan tugasnya. Leonard menutup bukunya dengan tenang, membawa buku itu, lalu melangkah santai menuju meja tempat Elvira duduk. Tanpa suara, dia menarik kursi di sampingnya, meletakkan buku besar itu di meja dengan gerakan pelan. Elvira yang masih sibuk mengetik, tidak menyadari keberadaan Leonard. Awalnya, dia mengira itu hanya mahasiswa lain yang kebetulan duduk di sana. Tapi, beberapa menit berlalu, dan dia mulai merasa... Aneh. Ada perasaan tidak nyaman yang menyelinap. Seperti ada seseorang yang menatapnya. Elvira berusaha mengabaikannya. Tapi semakin lama, rasa tidak nyaman itu semakin kuat. Akhirnya, dengan ragu-ragu, dia menoleh ke samping. Mata mereka bertemu. Elvira terkejut. “Kamu?! Sejak kapan—” Leonard bertumpu di buku besar yang tadi ia bawa, menatap Elvira dengan ekspresi santai. “Sejak beberapa menit lalu.” Elvira buru-buru menegakkan tubuhnya, waspada. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Leonard mengangkat bahu. “Membaca.” “Tapi kenapa harus duduk di sini?” Leonard mengangkat bahu. “Karena ada kursi kosong.” Elvira memelototinya, kesal. “Ada banyak kursi kosong di tempat lain.” “Tapi aku lebih suka di sini.” Elvira memelototinya, tapi Leonard tetap tenang. Matanya menatap Elvira dengan penuh ketertarikan, seakan menunggu sesuatu. Dan Elvira sadar apa yang dia tunggu. “Kamu masih menunggu jawabanku?” desahnya frustrasi. Leonard mengangguk. Elvira menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Dia menatap lelaki itu, mencoba membaca niatnya. “Aku nggak mengerti, kenapa sih kamu ngotot banget?” tanyanya akhirnya. “Apa kamu benar-benar kekurangan pilihan sampai harus memaksa orang yang bahkan nggak kamu kenal?” Leonard terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada datar, “Ini permintaan ayahku.” Elvira sedikit terkejut dengan jawaban itu. Dia mengerjapkan mata, mencoba memahami maksudnya. “Apa?” “Ayahku sedang sakit. Dia ingin aku menikah sebelum terlambat.” Elvira menatap Leonard lebih lama. Sejenak, Elvira merasa sedikit bersimpati. Tapi sesuatu terasa janggal. Seolah Leonard menyembunyikan sesuatu. “Tapi kenapa harus aku? Apa alasannya?” Elvira bertanya lagi. “Kenapa bukan orang lain?” Leonard tidak langsung menjawab. Dia hanya menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangan. “Karena aku memilihmu.” Elvira menggigit bibirnya, merasa semakin bingung. Jawaban itu terlalu misterius. Dia ingin bertanya lebih lanjut, tapi ragu. Pada akhirnya, dia hanya bisa menghela napas. “Aku butuh waktu untuk berpikir.” Leonard mengamati ekspresinya selama beberapa detik, lalu akhirnya mengangguk. “Oke. Aku akan memberimu waktu lagi.” Elvira menghela napas lega. Tapi sebelum dia bisa merasa benar-benar tenang, Leonard tiba-tiba mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, suaranya terdengar rendah dan dalam. “Ada dua hal yang harus kamu tahu Elvira. Yang pertama yaitu aku punya alasan sendiri kenapa memilihmu. Dan kalau aku memberitahumu sekarang, kamu mungkin akan lebih sulit menolakku. Yang kedua, karena kita bukanlah orang asing” Elvira menatapnya dengan mata melebar. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara hampir berbisik. Tapi Leonard hanya tersenyum samar. Lalu, tanpa menjawab, dia mengambil buku besar yang tadi dia bawa dan pergi begitu saja, meninggalkan Elvira dengan segudang pertanyaan di kepalanya. Kenapa dia begitu yakin? Apa yang dia sembunyikan? Dan yang paling penting, Apa yang akan terjadi jika dia benar-benar tahu alasannya?Sejak pertemuan di perpustakaan, Elvira mulai merasa ada yang tidak beres. Bukan karena kata-kata Leonard yang penuh misteri, tapi karena keberadaannya yang seolah selalu ada di sekitarnya. Setiap kali dia menoleh, dia selalu merasa ada Leonard di sekitarnya. Kadang hanya sekadar duduk di kejauhan, kadang dengan tatapan yang seolah menunggu sesuatu darinya.Awalnya, Elvira masih menganggapnya sebagai kebetulan. Namun, semakin hari, semakin sering dia menemukan Leonard muncul di tempat-tempat yang juga ia datangi.Bahkan saat dia sedang bekerja di kafe, dia merasa seakan-akan ada mata yang mengawasinya.Dia mencoba mengabaikannya, mencoba fokus pada tugas-tugas kuliah dan pekerjaannya. Tapi entah kenapa, setiap kali dia merasa lega karena berpikir Leonard tidak ada, tiba-tiba pria itu muncul.Seperti malam ini, ketika dia berjalan pulang ke kosan setelah kerja.Hawa malam yang seharusnya terasa sejuk malah membuatnya gelisah. Langkahnya le
Suasana malam begitu sunyi, hanya suara deru kendaraan yang melintas di kejauhan. Leonard duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tidak jauh dari apartemennya. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan samar di kaca jendela mobilnya, menciptakan suasana hampa yang seakan mencerminkan pikirannya saat ini. Tangannya menggenggam setir erat, tapi pikirannya mengembara ke kejadian tadi. "Aku capek diikutin terus seperti ini." Suara Elvira masih terngiang di telinganya, menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa jika ia cukup gigih, cukup bertahan, maka semuanya akan berjalan sesuai keinginannya. Tapi tadi malam, untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia merasakan penolakan yang tidak hanya datang dari bibir seseorang, tetapi dari hati. Dan itu membuatnya sadar akan satu hal: ia tidak hanya menginginkan jawaban dari Elvira.
Udara malam semakin dingin, dan Elvira bisa merasakan tubuhnya mulai kehilangan energi setelah seharian penuh beraktivitas. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul sebelas malam, tapi kafe tempatnya bekerja masih cukup ramai. Beberapa pelanggan masih asyik mengobrol, sementara yang lain sibuk dengan laptop masing-masing.Elvira merapikan celemeknya sebelum kembali ke meja kasir, bersiap menangani pesanan berikutnya. Matanya menyapu ruangan, memastikan tidak ada pelanggan yang membutuhkan bantuan.Saat itulah dia melihatnya.Di sudut ruangan, Leonard duduk diam dengan sebuah buku di tangannya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi Elvira tahu betul kalau pria itu sedang memperhatikannya.Sudah berapa lama dia ada di sana?Elvira pura-pura tidak peduli dan segera kembali bekerja, mencoba fokus pada pesanan pelanggan berikutnya. Tapi entah kenapa, perasaan gelisah itu tetap ada.Dia sudah terbiasa dengan cara Leonard yang muncul tiba-
Sudah tiga hari sejak terakhir kali Elvira melihat Leonard.Setelah dia menghilang karena Elvira mengatakan jika dia capek diikuti terus-menerus dan muncul kembali dengan perubahan sikap, Elvira pikir hari-hari berikutnya dia juga akan bertemu dengan Leonard di tempat yang sama. Tapi ternyata, itu hanya pikirannya saja.Awalnya, dia merasa lega. Setelah semua perhatian kecil yang diberikan pria itu dengan tiba-tiba, dia mendapatkan kembali waktu untuk menjernihkan pikirannya. Butuh jarak agar tidak semakin terbawa arus perasaan yang tidak dia mengerti.Tapi anehnya, bukannya merasa lebih tenang, dia justru merasa ada yang berbeda.Bukan hal besar. Hanya sesuatu yang terasa... Kosong.Dulu, dia tidak pernah memperhatikan sekitarnya seintens ini. Tidak pernah merasa perlu menengok setiap kali ada siluet pria tinggi yang berjalan melewati gedung fakultasnya. Tidak pernah berpikir dua kali saat melangkah ke taman kampus. Tidak pernah memperha
Elvira menatap Leonard yang duduk diam di bangku kantin dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya. Dia sudah menyuruhnya makan, tapi tetap saja rasanya aneh melihat seseorang seperti Leonard dalam keadaan selemah ini. Biasanya, pria itu selalu terlihat tenang dan tak terpengaruh oleh apapun—dingin, bahkan.Tadi, setelah dia memaksa Leonard untuk makan roti dan minum teh hangat, pria itu menurut saja. Itu pun setelah Elvira menunjukkan ekspresi tidak terima kalau dia menolak. Leonard akhirnya menghabiskan semuanya tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik Elvira yang sibuk menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian.Setelah menghabiskan roti dan teh yang dibelikan Elvira, Leonard menghela napas dalam. Meskipun tubuhnya masih terasa berat, setidaknya perutnya sudah terisi. Ia menegakkan punggungnya, bersiap untuk berdiri dari kursi kantin.Namun begitu ia berdiri, kepalanya langsung berputar, dan tubuhnya oleng ke samping. Hampir saja ia kehilangan kes
Elvira Ayu Anindita adalah gadis berumur 20 tahun awal dengan tubuh ramping dan tinggi rata-rata, tidak terlalu mencolok, tapi ada sesuatu dalam caranya membawa diri yang membuat orang memperhatikannya. Rambutnya hitam gelap dengan potongan sebahu, sedikit berantakan karena angin saat ia berjalan tergesa-gesa menuju kampus. Kulitnya cerah, bukan putih pucat, tapi memiliki semburat hangat khas seseorang yang sering terkena sinar matahari.Matanya bulat dengan tatapan tajam dan penuh semangat, meskipun pagi ini matanya terlihat sedikit lelah setelah bergadang belajar. Hidungnya kecil dan sedikit mancung, berpadu dengan bibir tipis yang selalu terlihat sedikit mengerucut saat ia berkonsentrasi membaca materi di ponselnya. Pakaian yang ia kenakan sederhana—kemeja lengan panjang warna peach yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana jeans gelap longgar dan sepatu sneakers yang sudah agak lusuh karena sering dipakai bekerja.Tidak ada perhiasan mencolok di tubuhn
Rina menatap Elvira yang melamun sejak dosen keluar dari kelas. Beberapa menit telah berlalu, bahkan kelas sudah sepi dan hanya menyisakan sedikit mahasiswa. "Kamu kenapa El? Ada masalah? " Tanya Rina. Rina ini adalah teman baik Elvira sejak masa ospek. "Aku masih kepikiran sama lamaran tiba-tiba tadi pagi Rin." Ucap Elvira. "Oh iya, emangnya dia siapa sih? Kok kamu nggak pernah cerita ke aku kalau kamu udah punya pacar sih El, kamu anggap aku apa hah?! Aduuhh.. Mana aku tadi pagi sewot banget lagi, malu deehh" Ucap Rina. "Aku emang nggak punya pacar Rin, aku tadi pagi kan udah bilang kalau aku juga nggak tau dia siapa" Ucap Elvira. "Lah, aneh banget. Mungkin dia secret admirer mu El, kamu kan cantik, baik hati, dan suka menolong" Ucap Rina. "Kamu ngejekin aku ya? Dekil kayak gini kamu bilang cantik? Mana ada yang suka sama cewe lusuh kayak aku gini. Lagian ya Rin, bisa aja kan itu tadi cuma pr
Elvira menatap Leonard yang duduk diam di bangku kantin dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya. Dia sudah menyuruhnya makan, tapi tetap saja rasanya aneh melihat seseorang seperti Leonard dalam keadaan selemah ini. Biasanya, pria itu selalu terlihat tenang dan tak terpengaruh oleh apapun—dingin, bahkan.Tadi, setelah dia memaksa Leonard untuk makan roti dan minum teh hangat, pria itu menurut saja. Itu pun setelah Elvira menunjukkan ekspresi tidak terima kalau dia menolak. Leonard akhirnya menghabiskan semuanya tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik Elvira yang sibuk menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian.Setelah menghabiskan roti dan teh yang dibelikan Elvira, Leonard menghela napas dalam. Meskipun tubuhnya masih terasa berat, setidaknya perutnya sudah terisi. Ia menegakkan punggungnya, bersiap untuk berdiri dari kursi kantin.Namun begitu ia berdiri, kepalanya langsung berputar, dan tubuhnya oleng ke samping. Hampir saja ia kehilangan kes
Sudah tiga hari sejak terakhir kali Elvira melihat Leonard.Setelah dia menghilang karena Elvira mengatakan jika dia capek diikuti terus-menerus dan muncul kembali dengan perubahan sikap, Elvira pikir hari-hari berikutnya dia juga akan bertemu dengan Leonard di tempat yang sama. Tapi ternyata, itu hanya pikirannya saja.Awalnya, dia merasa lega. Setelah semua perhatian kecil yang diberikan pria itu dengan tiba-tiba, dia mendapatkan kembali waktu untuk menjernihkan pikirannya. Butuh jarak agar tidak semakin terbawa arus perasaan yang tidak dia mengerti.Tapi anehnya, bukannya merasa lebih tenang, dia justru merasa ada yang berbeda.Bukan hal besar. Hanya sesuatu yang terasa... Kosong.Dulu, dia tidak pernah memperhatikan sekitarnya seintens ini. Tidak pernah merasa perlu menengok setiap kali ada siluet pria tinggi yang berjalan melewati gedung fakultasnya. Tidak pernah berpikir dua kali saat melangkah ke taman kampus. Tidak pernah memperha
Udara malam semakin dingin, dan Elvira bisa merasakan tubuhnya mulai kehilangan energi setelah seharian penuh beraktivitas. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul sebelas malam, tapi kafe tempatnya bekerja masih cukup ramai. Beberapa pelanggan masih asyik mengobrol, sementara yang lain sibuk dengan laptop masing-masing.Elvira merapikan celemeknya sebelum kembali ke meja kasir, bersiap menangani pesanan berikutnya. Matanya menyapu ruangan, memastikan tidak ada pelanggan yang membutuhkan bantuan.Saat itulah dia melihatnya.Di sudut ruangan, Leonard duduk diam dengan sebuah buku di tangannya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi Elvira tahu betul kalau pria itu sedang memperhatikannya.Sudah berapa lama dia ada di sana?Elvira pura-pura tidak peduli dan segera kembali bekerja, mencoba fokus pada pesanan pelanggan berikutnya. Tapi entah kenapa, perasaan gelisah itu tetap ada.Dia sudah terbiasa dengan cara Leonard yang muncul tiba-
Suasana malam begitu sunyi, hanya suara deru kendaraan yang melintas di kejauhan. Leonard duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tidak jauh dari apartemennya. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan samar di kaca jendela mobilnya, menciptakan suasana hampa yang seakan mencerminkan pikirannya saat ini. Tangannya menggenggam setir erat, tapi pikirannya mengembara ke kejadian tadi. "Aku capek diikutin terus seperti ini." Suara Elvira masih terngiang di telinganya, menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa jika ia cukup gigih, cukup bertahan, maka semuanya akan berjalan sesuai keinginannya. Tapi tadi malam, untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia merasakan penolakan yang tidak hanya datang dari bibir seseorang, tetapi dari hati. Dan itu membuatnya sadar akan satu hal: ia tidak hanya menginginkan jawaban dari Elvira.
Sejak pertemuan di perpustakaan, Elvira mulai merasa ada yang tidak beres. Bukan karena kata-kata Leonard yang penuh misteri, tapi karena keberadaannya yang seolah selalu ada di sekitarnya. Setiap kali dia menoleh, dia selalu merasa ada Leonard di sekitarnya. Kadang hanya sekadar duduk di kejauhan, kadang dengan tatapan yang seolah menunggu sesuatu darinya.Awalnya, Elvira masih menganggapnya sebagai kebetulan. Namun, semakin hari, semakin sering dia menemukan Leonard muncul di tempat-tempat yang juga ia datangi.Bahkan saat dia sedang bekerja di kafe, dia merasa seakan-akan ada mata yang mengawasinya.Dia mencoba mengabaikannya, mencoba fokus pada tugas-tugas kuliah dan pekerjaannya. Tapi entah kenapa, setiap kali dia merasa lega karena berpikir Leonard tidak ada, tiba-tiba pria itu muncul.Seperti malam ini, ketika dia berjalan pulang ke kosan setelah kerja.Hawa malam yang seharusnya terasa sejuk malah membuatnya gelisah. Langkahnya le
Elvira merebahkan tubuhnya di kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar kosannya. Malam sudah larut, tetapi kantuk sama sekali tidak menghampirinya. Pikirannya terus-menerus kembali ke satu kejadian menyebalkan di kafe tadi. Bukan tentang bagaimana Leonard muncul secara tiba-tiba. Bukan juga tentang tatapan matanya yang seperti menembus isi kepalanya. Tapi tentang satu hal konyol yang terus mengganggu pikirannya—wink itu. Elvira menghela napas panjang. “Kenapa dia melakukan itu, sih?” gerutunya pelan, berbalik ke sisi lain sambil menarik selimut. Leonard menatapnya lama sebelum pergi. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi memilih untuk tidak mengatakannya. Dan wink itu... Itu benar-benar di luar dugaan. Pikirannya kembali ke momen itu. Tatapan Leonard yang tenang, sorot matanya yang sulit ditebak, dan cara bibirnya melengkung tipis s
Rina menatap Elvira yang melamun sejak dosen keluar dari kelas. Beberapa menit telah berlalu, bahkan kelas sudah sepi dan hanya menyisakan sedikit mahasiswa. "Kamu kenapa El? Ada masalah? " Tanya Rina. Rina ini adalah teman baik Elvira sejak masa ospek. "Aku masih kepikiran sama lamaran tiba-tiba tadi pagi Rin." Ucap Elvira. "Oh iya, emangnya dia siapa sih? Kok kamu nggak pernah cerita ke aku kalau kamu udah punya pacar sih El, kamu anggap aku apa hah?! Aduuhh.. Mana aku tadi pagi sewot banget lagi, malu deehh" Ucap Rina. "Aku emang nggak punya pacar Rin, aku tadi pagi kan udah bilang kalau aku juga nggak tau dia siapa" Ucap Elvira. "Lah, aneh banget. Mungkin dia secret admirer mu El, kamu kan cantik, baik hati, dan suka menolong" Ucap Rina. "Kamu ngejekin aku ya? Dekil kayak gini kamu bilang cantik? Mana ada yang suka sama cewe lusuh kayak aku gini. Lagian ya Rin, bisa aja kan itu tadi cuma pr
Elvira Ayu Anindita adalah gadis berumur 20 tahun awal dengan tubuh ramping dan tinggi rata-rata, tidak terlalu mencolok, tapi ada sesuatu dalam caranya membawa diri yang membuat orang memperhatikannya. Rambutnya hitam gelap dengan potongan sebahu, sedikit berantakan karena angin saat ia berjalan tergesa-gesa menuju kampus. Kulitnya cerah, bukan putih pucat, tapi memiliki semburat hangat khas seseorang yang sering terkena sinar matahari.Matanya bulat dengan tatapan tajam dan penuh semangat, meskipun pagi ini matanya terlihat sedikit lelah setelah bergadang belajar. Hidungnya kecil dan sedikit mancung, berpadu dengan bibir tipis yang selalu terlihat sedikit mengerucut saat ia berkonsentrasi membaca materi di ponselnya. Pakaian yang ia kenakan sederhana—kemeja lengan panjang warna peach yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana jeans gelap longgar dan sepatu sneakers yang sudah agak lusuh karena sering dipakai bekerja.Tidak ada perhiasan mencolok di tubuhn