แชร์

Lamaran Tak Terduga
Lamaran Tak Terduga
ผู้แต่ง: Silmeeii

Tawaran Tak Masuk Akal

ผู้เขียน: Silmeeii
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-03-11 18:11:48

Elvira Ayu Anindita adalah gadis berumur 20 tahun awal dengan tubuh ramping dan tinggi rata-rata, tidak terlalu mencolok, tapi ada sesuatu dalam caranya membawa diri yang membuat orang memperhatikannya. Rambutnya hitam gelap dengan potongan sebahu, sedikit berantakan karena angin saat ia berjalan tergesa-gesa menuju kampus. Kulitnya cerah, bukan putih pucat, tapi memiliki semburat hangat khas seseorang yang sering terkena sinar matahari.

Matanya bulat dengan tatapan tajam dan penuh semangat, meskipun pagi ini matanya terlihat sedikit lelah setelah bergadang belajar. Hidungnya kecil dan sedikit mancung, berpadu dengan bibir tipis yang selalu terlihat sedikit mengerucut saat ia berkonsentrasi membaca materi di ponselnya. Pakaian yang ia kenakan sederhana—kemeja lengan panjang warna peach yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana jeans gelap longgar dan sepatu sneakers yang sudah agak lusuh karena sering dipakai bekerja.

Tidak ada perhiasan mencolok di tubuhnya, hanya sebuah jam tangan murah di pergelangan tangannya. Meski sederhana, ada aura keteguhan dan ketegasan dalam cara ia berjalan, seakan dia tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal kecil seperti penampilannya. Baginya, yang penting adalah bagaimana bisa bertahan dan terus maju.

Elvira turun dari angkot dan berjalan cepat menuju kampus. Tangan kanannya sibuk menggulir layar ponselnya, membaca materi yang akan digunakan untuk praktik laboratorium pada jam pertama, sedangkan tangan kirinya menenteng kotak kontainer kecil berisikan peralatan praktik pribadi miliknya. Matanya fokus pada teks, sementara langkahnya setengah berlari di trotoar.

Di sisi lain, seorang laki-laki muda berumur awal 22-an dengan aura yang tenang dan misterius berdiri di pinggiran halte. Laki-laki tampan dengan rambut hitam pekat dan tertata rapi, wajahnya memiliki garis tegas dengan rahang kokoh, hidung mancung, dan mata tajam berwarna cokelat gelap yang sering kali terlihat datar, sulit dibaca. Posturnya tinggi dan tegap, sekitar 187 cm, dengan bahu lebar dan tubuh atletis yang terbentuk dari kebiasaan berolahraga. Dia lebih sering mengenakan pakaian sederhana—kemeja polos atau turtleneck dengan celana bahan atau jeans gelap, selalu tampak rapi tanpa usaha berlebihan. Wajahnya yang tampan dan sikapnya yang dingin membuatnya menarik perhatian banyak orang, tetapi dia sendiri tidak terlalu peduli dengan itu karena kini kepalanya masih dipenuhi suara keluarganya yang terus memaksanya menikah. Matanya menyapu sekitar, mencari solusi cepat untuk menghentikan semua tekanan ini.

Ketika sebuah angkot berhenti di depan halte tempatnya berdiri sekarang, saat itulah dia melihat seorang gadis yang keluar pertama kali dari angkot tersebut dengan tergesa-gesa. Seorang gadis yang jelas-jelas tidak peduli dengan sekelilingnya, asyik dengan ponselnya, dan tampak terlalu sibuk untuk peduli pada hal-hal lain. Namun di sisi lain, dia juga tampak familiar dengan wajah gadis tersebut, sehingga dalam pikirannya, hanya ada satu kata.

'Dia saja. Selesai.'

Tanpa berpikir panjang, pria tersebut melangkah maju dan menghadang Elvira. Gadis itu kaget hingga hampir menabraknya. Sebelum dia sempat protes, pria itu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celananya, membukanya, dan mengulurkan cincin ke arahnya.

"Aku butuh istri. Menikahlah denganku."

Hening.

Elvira mengerjapkan mata, yakin dia salah dengar. Tatapan pria itu tetap datar, seolah ini adalah transaksi bisnis biasa.

Seorang ibu yang lewat melirik mereka dengan penasaran. Beberapa mahasiswa di belakang Elvira mulai berbisik-bisik.

"Eh? Apa ini?" Elvira menatap pria di depannya dengan ekspresi campuran antara bingung dan jengkel. "Kamu siapa?"

"Nanti aku akan memberitahu mu," jawab pria itu singkat. "Sekarang jawab saja ya atau tidak."

Elvira ingin tertawa. Ini pasti prank atau taruhan konyol. Tapi ekspresi pria ini serius. Bahkan terlalu serius.

"Maaf, aku nggak ada waktu untuk bercanda." Dia berusaha berjalan melewati pria tersebut, tapi pria itu mengikutinya dan berdiri di depannya hingga menghalangi jalannya.

Salah satu teman sekelasnya yang baru turun dari ojek online melihat kejadian itu dan berlari ke arahnya sambil sedikit berteriak, "Elvira, dia siapa? Dia lagi lamar kamu?"

Elvira Mengedikkan bahu. Dia ingin tahu juga siapa orang gila ini?

Elvira masih terpaku di tempat, matanya menatap pria asing di depannya dengan campuran kebingungan dan kesal. Apa ini semacam lelucon?

Sebelum dia bisa menjawab, suara langkah temannya semakin cepat mendekat.

“Elvira! Ayo cepat, sudah mepet jam praktik di laboratorium ini, kamu tau kan kalau kamu telat nanti kamu nggak akan boleh ikut praktik” suara temannya yang bernama Rina terdengar panik saat dia menarik lengan Elvira. Matanya melirik pria tersebut dengan curiga. “Siapa dia? Kenapa tiba-tiba lamar kamu?” bisiknya di telinga Elvira.

“Itu juga yang mau aku tahu, dia itu siapa?” gumam Elvira.

Rina menatap pria itu sejenak, lalu menghela napas. “Udah, jangan pedulikan dia. Ayo, kita bakal telat nanti!”

Elvira mengangguk dan bersiap untuk pergi. Tapi sebelum dia bisa melangkah, suara pria itu terdengar lagi—tenang, tapi tegas.

“Aku tidak akan membiarkanmu pergi sampai kamu menerimanya.”

Elvira berhenti. Perlahan, dia menatap kembali  pria itu. “Kamu bercanda, kan?"

Pria itu menggeleng. Tatapannya tetap datar, tapi sorot matanya penuh keyakinan. Dia tidak akan pergi. Tidak akan menyerah.

Di kepalanya, hanya ada suara keluarganya yang terus mendesaknya. Cepat menikah. Cepat.

“Udah biarin aja dia. Orang aneh dia tuh.” ucap Rina lalu kembali menariknya lagi, tapi kali ini lebih kuat. Namun pria itu juga tak mau kalah, dia menahan tangan Elvira yang satunya.

“Aku tidak akan membiarkanmu pergi sampai kamu menerimanya,” ulangnya dengan nada yang begitu tenang, seolah ini adalah hal paling wajar di dunia.

Elvira menghela napas. Dia tidak punya waktu untuk candaan bodoh ini. Jam sudah mepet dengan waktu praktik dan dia masih harus bersiap untuk praktik.

Pria tersebut tampaknya menyadari kebingungannya. Dia mengembuskan napas pelan, lalu tanpa ragu membuka telapak tangan Elvira dan meletakkan kotak cincin di telapak tangannya.

"Kalau begitu, bawa saja dulu," Ucapnya datar. “Aku akan menunggumu.”

Elvira mengerjap. “Apa?!!”

“Aku tidak suka mengulang,” Pria tersebut  menjawab santai. “Pergi ke kelasmu dan praktik lah dengan tenang, tapi bawa cincin ini.”

Elvira benar-benar tak habis pikir. Apa-apaan ini? Siapa sebenarnya pria ini?

Rina menariknya lebih kuat. “Udah El, bawa aja! Ayo, udah telat ini!”

Akhirnya, dengan perasaan campur aduk, Elvira mengepalkan tangan, membawa cincin itu tanpa benar-benar mengerti kenapa dia menurutinya. Dia harus pergi sekarang, urusan ini bisa dia pikirkan nanti.

Sementara itu, pria tersebut hanya memperhatikannya pergi, sebelum berbalik dan memasukkan tangannya ke saku.

Satu hal yang pasti, dia sudah memilih.

*****

Elvira menghela napas panjang saat berdiri di depan laboratorium patologi. "Haahh.. Praktikum hematologi di jam pertama," gumamnya pelan sambil menghela nafas. Semester tiga benar-benar mulai terasa berat, terutama dengan materi-materi yang menuntut ketelitian seperti ini. Tapi bagaimanapun dia sudah memilih jurusan ini, jadi dia harus tetap semangat dalam menjalaninya apapun yang terjadi.

Kini Elvira tengah duduk di kursi laboratoriumnya, mengenakan jas lab putihnya dengan tangan bersarung tangan lateks,dan masker yang menutup setengah wajahnya. Hari ini, dia harus melakukan pengambilan darah vena sebelum melakukan pemeriksaan hematologi lainnya, sebuah teknik yang sudah sering dia lakukan dan pelajari. Tetapi untuk pertama kalinya, pikirannya terasa tidak fokus.

Di hadapannya saat ini, seorang teman sekelompoknya sudah siap menjadi subjek uji. Elvira mencoba menarik napas dalam dan mengingat langkah-langkah mengambil darah vena, yaitu dengan memasang tourniquet—toniquet adalah alat yang digunakan untuk menekan dan menghentikan aliran darah pada bagian tubuh tertentu dan bahannya biasanya terbuat dari nilon, karet, atau kain — kemudian mencari aliran darah vena, membersihkan area yang akan ditusuk, lalu masukkan jarum dengan sudut yang tepat.

Namun, lagi-lagi bayangan cincin yang diulurkan pria tak dikenal tadi masih menghantui pikirannya.

"Menikahlah denganku."

Kata-kata itu terus terulang di kepalanya, membuatnya kehilangan fokus. Dia bahkan sempat membayangkan pria tersebut berdiri di sudut ruangan dengan ekspresi datarnya, menunggu jawaban darinya.

"El, kamu kenapa?" tanya Rina, menyadari Elvira yang tiba-tiba diam dengan jarum di tangannya.

Elvira tersentak. "Ah, iya, maaf. Aku cuma kepikiran sesuatu tadi"

"Oohh.. Yang fokus ya El, kalau kamu nggak fokus, nanti salah tusuk gimana? Efeknya bukan di aku aja yang kesakitan loh, tapi nilai kamu nanti juga bisa dikurang sama dosen" Ucap Rina mengingatkan.

"Iya Rin, makasih ya udah mengingatkan" Ucap Elvira sambil tersenyum, walaupun senyuman itu tidak akan terlihat oleh Nindi, karena setengah wajahnya yang tertutup masker.

Dia menggelengkan kepala pelan, berusaha mengusir pikirannya dan kembali fokus pada tugasnya. Tangannya kembali stabil saat dia memasukkan jarum ke dalam vena dengan presisi. Begitu darah mulai mengisi tabung vakum, dia menarik napas lega.

"Aku ini kenapa, sih?" pikirnya.

Praktikum terus berlanjut, setelah Elvira mengambil darah Rina, ganti Rina yang mengambil darah Elvira. Setelah pengambilan darah selesai, kini Elvira berdiri di depan mikroskop, tangannya sedikit gemetar saat memegang sebuah kamar hitung berjenis Improved Neubauer yang berisi campuran antara darah dan reagen pengencer. Dosen sudah memberi instruksi, tapi pikirannya lagi-lagi terfokus pada cincin yang ada di dalam sakunya—cincin dari pria asing yang tiba-tiba melamarnya pagi tadi.

"Konsentrasi, El," batinnya, lalu menyesuaikan fokus mikroskop.

Perlahan, garis-garis pada kamar hitung mulai terlihat dan tampak beberapa sel darah putih atau leukosit yang berbentuk tidak beraturan, berwarna terang, dan memiliki inti. Elvira pun mulai menghitung sel-sel darah putih tersebut dan menghitungnya. Namun hasil yang didapat yaitu jumlah sel leukositnya kurang dari nilai normal.

Elvira mengernyitkan dahi. "Kok hasilnya kurang dari normal ya. Masa iya leukopenia?" Gumam Elvira.

"Ada yang salah, El?" tanya Rina, melihat wajah Elvira yang mulai serius.

Elvira menegakkan duduknya, sedikit bingung. "Eee.. Jumlah leukositmu rendah Rin" Ucapnya ragu.

"Serius? Kamu salah hitung mungkin" Rina mencoba bercanda, tapi suaranya terdengar sedikit gugup.

"Sebentar aku cek ulang dulu ya Rin" Ucap Elvira. Ia kembali mengecek apakah ada kesalahan dalam pengenceran atau perhitungan, tapi semua tampak benar.

Asisten dosen yang mengawasi mendekat. "Kenapa? Ada kendala?"

Elvira menjelaskan temuannya, lalu asisten dosen ikut mengecek hasil di mikroskop. Setelah memeriksa beberapa kali, asisten dosen mengangguk pelan.

"Kalau memang hasilnya seperti ini, ada dua kemungkinan. Coba kamu sebutkan ada kemungkinan apa saja jika hasilnya kurang dari normal seperti ini?" Ucap asisten dosen itu.

"Pertama, bisa jadi Rina memang mengalami leukopenia, biasanya akibat infeksi virus, anemia, atau gangguan imun. Kedua, bisa juga ada kesalahan dalam prosedur pemeriksaan saya." Ucap Elvira.

"Nah sekarang kamu ingat-ingat lagi apakah ada kesalahan dalam prosedur pemeriksaanmu? Biasanya mahasiswa semester 3 memang banyak melakukan kesalahan saat menghitung jumlah leukosit ataupun eritrosit" Ucap asisten dosen tersebut.

Elvira langsung merasa bersalah. "Apa aku yang salah?" Batinnya. Dia mengecek ulang proses pemeriksaannya sambil mengingat-ingat. Apakah ia kurang mengocok sampel sebelum mengisi bilik hitung? Apakah larutan pengencernya sudah tepat? Apakah waktu inkubasinya kurang tepat?

Sementara itu, Rina ikut cemas. "Jadi... kalau benar hasilnya lebih rendah dari nilai normal,  aku harus gimana El?"

"Untuk lebih pastinya, lebih baik kamu cek ulang di rumah sakit deh Rin" jawab Elvira, tetap berusaha profesional meskipun pikirannya dipenuhi kecemasan.

"Iya El nanti aku coba cek ke rumah sakit, kamu nggak usah panik ya, kalaupun aku sakit, ya sudah tinggal diobati saja, tapi kalau misal karena kesalahan pemeriksaanmu, kamu jangan terlalu memikirkannya, kan kita masih mahasiswa, masih sama-sama belajar" Ucap Rina berusaha untuk menenangkan Elvira.

"Tapi gimana kalau aku memang melakukan kesalahan? Kalau aku nggak teliti, gimana kalau nanti aku jadi analis yang ceroboh?" Batin Elvira.

"Udah nggak usah dipikirin lagi El, besok kita masih ada praktikum yang sama, jadi kamu bisa memeriksa ulang darah milikku. Ayo sekarang kita membersihkan alat yang kita gunakan dulu lalu kita ke kelas, jam selanjutnya akan segera dimulai loh" Ucap Rina yang dibalas anggukan dan senyuman dari Elvira.

Setelah praktikum selesai, Elvira melepas sarung tangannya dan mencuci tangan, tapi pandangannya malah jatuh ke jari manisnya sendiri. Tanpa sadar, dia membayangkan bagaimana cincin itu akan terlihat indah di jarinya manisnya.

'Bodoh, kenapa aku jadi kepikiran itu sih?' Batinnya.

Elvira menggelengkan kepalanya lagi. Dia tidak boleh terpengaruh. Tapi entah kenapa, pertemuannya dengan pria tadi seakan meninggalkan jejak yang sulit dihapus.

Elvira menghela napas pelan. Sebelum berangkat menuju kelas, ponselnya bergetar di saku jas labnya. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.

0838-xxxx-xxxx: sudah kamu pikirkan? 

Elvira menatap layar ponselnya sambil mengernyit heran. "Siapa ini? Apakah pria tadi? Jika iya, darimana dia tau nomor hp ku?" Batinnya sambil menatap layar dengan frustasi.

*****

Elvira duduk di salah satu gazebo fakultasnya sambil mengerjakan tugas membuat laporan praktik. Dia harus pandai mengatur waktunya untuk kuliah, praktik, mengerjakan tugas, belajar dan bekerja. Jurusan yang diambil oleh Elvira adalah Teknologi Laboratorium Medis (TLM) atau bisa juga disebut dengan analis kesehatan. Dia mengambil D4 yang artinya dia harus menempuh pendidikan kuliah di jurusan ini selama 4 tahun lamanya.

Elvira menghela napas panjang sambil tangannya terus menulis laporan praktiknya. Tangannya sudah pegal karena banyak sekali yang perlu ditulis,ditambah lagi pikirannya juga masih berusaha menghafal prosedur pemeriksaannya supaya besok tidak ada kesalahan dari dirinya lagi.

Jurusan Teknologi Laboratorium Medis bukan sekadar menghafal nama sel atau membaca hasil tes, tetapi juga menuntut ketelitian tinggi. Satu kesalahan kecil dalam prosedur bisa berakibat fatal bagi diagnosis pasien, contohnya seperti kecerobohan yang dilakukannya tadi.

Di jurusan ini, ia harus berurusan dengan praktikum yang penuh tekanan, mulai dari menghitung jumlah leukosit dengan metode manual, mengidentifikasi morfologi sel darah di bawah mikroskop, hingga memastikan teknik pengambilan sampel darahnya benar. Dosennya selalu menekankan, "Di dunia nyata, satu kesalahan bisa berarti salah diagnosis. Jangan pernah remehkan hitungan kalian."

Namun, kesulitan akademik bukan satu-satunya masalahnya. Begitu praktikum selesai, Elvira harus bergegas ke kafe tempatnya bekerja, melayani pelanggan hingga larut malam demi membayar biaya kuliah dan membantu keluarganya di rumah. Rasanya seperti dua dunia yang bertabrakan—di siang hari ia berkutat dengan tabung reaksi dan mikroskop, di malam hari ia berdiri berjam-jam mengantarkan pesanan kopi.

Kadang, tubuhnya terasa remuk, tetapi menyerah bukan pilihan. Ia tahu tidak ada kemewahan dalam hidupnya, tidak ada kesempatan untuk bersantai seperti mahasiswa lain yang bisa fokus hanya pada kuliah. Jika ingin bertahan di TLM dan lulus dengan baik, maka satu-satunya pilihan adalah berjuang lebih keras dibandingkan siapa pun.

Drrtt.. Drrttt..

Ponsel Elvira bergetar dan menunjukkan satu notifikasi pesan. Dia menghentikan aktivitas menulisnya lalu membuka pesan tersebut.

0838-xxxx-xxxx: kapan kita bisa bicara? Aku tidak suka menunggu

0838-xxxx-xxxx: Temui aku di depan kampus setelah selesai kelas

Sepertinya nomor ini beneran nomor pria yang melamarnya secara tiba-tiba. Kepala Elvira semakin pusing dibuatnya, pria itu datang secara tiba-tiba hanya untuk menambah beban dipikirannya. Padahal cuaca sedang cerah.

"Trus sekarang aku harus bagaimana?" Gumam Elvira frustasi. Dia mengeluarkan kotak cincin dari tasnya lalu melihat cincin tersebut. Jika diingat-ingat lagi, dia belum melihat cincin itu dengan jelas.

Tidak ada yang istimewa dari tampilan cincin tersebut. Tampak biasa saja. Bentuknya sederhana, tanpa ukiran rumit atau kilauan permata besar yang mencolok. Sekilas seperti cincin murah yang bisa ditemukan di toko aksesoris biasa. Apalagi bahan logamnya tidak terlalu berkilau, seperti sudah sedikit pudar. Bahkan dia dulu punya cincin yang modelnya sama seperti cincin ini yang dia beli di pasar malam.

"Orang ini serius atau bercanda sih? Cincin kayak gini buat lamaran?" Gumam Elvira. Dia pun menyimpan kembali cincin tersebut kedalam tasnya lalu kembali menulis laporan praktik tanpa membalas pesan dari pria itu. Dia tak menyadari jika disisi lain, pria itu justru mengharapkan adanya balasan pesan darinya.

Elvira juga tidak menyadari, bahwa jika diperhatikan lebih dekat, ada sesuatu yang berbeda dari cincin yang diberikan oleh pria itu. Sekilas memang tampak seperti cincin biasa, tapi Cincin itu sebenarnya terasa lebih berat dari cincin yang seharusnya, dan permukaannya meskipun tampak sederhana, memiliki kilauan halus yang hanya terlihat saat terkena cahaya tertentu. Jika seseorang yang paham perhiasan melihatnya, mereka akan menyadari ini bukan sekadar cincin biasa—ini adalah platinum asli dengan desain khusus, dibuat dengan teknik yang hanya digunakan oleh pengrajin perhiasan kelas atas.

Di bagian dalam lingkaran cincin, terukir sebuah simbol kecil, begitu halus hingga hampir tidak terlihat tanpa perhatian ekstra. Sebuah tanda tangan rahasia dari seorang desainer perhiasan eksklusif yang hanya menerima pesanan dari keluarga-keluarga kaya tertentu.

Bagi siapa pun yang tidak tahu, cincin ini hanya sebuah cincin tanpa nilai. Tapi bagi yang mengenal dunia perhiasan, ini adalah cincin yang tidak ternilai harganya.

Dan pria tersebut memilihnya bukan untuk pamer, tapi karena dia tidak ingin pernikahan ini menarik perhatian siapa pun lebih dari yang seharusnya.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Lamaran Tak Terduga   Cincin Ini Masih Ada

    Rina menatap Elvira yang melamun sejak dosen keluar dari kelas. Beberapa menit telah berlalu, bahkan kelas sudah sepi dan hanya menyisakan sedikit mahasiswa. "Kamu kenapa El? Ada masalah? " Tanya Rina. Rina ini adalah teman baik Elvira sejak masa ospek. "Aku masih kepikiran sama lamaran tiba-tiba tadi pagi Rin." Ucap Elvira. "Oh iya, emangnya dia siapa sih? Kok kamu nggak pernah cerita ke aku kalau kamu udah punya pacar sih El, kamu anggap aku apa hah?! Aduuhh.. Mana aku tadi pagi sewot banget lagi, malu deehh" Ucap Rina. "Aku emang nggak punya pacar Rin, aku tadi pagi kan udah bilang kalau aku juga nggak tau dia siapa" Ucap Elvira. "Lah, aneh banget. Mungkin dia secret admirer mu El, kamu kan cantik, baik hati, dan suka menolong" Ucap Rina. "Kamu ngejekin aku ya? Dekil kayak gini kamu bilang cantik? Mana ada yang suka sama cewe lusuh kayak aku gini. Lagian ya Rin, bisa aja kan itu tadi cuma pr

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-11
  • Lamaran Tak Terduga   Alasan Dibalik Lamaran

    Elvira merebahkan tubuhnya di kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar kosannya. Malam sudah larut, tetapi kantuk sama sekali tidak menghampirinya. Pikirannya terus-menerus kembali ke satu kejadian menyebalkan di kafe tadi. Bukan tentang bagaimana Leonard muncul secara tiba-tiba. Bukan juga tentang tatapan matanya yang seperti menembus isi kepalanya. Tapi tentang satu hal konyol yang terus mengganggu pikirannya—wink itu. Elvira menghela napas panjang. “Kenapa dia melakukan itu, sih?” gerutunya pelan, berbalik ke sisi lain sambil menarik selimut. Leonard menatapnya lama sebelum pergi. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi memilih untuk tidak mengatakannya. Dan wink itu... Itu benar-benar di luar dugaan. Pikirannya kembali ke momen itu. Tatapan Leonard yang tenang, sorot matanya yang sulit ditebak, dan cara bibirnya melengkung tipis s

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-11
  • Lamaran Tak Terduga   Dibelenggu Bayangannya

    Sejak pertemuan di perpustakaan, Elvira mulai merasa ada yang tidak beres. Bukan karena kata-kata Leonard yang penuh misteri, tapi karena keberadaannya yang seolah selalu ada di sekitarnya. Setiap kali dia menoleh, dia selalu merasa ada Leonard di sekitarnya. Kadang hanya sekadar duduk di kejauhan, kadang dengan tatapan yang seolah menunggu sesuatu darinya.Awalnya, Elvira masih menganggapnya sebagai kebetulan. Namun, semakin hari, semakin sering dia menemukan Leonard muncul di tempat-tempat yang juga ia datangi.Bahkan saat dia sedang bekerja di kafe, dia merasa seakan-akan ada mata yang mengawasinya.Dia mencoba mengabaikannya, mencoba fokus pada tugas-tugas kuliah dan pekerjaannya. Tapi entah kenapa, setiap kali dia merasa lega karena berpikir Leonard tidak ada, tiba-tiba pria itu muncul.Seperti malam ini, ketika dia berjalan pulang ke kosan setelah kerja.Hawa malam yang seharusnya terasa sejuk malah membuatnya gelisah. Langkahnya le

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-12
  • Lamaran Tak Terduga   Langkah Baru

    Suasana malam begitu sunyi, hanya suara deru kendaraan yang melintas di kejauhan. Leonard duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tidak jauh dari apartemennya. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan samar di kaca jendela mobilnya, menciptakan suasana hampa yang seakan mencerminkan pikirannya saat ini. Tangannya menggenggam setir erat, tapi pikirannya mengembara ke kejadian tadi. "Aku capek diikutin terus seperti ini." Suara Elvira masih terngiang di telinganya, menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa jika ia cukup gigih, cukup bertahan, maka semuanya akan berjalan sesuai keinginannya. Tapi tadi malam, untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia merasakan penolakan yang tidak hanya datang dari bibir seseorang, tetapi dari hati. Dan itu membuatnya sadar akan satu hal: ia tidak hanya menginginkan jawaban dari Elvira.

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-13
  • Lamaran Tak Terduga   perubahan tak terduga

    Udara malam semakin dingin, dan Elvira bisa merasakan tubuhnya mulai kehilangan energi setelah seharian penuh beraktivitas. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul sebelas malam, tapi kafe tempatnya bekerja masih cukup ramai. Beberapa pelanggan masih asyik mengobrol, sementara yang lain sibuk dengan laptop masing-masing.Elvira merapikan celemeknya sebelum kembali ke meja kasir, bersiap menangani pesanan berikutnya. Matanya menyapu ruangan, memastikan tidak ada pelanggan yang membutuhkan bantuan.Saat itulah dia melihatnya.Di sudut ruangan, Leonard duduk diam dengan sebuah buku di tangannya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi Elvira tahu betul kalau pria itu sedang memperhatikannya.Sudah berapa lama dia ada di sana?Elvira pura-pura tidak peduli dan segera kembali bekerja, mencoba fokus pada pesanan pelanggan berikutnya. Tapi entah kenapa, perasaan gelisah itu tetap ada.Dia sudah terbiasa dengan cara Leonard yang muncul tiba-

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-16
  • Lamaran Tak Terduga   tanpa sadar peduli

    Sudah tiga hari sejak terakhir kali Elvira melihat Leonard.Setelah dia menghilang karena Elvira mengatakan jika dia capek diikuti terus-menerus dan muncul kembali dengan perubahan sikap, Elvira pikir hari-hari berikutnya dia juga akan bertemu dengan Leonard di tempat yang sama. Tapi ternyata, itu hanya pikirannya saja.Awalnya, dia merasa lega. Setelah semua perhatian kecil yang diberikan pria itu dengan tiba-tiba, dia mendapatkan kembali waktu untuk menjernihkan pikirannya. Butuh jarak agar tidak semakin terbawa arus perasaan yang tidak dia mengerti.Tapi anehnya, bukannya merasa lebih tenang, dia justru merasa ada yang berbeda.Bukan hal besar. Hanya sesuatu yang terasa... Kosong.Dulu, dia tidak pernah memperhatikan sekitarnya seintens ini. Tidak pernah merasa perlu menengok setiap kali ada siluet pria tinggi yang berjalan melewati gedung fakultasnya. Tidak pernah berpikir dua kali saat melangkah ke taman kampus. Tidak pernah memperha

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-17
  • Lamaran Tak Terduga   Menjaga Tanpa Diminta

    Elvira menatap Leonard yang duduk diam di bangku kantin dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya. Dia sudah menyuruhnya makan, tapi tetap saja rasanya aneh melihat seseorang seperti Leonard dalam keadaan selemah ini. Biasanya, pria itu selalu terlihat tenang dan tak terpengaruh oleh apapun—dingin, bahkan.Tadi, setelah dia memaksa Leonard untuk makan roti dan minum teh hangat, pria itu menurut saja. Itu pun setelah Elvira menunjukkan ekspresi tidak terima kalau dia menolak. Leonard akhirnya menghabiskan semuanya tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik Elvira yang sibuk menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian.Setelah menghabiskan roti dan teh yang dibelikan Elvira, Leonard menghela napas dalam. Meskipun tubuhnya masih terasa berat, setidaknya perutnya sudah terisi. Ia menegakkan punggungnya, bersiap untuk berdiri dari kursi kantin.Namun begitu ia berdiri, kepalanya langsung berputar, dan tubuhnya oleng ke samping. Hampir saja ia kehilangan kes

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-18

บทล่าสุด

  • Lamaran Tak Terduga   Menjaga Tanpa Diminta

    Elvira menatap Leonard yang duduk diam di bangku kantin dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya. Dia sudah menyuruhnya makan, tapi tetap saja rasanya aneh melihat seseorang seperti Leonard dalam keadaan selemah ini. Biasanya, pria itu selalu terlihat tenang dan tak terpengaruh oleh apapun—dingin, bahkan.Tadi, setelah dia memaksa Leonard untuk makan roti dan minum teh hangat, pria itu menurut saja. Itu pun setelah Elvira menunjukkan ekspresi tidak terima kalau dia menolak. Leonard akhirnya menghabiskan semuanya tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik Elvira yang sibuk menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian.Setelah menghabiskan roti dan teh yang dibelikan Elvira, Leonard menghela napas dalam. Meskipun tubuhnya masih terasa berat, setidaknya perutnya sudah terisi. Ia menegakkan punggungnya, bersiap untuk berdiri dari kursi kantin.Namun begitu ia berdiri, kepalanya langsung berputar, dan tubuhnya oleng ke samping. Hampir saja ia kehilangan kes

  • Lamaran Tak Terduga   tanpa sadar peduli

    Sudah tiga hari sejak terakhir kali Elvira melihat Leonard.Setelah dia menghilang karena Elvira mengatakan jika dia capek diikuti terus-menerus dan muncul kembali dengan perubahan sikap, Elvira pikir hari-hari berikutnya dia juga akan bertemu dengan Leonard di tempat yang sama. Tapi ternyata, itu hanya pikirannya saja.Awalnya, dia merasa lega. Setelah semua perhatian kecil yang diberikan pria itu dengan tiba-tiba, dia mendapatkan kembali waktu untuk menjernihkan pikirannya. Butuh jarak agar tidak semakin terbawa arus perasaan yang tidak dia mengerti.Tapi anehnya, bukannya merasa lebih tenang, dia justru merasa ada yang berbeda.Bukan hal besar. Hanya sesuatu yang terasa... Kosong.Dulu, dia tidak pernah memperhatikan sekitarnya seintens ini. Tidak pernah merasa perlu menengok setiap kali ada siluet pria tinggi yang berjalan melewati gedung fakultasnya. Tidak pernah berpikir dua kali saat melangkah ke taman kampus. Tidak pernah memperha

  • Lamaran Tak Terduga   perubahan tak terduga

    Udara malam semakin dingin, dan Elvira bisa merasakan tubuhnya mulai kehilangan energi setelah seharian penuh beraktivitas. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul sebelas malam, tapi kafe tempatnya bekerja masih cukup ramai. Beberapa pelanggan masih asyik mengobrol, sementara yang lain sibuk dengan laptop masing-masing.Elvira merapikan celemeknya sebelum kembali ke meja kasir, bersiap menangani pesanan berikutnya. Matanya menyapu ruangan, memastikan tidak ada pelanggan yang membutuhkan bantuan.Saat itulah dia melihatnya.Di sudut ruangan, Leonard duduk diam dengan sebuah buku di tangannya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi Elvira tahu betul kalau pria itu sedang memperhatikannya.Sudah berapa lama dia ada di sana?Elvira pura-pura tidak peduli dan segera kembali bekerja, mencoba fokus pada pesanan pelanggan berikutnya. Tapi entah kenapa, perasaan gelisah itu tetap ada.Dia sudah terbiasa dengan cara Leonard yang muncul tiba-

  • Lamaran Tak Terduga   Langkah Baru

    Suasana malam begitu sunyi, hanya suara deru kendaraan yang melintas di kejauhan. Leonard duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tidak jauh dari apartemennya. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan samar di kaca jendela mobilnya, menciptakan suasana hampa yang seakan mencerminkan pikirannya saat ini. Tangannya menggenggam setir erat, tapi pikirannya mengembara ke kejadian tadi. "Aku capek diikutin terus seperti ini." Suara Elvira masih terngiang di telinganya, menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa jika ia cukup gigih, cukup bertahan, maka semuanya akan berjalan sesuai keinginannya. Tapi tadi malam, untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia merasakan penolakan yang tidak hanya datang dari bibir seseorang, tetapi dari hati. Dan itu membuatnya sadar akan satu hal: ia tidak hanya menginginkan jawaban dari Elvira.

  • Lamaran Tak Terduga   Dibelenggu Bayangannya

    Sejak pertemuan di perpustakaan, Elvira mulai merasa ada yang tidak beres. Bukan karena kata-kata Leonard yang penuh misteri, tapi karena keberadaannya yang seolah selalu ada di sekitarnya. Setiap kali dia menoleh, dia selalu merasa ada Leonard di sekitarnya. Kadang hanya sekadar duduk di kejauhan, kadang dengan tatapan yang seolah menunggu sesuatu darinya.Awalnya, Elvira masih menganggapnya sebagai kebetulan. Namun, semakin hari, semakin sering dia menemukan Leonard muncul di tempat-tempat yang juga ia datangi.Bahkan saat dia sedang bekerja di kafe, dia merasa seakan-akan ada mata yang mengawasinya.Dia mencoba mengabaikannya, mencoba fokus pada tugas-tugas kuliah dan pekerjaannya. Tapi entah kenapa, setiap kali dia merasa lega karena berpikir Leonard tidak ada, tiba-tiba pria itu muncul.Seperti malam ini, ketika dia berjalan pulang ke kosan setelah kerja.Hawa malam yang seharusnya terasa sejuk malah membuatnya gelisah. Langkahnya le

  • Lamaran Tak Terduga   Alasan Dibalik Lamaran

    Elvira merebahkan tubuhnya di kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar kosannya. Malam sudah larut, tetapi kantuk sama sekali tidak menghampirinya. Pikirannya terus-menerus kembali ke satu kejadian menyebalkan di kafe tadi. Bukan tentang bagaimana Leonard muncul secara tiba-tiba. Bukan juga tentang tatapan matanya yang seperti menembus isi kepalanya. Tapi tentang satu hal konyol yang terus mengganggu pikirannya—wink itu. Elvira menghela napas panjang. “Kenapa dia melakukan itu, sih?” gerutunya pelan, berbalik ke sisi lain sambil menarik selimut. Leonard menatapnya lama sebelum pergi. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi memilih untuk tidak mengatakannya. Dan wink itu... Itu benar-benar di luar dugaan. Pikirannya kembali ke momen itu. Tatapan Leonard yang tenang, sorot matanya yang sulit ditebak, dan cara bibirnya melengkung tipis s

  • Lamaran Tak Terduga   Cincin Ini Masih Ada

    Rina menatap Elvira yang melamun sejak dosen keluar dari kelas. Beberapa menit telah berlalu, bahkan kelas sudah sepi dan hanya menyisakan sedikit mahasiswa. "Kamu kenapa El? Ada masalah? " Tanya Rina. Rina ini adalah teman baik Elvira sejak masa ospek. "Aku masih kepikiran sama lamaran tiba-tiba tadi pagi Rin." Ucap Elvira. "Oh iya, emangnya dia siapa sih? Kok kamu nggak pernah cerita ke aku kalau kamu udah punya pacar sih El, kamu anggap aku apa hah?! Aduuhh.. Mana aku tadi pagi sewot banget lagi, malu deehh" Ucap Rina. "Aku emang nggak punya pacar Rin, aku tadi pagi kan udah bilang kalau aku juga nggak tau dia siapa" Ucap Elvira. "Lah, aneh banget. Mungkin dia secret admirer mu El, kamu kan cantik, baik hati, dan suka menolong" Ucap Rina. "Kamu ngejekin aku ya? Dekil kayak gini kamu bilang cantik? Mana ada yang suka sama cewe lusuh kayak aku gini. Lagian ya Rin, bisa aja kan itu tadi cuma pr

  • Lamaran Tak Terduga   Tawaran Tak Masuk Akal

    Elvira Ayu Anindita adalah gadis berumur 20 tahun awal dengan tubuh ramping dan tinggi rata-rata, tidak terlalu mencolok, tapi ada sesuatu dalam caranya membawa diri yang membuat orang memperhatikannya. Rambutnya hitam gelap dengan potongan sebahu, sedikit berantakan karena angin saat ia berjalan tergesa-gesa menuju kampus. Kulitnya cerah, bukan putih pucat, tapi memiliki semburat hangat khas seseorang yang sering terkena sinar matahari.Matanya bulat dengan tatapan tajam dan penuh semangat, meskipun pagi ini matanya terlihat sedikit lelah setelah bergadang belajar. Hidungnya kecil dan sedikit mancung, berpadu dengan bibir tipis yang selalu terlihat sedikit mengerucut saat ia berkonsentrasi membaca materi di ponselnya. Pakaian yang ia kenakan sederhana—kemeja lengan panjang warna peach yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana jeans gelap longgar dan sepatu sneakers yang sudah agak lusuh karena sering dipakai bekerja.Tidak ada perhiasan mencolok di tubuhn

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status