Share

Langkah Baru

Author: Silmeeii
last update Last Updated: 2025-03-13 07:44:27

Suasana malam begitu sunyi, hanya suara deru kendaraan yang melintas di kejauhan. Leonard duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tidak jauh dari apartemennya. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan samar di kaca jendela mobilnya, menciptakan suasana hampa yang seakan mencerminkan pikirannya saat ini.

Tangannya menggenggam setir erat, tapi pikirannya mengembara ke kejadian tadi.

"Aku capek diikutin terus seperti ini."

Suara Elvira masih terngiang di telinganya, menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa jika ia cukup gigih, cukup bertahan, maka semuanya akan berjalan sesuai keinginannya. Tapi tadi malam, untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa.

Ia merasakan penolakan yang tidak hanya datang dari bibir seseorang, tetapi dari hati.

Dan itu membuatnya sadar akan satu hal: ia tidak hanya menginginkan jawaban dari Elvira.

Ia ingin sesuatu yang lebih.

Sesuatu yang bahkan tidak bisa ia definisikan.

Leonard menghela napas dalam dan menyandarkan kepalanya ke kursi. Kepalanya terasa berat, seolah dihantam oleh realitas yang baru saja ia sadari. Ia tahu Elvira tidak menyukainya. Ia tahu Elvira tidak pernah benar-benar mempertimbangkan lamarannya dengan serius. Namun, ia juga tahu bahwa ada sesuatu di antara mereka—sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.

Selama ini, ia tidak pernah benar-benar memikirkan perasaan orang lain. Ia terbiasa hidup dengan caranya sendiri, membuat keputusan tanpa peduli bagaimana orang lain melihatnya. Tapi tadi malam berbeda.

Tadi malam, ia melihat sesuatu dalam mata Elvira yang membuatnya berpikir ulang.

Keletihan.

Rasa muak.

Ketidakberdayaan.

Dan yang paling menusuk adalah kenyataan bahwa semua itu terjadi karena dirinya.

Leonard memejamkan mata, mencoba menekan rasa bersalah yang anehnya mulai muncul di dalam dirinya. Ia bukan tipe orang yang mudah goyah. Ia sudah melewati banyak hal dalam hidupnya—pengkhianatan, kehilangan, dan tekanan yang terus menerus menghantamnya sejak kecil. Namun, hanya karena seorang gadis mengatakan bahwa ia lelah, Leonard merasa seolah-olah ia telah melakukan sesuatu yang tidak bisa diperbaiki.

Bodoh.

Kenapa ia baru sadar sekarang?

Kenapa baru sekarang ia mempertanyakan apakah caranya selama ini benar?

Leonard menghela napas panjang. Ia harus mengubah cara berpikirnya. Jika ia terus bersikap seperti ini, ia hanya akan semakin menjauhkan Elvira. Ia harus menemukan cara lain—bukan dengan paksaan, bukan dengan menekan, tetapi dengan membiarkan Elvira melihat dirinya yang sebenarnya.

Tapi bagaimana?

Pikirannya penuh dengan pertanyaan, tapi tidak ada jawaban yang bisa ia temukan sendiri. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa buntu.

Ia butuh bicara dengan seseorang.

Seseorang yang bisa melihat masalah ini dari sudut pandang berbeda.

Tanpa ragu, ia mengambil ponselnya dan mengetik cepat.

Leonard: Dimana?

Tidak butuh waktu lama sebelum balasan itu muncul.

Gavin: Lagi di rumah. Kenapa?

Leonard: Aku butuh ngobrol.

Gavin: Leonard Carell Mahendra minta ngobrol? Ini kejadian langka.

Leonard memutar matanya, meski tidak ada yang bisa melihat.

Leonard: Aku serius

Balasan itu membuat Gavin terdiam selama beberapa detik sebelum akhirnya membalas.

Gavin: Oke, ketemuan di tempat biasa.

Tanpa berpikir dua kali, Leonard menyalakan mobilnya dan mulai melaju ke tempat yang telah mereka sepakati.

Ia tidak tahu apakah ini akan membantunya, tapi satu hal yang pasti—ia tidak bisa membiarkan semuanya tetap seperti ini.

*****

Sebuah kafe dengan suasana tenang menjadi tempat pelarian Leonard malam ini. Lampu-lampu gantungnya redup, menciptakan suasana nyaman yang biasanya membuatnya lebih rileks. Tapi kali ini, pikirannya terlalu berantakan untuk merasakan ketenangan itu.

Begitu masuk, matanya langsung menangkap sosok Gavin yang sudah menunggunya di salah satu sudut ruangan. Dengan postur tegap dan raut wajah santai, Gavin terlihat seperti seseorang yang tidak memiliki beban hidup.

Leonard berjalan mendekat, lalu duduk di kursi di hadapan sahabatnya itu.

Gavin menyesap kopinya dengan tenang, sebelum mengangkat alis. “Aku tidak menyangka kamu akan benar-benar datang.”

Leonard hanya diam.

Ia dan Gavin telah berteman sejak sekolah menengah. Meskipun mereka berasal dari dunia yang berbeda—Leonard dengan keluarganya yang penuh tekanan dan Gavin dengan kehidupannya yang lebih bebas—mereka selalu bisa memahami satu sama lain.

Di antara sedikit orang yang bisa bertahan di sekeliling Leonard, hanya Gavin yang benar-benar mengenalnya luar dalam.

“Kamu kelihatan kacau,” Gavin berkomentar, meletakkan gelas kopinya di meja. “Aku belum pernah melihatmu seperti ini sebelumnya.”

Leonard menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap kosong ke permukaan meja. “Aku merusak semuanya.”

Gavin mengangkat satu alis, menunggu penjelasan lebih lanjut.

“Elvira.” Hanya satu kata itu yang keluar dari mulutnya, tapi Gavin langsung mengerti.

Semenjak Leonard mulai sering membicarakan Elvira, Gavin tahu bahwa gadis itu bukan sekadar seseorang yang bisa dilupakan begitu saja oleh Leonard.

“Dia bilang kalau dia capek dan lelah dengan sikapku,” lanjut Leonard, suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya. “Aku kira kalau aku terus bertahan, kalau aku tetap ada di sekitarnya dan mendesaknya untuk menerima lamaranku, dia akhirnya akan menyerah.”

Gavin menghela napas. “Tapi dia tidak menyerah.”

Leonard mengangguk.

Gavin menyandarkan punggung ke kursi, menatap Leonard dengan sorot mata penuh pemikiran. “Aku mengenalmu lebih lama dari siapa pun, dan aku tahu kamu bukan orang yang gampang peduli pada sesuatu. Tapi kalau kamu sampai seperti ini, berarti dia penting untukmu.”

Leonard terdiam.

Penting?

Elvira penting baginya?

Sejak awal, pernikahan ini hanya tentang tanggung jawab dan kewajiban. Tapi kenapa sekarang rasanya berbeda? Kenapa kata-kata Elvira tadi siang terus terngiang di kepalanya?

“Aku tidak tahu harus bagaimana,” katanya akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan.

Gavin mengamati ekspresi sahabatnya, lalu berkata, “Kamu tidak bisa mendapatkan hatinya dengan cara memaksa, Leo. Elvira bukan tipe orang yang akan menyerah hanya karena didesak.”

“Aku tahu.” Leonard menatap Gavin, akhirnya menyadari kesalahannya dengan lebih jelas. “Tapi aku tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.”

“Kamu harus memberinya alasan untuk percaya padamu,” jawab Gavin mantap.

Leonard menatapnya dalam diam, mencerna kata-kata itu.

“Kamu tahu kenapa dia tidak bisa menerimamu?” lanjut Gavin. “Karena dia tidak mengenalmu, dan kamu juga tidak pernah berusaha membuatnya mengenalmu.”

Leonard mengerutkan kening.

“Kamu hanya datang tiba-tiba, melamarnya, lalu menuntut jawaban. Apa yang bisa membuatnya percaya padamu? Baginya, kamu hanya laki-laki asing yang mencoba mengatur hidupnya tanpa alasan yang jelas.”

Kata-kata itu membuat Leonard berpikir lebih dalam.

Benar.

Ia tidak pernah benar-benar membuka dirinya kepada Elvira.

Ia hanya muncul dengan rencana pernikahan tanpa pernah menjelaskan siapa dirinya, kenapa ia memilih Elvira, atau apa yang sebenarnya ia inginkan.

Jika ia ingin Elvira menerimanya, maka ia harus melakukan sesuatu yang berbeda.

Ia harus membuat Elvira mengenalnya.

Bukan dengan paksaan.

Bukan dengan tekanan.

Tapi dengan membiarkan Elvira melihat dirinya yang sebenarnya.

Leonard menarik napas dalam, lalu mengangguk pelan. “Aku mengerti sekarang.”

Gavin tersenyum tipis. “Bagus. Sekarang, kamu hanya perlu mencari cara agar bisa masuk ke kehidupannya tanpa membuatnya merasa terpaksa lagi.”

Leonard menatap keluar jendela, pikirannya mulai menyusun strategi baru. Kali ini, ia akan melakukannya dengan cara yang benar.

"Tunggu, kamu mengejar dia kemana-mana, memangnya kamu nggak kerja atau nggak ada kegiatan lain gitu?" Tanya Gavin.

Leonard menoleh ganti menatap Gavin datar. "Ada, memangnya aku terlihat seperti orang pengangguran?"

Gavin tersenyum lebar. "Jujur sih, iya. Apalagi dengan penampilan urakanmu sekarang ini"

Leonard tak menghiraukan ucapan Gavin dan kembali menatap jendela kembali sambil menyusun strategi baru untuk mendekati Elvira. Ya walaupun saat ini penampilannya terlihat seperti seorang pengangguran, tapi uangnya tidak akan habis walaupun lebih dari tujuh turunan.

*****

Elvira kembali terduduk di kasurnya, memainkan ujung selimut tanpa fokus. Seharusnya ia sedang membaca materi untuk kelas besok, tapi pikirannya sama sekali tidak bisa diajak bekerja sama.

Ponselnya tergeletak di sampingnya, layar mati tanpa ada notifikasi masuk.

Sudah seharian Leonard tidak menghubunginya.

Elvira menggigit bibirnya, perasaan tidak nyaman semakin menyesakkan dadanya.

Padahal, bukankah ini yang ia inginkan?

Selama ini, ia merasa terganggu karena Leonard terus muncul tiba-tiba di mana-mana. Ia ingin Leonard berhenti memaksanya. Dan sekarang, keinginannya terkabul.

Tapi kenapa justru ada perasaan bersalah yang menghantuinya?

Ketukan di pintu kosannya mengalihkan pikirannya. Tanpa berpikir panjang, Elvira bangkit dan membuka pintu.

"Tampangmu kayak orang yang habis kehilangan uang sejuta," komentar Rina begitu melihat wajah Elvira. Ia masuk tanpa diundang, duduk di kasur sambil menatap sahabatnya penuh selidik. "Jangan bilang ini masih gara-gara cowok itu?"

Elvira mendesah, menutup pintu dan ikut duduk di samping Rina. "Aku nggak tahu kenapa, tapi... aku masih kepikiran."

Rina menaikkan sebelah alis. "Kepikiran siapa? Leonard?"

Elvira menggigit bibirnya, enggan mengakui, tapi Rina sudah lebih dulu tertawa kecil. "Ya ampun, El. Kamu tuh kenapa? Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau dia terlalu maksa?"

"Iya, tapi..." Elvira meremas jemarinya sendiri. "Aku merasa bersalah. Seharian ini dia nggak muncul sama sekali. Dia juga nggak mengirimkan pesan apa pun. Rasanya... Aneh."

Rina memutar bola matanya. "Ya ampun, ini yang namanya cewek sulit dimengerti. Kemarin kamu ngeluh karena dia selalu muncul tiba-tiba. Sekarang kamu kepikiran karena dia nggak muncul?"

Elvira menghela napas, tahu kalau kata-kata Rina ada benarnya.

"Aku cuma..." Elvira menatap Rina dengan ekspresi penuh kebingungan. "Aku nggak tahu kenapa aku terus mikirin ini."

Rina menyeringai. "Katanya, kalau kamu kepikiran seseorang terus, itu tandanya kamu udah mulai suka."

Elvira langsung menepuk lengan Rina. "Apaan sih?! Nggak ada hubungannya, oke?"

"Ya udah, terus kenapa kamu segalau ini?" Rina menantangnya balik. "Jangan bilang kamu kangen sama dia?"

Elvira menghela napas panjang, tidak menjawab.

"Ya ampun, El. Kamu sadar nggak sih? Biasanya, kalau ada cowok ngeselin yang tiba-tiba hilang terus kita malah kepikiran, itu tandanya dia udah bikin efek ke kamu," ujar Rina sambil menyenggol bahu Elvira. "Coba deh jujur, kalau besok dia tiba-tiba muncul lagi, kamu bakal lega nggak?"

Elvira tidak langsung menjawab. Ia menatap jemarinya sendiri, mencoba menggali perasaannya.

Lega?

Mungkin... sedikit.

"Udah lah, kamu jangan terlalu kepikiran," kata Rina lagi. "Kalau dia memang beneran suka sama kamu, dia pasti bakal cari cara lain buat deketin kamu. Dan kalaupun dia tiba-tiba menyerah, ya berarti dia nggak cukup serius, kan?"

Elvira mengangguk pelan, tapi rasa gelisah itu tetap belum sepenuhnya hilang.

Sebenarnya, ia ingin tahu satu hal.

Apa Leonard benar-benar akan menyerah begitu saja?

*****

Leonard duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop dengan tatapan kosong. Tangannya sudah berada di atas keyboard, tetapi tidak satu pun kata berhasil diketik. Ia tidak sedang sibuk dengan tugas kuliah atau pekerjaan perusahaan—sebenarnya, pikirannya sama sekali tidak ada di sini.

Gavin benar.

Pendekatannya selama ini memang salah.

Sebuah helaan napas berat lolos dari bibirnya. Ia bersandar ke kursinya, menutup mata sejenak sambil membiarkan pikirannya kembali ke percakapan dengan Gavin tadi.

"Kamu tidak bisa mendapatkan hatinya dengan cara memaksa, Leo. Elvira bukan tipe orang yang akan menyerah hanya karena didesak."

Leonard mengusap wajahnya. Ia tahu.

Tapi tetap saja, ia masih kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa dirinya sudah gagal bahkan sebelum semuanya dimulai.

Dari awal, ia hanya ingin menyelesaikan ini secepat mungkin. Ia butuh seorang istri agar bisa memenuhi syarat warisan.

Bukan karena ia peduli dengan pernikahan itu sendiri.

Tapi karena itulah satu-satunya cara agar ia bisa mempertahankan perusahaan keluarganya.

Keluarga Mahendra adalah salah satu keluarga konglomerat lama di Indonesia, dengan akar yang kuat di dunia bisnis. Mahendra Group adalah perusahaan yang telah bertahan selama beberapa generasi, berkembang di berbagai bidang seperti real estate, manufaktur, dan investasi.

Namun, tidak seperti kebanyakan perusahaan modern, keluarga Mahendra masih berpegang teguh pada tradisi lama.

Seorang pewaris baru bisa menerima warisan dan mengambil alih perusahaan hanya jika ia sudah menikah.

Tradisi ini berasal dari kakek buyut mereka, Mahendra Wijaya, yang percaya bahwa seorang pemimpin harus memiliki kestabilan dalam kehidupan pribadinya sebelum bisa memimpin perusahaan. Ia meyakini bahwa seorang pria yang sudah menikah lebih bertanggung jawab dan bisa mengambil keputusan dengan lebih matang.

Karena itulah, setiap generasi dalam keluarga Mahendra harus menikah sebelum bisa menerima warisan perusahaan. Tidak peduli seberapa kompeten atau berbakat seseorang, jika ia belum menikah, ia tidak akan pernah diakui sebagai pemimpin.

Seharusnya, Ethan—kakak Leonard—yang menjadi pewaris.

Tapi setelah tragedi yang menimpanya, posisi itu jatuh ke Leonard.

Tentu saja, tidak semua orang senang dengan itu.

Reynard Mahendra—paman Leonard—sudah lama mengincar posisi dalam perusahaan. Sejak kematian Ethan, ia semakin agresif, berusaha mencari celah untuk mengambil alih bisnis keluarga.

Sekarang, dengan ayahnya yang semakin sakit dan waktu yang terus berjalan, juga paksaan dari keluarganya agar perusahaan itu tidak diambil alih oleh pamannya, Leonard tidak punya pilihan selain segera menikah.

Kemudian entah bagaimana, Elvira adalah orang yang ia pilih.

Tidak, dia tidak asal memilih.

Sejak pertama kali melihat Elvira di kampus, ia merasa ada sesuatu yang aneh. Wajah itu terasa familiar. Tapi ia tidak bisa mengingat dari mana. Itu mengganggunya cukup lama sampai akhirnya, ia meminta orang kepercayaannya untuk menyelidiki Elvira.

Dan saat itulah, semuanya menjadi jelas.

Elvira bukan orang asing baginya.

Setelah mengetahui fakta ini, Leonard tidak bisa mengabaikannya. Mungkin di alam bawah sadarnya, ia memang mengingat Elvira. Mungkin ada alasan lain mengapa ia memilih gadis itu. Tapi satu hal yang pasti: sekarang ia ingin Elvira berada di sisinya.

Masalahnya, cara yang ia gunakan untuk mendapatkan Elvira selama ini salah.

Leonard mengusap dagunya yang sedikit kasar karena belum bercukur. Jika mendekati Elvira seperti sebelumnya tidak berhasil, maka ia harus mengubah strateginya.

Dia harus membuat Elvira mengenalnya.

Bukan hanya sebagai pria yang tiba-tiba melamarnya, tetapi sebagai seseorang yang bisa ia percayai.

Leonard menatap layar laptopnya lagi, tetapi bukan pekerjaan yang terpikir olehnya. Di benaknya, hanya ada satu kalimat yang terus terulang.

Act of service.

Jika kata-kata tidak bisa membuat Elvira menerimanya, maka ia akan menunjukkannya melalui tindakan.

Bukan dengan uang. Bukan dengan paksaan.

Tapi dengan sesuatu yang benar-benar berarti.

Tangannya terkepal di atas meja. Ia harus memulainya dengan hal-hal kecil. Tidak boleh berlebihan, tidak boleh memaksa.

Saat itu, tanpa sadar, pikirannya kembali ke masa lalu.

Flashback on

Leonard masih kecil waktu itu—mungkin sekitar sepuluh tahun. Kakaknya, Ethan, sedang duduk di bawah pohon di halaman belakang rumah mereka. Matahari sore menciptakan cahaya keemasan yang menyorot wajah kakaknya, membuatnya tampak seperti tokoh dalam dongeng.

Leonard kecil duduk di sampingnya, mendengarkan dengan seksama.

"Kalau kamu ingin seseorang percaya padamu, jangan cuma bicara. Buktikan."

Leonard mengerutkan keningnya. "Buktikan bagaimana?"

Ethan tersenyum, menepuk kepalanya dengan lembut. "Dengan tindakan, Leo. Kepercayaan itu nggak datang dari kata-kata. Itu datang dari apa yang kamu lakukan."

Flashback off

Leonard kecil masih belum sepenuhnya mengerti saat itu, tapi sekarang, kata-kata kakaknya terasa begitu nyata.

Kakaknya sudah tidak ada.

Dan dia tidak bisa mengulang kesalahan yang sama.

Leonard mengepalkan tangannya.

Dia tidak bisa kehilangan sesuatu yang berharga—lagi.

Dia harus melakukan sesuatu.

Perlahan, senyum tipis terukir di wajahnya.

Permainan baru saja dimulai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Lamaran Tak Terduga   perubahan tak terduga

    Udara malam semakin dingin, dan Elvira bisa merasakan tubuhnya mulai kehilangan energi setelah seharian penuh beraktivitas. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul sebelas malam, tapi kafe tempatnya bekerja masih cukup ramai. Beberapa pelanggan masih asyik mengobrol, sementara yang lain sibuk dengan laptop masing-masing.Elvira merapikan celemeknya sebelum kembali ke meja kasir, bersiap menangani pesanan berikutnya. Matanya menyapu ruangan, memastikan tidak ada pelanggan yang membutuhkan bantuan.Saat itulah dia melihatnya.Di sudut ruangan, Leonard duduk diam dengan sebuah buku di tangannya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi Elvira tahu betul kalau pria itu sedang memperhatikannya.Sudah berapa lama dia ada di sana?Elvira pura-pura tidak peduli dan segera kembali bekerja, mencoba fokus pada pesanan pelanggan berikutnya. Tapi entah kenapa, perasaan gelisah itu tetap ada.Dia sudah terbiasa dengan cara Leonard yang muncul tiba-

    Last Updated : 2025-04-16
  • Lamaran Tak Terduga   tanpa sadar peduli

    Sudah tiga hari sejak terakhir kali Elvira melihat Leonard.Setelah dia menghilang karena Elvira mengatakan jika dia capek diikuti terus-menerus dan muncul kembali dengan perubahan sikap, Elvira pikir hari-hari berikutnya dia juga akan bertemu dengan Leonard di tempat yang sama. Tapi ternyata, itu hanya pikirannya saja.Awalnya, dia merasa lega. Setelah semua perhatian kecil yang diberikan pria itu dengan tiba-tiba, dia mendapatkan kembali waktu untuk menjernihkan pikirannya. Butuh jarak agar tidak semakin terbawa arus perasaan yang tidak dia mengerti.Tapi anehnya, bukannya merasa lebih tenang, dia justru merasa ada yang berbeda.Bukan hal besar. Hanya sesuatu yang terasa... Kosong.Dulu, dia tidak pernah memperhatikan sekitarnya seintens ini. Tidak pernah merasa perlu menengok setiap kali ada siluet pria tinggi yang berjalan melewati gedung fakultasnya. Tidak pernah berpikir dua kali saat melangkah ke taman kampus. Tidak pernah memperha

    Last Updated : 2025-04-17
  • Lamaran Tak Terduga   Menjaga Tanpa Diminta

    Elvira menatap Leonard yang duduk diam di bangku kantin dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya. Dia sudah menyuruhnya makan, tapi tetap saja rasanya aneh melihat seseorang seperti Leonard dalam keadaan selemah ini. Biasanya, pria itu selalu terlihat tenang dan tak terpengaruh oleh apapun—dingin, bahkan.Tadi, setelah dia memaksa Leonard untuk makan roti dan minum teh hangat, pria itu menurut saja. Itu pun setelah Elvira menunjukkan ekspresi tidak terima kalau dia menolak. Leonard akhirnya menghabiskan semuanya tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik Elvira yang sibuk menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian.Setelah menghabiskan roti dan teh yang dibelikan Elvira, Leonard menghela napas dalam. Meskipun tubuhnya masih terasa berat, setidaknya perutnya sudah terisi. Ia menegakkan punggungnya, bersiap untuk berdiri dari kursi kantin.Namun begitu ia berdiri, kepalanya langsung berputar, dan tubuhnya oleng ke samping. Hampir saja ia kehilangan kes

    Last Updated : 2025-04-18
  • Lamaran Tak Terduga   Tawaran Tak Masuk Akal

    Elvira Ayu Anindita adalah gadis berumur 20 tahun awal dengan tubuh ramping dan tinggi rata-rata, tidak terlalu mencolok, tapi ada sesuatu dalam caranya membawa diri yang membuat orang memperhatikannya. Rambutnya hitam gelap dengan potongan sebahu, sedikit berantakan karena angin saat ia berjalan tergesa-gesa menuju kampus. Kulitnya cerah, bukan putih pucat, tapi memiliki semburat hangat khas seseorang yang sering terkena sinar matahari.Matanya bulat dengan tatapan tajam dan penuh semangat, meskipun pagi ini matanya terlihat sedikit lelah setelah bergadang belajar. Hidungnya kecil dan sedikit mancung, berpadu dengan bibir tipis yang selalu terlihat sedikit mengerucut saat ia berkonsentrasi membaca materi di ponselnya. Pakaian yang ia kenakan sederhana—kemeja lengan panjang warna peach yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana jeans gelap longgar dan sepatu sneakers yang sudah agak lusuh karena sering dipakai bekerja.Tidak ada perhiasan mencolok di tubuhn

    Last Updated : 2025-03-11
  • Lamaran Tak Terduga   Cincin Ini Masih Ada

    Rina menatap Elvira yang melamun sejak dosen keluar dari kelas. Beberapa menit telah berlalu, bahkan kelas sudah sepi dan hanya menyisakan sedikit mahasiswa. "Kamu kenapa El? Ada masalah? " Tanya Rina. Rina ini adalah teman baik Elvira sejak masa ospek. "Aku masih kepikiran sama lamaran tiba-tiba tadi pagi Rin." Ucap Elvira. "Oh iya, emangnya dia siapa sih? Kok kamu nggak pernah cerita ke aku kalau kamu udah punya pacar sih El, kamu anggap aku apa hah?! Aduuhh.. Mana aku tadi pagi sewot banget lagi, malu deehh" Ucap Rina. "Aku emang nggak punya pacar Rin, aku tadi pagi kan udah bilang kalau aku juga nggak tau dia siapa" Ucap Elvira. "Lah, aneh banget. Mungkin dia secret admirer mu El, kamu kan cantik, baik hati, dan suka menolong" Ucap Rina. "Kamu ngejekin aku ya? Dekil kayak gini kamu bilang cantik? Mana ada yang suka sama cewe lusuh kayak aku gini. Lagian ya Rin, bisa aja kan itu tadi cuma pr

    Last Updated : 2025-03-11
  • Lamaran Tak Terduga   Alasan Dibalik Lamaran

    Elvira merebahkan tubuhnya di kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar kosannya. Malam sudah larut, tetapi kantuk sama sekali tidak menghampirinya. Pikirannya terus-menerus kembali ke satu kejadian menyebalkan di kafe tadi. Bukan tentang bagaimana Leonard muncul secara tiba-tiba. Bukan juga tentang tatapan matanya yang seperti menembus isi kepalanya. Tapi tentang satu hal konyol yang terus mengganggu pikirannya—wink itu. Elvira menghela napas panjang. “Kenapa dia melakukan itu, sih?” gerutunya pelan, berbalik ke sisi lain sambil menarik selimut. Leonard menatapnya lama sebelum pergi. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi memilih untuk tidak mengatakannya. Dan wink itu... Itu benar-benar di luar dugaan. Pikirannya kembali ke momen itu. Tatapan Leonard yang tenang, sorot matanya yang sulit ditebak, dan cara bibirnya melengkung tipis s

    Last Updated : 2025-03-11
  • Lamaran Tak Terduga   Dibelenggu Bayangannya

    Sejak pertemuan di perpustakaan, Elvira mulai merasa ada yang tidak beres. Bukan karena kata-kata Leonard yang penuh misteri, tapi karena keberadaannya yang seolah selalu ada di sekitarnya. Setiap kali dia menoleh, dia selalu merasa ada Leonard di sekitarnya. Kadang hanya sekadar duduk di kejauhan, kadang dengan tatapan yang seolah menunggu sesuatu darinya.Awalnya, Elvira masih menganggapnya sebagai kebetulan. Namun, semakin hari, semakin sering dia menemukan Leonard muncul di tempat-tempat yang juga ia datangi.Bahkan saat dia sedang bekerja di kafe, dia merasa seakan-akan ada mata yang mengawasinya.Dia mencoba mengabaikannya, mencoba fokus pada tugas-tugas kuliah dan pekerjaannya. Tapi entah kenapa, setiap kali dia merasa lega karena berpikir Leonard tidak ada, tiba-tiba pria itu muncul.Seperti malam ini, ketika dia berjalan pulang ke kosan setelah kerja.Hawa malam yang seharusnya terasa sejuk malah membuatnya gelisah. Langkahnya le

    Last Updated : 2025-03-12

Latest chapter

  • Lamaran Tak Terduga   Menjaga Tanpa Diminta

    Elvira menatap Leonard yang duduk diam di bangku kantin dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya. Dia sudah menyuruhnya makan, tapi tetap saja rasanya aneh melihat seseorang seperti Leonard dalam keadaan selemah ini. Biasanya, pria itu selalu terlihat tenang dan tak terpengaruh oleh apapun—dingin, bahkan.Tadi, setelah dia memaksa Leonard untuk makan roti dan minum teh hangat, pria itu menurut saja. Itu pun setelah Elvira menunjukkan ekspresi tidak terima kalau dia menolak. Leonard akhirnya menghabiskan semuanya tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik Elvira yang sibuk menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian.Setelah menghabiskan roti dan teh yang dibelikan Elvira, Leonard menghela napas dalam. Meskipun tubuhnya masih terasa berat, setidaknya perutnya sudah terisi. Ia menegakkan punggungnya, bersiap untuk berdiri dari kursi kantin.Namun begitu ia berdiri, kepalanya langsung berputar, dan tubuhnya oleng ke samping. Hampir saja ia kehilangan kes

  • Lamaran Tak Terduga   tanpa sadar peduli

    Sudah tiga hari sejak terakhir kali Elvira melihat Leonard.Setelah dia menghilang karena Elvira mengatakan jika dia capek diikuti terus-menerus dan muncul kembali dengan perubahan sikap, Elvira pikir hari-hari berikutnya dia juga akan bertemu dengan Leonard di tempat yang sama. Tapi ternyata, itu hanya pikirannya saja.Awalnya, dia merasa lega. Setelah semua perhatian kecil yang diberikan pria itu dengan tiba-tiba, dia mendapatkan kembali waktu untuk menjernihkan pikirannya. Butuh jarak agar tidak semakin terbawa arus perasaan yang tidak dia mengerti.Tapi anehnya, bukannya merasa lebih tenang, dia justru merasa ada yang berbeda.Bukan hal besar. Hanya sesuatu yang terasa... Kosong.Dulu, dia tidak pernah memperhatikan sekitarnya seintens ini. Tidak pernah merasa perlu menengok setiap kali ada siluet pria tinggi yang berjalan melewati gedung fakultasnya. Tidak pernah berpikir dua kali saat melangkah ke taman kampus. Tidak pernah memperha

  • Lamaran Tak Terduga   perubahan tak terduga

    Udara malam semakin dingin, dan Elvira bisa merasakan tubuhnya mulai kehilangan energi setelah seharian penuh beraktivitas. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul sebelas malam, tapi kafe tempatnya bekerja masih cukup ramai. Beberapa pelanggan masih asyik mengobrol, sementara yang lain sibuk dengan laptop masing-masing.Elvira merapikan celemeknya sebelum kembali ke meja kasir, bersiap menangani pesanan berikutnya. Matanya menyapu ruangan, memastikan tidak ada pelanggan yang membutuhkan bantuan.Saat itulah dia melihatnya.Di sudut ruangan, Leonard duduk diam dengan sebuah buku di tangannya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi Elvira tahu betul kalau pria itu sedang memperhatikannya.Sudah berapa lama dia ada di sana?Elvira pura-pura tidak peduli dan segera kembali bekerja, mencoba fokus pada pesanan pelanggan berikutnya. Tapi entah kenapa, perasaan gelisah itu tetap ada.Dia sudah terbiasa dengan cara Leonard yang muncul tiba-

  • Lamaran Tak Terduga   Langkah Baru

    Suasana malam begitu sunyi, hanya suara deru kendaraan yang melintas di kejauhan. Leonard duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tidak jauh dari apartemennya. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan samar di kaca jendela mobilnya, menciptakan suasana hampa yang seakan mencerminkan pikirannya saat ini. Tangannya menggenggam setir erat, tapi pikirannya mengembara ke kejadian tadi. "Aku capek diikutin terus seperti ini." Suara Elvira masih terngiang di telinganya, menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa jika ia cukup gigih, cukup bertahan, maka semuanya akan berjalan sesuai keinginannya. Tapi tadi malam, untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia merasakan penolakan yang tidak hanya datang dari bibir seseorang, tetapi dari hati. Dan itu membuatnya sadar akan satu hal: ia tidak hanya menginginkan jawaban dari Elvira.

  • Lamaran Tak Terduga   Dibelenggu Bayangannya

    Sejak pertemuan di perpustakaan, Elvira mulai merasa ada yang tidak beres. Bukan karena kata-kata Leonard yang penuh misteri, tapi karena keberadaannya yang seolah selalu ada di sekitarnya. Setiap kali dia menoleh, dia selalu merasa ada Leonard di sekitarnya. Kadang hanya sekadar duduk di kejauhan, kadang dengan tatapan yang seolah menunggu sesuatu darinya.Awalnya, Elvira masih menganggapnya sebagai kebetulan. Namun, semakin hari, semakin sering dia menemukan Leonard muncul di tempat-tempat yang juga ia datangi.Bahkan saat dia sedang bekerja di kafe, dia merasa seakan-akan ada mata yang mengawasinya.Dia mencoba mengabaikannya, mencoba fokus pada tugas-tugas kuliah dan pekerjaannya. Tapi entah kenapa, setiap kali dia merasa lega karena berpikir Leonard tidak ada, tiba-tiba pria itu muncul.Seperti malam ini, ketika dia berjalan pulang ke kosan setelah kerja.Hawa malam yang seharusnya terasa sejuk malah membuatnya gelisah. Langkahnya le

  • Lamaran Tak Terduga   Alasan Dibalik Lamaran

    Elvira merebahkan tubuhnya di kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar kosannya. Malam sudah larut, tetapi kantuk sama sekali tidak menghampirinya. Pikirannya terus-menerus kembali ke satu kejadian menyebalkan di kafe tadi. Bukan tentang bagaimana Leonard muncul secara tiba-tiba. Bukan juga tentang tatapan matanya yang seperti menembus isi kepalanya. Tapi tentang satu hal konyol yang terus mengganggu pikirannya—wink itu. Elvira menghela napas panjang. “Kenapa dia melakukan itu, sih?” gerutunya pelan, berbalik ke sisi lain sambil menarik selimut. Leonard menatapnya lama sebelum pergi. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi memilih untuk tidak mengatakannya. Dan wink itu... Itu benar-benar di luar dugaan. Pikirannya kembali ke momen itu. Tatapan Leonard yang tenang, sorot matanya yang sulit ditebak, dan cara bibirnya melengkung tipis s

  • Lamaran Tak Terduga   Cincin Ini Masih Ada

    Rina menatap Elvira yang melamun sejak dosen keluar dari kelas. Beberapa menit telah berlalu, bahkan kelas sudah sepi dan hanya menyisakan sedikit mahasiswa. "Kamu kenapa El? Ada masalah? " Tanya Rina. Rina ini adalah teman baik Elvira sejak masa ospek. "Aku masih kepikiran sama lamaran tiba-tiba tadi pagi Rin." Ucap Elvira. "Oh iya, emangnya dia siapa sih? Kok kamu nggak pernah cerita ke aku kalau kamu udah punya pacar sih El, kamu anggap aku apa hah?! Aduuhh.. Mana aku tadi pagi sewot banget lagi, malu deehh" Ucap Rina. "Aku emang nggak punya pacar Rin, aku tadi pagi kan udah bilang kalau aku juga nggak tau dia siapa" Ucap Elvira. "Lah, aneh banget. Mungkin dia secret admirer mu El, kamu kan cantik, baik hati, dan suka menolong" Ucap Rina. "Kamu ngejekin aku ya? Dekil kayak gini kamu bilang cantik? Mana ada yang suka sama cewe lusuh kayak aku gini. Lagian ya Rin, bisa aja kan itu tadi cuma pr

  • Lamaran Tak Terduga   Tawaran Tak Masuk Akal

    Elvira Ayu Anindita adalah gadis berumur 20 tahun awal dengan tubuh ramping dan tinggi rata-rata, tidak terlalu mencolok, tapi ada sesuatu dalam caranya membawa diri yang membuat orang memperhatikannya. Rambutnya hitam gelap dengan potongan sebahu, sedikit berantakan karena angin saat ia berjalan tergesa-gesa menuju kampus. Kulitnya cerah, bukan putih pucat, tapi memiliki semburat hangat khas seseorang yang sering terkena sinar matahari.Matanya bulat dengan tatapan tajam dan penuh semangat, meskipun pagi ini matanya terlihat sedikit lelah setelah bergadang belajar. Hidungnya kecil dan sedikit mancung, berpadu dengan bibir tipis yang selalu terlihat sedikit mengerucut saat ia berkonsentrasi membaca materi di ponselnya. Pakaian yang ia kenakan sederhana—kemeja lengan panjang warna peach yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana jeans gelap longgar dan sepatu sneakers yang sudah agak lusuh karena sering dipakai bekerja.Tidak ada perhiasan mencolok di tubuhn

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status