Sudah tiga hari sejak terakhir kali Elvira melihat Leonard.
Setelah dia menghilang karena Elvira mengatakan jika dia capek diikuti terus-menerus dan muncul kembali dengan perubahan sikap, Elvira pikir hari-hari berikutnya dia juga akan bertemu dengan Leonard di tempat yang sama. Tapi ternyata, itu hanya pikirannya saja. Awalnya, dia merasa lega. Setelah semua perhatian kecil yang diberikan pria itu dengan tiba-tiba, dia mendapatkan kembali waktu untuk menjernihkan pikirannya. Butuh jarak agar tidak semakin terbawa arus perasaan yang tidak dia mengerti. Tapi anehnya, bukannya merasa lebih tenang, dia justru merasa ada yang berbeda. Bukan hal besar. Hanya sesuatu yang terasa... Kosong. Dulu, dia tidak pernah memperhatikan sekitarnya seintens ini. Tidak pernah merasa perlu menengok setiap kali ada siluet pria tinggi yang berjalan melewati gedung fakultasnya. Tidak pernah berpikir dua kali saat melangkah ke taman kampus. Tidak pernah memperhatikan secara terus-menerus tempat yang sering pria itu duduki saat memasuki kantin dan kafe, dan mengira akan melihat seseorang duduk di bangku yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Sekarang, dia jadi seperti orang aneh. Hari ini, seperti biasa, dia duduk di bangku taman, membuka bekalnya yang berisi nasi dan ayam goreng sederhana. Angin sore bertiup lembut, membuat dedaunan di pohon-pohon sekitar berdesir pelan. Sekelompok mahasiswa duduk di sudut taman, mengobrol sambil sesekali tertawa. Elvira mencoba fokus pada makanannya, tetapi telinganya menangkap suara obrolan dari mahasiswa lain di bangku seberang. “Eh, kalian tahu nggak sih Leonard yang dari fakultas ekonomi semester tujuh?” Elvira langsung menegang. “Primadona kampus itu? Cowok terganteng di kampus itu? Yang cowok tajir tapi jarang ngomong itu?” "Emang dia tajir ya? Tapi pakaian dan gayanya kayak biasa aja, nggak hedon kayak orang kaya lainnya gitu sih" "Eitss.. Jangan lihat dari luarnya aja. Pakaian boleh sederhana, tapi duit harus lancar jayaa... Emang kalian nggak tau ya kalau dia tuh keturunan keluarga Mahendra?" Elvira mengunyah makanannya dengan sangat lambat. Mahendra? Sepertinya dia familiar dengan nama keluarga itu. Tapi entahlah, dia tidak terlalu memperdulikannya "Lah, aku baru tau malah. Duh dia tuh kayak paket komplit nggak sih" "Iya bener. Aku kalau jadi ceweknya mungkin nggak bakalan lari deh." "Sama, aku juga." Mendengar itu Elvira menelan makanannya dengan susah payah. Bukan karena dia mau dengan Leonard karena kaya atau ganteng atau apapun, tapi dia menyadari jika ternyata banyak yang menyukai Leonard. Lalu kenapa Leonard tidak memilih salah satu dari mereka yang menyukainya saja? Kenapa harus dirinya? Eh tapi tunggu, mungkin saja Leonard yang mereka bicarakan itu bukan Leonard yang dia pikirkan kan? Lagipula banyak yang namanya Leonard di dunia ini. "Oh iya, kamu tiba-tiba bahas dia, emang dia kenapa?" “Dia akhir-akhir ini kok sering kelihatan di sini, ya?” Elvira berpura-pura tidak mendengar, tapi tangannya yang memegang sendok sedikit berhenti bergerak. “Iya, aku juga sadar. Biasanya dia nggak pernah ke sini, kan?” “Tapi kemarin aku lihat dia ngobrol sama anak TLM. Cewek, gitu.” Elvira buru-buru menunduk lebih dalam. “Serius? Cewek yang mana?” “Itu, loh, anak angkatan dua. Rambut pendek lurus sebahu, kulitnya putih. Aku lupa namanya.” “Jangan-jangan mereka pacaran?” “Kamu yakin? Katanya Leonard itu susah dideketin, loh.” “Iya, aku juga pernah dengar kalau Leonard pernah ngasih cincin ke cewek. Kayak ngelamar gitu loh. Pas itu kampus emang udah sepi, banyak yang udah masuk mata kuliah makanya nggak banyak yang tau” Mata Elvira terbelalak. Ternyata yang mereka bicarakan memang orang yang sama yang akhir-akhir ini muncul di kehidupannya. “Ngomong-ngomong, aku nggak lihat dia lagi akhir-akhir ini.” “Iya, aku juga. Jangan-jangan dia udah bosen nongkrong di sini?” Elvira menggigit bibirnya, mencoba menekan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadanya. Jadi, bukan cuma dia yang sadar perubahan Leonard? Dia pikir dia berlebihan, tapi ternyata orang lain juga melihatnya. Elvira menatap piring bekalnya dengan kosong. Mendadak, selera makannya menghilang. “Hmm.. Ya, mungkin aja. Lagian, apa sih yang menarik dari fakultas ini buat anak ekonomi?” "Iya, gedung juga lebih bagusan gedung di fakultas ekonomi. Gedung di fakultas ini yang ada suasananya tuh suasana rumah sakit, baunya juga mirip bau rumah sakit. Mahasiswa di fakultas ini juga nggak se-hits mahasiswa di fakultas ekonomi" Mendengar itu, Elvira akhirnya mengangkat wajah. Iya, apa yang menarik, ya? Dia juga tidak tahu. Yang jelas, sejak Leonard melamarnya secara dadakan, Leonard selalu ada di sekitarnya.lalu tiba-tiba dia menghilang. Kemudian tiba-tiba muncul lagi dengan sikap yang berbeda–lebih perhatian dengan hal-hal kecil–lalu tiba-tiba dia menghilang lagi. Untuk apa dia ada di sini sebelumnya? Dan kenapa sekarang dia pergi begitu saja? Elvira menghela napas. Kenapa juga dia harus repot-repot memikirkannya? Dia menggigit bibir bawahnya, lalu menutup bekalnya dengan sedikit kesal. “Lagi-lagi aku malah kepikiran dia.” gumamnya, hampir seperti menyalahkan diri sendiri. Tapi tetap saja, entah kenapa, perasaan itu tidak kunjung hilang. ***** Malam ini, di kamar kosnya, Elvira berbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit. Cahaya lampu belajar di sudut kamar memberikan nuansa hangat, tapi pikirannya sama sekali tidak bisa tenang. Elvira menatap layar ponselnya yang tetap sepi. Tidak ada pesan baru. Tidak ada panggilan masuk. Tangannya sedikit mengepal di atas meja belajar. Ini aneh. Setelah Elvira mengatakan kalau dia capek diikuti Leonard kemanapun, Leonard menghilang selama beberapa hari. Saat itu, dia pikir pria itu akhirnya menyerah. Tapi tidak. Leonard kembali dengan sikap berbeda—dengan cara yang lebih halus. Memberinya teh hangat saat ia kelelahan di kafe, memayunginya di tengah hujan, mengantarnya pulang, bahkan membuatkan sandwich untuknya. Dia tidak lagi mengikuti Elvira ke mana-mana, tapi kehadirannya terasa lebih sulit dihindari. Dan sekarang, Leonard kembali menghilang. Tiga hari. Tidak ada pesan. Tidak ada kemunculan tiba-tiba. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Leonard. Elvira menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai muncul. Kenapa dia malah merasa kehilangan? Dengan sedikit kesal, dia meraih ponselnya dan membuka pesan terakhir yang pernah dikirim Leonard kepadanya. "Simpan nomorku." Waktu itu, Elvira hanya menatap layar dengan bingung, lalu tanpa sadar membalas, "Kenapa?" Jawaban Leonard singkat. "Jaga-jaga saja." Elvira ingat betapa ia mendengus kesal waktu itu. Sebenarnya tanpa Leonard suruh pun dia sudah menyimpan nomornya, tapi kini Leonard menyuruhnya untuk menyimpannya dan mengatakan untuk jaga-jaga? Memangnya siapa yang butuh berjaga-jaga? Namun sekarang, tanpa sadar, dia malah berharap Leonard mengirim pesan lagi. Tapi, kenapa? Kenapa dirinya malah berharap? Dia menghela napas dalam-dalam. Tidak, dia tidak perlu khawatir. Mungkin Leonard memang sedang sibuk. Atau mungkin, kali ini dia benar-benar menyerah dan memutuskan untuk tidak lagi mengganggu Elvira. Bukankah seharusnya itu kabar baik? Jadi, kenapa dia malah merasa ada sesuatu yang kurang? Tangannya sedikit bergerak, nyaris mengetik pesan di layar. 'Hei, kamu ke mana?' Tidak. Itu terdengar terlalu peduli. Ia menghapusnya, lalu mencoba lagi. 'Kamu nggak ke kampus?' Tidak. Itu juga terdengar salah. Tangannya berhenti di atas layar sebelum akhirnya ia mengembuskan napas dan meletakkan ponselnya kembali di meja. Kenapa dia harus memikirkan ini? Kenapa dia harus memikirkan seorang Leonard? Elvira mengusap wajahnya, berusaha fokus kembali pada catatan kuliahnya. 'Aku tidak peduli.' 'Aku tidak peduli.' Setidaknya, itu yang terus ia coba yakinkan pada dirinya sendiri. ***** Elvira berjalan menuju ruang dosen yang ada di gedung fakultasnya dengan langkah yang sedikit lambat. Praktikum hari ini cukup melelahkan, dan dia masih sedikit linglung karena kurang tidur. Apalagi dia sekarang bertugas untuk mengumpulkan buku laporan praktik–biasa disebut laprak–di ruang dosen. Saat melewati lorong yang mengarah ke ruang dosen, telinganya menangkap bisik-bisik beberapa mahasiswa yang sedang duduk di kursi panjang di dekat tangga. "Eh, eh, itu si Leonard dari Fakultas Ekonomi nggak sih?" bisik salah satu mahasiswi dengan nada penasaran. "Eh, iya! Aku sering lihat dia akhir-akhir ini. Padahal kan dia dari gedung seberang. Ngapain sering ke sini, ya?" "Mungkin ada urusan sama dosen," sahut yang lain. "Tapi tetep aja, aneh. Cowok sekeren itu tiba-tiba sering muncul di fakultas kita?" Elvira mengerutkan kening mendengar sebuah nama disebut. Leonard? Dia menoleh ke arah para mahasiswa itu, lalu mengikuti arah pandangan mereka. Dan benar saja, sosok Leonard terlihat berjalan di koridor dekat ruang dosen, ekspresinya datar seperti biasa. Namun ada sesuatu yang berbeda darinya. Elvira memperhatikan wajah pria itu lebih lama dari yang seharusnya. Dia tampak lebih pucat dan kantong matanya juga menghitam. Langkahnya pun terlihat sedikit lebih pelan dari biasanya, seolah tubuhnya tidak dalam kondisi baik. Elvira mengerutkan alis. Tiga hari Leonard menghilang. Sekarang dia muncul dengan wajah seperti itu? Sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, mulutnya sudah lebih dulu bergerak. "Leonard?" Pria itu, yang awalnya terlihat tidak memperhatikan sekitar, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Saat matanya bertemu dengan mata Elvira, ada keterkejutan sesaat dalam tatapannya. Bukan karena dia tidak mengenali Elvira, tapi lebih karena dia tidak menyangka bahwa Elvira yang akan menyapanya lebih dulu. Leonard menatapnya dalam diam, seakan sedang memastikan sesuatu. Elvira sedikit gugup karena pria itu tidak langsung merespons. Jadi, tanpa sadar, dia melanjutkan ucapannya, “Kamu nggak apa-apa?” Sekali lagi, Leonard tampak terkejut. Namun, dalam hitungan detik, ekspresi datarnya kembali. Dia menatap Elvira dengan tatapan sulit ditebak sebelum akhirnya mengangkat bahu santai. "Aku baik-baik saja." Tapi Elvira tidak percaya begitu saja. Dia sudah cukup sering melihat Leonard untuk tahu bahwa ekspresi santainya tidak seperti apa yang dia katakan. Alih-alih langsung membantah, dia malah mendekati Leonard dan hanya memperhatikan pria itu lebih lama. Leonard menghela napas dan mengalihkan pandangan. "Aku ada urusan dengan dosen." Elvira mengikuti arah tatapannya, menyadari bahwa ruang dosen yang dimaksud memang ada di dekat situ. Tanpa berpikir panjang, dia berkata, "Aku antar. Aku juga mau kesana" Leonard kembali menatapnya, kali ini dengan tatapan lebih intens, seperti sedang menganalisis sesuatu. Namun akhirnya, dia tidak menolak. "Bukumu" Ucap Leonard sambil menengadahkan tangannya kedepan Elvira. Elvira mengernyit untuk memahami ucapan Leonard. "Tidak usah, ini tidak berat" Ucap Elvira. Tanpa aba-aba Leonard langsung mengambil tumpukan buku laprak yang dibawa Elvira lalu tanpa banyak bicara, dia berjalan lebih dulu menuju ruang dosen. "Eh tunggu" Ucap Elvira sambil mengejar langkah lebar Leonard. Bagi mahasiswa lain yang melihat, mungkin ini hanyalah pemandangan biasa—dua mahasiswa yang kebetulan menuju tempat yang sama dan saling membantu. Tapi bagi Elvira, ada sesuatu yang berbeda dalam langkahnya kali ini. Untuk pertama kalinya, dia yang memulai interaksi dengan Leonard. ***** Elvira berjalan di sisi Leonard menuju ruang dosen. Seharusnya ini bukan hal yang aneh, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya merasa canggung. Mungkin karena ini pertama kalinya dia benar-benar berjalan di samping Leonard tanpa merasa kesal atau risih. Sesampainya di depan ruang dosen, Elvira mengetuk pintu, lalu Leonard masuk setelah mendapat izin. Sedangkan Elvira berdiri di luar, menunggu tanpa benar-benar tahu kenapa dia masih di sini. Dia bisa saja langsung pergi, tapi kakinya tetap terpaku di tempat. Saat Leonard keluar beberapa menit kemudian, ekspresinya masih datar seperti biasa, tapi matanya sedikit lebih tajam, seperti sedang memikirkan sesuatu. Tanpa sadar, Elvira memperhatikannya lagi. Wajahnya masih pucat. Apa dia sakit? Tanpa berpikir panjang, Elvira bertanya, "Kamu yakin nggak apa-apa?" Leonard mengerutkan kening tipis, jelas tidak menyangka akan ditanya lagi. "Aku baik-baik saja," jawabnya datar. Elvira tidak langsung menanggapi. Sebenarnya, dia tidak punya alasan untuk mencemaskan pria itu. Mereka bukan teman dekat, dan interaksi mereka selama ini lebih banyak diwarnai oleh ketegangan. Tapi untuk pertama kalinya, dia melihat Leonard dalam keadaan yang tidak sekuat biasanya. Dan entah kenapa, dia tidak suka melihatnya seperti ini. "Um, terimakasih sudah membawakan bukuku. Kamu mau minum sesuatu? Kopi atau teh?" tanyanya tanpa sadar. Leonard menatapnya dengan ekspresi sulit dibaca. Ada jeda sebelum dia menjawab, "Teh." Elvira mengangguk. "Kita ke kantin, aku yang traktir." Leonard mengangkat alis, tapi tidak menolak. Tanpa banyak bicara, mereka berjalan beriringan menuju kantin kampus. Saat mereka masuk, kantin cukup ramai, dan seperti yang Elvira duga, beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Bukan bisik-bisik penuh rasa penasaran seperti yang dulu pernah terjadi, tapi lebih ke tatapan penuh ketidakpercayaan dan... Kecemburuan? "Hubungan mereka sebenarnya apa sih?" suara seorang mahasiswi terdengar dari arah meja pojok. "Astaga... Kalau aku di posisi cewek itu sekarang, kayaknya udah kupeluk, kusayang-sayang itu Leonard. Apalagi dia kan primadona kampus ini. Sayangnya dia kulkas 100 pintu." "Iya, tapi aneh deh, biasanya Leonard itu selalu menghindar kalau ada cewek yang ngedeketin dia. Kok dia nggak menghindari cewek itu, sih?" Elvira pura-pura tidak mendengar, meskipun dia bisa merasakan tatapan iri yang diarahkan kepadanya. Sementara itu, Leonard tetap seperti biasa—acuh tak acuh. Setelah memesan dua cangkir teh dan membeli dua roti, mereka duduk di salah satu meja kosong di sudut kantin. Elvira memperhatikan Leonard yang hanya diam, tidak langsung menyentuh tehnya. Rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran akhirnya membuat Elvira bertanya, "Beneran nggak apa-apa? Kamu kelihatan pucat, tau." Leonard tidak menjawab. Dia hanya menatap Elvira dengan tatapan yang sulit diartikan. Elvira mendengus. Kenapa sih dia selalu gini? Tanpa pikir panjang, dia mengulurkan tangan dan menempelkan punggung tangannya ke dahi Leonard. Leonard membeku. Begitu juga orang-orang di sekitar mereka. Suasana kantin yang semula ramai tiba-tiba terasa lebih sunyi. Meskipun suara-suara masih ada, tapi kali ini, suara mereka terdengar lebih terkejut daripada iri. Elvira, yang baru sadar akan apa yang dia lakukan, langsung menarik tangannya. "Demam ternyata," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Leonard akhirnya bersuara. "Aku baik-baik saja." Elvira menghela napas. "Kamu selalu bilang gitu. Tapi jelas-jelas nggak." Alih-alih membantah, Leonard malah menatapnya lebih lama. Lalu, sesuatu yang sangat jarang terjadi, kini terjadi—Leonard tersenyum. Senyum tipis, dengan tatapan mata yang teduh tapi cukup untuk membuat beberapa orang di sekitar mereka membelalakkan mata. Elvira sendiri terdiam beberapa detik sebelum mengalihkan pandangannya, tiba-tiba merasa sedikit gelisah. "Kamu udah makan?" Tanya Elvira dan dibalas gelengan kepala oleh Leonard. "Kalau begitu rotinya dimakan, tehnya juga diminum. Nggak akan menyembuhkan demam kamu sih, tapi setidaknya bisa sedikit mengisi perut dan menghangatkan badan," katanya cepat, berusaha mengalihkan perhatiannya dari senyum Leonard yang entah kenapa sedikit mengganggunya. Leonard menuruti ucapannya tanpa protes. Dan meskipun dia tidak mengatakannya, Elvira bisa melihat sesuatu di wajahnya yang berbeda. Bukan hanya kelelahan, tapi juga sesuatu yang lain—sesuatu yang sulit dijelaskan.Elvira menatap Leonard yang duduk diam di bangku kantin dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya. Dia sudah menyuruhnya makan, tapi tetap saja rasanya aneh melihat seseorang seperti Leonard dalam keadaan selemah ini. Biasanya, pria itu selalu terlihat tenang dan tak terpengaruh oleh apapun—dingin, bahkan.Tadi, setelah dia memaksa Leonard untuk makan roti dan minum teh hangat, pria itu menurut saja. Itu pun setelah Elvira menunjukkan ekspresi tidak terima kalau dia menolak. Leonard akhirnya menghabiskan semuanya tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik Elvira yang sibuk menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian.Setelah menghabiskan roti dan teh yang dibelikan Elvira, Leonard menghela napas dalam. Meskipun tubuhnya masih terasa berat, setidaknya perutnya sudah terisi. Ia menegakkan punggungnya, bersiap untuk berdiri dari kursi kantin.Namun begitu ia berdiri, kepalanya langsung berputar, dan tubuhnya oleng ke samping. Hampir saja ia kehilangan kes
Elvira Ayu Anindita adalah gadis berumur 20 tahun awal dengan tubuh ramping dan tinggi rata-rata, tidak terlalu mencolok, tapi ada sesuatu dalam caranya membawa diri yang membuat orang memperhatikannya. Rambutnya hitam gelap dengan potongan sebahu, sedikit berantakan karena angin saat ia berjalan tergesa-gesa menuju kampus. Kulitnya cerah, bukan putih pucat, tapi memiliki semburat hangat khas seseorang yang sering terkena sinar matahari.Matanya bulat dengan tatapan tajam dan penuh semangat, meskipun pagi ini matanya terlihat sedikit lelah setelah bergadang belajar. Hidungnya kecil dan sedikit mancung, berpadu dengan bibir tipis yang selalu terlihat sedikit mengerucut saat ia berkonsentrasi membaca materi di ponselnya. Pakaian yang ia kenakan sederhana—kemeja lengan panjang warna peach yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana jeans gelap longgar dan sepatu sneakers yang sudah agak lusuh karena sering dipakai bekerja.Tidak ada perhiasan mencolok di tubuhn
Rina menatap Elvira yang melamun sejak dosen keluar dari kelas. Beberapa menit telah berlalu, bahkan kelas sudah sepi dan hanya menyisakan sedikit mahasiswa. "Kamu kenapa El? Ada masalah? " Tanya Rina. Rina ini adalah teman baik Elvira sejak masa ospek. "Aku masih kepikiran sama lamaran tiba-tiba tadi pagi Rin." Ucap Elvira. "Oh iya, emangnya dia siapa sih? Kok kamu nggak pernah cerita ke aku kalau kamu udah punya pacar sih El, kamu anggap aku apa hah?! Aduuhh.. Mana aku tadi pagi sewot banget lagi, malu deehh" Ucap Rina. "Aku emang nggak punya pacar Rin, aku tadi pagi kan udah bilang kalau aku juga nggak tau dia siapa" Ucap Elvira. "Lah, aneh banget. Mungkin dia secret admirer mu El, kamu kan cantik, baik hati, dan suka menolong" Ucap Rina. "Kamu ngejekin aku ya? Dekil kayak gini kamu bilang cantik? Mana ada yang suka sama cewe lusuh kayak aku gini. Lagian ya Rin, bisa aja kan itu tadi cuma pr
Elvira merebahkan tubuhnya di kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar kosannya. Malam sudah larut, tetapi kantuk sama sekali tidak menghampirinya. Pikirannya terus-menerus kembali ke satu kejadian menyebalkan di kafe tadi. Bukan tentang bagaimana Leonard muncul secara tiba-tiba. Bukan juga tentang tatapan matanya yang seperti menembus isi kepalanya. Tapi tentang satu hal konyol yang terus mengganggu pikirannya—wink itu. Elvira menghela napas panjang. “Kenapa dia melakukan itu, sih?” gerutunya pelan, berbalik ke sisi lain sambil menarik selimut. Leonard menatapnya lama sebelum pergi. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi memilih untuk tidak mengatakannya. Dan wink itu... Itu benar-benar di luar dugaan. Pikirannya kembali ke momen itu. Tatapan Leonard yang tenang, sorot matanya yang sulit ditebak, dan cara bibirnya melengkung tipis s
Sejak pertemuan di perpustakaan, Elvira mulai merasa ada yang tidak beres. Bukan karena kata-kata Leonard yang penuh misteri, tapi karena keberadaannya yang seolah selalu ada di sekitarnya. Setiap kali dia menoleh, dia selalu merasa ada Leonard di sekitarnya. Kadang hanya sekadar duduk di kejauhan, kadang dengan tatapan yang seolah menunggu sesuatu darinya.Awalnya, Elvira masih menganggapnya sebagai kebetulan. Namun, semakin hari, semakin sering dia menemukan Leonard muncul di tempat-tempat yang juga ia datangi.Bahkan saat dia sedang bekerja di kafe, dia merasa seakan-akan ada mata yang mengawasinya.Dia mencoba mengabaikannya, mencoba fokus pada tugas-tugas kuliah dan pekerjaannya. Tapi entah kenapa, setiap kali dia merasa lega karena berpikir Leonard tidak ada, tiba-tiba pria itu muncul.Seperti malam ini, ketika dia berjalan pulang ke kosan setelah kerja.Hawa malam yang seharusnya terasa sejuk malah membuatnya gelisah. Langkahnya le
Suasana malam begitu sunyi, hanya suara deru kendaraan yang melintas di kejauhan. Leonard duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tidak jauh dari apartemennya. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan samar di kaca jendela mobilnya, menciptakan suasana hampa yang seakan mencerminkan pikirannya saat ini. Tangannya menggenggam setir erat, tapi pikirannya mengembara ke kejadian tadi. "Aku capek diikutin terus seperti ini." Suara Elvira masih terngiang di telinganya, menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa jika ia cukup gigih, cukup bertahan, maka semuanya akan berjalan sesuai keinginannya. Tapi tadi malam, untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia merasakan penolakan yang tidak hanya datang dari bibir seseorang, tetapi dari hati. Dan itu membuatnya sadar akan satu hal: ia tidak hanya menginginkan jawaban dari Elvira.
Udara malam semakin dingin, dan Elvira bisa merasakan tubuhnya mulai kehilangan energi setelah seharian penuh beraktivitas. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul sebelas malam, tapi kafe tempatnya bekerja masih cukup ramai. Beberapa pelanggan masih asyik mengobrol, sementara yang lain sibuk dengan laptop masing-masing.Elvira merapikan celemeknya sebelum kembali ke meja kasir, bersiap menangani pesanan berikutnya. Matanya menyapu ruangan, memastikan tidak ada pelanggan yang membutuhkan bantuan.Saat itulah dia melihatnya.Di sudut ruangan, Leonard duduk diam dengan sebuah buku di tangannya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi Elvira tahu betul kalau pria itu sedang memperhatikannya.Sudah berapa lama dia ada di sana?Elvira pura-pura tidak peduli dan segera kembali bekerja, mencoba fokus pada pesanan pelanggan berikutnya. Tapi entah kenapa, perasaan gelisah itu tetap ada.Dia sudah terbiasa dengan cara Leonard yang muncul tiba-
Elvira menatap Leonard yang duduk diam di bangku kantin dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya. Dia sudah menyuruhnya makan, tapi tetap saja rasanya aneh melihat seseorang seperti Leonard dalam keadaan selemah ini. Biasanya, pria itu selalu terlihat tenang dan tak terpengaruh oleh apapun—dingin, bahkan.Tadi, setelah dia memaksa Leonard untuk makan roti dan minum teh hangat, pria itu menurut saja. Itu pun setelah Elvira menunjukkan ekspresi tidak terima kalau dia menolak. Leonard akhirnya menghabiskan semuanya tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik Elvira yang sibuk menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian.Setelah menghabiskan roti dan teh yang dibelikan Elvira, Leonard menghela napas dalam. Meskipun tubuhnya masih terasa berat, setidaknya perutnya sudah terisi. Ia menegakkan punggungnya, bersiap untuk berdiri dari kursi kantin.Namun begitu ia berdiri, kepalanya langsung berputar, dan tubuhnya oleng ke samping. Hampir saja ia kehilangan kes
Sudah tiga hari sejak terakhir kali Elvira melihat Leonard.Setelah dia menghilang karena Elvira mengatakan jika dia capek diikuti terus-menerus dan muncul kembali dengan perubahan sikap, Elvira pikir hari-hari berikutnya dia juga akan bertemu dengan Leonard di tempat yang sama. Tapi ternyata, itu hanya pikirannya saja.Awalnya, dia merasa lega. Setelah semua perhatian kecil yang diberikan pria itu dengan tiba-tiba, dia mendapatkan kembali waktu untuk menjernihkan pikirannya. Butuh jarak agar tidak semakin terbawa arus perasaan yang tidak dia mengerti.Tapi anehnya, bukannya merasa lebih tenang, dia justru merasa ada yang berbeda.Bukan hal besar. Hanya sesuatu yang terasa... Kosong.Dulu, dia tidak pernah memperhatikan sekitarnya seintens ini. Tidak pernah merasa perlu menengok setiap kali ada siluet pria tinggi yang berjalan melewati gedung fakultasnya. Tidak pernah berpikir dua kali saat melangkah ke taman kampus. Tidak pernah memperha
Udara malam semakin dingin, dan Elvira bisa merasakan tubuhnya mulai kehilangan energi setelah seharian penuh beraktivitas. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul sebelas malam, tapi kafe tempatnya bekerja masih cukup ramai. Beberapa pelanggan masih asyik mengobrol, sementara yang lain sibuk dengan laptop masing-masing.Elvira merapikan celemeknya sebelum kembali ke meja kasir, bersiap menangani pesanan berikutnya. Matanya menyapu ruangan, memastikan tidak ada pelanggan yang membutuhkan bantuan.Saat itulah dia melihatnya.Di sudut ruangan, Leonard duduk diam dengan sebuah buku di tangannya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi Elvira tahu betul kalau pria itu sedang memperhatikannya.Sudah berapa lama dia ada di sana?Elvira pura-pura tidak peduli dan segera kembali bekerja, mencoba fokus pada pesanan pelanggan berikutnya. Tapi entah kenapa, perasaan gelisah itu tetap ada.Dia sudah terbiasa dengan cara Leonard yang muncul tiba-
Suasana malam begitu sunyi, hanya suara deru kendaraan yang melintas di kejauhan. Leonard duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tidak jauh dari apartemennya. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan samar di kaca jendela mobilnya, menciptakan suasana hampa yang seakan mencerminkan pikirannya saat ini. Tangannya menggenggam setir erat, tapi pikirannya mengembara ke kejadian tadi. "Aku capek diikutin terus seperti ini." Suara Elvira masih terngiang di telinganya, menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa jika ia cukup gigih, cukup bertahan, maka semuanya akan berjalan sesuai keinginannya. Tapi tadi malam, untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia merasakan penolakan yang tidak hanya datang dari bibir seseorang, tetapi dari hati. Dan itu membuatnya sadar akan satu hal: ia tidak hanya menginginkan jawaban dari Elvira.
Sejak pertemuan di perpustakaan, Elvira mulai merasa ada yang tidak beres. Bukan karena kata-kata Leonard yang penuh misteri, tapi karena keberadaannya yang seolah selalu ada di sekitarnya. Setiap kali dia menoleh, dia selalu merasa ada Leonard di sekitarnya. Kadang hanya sekadar duduk di kejauhan, kadang dengan tatapan yang seolah menunggu sesuatu darinya.Awalnya, Elvira masih menganggapnya sebagai kebetulan. Namun, semakin hari, semakin sering dia menemukan Leonard muncul di tempat-tempat yang juga ia datangi.Bahkan saat dia sedang bekerja di kafe, dia merasa seakan-akan ada mata yang mengawasinya.Dia mencoba mengabaikannya, mencoba fokus pada tugas-tugas kuliah dan pekerjaannya. Tapi entah kenapa, setiap kali dia merasa lega karena berpikir Leonard tidak ada, tiba-tiba pria itu muncul.Seperti malam ini, ketika dia berjalan pulang ke kosan setelah kerja.Hawa malam yang seharusnya terasa sejuk malah membuatnya gelisah. Langkahnya le
Elvira merebahkan tubuhnya di kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar kosannya. Malam sudah larut, tetapi kantuk sama sekali tidak menghampirinya. Pikirannya terus-menerus kembali ke satu kejadian menyebalkan di kafe tadi. Bukan tentang bagaimana Leonard muncul secara tiba-tiba. Bukan juga tentang tatapan matanya yang seperti menembus isi kepalanya. Tapi tentang satu hal konyol yang terus mengganggu pikirannya—wink itu. Elvira menghela napas panjang. “Kenapa dia melakukan itu, sih?” gerutunya pelan, berbalik ke sisi lain sambil menarik selimut. Leonard menatapnya lama sebelum pergi. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi memilih untuk tidak mengatakannya. Dan wink itu... Itu benar-benar di luar dugaan. Pikirannya kembali ke momen itu. Tatapan Leonard yang tenang, sorot matanya yang sulit ditebak, dan cara bibirnya melengkung tipis s
Rina menatap Elvira yang melamun sejak dosen keluar dari kelas. Beberapa menit telah berlalu, bahkan kelas sudah sepi dan hanya menyisakan sedikit mahasiswa. "Kamu kenapa El? Ada masalah? " Tanya Rina. Rina ini adalah teman baik Elvira sejak masa ospek. "Aku masih kepikiran sama lamaran tiba-tiba tadi pagi Rin." Ucap Elvira. "Oh iya, emangnya dia siapa sih? Kok kamu nggak pernah cerita ke aku kalau kamu udah punya pacar sih El, kamu anggap aku apa hah?! Aduuhh.. Mana aku tadi pagi sewot banget lagi, malu deehh" Ucap Rina. "Aku emang nggak punya pacar Rin, aku tadi pagi kan udah bilang kalau aku juga nggak tau dia siapa" Ucap Elvira. "Lah, aneh banget. Mungkin dia secret admirer mu El, kamu kan cantik, baik hati, dan suka menolong" Ucap Rina. "Kamu ngejekin aku ya? Dekil kayak gini kamu bilang cantik? Mana ada yang suka sama cewe lusuh kayak aku gini. Lagian ya Rin, bisa aja kan itu tadi cuma pr
Elvira Ayu Anindita adalah gadis berumur 20 tahun awal dengan tubuh ramping dan tinggi rata-rata, tidak terlalu mencolok, tapi ada sesuatu dalam caranya membawa diri yang membuat orang memperhatikannya. Rambutnya hitam gelap dengan potongan sebahu, sedikit berantakan karena angin saat ia berjalan tergesa-gesa menuju kampus. Kulitnya cerah, bukan putih pucat, tapi memiliki semburat hangat khas seseorang yang sering terkena sinar matahari.Matanya bulat dengan tatapan tajam dan penuh semangat, meskipun pagi ini matanya terlihat sedikit lelah setelah bergadang belajar. Hidungnya kecil dan sedikit mancung, berpadu dengan bibir tipis yang selalu terlihat sedikit mengerucut saat ia berkonsentrasi membaca materi di ponselnya. Pakaian yang ia kenakan sederhana—kemeja lengan panjang warna peach yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana jeans gelap longgar dan sepatu sneakers yang sudah agak lusuh karena sering dipakai bekerja.Tidak ada perhiasan mencolok di tubuhn