"Du..du..du.." senandung kecil dari bibir seseorang gadis muda mengikuti irama lagu yang sering di putar setiap pagi di sekolahnya. Dia tidak begitu suka dengan lagu mars sekolahnya itu namun kebiasaan mendengarnya setiap pagi membuat gadis muda ini tanpa sengaja menyandungkannya. Ia tidak begitu peduli dengan lagu yang sedang ia dendangkan. Apapun lagu yang melintas di kepalanya saat ini akan ia nyanyikan untuk menyambut hari karena suasana hatinya saat ini dalam keadaan bahagia.
Dia Luna Hermawan, empat belas tahun seorang murid kelas dua sekolah menengah pertama. Namun tubuhnya lebih dulu dewasa dari pada umurnya. Di umur yang baru empat belas tahun, umur yang baru menginjak masa pubertas, umur yang baru dua puluh empat kali merasakan apa yang namanya menstruasi,di umur segitu tubuhnya sudah tumbuh tinggi dengan kaki yang jenjang, garis rahang yang ramping dan dagunya berbelah seperti buah apel.
Luna memasuki pertkarangan kantor polisi tempat ayahnya bekerja masih dengan senandung yang tak kunjung henti. Sekolah yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari kantor polisi membuatnya selalu ke kantor itu saat pulang sekolah menemui sang ayah yang super sibuk. Dia bangga akan ayahnya. Namun terkadang kesal karena ayahnya terlalu sibuk dengan kasus-kasus sehingga tidak memperdulikan dirinya."Wah... juara lagi ya, Lun?" Seorang polisi di meja administrasi menyapa luna yang masuk tanpa canggung.
"iya om. Hehe..." Luna tersenyum pada polisi muda itu lalu berlari keruangan ayahnya ingin memamerkan tropi yang ia peroleh, namun tidak ada seorangpun dalam ruangan tersebut."Luna" seorang polisi lain memanggil dari pintu yang terbuka lebar, setelah memasukkan pistol kedalam sarung di pinggangnya. Memandang gemas ke pada gadis mida yang menoleh ke kiri dan ke kanan sehingga rambut ekor kudanya yang di kuncir bergerak mengikuti arah pandang gadis itu.
"Oh om Is, om lihat papa nggak?" Setengah berlari Luna mendekati Isnandar.
"papamu sedang di ruangan pimpinan, kamu mau om temani menunggu papa?"
"Hmm..." kepala gadis itu mengangguk setuju. Dia gadis yang suka bicara, jadi agak tidak menyenangkan rasanya jika menunggu dan sendirian. Isnandar mengiring gadis itu pada sebuah sofa lusuh di dalam ruangan.
"om habis menangkap pejahat ya?" Lelaki itu mengangguk.
"sama papa juga" Ia mengangguk sekali lagi.
"kereeennn!" Luna memandang lelaki di hadapannya berbinar.
"Luna mau jadi polisi juga kalau sudah dewasa?"
"polisi itu keren om, tapi Luna nggak mau jadi polisi soalnya papa selalu saja sibuk nggak ada waktu untuk Luna. Luna mau jadi dokter aja agar bisa memastikan papa sehat. Kalau papa pulang luka-luka Luna bisa ngobatin. Isnandar mengacak rambut gadis itu dengan tersenyum hangat.
"Eh.. om is itu papa."
Luna menghampiri dan memeluk ayahnya. Tingginya sekarang adalah sedada sang ayah. Cukup tinggi untuk ukuran anak berumur empat belas tahun.
"Hari yang berat, heh?" Isnandar menepuk bahu Hermawan dan meninggalkan ayah dan anak itu. Memberi ruang privasi pada keduanya.
"Pa, lihat Luna juara lagi" Luna memamerka tropinya pada hermawan dengan membusungkan dada.
"Wah.. anak papa pintar sekali." Hermawan mencium perempuan satu-satunya dan memeluk gadis itu menuntun ke meja kerjanya. Luna seorang gadis piatu. Ibunya meninggal seja ia lahir, karena itu dia tidak tumbuh menjadi gadis yang manja. Tinggal dengan ayah yang sibuk membuat Luna harus bisa melakukan pekerjaan rumah tangga.
Hermawan mengambil sesuatu dari laci mejanya. Sebuah kotak perhiasan berwarna donker yang terdapat tulisan merk toko dengan tinta berwarna emas di balut dengan kain pita warna emas pula. Luna denga antusias mengambil kotak itu namun kesulitan membuka ikatan pitanya. Dengan sigap hermawan mengambil kotak tersebut lalu membukanya. Kotak itu berisi sebuah kalung emas dengan bandul huruf L dengan manik permata. Hermawan memakaikan kalun tersebut ke putrinya
"selamat ulang tahun ke empat belas sayang."
"Papa ingat ulang tahun Luna?"
"Tentu papa ingat"
"Yes.. kalau begitu sesuai janji papa, hari ini kita akan ke taman mini kan, pa?"
"Luna, hari ini papa sangat sibuk sayang. Ada kasus penting yang harus papa kerjakan. Maafkan papa, hemm?" Hermawan memasang wajah bersalah kepada Luna.
"kamu memaafkan papa kan, Lun?""kan masih ada Om polisi yang lain pa" protes bila dengan bibir yang di kerucutkan.
Ponsel hermawan di atas meja bergetar menampilkan nama Prof. Ilyas. Hermawan mengangkat ponselnya dan mundur membelakangi gadis itu.
"Hallo profesor Ilyas"
"...."
"Baik. Mohon anda untuk bersembunyi dulu. Saya akan mengabari tempat pertemuan kita." Herman mematikan telponnya dan tampak panik.
"Luna sayang." Hermawan berbalik dan berusaha membujuk putrinya. Luna memandangi ayahnya penasaran sekaligus marah.
"Luna benci papa."
Hermawan melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, dia baru menyadari bahwa ponselnya sudah di sadap seseorang. Hermawan cukup yakin jika ponselnya di sadap. Dia punya cukup pengalaman tentang sadap menyadap."profesor Ilyas! Sial!" Hermawan membanting ponselnya hingga terguling ke bawah kursi. Ponsel prof.Ilyas tidak dapat di hubungi meski sudah di coba berkali-kali. Hermawan memajukan perseneling mobilnya, menancap gas dengan kuat sehingga mobil itu seperti terbang di jalanan. Hermawan mengendarai mobilnya menuju tempat pertemuannya dengan profesor Ilyas yang di smskan beberapa menit yang lalu. Profesor Ilyas memiliki bukti pendukung yang akan menguatkan bukti kejahatan yang ia pegang. Dengan begitu tersangka tersebut akan segera di bawa ke meja hijau.Penjahat itu buka penjahat biasa, dia memiliki akses yang besar. Hermawan menyalahkan dirinya sendiri atas keteledorannya menggunakan ponsel tersebut dan sekarang nyawa prodesor Ilyas dalam bahaya. I
Dua tahun kemudian, Panti Asuhan Dahlia"Tidak.. Luna takut pa... jangan tinggalkan Luna..." keringat mengucur deras dari dahi perempuan itu. "Papa..!" Suaranya melambat di sertai air mata."Hei Gadis bodoh! bangun. Dasar pemalas!" Joyy, anak yang seumuran dengan Luna memukul meja yang di jadikan alas tidur oleh sang gadis. Luna tertidur setelah letih seharian membersihkan panti karena salah seorang pejabat akan datang ke panti itu dua hari lagi.Luna mengucek matanya yang terasa berat dan menghapus air yang mengalir di pipi. Mimpi itu lagi, mimpi menakutkan yang selama dua tahun ini tak pernah berhenti mendatanginya. Rasa sedih, takut, dan menyesal, bekas kejadian itu tidak bisa hilang. Ketakutan dan melarikan diri. Pengecut, itulah sosok Luna dalam kepalanya. Tapi apa yang bisa di lakukan gadis diusianya waktu itu? ."Hei apa yang kau lihat pemalas! Kerjakan bagianmu cepat!""Aku sudah menyelesaikannya""Oh ya?" Joyy
Washington DC, 8 tahun kemudian"where is she, margareth?" Mario yang baru saja mendarat di tanah paman syam tampak panik menuruni tangga mendapati anak gadisnya belum ada di kamar, padahal sekarang sudah pukul dua dini hari waktu Washington DC.Margareth memandang ke arah jendela dan melihat sosok Luna dengan pakaian kulit berwarna hitam yang sedang memanjat tali untuk menjangkau kamarnya yang terletak di lantai dua. Luna meletkkan telunjuknya di bibir agar margareth tidak mengatakan yang sebenarnya."She's in her room, Mr.""Aku tidak melihatnya di mana-mana Margareth! Apa dia masih keluyuran malam-malam begini?""Apa anda sudah memeriksa kamar mandinya? Siapa tahu dia di sana.""Hah ya.. aku belum mengecek kamar mandi.""Sebaiknya coba cek dulu, Tuan"Mario berjalan ke kamar Luna di temani margareth yang tampak pucat takut kebohongannya terbongkar."Tuan" Margareth mencoba mengulur waktu.
Jakarta, Indonesia.Ruangan putih, tujuh kali delapan meter di hiasi oleh beberapa lukisan tradisional. Dalam ruangan tersebut terdapat sebuah kunsen kayu jati yang di sangkuti gorden renda dengan warna senada, di mana menghadap langsung pada sebuah pohon kapuk yang menjulang tinggi.Luna mengucek rambutnya yang basah dengan handuk kecil yang bergambar beruang di bagian ujung. Sambil menggantungkan handuk tersebut di bahu, Luna berjalan menuju laptop yang tampak menyala. Sebuah pesan dari Black mask, organisasi mata-mata tempat gadis itu bernaung. Luna mengklik ikon topeng hitam yang berputar pada layar memasukkan kata sandi 051205. Tanggal di mana kehidupannya mulai berubah.Tak menunggu lama untuk merubah pesan tersebut menjadi tulisan dalam sebuah kertas putih. Dengan seksama gadis itu membaca detil informasi yang tertulis dalam kertas tersebut. Foto seorang pria dengan kaca mata menggantung di hidungnya yang mancung. Rambut hitam legam yang
Luna tiba di sebuah rumah megah dengan di dominasi cat putih. Yang memiliki penjagaan ketat. Rumah seorang kepala polisi Reza Isnandar."anda mencari siapa?" Seorang pria dengan kepala pelontos berseragam menghampiri Luna."Saya di minta datang ke sini hari ini oleh ibu Delvi, mungkin anda bisa menanyakannya?"Pria kepala pelontos itu masuk ke pos jaga dan berbicara di telepon. "Hei nak. Siapa namamu?""Lalun, Laluna Aurora."Lelaki itu mengulangi menyebutkan nama Luna di telepon."Laluna Aurora, silahkan masuk. Anda sudah di tunggu."Pagar tinggi yang sedari tadi di tutup secaraotomatis terbuka. Taman cantik menemani perjalanan Luna menuju pintu utama. Sebelum gadis itu memencet bel, pintu itu terbuka menampilkan sosok wawanita berumur setengah abad dengan seragam hitam."Laluna Aurora?"Luna mengangguk dan mengulurkan tangannya."Saya delvi, ajudan bapak Reza Isnandar. Silahkan duduk." Luna memperbaiki let
Dengan lemah dan lunglai Luna menekan kontak lampu di dekat pintu flat sehingga ruangan tersebut tampak benderang. Sepulang dari rumah Reza Isnandar Luna pergi kemakam Ayahnya. Menyedihkan memandang makam ayahnya yang di tumbuhi semak, sedangkan ia tidak bisa mendekati makam itu untuk mengelus nisannya berdoa atau menangis di sana. Hanya memandang makam tersebut dan mendoakannya dari makam orang lain, berharap agar doa itu sampai kepada sang Ayah di sana.Kenapa?Karena kita tidak tahu, bisa jadi seseorang sudah menunggunya untuk mengunjungi makam itu sejak lama. Jika mereka bisa memperlakukan ayahnya tang seorang polisi begitu kejamnya, bagaimana tidak mungkin mereka juga mencari keberadaan Luna.Luna merogoh ponsel dalam jaket tipisnya, tulisan nomor yang tidak di ketahui terpampang di layar ponsel tersebut."Ya?""Bagaimana misimu hari ini?""Mudah. Bukankah aki sudah mengemailmu?""Begitukah? Aku belum membukanya. Jadi?""A
Sama halnya seperti kemarin Luna menghentikan taxi di halte dan menunggu Herrys di sana. Menaiki busway yang di naiki Herrys tanpa sepengetahuan lelaki itu. Kali ini Herrys tidak menghentikan busway di depan universitas, tetapi di depan sebuah rumah sakit swasta. Luna mengikuti lelaki itu seperti bayangan, tanpa terlihat dan tanpa di ketahui .Herrys menyusuri lorong rumah sakit dan memasuki sebuah ruangan dokter. Tidak ada yang perlu di curigai dengan gerak-gerik Herrys pagi ini sehingga Luna memilih untuk menunggu lelaki itu di taman depan rumah sakit. Ia agak membenci rumah sakit, benci bau dan hawa yang ada dalam bangunan tersebut.Gadis itu mengenakan headset ke telinga sambil sesekali memandang pintu rumah sakit menunggu sosok Herrys."Kenapa kamu menendang bola itu terlalu keras? Kamu lihat sekarang bola itu menggelinding jauh. Sana minta sama om itu!" Dua orang bocah laki-laki berseragam rumah sakit yang sedang bermain bola menarik perhatian Luna. Ia mem
PERGI! SINGKIRKAN WAJAH KALIAN! AKU TAK BUTUH DI KASIHANI!" Suara kevin menggema dari lantai dua. Lelaki itu mengusir terapisnya dan melemparkan semua yang dapat ia jangkau. Seorang pelayan tampak terburu-buru membawa baskom dengan basah kuyup. "Laluna! Isi baskom ini dan bawa ke atas. Inikan tugasmu, kenapa malah aku yang basah kuyup begini?" Luna yang baru saja datang berusaha mencerna apa yang terjadi di rumah itu. Semua orang tampak sibuk keluar masuk kamar kevin. "maaf mbak, saya sedikit terlamabat, ada beberapa hal yang harus saya urus di kampus." "Cepatlah ganti bajumu dan bawa ini ke atas." Wanita itu meremas roknya yang basah membuat lantai yang ia pijaki tergenang air. "Iya mbak" Luna segera mengganti bajunya dengan seragam yang sudah tersedia di ruangan. Mengisi baskom yang tadi di berikan pelayan dengan air hangat, lalu membawanya ke kamar kevin. Luna mengetuk pintu. "Masuk!" Itu suara Delvi, Luna dapat meng
Delvi yang baru saja kembali dari ruangan Rezapun di buat bingung dengang apa yang terjadi di depannya saat ini. Kevin yang marah- marah pada pengurus rumah itu sudah biasa. Sejak kecelakaan itu Kevin sulit berinteraksi positif dengan orang lain. Tetapi, apa lagi masalahnya sekarang? Tidak bisakah anak itu tak membuat keributan yang membuatnya sibuk memilih pekerja lagi? Mulai dari pekerja rumah tangga professional hingga pekerja part time seperti Luna yang terpaksa harus ia terima, karena semuanya berhenti tidak lebih dari seminggu karena kevin yang selalu main pecat sekehendaknya. "Ada apa ini kevin?" "Kenapa wanita ini masih di sini? Aku sudah memecatnya!" "Kevin ini sudah yang ke berapa kali kamu berbuat begini? Sudahlah Kevin, aku bersyukur masih ada yang mau bekerja di sini membantu pekerjaan Ratna. Kau tahu? Ratna saja sudah susah sekali aku bujuk agar dia tidak berhenti." "Aku tidak inigin melihat wanita itu masih berkeliaran di rumah ini. Jik
PERGI! SINGKIRKAN WAJAH KALIAN! AKU TAK BUTUH DI KASIHANI!" Suara kevin menggema dari lantai dua. Lelaki itu mengusir terapisnya dan melemparkan semua yang dapat ia jangkau. Seorang pelayan tampak terburu-buru membawa baskom dengan basah kuyup. "Laluna! Isi baskom ini dan bawa ke atas. Inikan tugasmu, kenapa malah aku yang basah kuyup begini?" Luna yang baru saja datang berusaha mencerna apa yang terjadi di rumah itu. Semua orang tampak sibuk keluar masuk kamar kevin. "maaf mbak, saya sedikit terlamabat, ada beberapa hal yang harus saya urus di kampus." "Cepatlah ganti bajumu dan bawa ini ke atas." Wanita itu meremas roknya yang basah membuat lantai yang ia pijaki tergenang air. "Iya mbak" Luna segera mengganti bajunya dengan seragam yang sudah tersedia di ruangan. Mengisi baskom yang tadi di berikan pelayan dengan air hangat, lalu membawanya ke kamar kevin. Luna mengetuk pintu. "Masuk!" Itu suara Delvi, Luna dapat meng
Sama halnya seperti kemarin Luna menghentikan taxi di halte dan menunggu Herrys di sana. Menaiki busway yang di naiki Herrys tanpa sepengetahuan lelaki itu. Kali ini Herrys tidak menghentikan busway di depan universitas, tetapi di depan sebuah rumah sakit swasta. Luna mengikuti lelaki itu seperti bayangan, tanpa terlihat dan tanpa di ketahui .Herrys menyusuri lorong rumah sakit dan memasuki sebuah ruangan dokter. Tidak ada yang perlu di curigai dengan gerak-gerik Herrys pagi ini sehingga Luna memilih untuk menunggu lelaki itu di taman depan rumah sakit. Ia agak membenci rumah sakit, benci bau dan hawa yang ada dalam bangunan tersebut.Gadis itu mengenakan headset ke telinga sambil sesekali memandang pintu rumah sakit menunggu sosok Herrys."Kenapa kamu menendang bola itu terlalu keras? Kamu lihat sekarang bola itu menggelinding jauh. Sana minta sama om itu!" Dua orang bocah laki-laki berseragam rumah sakit yang sedang bermain bola menarik perhatian Luna. Ia mem
Dengan lemah dan lunglai Luna menekan kontak lampu di dekat pintu flat sehingga ruangan tersebut tampak benderang. Sepulang dari rumah Reza Isnandar Luna pergi kemakam Ayahnya. Menyedihkan memandang makam ayahnya yang di tumbuhi semak, sedangkan ia tidak bisa mendekati makam itu untuk mengelus nisannya berdoa atau menangis di sana. Hanya memandang makam tersebut dan mendoakannya dari makam orang lain, berharap agar doa itu sampai kepada sang Ayah di sana.Kenapa?Karena kita tidak tahu, bisa jadi seseorang sudah menunggunya untuk mengunjungi makam itu sejak lama. Jika mereka bisa memperlakukan ayahnya tang seorang polisi begitu kejamnya, bagaimana tidak mungkin mereka juga mencari keberadaan Luna.Luna merogoh ponsel dalam jaket tipisnya, tulisan nomor yang tidak di ketahui terpampang di layar ponsel tersebut."Ya?""Bagaimana misimu hari ini?""Mudah. Bukankah aki sudah mengemailmu?""Begitukah? Aku belum membukanya. Jadi?""A
Luna tiba di sebuah rumah megah dengan di dominasi cat putih. Yang memiliki penjagaan ketat. Rumah seorang kepala polisi Reza Isnandar."anda mencari siapa?" Seorang pria dengan kepala pelontos berseragam menghampiri Luna."Saya di minta datang ke sini hari ini oleh ibu Delvi, mungkin anda bisa menanyakannya?"Pria kepala pelontos itu masuk ke pos jaga dan berbicara di telepon. "Hei nak. Siapa namamu?""Lalun, Laluna Aurora."Lelaki itu mengulangi menyebutkan nama Luna di telepon."Laluna Aurora, silahkan masuk. Anda sudah di tunggu."Pagar tinggi yang sedari tadi di tutup secaraotomatis terbuka. Taman cantik menemani perjalanan Luna menuju pintu utama. Sebelum gadis itu memencet bel, pintu itu terbuka menampilkan sosok wawanita berumur setengah abad dengan seragam hitam."Laluna Aurora?"Luna mengangguk dan mengulurkan tangannya."Saya delvi, ajudan bapak Reza Isnandar. Silahkan duduk." Luna memperbaiki let
Jakarta, Indonesia.Ruangan putih, tujuh kali delapan meter di hiasi oleh beberapa lukisan tradisional. Dalam ruangan tersebut terdapat sebuah kunsen kayu jati yang di sangkuti gorden renda dengan warna senada, di mana menghadap langsung pada sebuah pohon kapuk yang menjulang tinggi.Luna mengucek rambutnya yang basah dengan handuk kecil yang bergambar beruang di bagian ujung. Sambil menggantungkan handuk tersebut di bahu, Luna berjalan menuju laptop yang tampak menyala. Sebuah pesan dari Black mask, organisasi mata-mata tempat gadis itu bernaung. Luna mengklik ikon topeng hitam yang berputar pada layar memasukkan kata sandi 051205. Tanggal di mana kehidupannya mulai berubah.Tak menunggu lama untuk merubah pesan tersebut menjadi tulisan dalam sebuah kertas putih. Dengan seksama gadis itu membaca detil informasi yang tertulis dalam kertas tersebut. Foto seorang pria dengan kaca mata menggantung di hidungnya yang mancung. Rambut hitam legam yang
Washington DC, 8 tahun kemudian"where is she, margareth?" Mario yang baru saja mendarat di tanah paman syam tampak panik menuruni tangga mendapati anak gadisnya belum ada di kamar, padahal sekarang sudah pukul dua dini hari waktu Washington DC.Margareth memandang ke arah jendela dan melihat sosok Luna dengan pakaian kulit berwarna hitam yang sedang memanjat tali untuk menjangkau kamarnya yang terletak di lantai dua. Luna meletkkan telunjuknya di bibir agar margareth tidak mengatakan yang sebenarnya."She's in her room, Mr.""Aku tidak melihatnya di mana-mana Margareth! Apa dia masih keluyuran malam-malam begini?""Apa anda sudah memeriksa kamar mandinya? Siapa tahu dia di sana.""Hah ya.. aku belum mengecek kamar mandi.""Sebaiknya coba cek dulu, Tuan"Mario berjalan ke kamar Luna di temani margareth yang tampak pucat takut kebohongannya terbongkar."Tuan" Margareth mencoba mengulur waktu.
Dua tahun kemudian, Panti Asuhan Dahlia"Tidak.. Luna takut pa... jangan tinggalkan Luna..." keringat mengucur deras dari dahi perempuan itu. "Papa..!" Suaranya melambat di sertai air mata."Hei Gadis bodoh! bangun. Dasar pemalas!" Joyy, anak yang seumuran dengan Luna memukul meja yang di jadikan alas tidur oleh sang gadis. Luna tertidur setelah letih seharian membersihkan panti karena salah seorang pejabat akan datang ke panti itu dua hari lagi.Luna mengucek matanya yang terasa berat dan menghapus air yang mengalir di pipi. Mimpi itu lagi, mimpi menakutkan yang selama dua tahun ini tak pernah berhenti mendatanginya. Rasa sedih, takut, dan menyesal, bekas kejadian itu tidak bisa hilang. Ketakutan dan melarikan diri. Pengecut, itulah sosok Luna dalam kepalanya. Tapi apa yang bisa di lakukan gadis diusianya waktu itu? ."Hei apa yang kau lihat pemalas! Kerjakan bagianmu cepat!""Aku sudah menyelesaikannya""Oh ya?" Joyy
Hermawan melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, dia baru menyadari bahwa ponselnya sudah di sadap seseorang. Hermawan cukup yakin jika ponselnya di sadap. Dia punya cukup pengalaman tentang sadap menyadap."profesor Ilyas! Sial!" Hermawan membanting ponselnya hingga terguling ke bawah kursi. Ponsel prof.Ilyas tidak dapat di hubungi meski sudah di coba berkali-kali. Hermawan memajukan perseneling mobilnya, menancap gas dengan kuat sehingga mobil itu seperti terbang di jalanan. Hermawan mengendarai mobilnya menuju tempat pertemuannya dengan profesor Ilyas yang di smskan beberapa menit yang lalu. Profesor Ilyas memiliki bukti pendukung yang akan menguatkan bukti kejahatan yang ia pegang. Dengan begitu tersangka tersebut akan segera di bawa ke meja hijau.Penjahat itu buka penjahat biasa, dia memiliki akses yang besar. Hermawan menyalahkan dirinya sendiri atas keteledorannya menggunakan ponsel tersebut dan sekarang nyawa prodesor Ilyas dalam bahaya. I