Hermawan melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, dia baru menyadari bahwa ponselnya sudah di sadap seseorang. Hermawan cukup yakin jika ponselnya di sadap. Dia punya cukup pengalaman tentang sadap menyadap.
"profesor Ilyas! Sial!" Hermawan membanting ponselnya hingga terguling ke bawah kursi. Ponsel prof.Ilyas tidak dapat di hubungi meski sudah di coba berkali-kali. Hermawan memajukan perseneling mobilnya, menancap gas dengan kuat sehingga mobil itu seperti terbang di jalanan. Hermawan mengendarai mobilnya menuju tempat pertemuannya dengan profesor Ilyas yang di smskan beberapa menit yang lalu. Profesor Ilyas memiliki bukti pendukung yang akan menguatkan bukti kejahatan yang ia pegang. Dengan begitu tersangka tersebut akan segera di bawa ke meja hijau.
Penjahat itu buka penjahat biasa, dia memiliki akses yang besar. Hermawan menyalahkan dirinya sendiri atas keteledorannya menggunakan ponsel tersebut dan sekarang nyawa prodesor Ilyas dalam bahaya. Itu semua karena kecerobohannya.
Seperti yang Hermawan duga, profesor Ilyas tidak berada di sana. Seseorang mungkin sudah mendahuluinya dan membawa profesor Ilyas pergi.
******
Luna masih jengkel pada ayahnya karena itu dia memutuskan bermain hingga malam di rumah seorang teman sekolah. Biar ayahnya tahu bahwa dia benar-benar kecewa dengan sikapnya. Mungkin ia bisa menolerir jika ayahnya mengingkari janji di hari biasa. Tapi ini adalah hari ulang tahunnya dan ayahnya mengacaukan segalanya.Ini sidah pukul sembilan malam. Sejak tadi luna memandang telepon mengharapkan ayahnya menelepon dan meminta maaf kepadanya dengan sunguh-sungguh. Tapi tak satupun panggilan atau sms dari hermawan sejak terakhir kali mereka bertemu. Sungguh mengecewakan!
Luna turun dari halte bus dekat rumahnya, jarak rumah dan halte bus hanya butuh waktu lima menit berjalan kaki. Masih dengan perasaan kesal Luna melangkahkan kakinya menuju rumah.Gadis itu sudah bertekad untuk mogok bicara pada Ayahnya selama seminggu.
Dengan omelan sepanjang jalan luna berhenti di depan pagar rumah yang terbuka dan menatap ruang lantai dua yang terang dari bawah.
"papa menyebalkan! dia tidak menghubungiku, tidak sedikitpun khawatir padahal aku belum pulang. Luna benci papa!"
Luna membuka rumah dan menutupnya dengan kencang agar ayahnya tahu bahwa dia sudah pulang. Ruangan di lantai satu masih gelap. Namun demikian, Luna sudah hafal semua letak barang di ruangan itu.
Tak..tak...tak..
suara langkah menuruni tangga. Gadis muda itu sudah memperkirakan bahwa ayahnya akan segera menghampirinya dan marah padanya. Biarkan saja, dia tidak peduli. Luna meletakkan tasnya di atas sofa memandang bayangan yang muncul akibat cahaya yang menembus dari lantai dua. Itu bukan ayahnya, bayangan itu berbadan kekar dan kepalanya botak. Itu pasti bukan ayahnya! Kengerian tiba-tiba menghinggapi hati Luna, tubuhnya mulai menggigil dan membeku tak dapat di gerakkan.
Bayangan itu kian mendekat dan menampilkan sosok yang tampak persis sama. Luna tidak dapat melihat dengan jelas wajah si pemilik bayangan dalam temaram cahaya lantai satu. Berkas cahaya dari lantai dua memantulkan tato jangkar besar yang hampir memenuhi seluruh punggung tangan lelaki itu yang sedang memegang pisau berlumuran darah.
Lelaki itu mulai melangkah ke arah Luna. Luna tidak dapat berfikir jernih, yang dapat dia fikirkan hanya harus segera berlari dan pergi dari rumah itu.
Langkah lain mulai terdengar mengejarnya. Gadis muda itu ketakutan, berlari sekencang dan sejauh yang ia bisa. Tiba-tiba tubuhnya melayang dan mulut yang di bekap.
"ssstttt... Luna ini papa..." gadis itu tidak dapat berbicara karena mulutnya yang masih di bekap. Namun air matanya turun dan tubuhnya menggigil. Hendrawan melepaskan tangannya dari mulut anak gadisnya.
"Pa...hiksss...laki-laki... ada orang di rumah membawa piasau" Luna terkejut yang melihat lengan ayahnya terluka dan berlumuran darah. Gadis itu menyentuhnya " pa.. tangan papa berdarah"
"papa tidak apa-apa sayang. Luna maafkan papa... Luna mau memaafkan papa?" Gadis itu mengangguk sambil sesegukan.
Hermawan membawa anaknya berlari mendengar suara langkah yang kian mendekat. Dia tidak akan mampu memberi perlawanan pada pria itu di saat tubuhnya terluka bahkan ketika dia tidak membawa senjata.
"Sial!"
Luna terkejut ketika dia mendengar ayahnya mengumpat menemukan mereka terdampar di gang buntu."Sayang, kamu sembunyi di balik drum ini. Jangan kemana-mana! Mengerti?" Luna mengangguk, dia menarik baju hermawan saat lelaki itu hendak meninggalkannya.
"Papa mau kemana?"
"Papa akan bersembunyi di sebelah sana. Kita akan ketahuan jika sembunyi di sini berdua sayang. Jangan membuat suara, oke?"
"Hmm" Luna mengangguk, namun air matanya tidak berhenti mengalir. Hermawan menghapus air mata Luna lalu mencium puncak kepala anak gadisnya itu.
Hermawan bersembunyi di balik papan-papan bekas, tak beberapa meter dari persembunyian Luna. Mereka sudah bersembunyi kira-kira sepuluh menit. Saat hendak merasa aman dan keluar dari persembunyiannya, Hermawan mendengar langkah pria bajingan itu. Dia memukulkan pisaunya pada tiap tiang lampu jalan yang ia lewati. Tidak bisa hermawan pungkiri ada rasa takut jika terkadi sesuatu pada putri kecilnya.
Herman memperhatikan jejak cahaya di bawah biasan dari lampu di perempatan gang. Mengawasi keberadaan pria yang mencelakainya. Pasti pria itu memiliki hubungan dengan menghilangnya profesor Ilyas. Bayangan gelap pria itu tertangkap mata Hermawan, makin panjang seiring makin dekatnya dia, jantung Hermawan berdetak kencang. Ia menahan mulut dan nafasnya agar tidak mengeluarkan suara. Berhasil! Pria itu melewatinya.
Tidak!
Ini lebih gawat! Pria itu mendekati putrinya! Putrinya yang ketakutan di balik drum itu.
Hermawan harus menyelamatkan putrinya terlebih dahulu. Lelaki itu memilih keluar dari persembunyiannya.
"Hei.. bajingan!"
si pembawa pisau berbalik, Hermawan mengarahkan tinjunya. Sayang, serangan itu dapat di tangkis oleh lelaki itu dan membalas dengan meninju tepat di lengan Hermawan yang terluka. Membuat Hermawan menjerit sakit. Hermawan terhuyung jatuh.
"Berani sekali kau menyerangku dari belakang!" Tangannya yang lain di tarik oleh sang penjahat. Ia memelintir dan menghantam tepat di bahu hermawan. Menimbulkan suara berderak di sana.
"Arrrrrgggghhhh!" Herman berteriak kesakitan. Luna menutup mulutnya yang ingin berteriak melihat ayahnya di siksa. Dia tidak boleh bersuara, ayahnya sudah memintanya untuk itu.
Herman mencoba berdiri dengan sisa tenaga yang di miliki. Menahan rasa sakit di kedua tangannya. Satu tangannya yang tertusuk dan terus mengucurkan darah dan satu lagi tangannya yang tak dapat di gerakkan karena patah.
pria berpisau itu tersenyum mengejek usaha hermawan. Ia mendekati Hermawan dan menendangnya membuat hermawan kembali tersungkur. Ia menendang bekali-kali sampai darah merah menyembur dari mulut hermawan. Hermawan menangkap kaki pria itu dengan sisa tenaga yang ia punya untuk menggerakkan kedua tangannya sehingga pria itu kehilangan keseimbangan dan menjatuhkan pisaunya tanpa sengaja.
"Arrrrrgghhh! Berengsek!" Teriak si pembawa pisau. Hermawan menggigit kaki pria itu dengan sekuat-kuatnya. Sang pria yang merasa sakit di kakinya menendang wajah hermawan dengan kakinya yang lain. Membuat hermawan melepaskan gigitannya. Tidak hanya tangan yang patah, hidungnya juga mengalami hal yang sama.
Pria itu segera menjangkau pisau yang terjatuh tidak terlalu jauh. Lalu menusuk perut hermawan berkali-kali hingga membuat tempat itu di banjiri darah. Lelaki tersebut menjambak rambut Hermawan dan menyeret hermawan yang sudah tidak berdaya pergi dari sana.
Di sisi lain Luna merasakan rasa asin dari cairan yang keluar dari bibirnya. Gadis empat belas tahun itu tanpa sengaja menggigit bibirnya agar tidak menimbulkan suara melihat ayahnya yang di pukuli dan di tusuk dari celah drum. Dengan menutup mulutnya menggunakan tangannya ia menahan segukan, ia sangat ketakutan.
Luna masih berdiam diri dalam drum tersebut hingga lebih dari dua jam. Gadis itu merasa terpukul hingga ia merasakan getaran di sakunya. Ia menjawab telepon dengan diam.
"Luna, ini om Is. Om tidak dapat menghubungi ponsel papamu. Kalian di mana?"
Luna tersadar saat mendengar nama isnandar.
"Om... papa... Luna.... hiksss... papa di tusuk om, ada orang jahat."
"Kamu di mana? Om kesana sekarang?"
"Luna nggk tau om, Luna di gang buntu."
"tunggu om di sana!"
******
Bila melangkahkan kakinya keluar dari drum. Ia harus mencari ayahnya. Gadis itu bersembunyi dalam sebuah mobil pick up yang berisi sofa-sofa dan lemari besar saat mendengar langkah kaki seseorang. Gadis itu berniat turun saat menyadari bahwa itu adalah suara langkah isnandar. Niatnya ia urungkan saat menyadari bahwa isnandar tidak seorang diri. Seseeorang yang membuat hari bahagianya menjadi hari menyakitkan datang membelakangi Luna."Apa kau menemukannya?" Isnandar bertanya pada sang pria kekar yang menyerang ayahnya.
"Apa yang kau lakukan disini?"
"Bodoh! Tentu kita harus menemukan gadis itu sebelum dia melapor pada orang lain. Dia satu-satunya saksi hidup."
"Dia hanya seorang gadis kecil. Apa yang bisa ia perbuat?"
"Hentikan omong kosongmu! Cepat cari gadis itu!"
sekali lagi hati gadis itu seperti di tusuk pisau berkarat memandang adegan itu dari balik sofa. Luna tidak menyangka dunia ini terlalu kejam padanya. Mengambil ibunya, lalu ayahnya dengan cara yang seumur hidup tidak pernah di bayangkan olehnya. Ayahnya yang gagah dan sangat baik, di khianati oleh rekannya sendiri. Jika polisi yang paling di percaya adalah penghianat. Luna tertunduk, perlahan cahaya di pelupuk matanya meredup lalu semuanya gelap.
*****
Pojok Berita Kriminal Koran Harian IndonesiaSeorang polisi dengan inisial HM di temukan tewas bersama seorang pria dengan inisial IY di sebuah penginapan di kawasan puncak. Barang bukti berupa pisau di temukan di tempat kejadian perkara. Kuat dugaan bahwa kedua laki-laki ini meninggal saat mencoba melakukan perlawanan terhadap aksi pencuri sadis yang belakangan terjadi di kawasan tersebit.
Polisi sudah mengamankan komplotan pencuri sadis tersebut sabtu dini hari di kediaman merka masing-masing. Setelah melalui proses introgasi panjang, para tersangka mengakui perbuatan yang sudah mereka lakukan.
Dua tahun kemudian, Panti Asuhan Dahlia"Tidak.. Luna takut pa... jangan tinggalkan Luna..." keringat mengucur deras dari dahi perempuan itu. "Papa..!" Suaranya melambat di sertai air mata."Hei Gadis bodoh! bangun. Dasar pemalas!" Joyy, anak yang seumuran dengan Luna memukul meja yang di jadikan alas tidur oleh sang gadis. Luna tertidur setelah letih seharian membersihkan panti karena salah seorang pejabat akan datang ke panti itu dua hari lagi.Luna mengucek matanya yang terasa berat dan menghapus air yang mengalir di pipi. Mimpi itu lagi, mimpi menakutkan yang selama dua tahun ini tak pernah berhenti mendatanginya. Rasa sedih, takut, dan menyesal, bekas kejadian itu tidak bisa hilang. Ketakutan dan melarikan diri. Pengecut, itulah sosok Luna dalam kepalanya. Tapi apa yang bisa di lakukan gadis diusianya waktu itu? ."Hei apa yang kau lihat pemalas! Kerjakan bagianmu cepat!""Aku sudah menyelesaikannya""Oh ya?" Joyy
Washington DC, 8 tahun kemudian"where is she, margareth?" Mario yang baru saja mendarat di tanah paman syam tampak panik menuruni tangga mendapati anak gadisnya belum ada di kamar, padahal sekarang sudah pukul dua dini hari waktu Washington DC.Margareth memandang ke arah jendela dan melihat sosok Luna dengan pakaian kulit berwarna hitam yang sedang memanjat tali untuk menjangkau kamarnya yang terletak di lantai dua. Luna meletkkan telunjuknya di bibir agar margareth tidak mengatakan yang sebenarnya."She's in her room, Mr.""Aku tidak melihatnya di mana-mana Margareth! Apa dia masih keluyuran malam-malam begini?""Apa anda sudah memeriksa kamar mandinya? Siapa tahu dia di sana.""Hah ya.. aku belum mengecek kamar mandi.""Sebaiknya coba cek dulu, Tuan"Mario berjalan ke kamar Luna di temani margareth yang tampak pucat takut kebohongannya terbongkar."Tuan" Margareth mencoba mengulur waktu.
Jakarta, Indonesia.Ruangan putih, tujuh kali delapan meter di hiasi oleh beberapa lukisan tradisional. Dalam ruangan tersebut terdapat sebuah kunsen kayu jati yang di sangkuti gorden renda dengan warna senada, di mana menghadap langsung pada sebuah pohon kapuk yang menjulang tinggi.Luna mengucek rambutnya yang basah dengan handuk kecil yang bergambar beruang di bagian ujung. Sambil menggantungkan handuk tersebut di bahu, Luna berjalan menuju laptop yang tampak menyala. Sebuah pesan dari Black mask, organisasi mata-mata tempat gadis itu bernaung. Luna mengklik ikon topeng hitam yang berputar pada layar memasukkan kata sandi 051205. Tanggal di mana kehidupannya mulai berubah.Tak menunggu lama untuk merubah pesan tersebut menjadi tulisan dalam sebuah kertas putih. Dengan seksama gadis itu membaca detil informasi yang tertulis dalam kertas tersebut. Foto seorang pria dengan kaca mata menggantung di hidungnya yang mancung. Rambut hitam legam yang
Luna tiba di sebuah rumah megah dengan di dominasi cat putih. Yang memiliki penjagaan ketat. Rumah seorang kepala polisi Reza Isnandar."anda mencari siapa?" Seorang pria dengan kepala pelontos berseragam menghampiri Luna."Saya di minta datang ke sini hari ini oleh ibu Delvi, mungkin anda bisa menanyakannya?"Pria kepala pelontos itu masuk ke pos jaga dan berbicara di telepon. "Hei nak. Siapa namamu?""Lalun, Laluna Aurora."Lelaki itu mengulangi menyebutkan nama Luna di telepon."Laluna Aurora, silahkan masuk. Anda sudah di tunggu."Pagar tinggi yang sedari tadi di tutup secaraotomatis terbuka. Taman cantik menemani perjalanan Luna menuju pintu utama. Sebelum gadis itu memencet bel, pintu itu terbuka menampilkan sosok wawanita berumur setengah abad dengan seragam hitam."Laluna Aurora?"Luna mengangguk dan mengulurkan tangannya."Saya delvi, ajudan bapak Reza Isnandar. Silahkan duduk." Luna memperbaiki let
Dengan lemah dan lunglai Luna menekan kontak lampu di dekat pintu flat sehingga ruangan tersebut tampak benderang. Sepulang dari rumah Reza Isnandar Luna pergi kemakam Ayahnya. Menyedihkan memandang makam ayahnya yang di tumbuhi semak, sedangkan ia tidak bisa mendekati makam itu untuk mengelus nisannya berdoa atau menangis di sana. Hanya memandang makam tersebut dan mendoakannya dari makam orang lain, berharap agar doa itu sampai kepada sang Ayah di sana.Kenapa?Karena kita tidak tahu, bisa jadi seseorang sudah menunggunya untuk mengunjungi makam itu sejak lama. Jika mereka bisa memperlakukan ayahnya tang seorang polisi begitu kejamnya, bagaimana tidak mungkin mereka juga mencari keberadaan Luna.Luna merogoh ponsel dalam jaket tipisnya, tulisan nomor yang tidak di ketahui terpampang di layar ponsel tersebut."Ya?""Bagaimana misimu hari ini?""Mudah. Bukankah aki sudah mengemailmu?""Begitukah? Aku belum membukanya. Jadi?""A
Sama halnya seperti kemarin Luna menghentikan taxi di halte dan menunggu Herrys di sana. Menaiki busway yang di naiki Herrys tanpa sepengetahuan lelaki itu. Kali ini Herrys tidak menghentikan busway di depan universitas, tetapi di depan sebuah rumah sakit swasta. Luna mengikuti lelaki itu seperti bayangan, tanpa terlihat dan tanpa di ketahui .Herrys menyusuri lorong rumah sakit dan memasuki sebuah ruangan dokter. Tidak ada yang perlu di curigai dengan gerak-gerik Herrys pagi ini sehingga Luna memilih untuk menunggu lelaki itu di taman depan rumah sakit. Ia agak membenci rumah sakit, benci bau dan hawa yang ada dalam bangunan tersebut.Gadis itu mengenakan headset ke telinga sambil sesekali memandang pintu rumah sakit menunggu sosok Herrys."Kenapa kamu menendang bola itu terlalu keras? Kamu lihat sekarang bola itu menggelinding jauh. Sana minta sama om itu!" Dua orang bocah laki-laki berseragam rumah sakit yang sedang bermain bola menarik perhatian Luna. Ia mem
PERGI! SINGKIRKAN WAJAH KALIAN! AKU TAK BUTUH DI KASIHANI!" Suara kevin menggema dari lantai dua. Lelaki itu mengusir terapisnya dan melemparkan semua yang dapat ia jangkau. Seorang pelayan tampak terburu-buru membawa baskom dengan basah kuyup. "Laluna! Isi baskom ini dan bawa ke atas. Inikan tugasmu, kenapa malah aku yang basah kuyup begini?" Luna yang baru saja datang berusaha mencerna apa yang terjadi di rumah itu. Semua orang tampak sibuk keluar masuk kamar kevin. "maaf mbak, saya sedikit terlamabat, ada beberapa hal yang harus saya urus di kampus." "Cepatlah ganti bajumu dan bawa ini ke atas." Wanita itu meremas roknya yang basah membuat lantai yang ia pijaki tergenang air. "Iya mbak" Luna segera mengganti bajunya dengan seragam yang sudah tersedia di ruangan. Mengisi baskom yang tadi di berikan pelayan dengan air hangat, lalu membawanya ke kamar kevin. Luna mengetuk pintu. "Masuk!" Itu suara Delvi, Luna dapat meng
Delvi yang baru saja kembali dari ruangan Rezapun di buat bingung dengang apa yang terjadi di depannya saat ini. Kevin yang marah- marah pada pengurus rumah itu sudah biasa. Sejak kecelakaan itu Kevin sulit berinteraksi positif dengan orang lain. Tetapi, apa lagi masalahnya sekarang? Tidak bisakah anak itu tak membuat keributan yang membuatnya sibuk memilih pekerja lagi? Mulai dari pekerja rumah tangga professional hingga pekerja part time seperti Luna yang terpaksa harus ia terima, karena semuanya berhenti tidak lebih dari seminggu karena kevin yang selalu main pecat sekehendaknya. "Ada apa ini kevin?" "Kenapa wanita ini masih di sini? Aku sudah memecatnya!" "Kevin ini sudah yang ke berapa kali kamu berbuat begini? Sudahlah Kevin, aku bersyukur masih ada yang mau bekerja di sini membantu pekerjaan Ratna. Kau tahu? Ratna saja sudah susah sekali aku bujuk agar dia tidak berhenti." "Aku tidak inigin melihat wanita itu masih berkeliaran di rumah ini. Jik