Dua tahun kemudian, Panti Asuhan Dahlia
"Tidak.. Luna takut pa... jangan tinggalkan Luna..." keringat mengucur deras dari dahi perempuan itu. "Papa..!" Suaranya melambat di sertai air mata.
"Hei Gadis bodoh! bangun. Dasar pemalas!" Joyy, anak yang seumuran dengan Luna memukul meja yang di jadikan alas tidur oleh sang gadis. Luna tertidur setelah letih seharian membersihkan panti karena salah seorang pejabat akan datang ke panti itu dua hari lagi.
Luna mengucek matanya yang terasa berat dan menghapus air yang mengalir di pipi. Mimpi itu lagi, mimpi menakutkan yang selama dua tahun ini tak pernah berhenti mendatanginya. Rasa sedih, takut, dan menyesal, bekas kejadian itu tidak bisa hilang. Ketakutan dan melarikan diri. Pengecut, itulah sosok Luna dalam kepalanya. Tapi apa yang bisa di lakukan gadis diusianya waktu itu? .
"Hei apa yang kau lihat pemalas! Kerjakan bagianmu cepat!"
"Aku sudah menyelesaikannya"
"Oh ya?" Joyy menginjak sepatu bekas genangan pada lantai yang seharian sudah di pel oleh Luna.
"Hei, apa yang kau lakukan? Hentikan!" Luna mendorong anak itu hingga terjatuh. Teman-temannya yang sedari tadi melihat tertawa terpingkal-pingkal. Ternyata anak itu tidak sendirian. Dia menyuruh teman-temannya menunggu di luar tepat di depan pintu. Joyy menatap teman-temannya, segera mereka mendekati dan membantu joyy berdiri.
"Awas kau ya!" Luna menatap kepergian anak-anak nakal itu. Sejak kedatangan Luna ke panti asuhan Dahlia, dia selalu saja menjadi sosok yang di jahili karena berbeda dari yang lain. Sejak kejadian dua tahun lalu, Luna berubah menjadi pendiam dan tidak memiliki teman. Namun gadis itu selalu melawan siapapun yang berusaha menyakitinya walaupun kadang berakhir dengan dirinya yang luka- luka atau basah kuyup. Pernah satu kali Luna di jahili oleh beberapa wanita yang usianya terpaut sekitar satu atau dua tahun dari usianya. Salah satu dari mereka adalah penghuni panti sama halnya seperti dirinya. Saat itu Joyy menyelamatkan Luna. Ia berkata bahwa "yang boleh menjahili Luna hanya dia seorang"
"Huhhh. Aku harus membersihkan lantai ini lagi." Luna menjempitkan rambut panjangnya ke belakang telinga dan mengambil kain pel yang terletak di samping meja tempatnya tertidur tadi.
"Hei. Bagaimana kau bisa mendekatinya kalau di dorong begitu saja kau terjatuh." Luna masih bisa mendengar suara itu tetapi dia memilih untuk tidak mempedulikannya.
Panti asuhanan saat ini sangat ramai, penjagaan di perketat karena Menteri Sosial hari ini akan mengunjunhi pamti asuhan tersebut dalam rangka hari anak sedunia. Dinding-dinding panti yang awalnya lusuh dengan cat mengelupas di beberapa tempat, sekarang tampak mentereng dengan warna cerah. Beberapa keramik panti yang pecah di ganti. Seprei tempat tidur anak-anak panti juga di tukar dengan seprei yang baru. Di depan pekarangan sebuah panggung kecil berdiri dengan kursi-kursi yang di susun berjejer rapi.
Suara sirine mobil polisi terdengar meraung-raung menandakan kendaraan pejabat penting sudah berada dekat dari panti. Suara hiruk pikuk masyarakat juga terdengar. Semua orang sibuk dan tidak peduli dengan yang lain yang tidak ada hubungannya dengan acara yang akan di selenggarakan hari ini.
Hanya satu orang yang tidak memikirkan atau tertarik akan acara ini sedikitpun, dia Luna Hermawan, gadis itu memilih menyendiri di ruangan TV panti asuhan. Semua orang hari ini sibuk maka tidak akan ada prang lain di ruangan itu selain dirinya. Memilih menonton TV dari pada menikmati sandiwara besar yang di mainkan orang-orang di luar. Para pengurus panti yang terlihat senang padahal mereka mengeluh karena terpaksa menganggarkan dana untuk perbaikan panti, yang siapa tahu mereka lebih rela memotongnya kedalam saku mereka, biktinya sumbangan di sana sini sudah sangat banyak untuk panti ini namun untuk kasur saja mereka masih memakai kasur kapuk yang sudah bolong-bolong, baru hari ini kasur dan seprei mereka di ganti. Masyarakat yang terlihat antusias, padahal mereka mengeluh karena jalanan yang di tutup mengakibatkan kemacetan. Anak-anak yang tampak bersemangat padahal mereka sangat mengantuk karena di paksa untuk membersihkan sampai tengah malam. Dunia ini penuh dengan kepalsuan.
Cerita drama korea yang sedang di suguhkan sebuah chanel TV di depan hidungnya membuat gadis itu muak. Luna mengambil remote yang ada di dekat TV dan mengganti chanelnya. Siaran bola, benar-benar membosankan memperhatikan bola yang menggelinding dari kaki ke kaki. Chanel selanjutnya tidak menarik, Luna merubah vhanelnya dengan cepat. Sesuatu membuat jantungnya tak karuan. Luna membalik mundur ke chanel TV sebelmunya.
"Kami sudah mendapat pelakunya dan akan di proses sesuai hukum."
Tangan Luna mengepal melihat siapa yang berbicara dalam TV tersebut. Kotak biru di bagian bawah layar TV menuliskan Brigjen pol. Reza Isnandar. Wajah yang paling ia benci di dunia ini.
"Bagaimana dengan pistol yang di temukan di tkp pak?" Tanya seorang wartawan di TV.
"Tentu kami akan uji forensik terlebih dahulu. Setelah hasilnya keluar baru bisa kami sampaikan ke publik."
"Menurut salah satu saksi pelakunya adalah anggota ke polisian pak."
"Kita tunggu saja proses hukum berlanjut. Siapapun tidak bisa lepas dari hukum kalau prang tersebut benar-benar bersalah."
"Penghianat. Pembunuh!" Menghujat kotak persegi itu memang tidak berguna. Tak masalah jika demikian dapat menghilangkan sedikit sakit hatinya.
"Apa yang kau lakukan disini, bocah?" Lelaki setengah abad memegang kepala Luna hingga gadis otu mendongak pada sumber suara. Luna melepaskan tangan yang dengan seenaknya memegang kepalanya itu. "Ha. Kau suka berita kriminal juga? Kasus ini cukup menggemparkan belakangan ini. Kepolisian sduah bekerja keras." Pria tersebut duduk di kursi samping Luna.
"Kenapa?"
"Bekerja keras? Menurut anda begitu? Semua itu tak lebih dari sandiwara ku pikir. Bukankah semua orang seperti itu?"
"Benarkah? Menurutmu begitu? aku penasaran, apa menurutmu polisi itu berbohong?"
Luna mengangkat bahunya, " setiap orang punya potensi menjadi seorang penghianat bukan?"
"Haaa. Jika kau berada di posisi pria itu apa yang akan kau lakukan? Anggap saja yang kau katakan benar, bahwa mereka bermaksud membebaskan tersangka, dan mungkin mereka berada di bawah tekanan orang yang lebih berkuasa."
"Aku tidak tahu. Karena aku bukan mereka."
"Siapa namamu nak?"
"Luna" mata gadis itu tidak lepas dari kotak persegi yang menanmpilkan sosok seorang Reza Isnandar. "Luna Hermawan"
"Kau sangat unik. Aku berharap kau mau menjadi anak angkatku. Mungkin kau bisa mengembangkan pemikiran kritismu.
Luna memandang lelaki itu lama. Melihat lelaki itu mengulurkan tangannya. Tangan yang menawarkan masa depan untuknya. Dia tak mau terjebak disini. Terjebak dalam mimpi-mimpi suram yang mana dia yang mana dia tidak berbuat apa-apa pada mimpi itu. Maka dari itu tanpa fikir panjang lagi Luna menarik tangan yang menawarkan rasa aman padanya.
"Mulai hari ini kau tinggalkan nama itu nak. Tinggalkan semua kuka yang pernah kau rasakan di negara ini.mari kita menyongsong masa depan yang lebih baik."
Luna menyentuh kalung dengan bandul huruf L di lehernya.
"Panggil saya Laluna Aurora" Luna. Nama itu tak akan pernah ia lepaskan. Nama yang mengingatkan betapa menyakitkannya malam itu. Nama yang menyadarkannya kemana tujuannya.Luna nama terakhir yang di sebut ayah untuk dirinya.
Mario tersenyum, ia tidak menyangka gadis itu akan langsung setuju dan menawarkan nama baru padanya. "baiklah Laluna"
Washington DC, 8 tahun kemudian"where is she, margareth?" Mario yang baru saja mendarat di tanah paman syam tampak panik menuruni tangga mendapati anak gadisnya belum ada di kamar, padahal sekarang sudah pukul dua dini hari waktu Washington DC.Margareth memandang ke arah jendela dan melihat sosok Luna dengan pakaian kulit berwarna hitam yang sedang memanjat tali untuk menjangkau kamarnya yang terletak di lantai dua. Luna meletkkan telunjuknya di bibir agar margareth tidak mengatakan yang sebenarnya."She's in her room, Mr.""Aku tidak melihatnya di mana-mana Margareth! Apa dia masih keluyuran malam-malam begini?""Apa anda sudah memeriksa kamar mandinya? Siapa tahu dia di sana.""Hah ya.. aku belum mengecek kamar mandi.""Sebaiknya coba cek dulu, Tuan"Mario berjalan ke kamar Luna di temani margareth yang tampak pucat takut kebohongannya terbongkar."Tuan" Margareth mencoba mengulur waktu.
Jakarta, Indonesia.Ruangan putih, tujuh kali delapan meter di hiasi oleh beberapa lukisan tradisional. Dalam ruangan tersebut terdapat sebuah kunsen kayu jati yang di sangkuti gorden renda dengan warna senada, di mana menghadap langsung pada sebuah pohon kapuk yang menjulang tinggi.Luna mengucek rambutnya yang basah dengan handuk kecil yang bergambar beruang di bagian ujung. Sambil menggantungkan handuk tersebut di bahu, Luna berjalan menuju laptop yang tampak menyala. Sebuah pesan dari Black mask, organisasi mata-mata tempat gadis itu bernaung. Luna mengklik ikon topeng hitam yang berputar pada layar memasukkan kata sandi 051205. Tanggal di mana kehidupannya mulai berubah.Tak menunggu lama untuk merubah pesan tersebut menjadi tulisan dalam sebuah kertas putih. Dengan seksama gadis itu membaca detil informasi yang tertulis dalam kertas tersebut. Foto seorang pria dengan kaca mata menggantung di hidungnya yang mancung. Rambut hitam legam yang
Luna tiba di sebuah rumah megah dengan di dominasi cat putih. Yang memiliki penjagaan ketat. Rumah seorang kepala polisi Reza Isnandar."anda mencari siapa?" Seorang pria dengan kepala pelontos berseragam menghampiri Luna."Saya di minta datang ke sini hari ini oleh ibu Delvi, mungkin anda bisa menanyakannya?"Pria kepala pelontos itu masuk ke pos jaga dan berbicara di telepon. "Hei nak. Siapa namamu?""Lalun, Laluna Aurora."Lelaki itu mengulangi menyebutkan nama Luna di telepon."Laluna Aurora, silahkan masuk. Anda sudah di tunggu."Pagar tinggi yang sedari tadi di tutup secaraotomatis terbuka. Taman cantik menemani perjalanan Luna menuju pintu utama. Sebelum gadis itu memencet bel, pintu itu terbuka menampilkan sosok wawanita berumur setengah abad dengan seragam hitam."Laluna Aurora?"Luna mengangguk dan mengulurkan tangannya."Saya delvi, ajudan bapak Reza Isnandar. Silahkan duduk." Luna memperbaiki let
Dengan lemah dan lunglai Luna menekan kontak lampu di dekat pintu flat sehingga ruangan tersebut tampak benderang. Sepulang dari rumah Reza Isnandar Luna pergi kemakam Ayahnya. Menyedihkan memandang makam ayahnya yang di tumbuhi semak, sedangkan ia tidak bisa mendekati makam itu untuk mengelus nisannya berdoa atau menangis di sana. Hanya memandang makam tersebut dan mendoakannya dari makam orang lain, berharap agar doa itu sampai kepada sang Ayah di sana.Kenapa?Karena kita tidak tahu, bisa jadi seseorang sudah menunggunya untuk mengunjungi makam itu sejak lama. Jika mereka bisa memperlakukan ayahnya tang seorang polisi begitu kejamnya, bagaimana tidak mungkin mereka juga mencari keberadaan Luna.Luna merogoh ponsel dalam jaket tipisnya, tulisan nomor yang tidak di ketahui terpampang di layar ponsel tersebut."Ya?""Bagaimana misimu hari ini?""Mudah. Bukankah aki sudah mengemailmu?""Begitukah? Aku belum membukanya. Jadi?""A
Sama halnya seperti kemarin Luna menghentikan taxi di halte dan menunggu Herrys di sana. Menaiki busway yang di naiki Herrys tanpa sepengetahuan lelaki itu. Kali ini Herrys tidak menghentikan busway di depan universitas, tetapi di depan sebuah rumah sakit swasta. Luna mengikuti lelaki itu seperti bayangan, tanpa terlihat dan tanpa di ketahui .Herrys menyusuri lorong rumah sakit dan memasuki sebuah ruangan dokter. Tidak ada yang perlu di curigai dengan gerak-gerik Herrys pagi ini sehingga Luna memilih untuk menunggu lelaki itu di taman depan rumah sakit. Ia agak membenci rumah sakit, benci bau dan hawa yang ada dalam bangunan tersebut.Gadis itu mengenakan headset ke telinga sambil sesekali memandang pintu rumah sakit menunggu sosok Herrys."Kenapa kamu menendang bola itu terlalu keras? Kamu lihat sekarang bola itu menggelinding jauh. Sana minta sama om itu!" Dua orang bocah laki-laki berseragam rumah sakit yang sedang bermain bola menarik perhatian Luna. Ia mem
PERGI! SINGKIRKAN WAJAH KALIAN! AKU TAK BUTUH DI KASIHANI!" Suara kevin menggema dari lantai dua. Lelaki itu mengusir terapisnya dan melemparkan semua yang dapat ia jangkau. Seorang pelayan tampak terburu-buru membawa baskom dengan basah kuyup. "Laluna! Isi baskom ini dan bawa ke atas. Inikan tugasmu, kenapa malah aku yang basah kuyup begini?" Luna yang baru saja datang berusaha mencerna apa yang terjadi di rumah itu. Semua orang tampak sibuk keluar masuk kamar kevin. "maaf mbak, saya sedikit terlamabat, ada beberapa hal yang harus saya urus di kampus." "Cepatlah ganti bajumu dan bawa ini ke atas." Wanita itu meremas roknya yang basah membuat lantai yang ia pijaki tergenang air. "Iya mbak" Luna segera mengganti bajunya dengan seragam yang sudah tersedia di ruangan. Mengisi baskom yang tadi di berikan pelayan dengan air hangat, lalu membawanya ke kamar kevin. Luna mengetuk pintu. "Masuk!" Itu suara Delvi, Luna dapat meng
Delvi yang baru saja kembali dari ruangan Rezapun di buat bingung dengang apa yang terjadi di depannya saat ini. Kevin yang marah- marah pada pengurus rumah itu sudah biasa. Sejak kecelakaan itu Kevin sulit berinteraksi positif dengan orang lain. Tetapi, apa lagi masalahnya sekarang? Tidak bisakah anak itu tak membuat keributan yang membuatnya sibuk memilih pekerja lagi? Mulai dari pekerja rumah tangga professional hingga pekerja part time seperti Luna yang terpaksa harus ia terima, karena semuanya berhenti tidak lebih dari seminggu karena kevin yang selalu main pecat sekehendaknya. "Ada apa ini kevin?" "Kenapa wanita ini masih di sini? Aku sudah memecatnya!" "Kevin ini sudah yang ke berapa kali kamu berbuat begini? Sudahlah Kevin, aku bersyukur masih ada yang mau bekerja di sini membantu pekerjaan Ratna. Kau tahu? Ratna saja sudah susah sekali aku bujuk agar dia tidak berhenti." "Aku tidak inigin melihat wanita itu masih berkeliaran di rumah ini. Jik
"Du..du..du.." senandung kecil dari bibir seseorang gadis muda mengikuti irama lagu yang sering di putar setiap pagi di sekolahnya. Dia tidak begitu suka dengan lagu mars sekolahnya itu namun kebiasaan mendengarnya setiap pagi membuat gadis muda ini tanpa sengaja menyandungkannya. Ia tidak begitu peduli dengan lagu yang sedang ia dendangkan. Apapun lagu yang melintas di kepalanya saat ini akan ia nyanyikan untuk menyambut hari karena suasana hatinya saat ini dalam keadaan bahagia.Dia Luna Hermawan, empat belas tahun seorang murid kelas dua sekolah menengah pertama. Namun tubuhnya lebih dulu dewasa dari pada umurnya. Di umur yang baru empat belas tahun, umur yang baru menginjak masa pubertas, umur yang baru dua puluh empat kali merasakan apa yang namanya menstruasi,di umur segitu tubuhnya sudah tumbuh tinggi dengan kaki yang jenjang, garis rahang yang ramping dan dagunya berbelah seperti buah apel.Luna memasuki pertkarangan kantor polisi tempat ayahnya beker
Delvi yang baru saja kembali dari ruangan Rezapun di buat bingung dengang apa yang terjadi di depannya saat ini. Kevin yang marah- marah pada pengurus rumah itu sudah biasa. Sejak kecelakaan itu Kevin sulit berinteraksi positif dengan orang lain. Tetapi, apa lagi masalahnya sekarang? Tidak bisakah anak itu tak membuat keributan yang membuatnya sibuk memilih pekerja lagi? Mulai dari pekerja rumah tangga professional hingga pekerja part time seperti Luna yang terpaksa harus ia terima, karena semuanya berhenti tidak lebih dari seminggu karena kevin yang selalu main pecat sekehendaknya. "Ada apa ini kevin?" "Kenapa wanita ini masih di sini? Aku sudah memecatnya!" "Kevin ini sudah yang ke berapa kali kamu berbuat begini? Sudahlah Kevin, aku bersyukur masih ada yang mau bekerja di sini membantu pekerjaan Ratna. Kau tahu? Ratna saja sudah susah sekali aku bujuk agar dia tidak berhenti." "Aku tidak inigin melihat wanita itu masih berkeliaran di rumah ini. Jik
PERGI! SINGKIRKAN WAJAH KALIAN! AKU TAK BUTUH DI KASIHANI!" Suara kevin menggema dari lantai dua. Lelaki itu mengusir terapisnya dan melemparkan semua yang dapat ia jangkau. Seorang pelayan tampak terburu-buru membawa baskom dengan basah kuyup. "Laluna! Isi baskom ini dan bawa ke atas. Inikan tugasmu, kenapa malah aku yang basah kuyup begini?" Luna yang baru saja datang berusaha mencerna apa yang terjadi di rumah itu. Semua orang tampak sibuk keluar masuk kamar kevin. "maaf mbak, saya sedikit terlamabat, ada beberapa hal yang harus saya urus di kampus." "Cepatlah ganti bajumu dan bawa ini ke atas." Wanita itu meremas roknya yang basah membuat lantai yang ia pijaki tergenang air. "Iya mbak" Luna segera mengganti bajunya dengan seragam yang sudah tersedia di ruangan. Mengisi baskom yang tadi di berikan pelayan dengan air hangat, lalu membawanya ke kamar kevin. Luna mengetuk pintu. "Masuk!" Itu suara Delvi, Luna dapat meng
Sama halnya seperti kemarin Luna menghentikan taxi di halte dan menunggu Herrys di sana. Menaiki busway yang di naiki Herrys tanpa sepengetahuan lelaki itu. Kali ini Herrys tidak menghentikan busway di depan universitas, tetapi di depan sebuah rumah sakit swasta. Luna mengikuti lelaki itu seperti bayangan, tanpa terlihat dan tanpa di ketahui .Herrys menyusuri lorong rumah sakit dan memasuki sebuah ruangan dokter. Tidak ada yang perlu di curigai dengan gerak-gerik Herrys pagi ini sehingga Luna memilih untuk menunggu lelaki itu di taman depan rumah sakit. Ia agak membenci rumah sakit, benci bau dan hawa yang ada dalam bangunan tersebut.Gadis itu mengenakan headset ke telinga sambil sesekali memandang pintu rumah sakit menunggu sosok Herrys."Kenapa kamu menendang bola itu terlalu keras? Kamu lihat sekarang bola itu menggelinding jauh. Sana minta sama om itu!" Dua orang bocah laki-laki berseragam rumah sakit yang sedang bermain bola menarik perhatian Luna. Ia mem
Dengan lemah dan lunglai Luna menekan kontak lampu di dekat pintu flat sehingga ruangan tersebut tampak benderang. Sepulang dari rumah Reza Isnandar Luna pergi kemakam Ayahnya. Menyedihkan memandang makam ayahnya yang di tumbuhi semak, sedangkan ia tidak bisa mendekati makam itu untuk mengelus nisannya berdoa atau menangis di sana. Hanya memandang makam tersebut dan mendoakannya dari makam orang lain, berharap agar doa itu sampai kepada sang Ayah di sana.Kenapa?Karena kita tidak tahu, bisa jadi seseorang sudah menunggunya untuk mengunjungi makam itu sejak lama. Jika mereka bisa memperlakukan ayahnya tang seorang polisi begitu kejamnya, bagaimana tidak mungkin mereka juga mencari keberadaan Luna.Luna merogoh ponsel dalam jaket tipisnya, tulisan nomor yang tidak di ketahui terpampang di layar ponsel tersebut."Ya?""Bagaimana misimu hari ini?""Mudah. Bukankah aki sudah mengemailmu?""Begitukah? Aku belum membukanya. Jadi?""A
Luna tiba di sebuah rumah megah dengan di dominasi cat putih. Yang memiliki penjagaan ketat. Rumah seorang kepala polisi Reza Isnandar."anda mencari siapa?" Seorang pria dengan kepala pelontos berseragam menghampiri Luna."Saya di minta datang ke sini hari ini oleh ibu Delvi, mungkin anda bisa menanyakannya?"Pria kepala pelontos itu masuk ke pos jaga dan berbicara di telepon. "Hei nak. Siapa namamu?""Lalun, Laluna Aurora."Lelaki itu mengulangi menyebutkan nama Luna di telepon."Laluna Aurora, silahkan masuk. Anda sudah di tunggu."Pagar tinggi yang sedari tadi di tutup secaraotomatis terbuka. Taman cantik menemani perjalanan Luna menuju pintu utama. Sebelum gadis itu memencet bel, pintu itu terbuka menampilkan sosok wawanita berumur setengah abad dengan seragam hitam."Laluna Aurora?"Luna mengangguk dan mengulurkan tangannya."Saya delvi, ajudan bapak Reza Isnandar. Silahkan duduk." Luna memperbaiki let
Jakarta, Indonesia.Ruangan putih, tujuh kali delapan meter di hiasi oleh beberapa lukisan tradisional. Dalam ruangan tersebut terdapat sebuah kunsen kayu jati yang di sangkuti gorden renda dengan warna senada, di mana menghadap langsung pada sebuah pohon kapuk yang menjulang tinggi.Luna mengucek rambutnya yang basah dengan handuk kecil yang bergambar beruang di bagian ujung. Sambil menggantungkan handuk tersebut di bahu, Luna berjalan menuju laptop yang tampak menyala. Sebuah pesan dari Black mask, organisasi mata-mata tempat gadis itu bernaung. Luna mengklik ikon topeng hitam yang berputar pada layar memasukkan kata sandi 051205. Tanggal di mana kehidupannya mulai berubah.Tak menunggu lama untuk merubah pesan tersebut menjadi tulisan dalam sebuah kertas putih. Dengan seksama gadis itu membaca detil informasi yang tertulis dalam kertas tersebut. Foto seorang pria dengan kaca mata menggantung di hidungnya yang mancung. Rambut hitam legam yang
Washington DC, 8 tahun kemudian"where is she, margareth?" Mario yang baru saja mendarat di tanah paman syam tampak panik menuruni tangga mendapati anak gadisnya belum ada di kamar, padahal sekarang sudah pukul dua dini hari waktu Washington DC.Margareth memandang ke arah jendela dan melihat sosok Luna dengan pakaian kulit berwarna hitam yang sedang memanjat tali untuk menjangkau kamarnya yang terletak di lantai dua. Luna meletkkan telunjuknya di bibir agar margareth tidak mengatakan yang sebenarnya."She's in her room, Mr.""Aku tidak melihatnya di mana-mana Margareth! Apa dia masih keluyuran malam-malam begini?""Apa anda sudah memeriksa kamar mandinya? Siapa tahu dia di sana.""Hah ya.. aku belum mengecek kamar mandi.""Sebaiknya coba cek dulu, Tuan"Mario berjalan ke kamar Luna di temani margareth yang tampak pucat takut kebohongannya terbongkar."Tuan" Margareth mencoba mengulur waktu.
Dua tahun kemudian, Panti Asuhan Dahlia"Tidak.. Luna takut pa... jangan tinggalkan Luna..." keringat mengucur deras dari dahi perempuan itu. "Papa..!" Suaranya melambat di sertai air mata."Hei Gadis bodoh! bangun. Dasar pemalas!" Joyy, anak yang seumuran dengan Luna memukul meja yang di jadikan alas tidur oleh sang gadis. Luna tertidur setelah letih seharian membersihkan panti karena salah seorang pejabat akan datang ke panti itu dua hari lagi.Luna mengucek matanya yang terasa berat dan menghapus air yang mengalir di pipi. Mimpi itu lagi, mimpi menakutkan yang selama dua tahun ini tak pernah berhenti mendatanginya. Rasa sedih, takut, dan menyesal, bekas kejadian itu tidak bisa hilang. Ketakutan dan melarikan diri. Pengecut, itulah sosok Luna dalam kepalanya. Tapi apa yang bisa di lakukan gadis diusianya waktu itu? ."Hei apa yang kau lihat pemalas! Kerjakan bagianmu cepat!""Aku sudah menyelesaikannya""Oh ya?" Joyy
Hermawan melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, dia baru menyadari bahwa ponselnya sudah di sadap seseorang. Hermawan cukup yakin jika ponselnya di sadap. Dia punya cukup pengalaman tentang sadap menyadap."profesor Ilyas! Sial!" Hermawan membanting ponselnya hingga terguling ke bawah kursi. Ponsel prof.Ilyas tidak dapat di hubungi meski sudah di coba berkali-kali. Hermawan memajukan perseneling mobilnya, menancap gas dengan kuat sehingga mobil itu seperti terbang di jalanan. Hermawan mengendarai mobilnya menuju tempat pertemuannya dengan profesor Ilyas yang di smskan beberapa menit yang lalu. Profesor Ilyas memiliki bukti pendukung yang akan menguatkan bukti kejahatan yang ia pegang. Dengan begitu tersangka tersebut akan segera di bawa ke meja hijau.Penjahat itu buka penjahat biasa, dia memiliki akses yang besar. Hermawan menyalahkan dirinya sendiri atas keteledorannya menggunakan ponsel tersebut dan sekarang nyawa prodesor Ilyas dalam bahaya. I