Sama halnya seperti kemarin Luna menghentikan taxi di halte dan menunggu Herrys di sana. Menaiki busway yang di naiki Herrys tanpa sepengetahuan lelaki itu. Kali ini Herrys tidak menghentikan busway di depan universitas, tetapi di depan sebuah rumah sakit swasta. Luna mengikuti lelaki itu seperti bayangan, tanpa terlihat dan tanpa di ketahui .
Herrys menyusuri lorong rumah sakit dan memasuki sebuah ruangan dokter. Tidak ada yang perlu di curigai dengan gerak-gerik Herrys pagi ini sehingga Luna memilih untuk menunggu lelaki itu di taman depan rumah sakit. Ia agak membenci rumah sakit, benci bau dan hawa yang ada dalam bangunan tersebut.
Gadis itu mengenakan headset ke telinga sambil sesekali memandang pintu rumah sakit menunggu sosok Herrys.
"Kenapa kamu menendang bola itu terlalu keras? Kamu lihat sekarang bola itu menggelinding jauh. Sana minta sama om itu!" Dua orang bocah laki-laki berseragam rumah sakit yang sedang bermain bola menarik perhatian Luna. Ia memperhatikan bocah yang kecil berjalan menjauhi partnernya dengan cemberut.
"Om itu bola aku!" Sang bocah memintah bolanya yang sekarang berada di tangan seorang laki-laki berkursi roda, memakai seragam yang sama. Lelaki dua puluh tujuh tahun itu menyerahkan bola pada bocah itu dan mengusap kepalanya.
"jangan sampai kehilangan lagi"
Bukankah itu Kevinardian Isnandar? Aku memang belum bertemu langsung dengannya. Tetapi aku masih mengingat dengan jelas fotonya. Kebetulan sekali.
Luna menegang saat seseorang datang meraih pegangan kursi roda Kevin dan membawanya pergi. Lelaki itu Reza Isnandar. Seseorang yang paling Luna benci di dunia ini. Luna sangat ingin mengikuti dan menembak kepala lelaki itu sekarang juga. Tidak itu terlalu mudah untuknya. Luna akan menghacurkannya terlebih dahulu.
sosok Herrys yang keluar dari pintu rumah sakit menyadarkan Luna. Herrys adalah prioritasnya saat ini. Nanti akan banyak kesempatan untuk mendekati Reza Isnandar.
*****
ini sudah lebih dari setengah jam Luna memperhatikan Herrys yang berjalan bolak-balik di depan kelas. Sebenarnya anak itu berniat masuk kelas atau tidak sih? Luna geram sendiri memperhatikan tingkah Herrys yang hendak masuk kelas tapu seperti takut akan sesuatu. Herrys berjalan kedepan sekitar sepuluh langkah memgangi tali tasnya dengan kencang lalu berbalik lagi dengan sepuluh langkah yang sama. Barangkali pada putaran yang ke dua belas kali Herrys tidak lagi berbalik dang melangkahkan kakinya meninggalkan kelas. Perpustakaan, kembali tempat itu menjadi tujuan Herrys.oke. Ini kesempatanku mendekatimu!
Luna sengaja hendak menjangkau buku yang sama dengan yang akan di ambil Herrys.
"Oh maaf" Luna memulai aksinya.
"Tidak apa-apa. Ini" Herrys menyerahkan buku yang di tangannya kepad Luna.
"Tidak usah, kau yang menemukan buku itu terlebih dahulu."
"Aku sudah membaca buku ini berkali-kali. Aku senang ada mahasiswa lain yang juga menyukai karya sastra klasis. Jarang sekali ada mahasiswa di rak ini, kalaupun ada paling anak-anak kelas sastra."
Karya sastra klasik? Cerita Cinderella saja hanya kubaca separuh. Terlalu malas membaca cerita yang menye-menye. Ensiklopedi, itu baru buku!
"Kau sepertinya bukan anak sastra? Aku tidak pernah melihatmu di kelas sastra sebelumnya."
"ah ya... aku mahasiswa baru, jurusan..." Kuna melihat kembali profilnya dalam berkas administrasi, "sastra inggris"
Astaga? Sastra? Aku harus bekerja keras dengan buku-buku membosankan ini?
"Pantas saja aku tidak pernah melihatmu. Jadi kau adalah siswa pindahan yang di bicarakan itu?"
"aku tidak menyangka jika aku seterkenal itu. Lalun.. Laluna Aurora." Luna mengulurkan tangannya pada Herrys.
"Herrys.. Herrys Pramu Ilyas."
"Kau tidak ada kelas?"
"Seharusnya aku ada kelas umum.."
"Lalu?"
"Itu.." Herry mengantung kalimatnya.
"Tidak masalah jika kau tidak ingin mengatakannya." Luna memandangi wajah Herrys, gadis itu harus mengorek informasi kenapa Herrys ke rumah sakit pagi ini. " wajahmu tampak pucat, kau sakit? Apa perlu ku antar ke rumah sakit?"
"Tidak... tidak perlu, sebelum ke sini aku dari rumah sakit."
"Hmm?"
"Bayangan itu datang lagi seseorang seperti mengikutiku. Semenjak kakek... ah tidak... apa yang ku bicarakan? Maaf aku harus pergi!" Herrys meninggalkan Luna terburu-buru.
jangan terburu-buru Luna, buat dia menceritakan segalanya kepadamu sedikit demi sedikit. Setidaknya kau mengetahui sesuatu hari ini.PERGI! SINGKIRKAN WAJAH KALIAN! AKU TAK BUTUH DI KASIHANI!" Suara kevin menggema dari lantai dua. Lelaki itu mengusir terapisnya dan melemparkan semua yang dapat ia jangkau. Seorang pelayan tampak terburu-buru membawa baskom dengan basah kuyup. "Laluna! Isi baskom ini dan bawa ke atas. Inikan tugasmu, kenapa malah aku yang basah kuyup begini?" Luna yang baru saja datang berusaha mencerna apa yang terjadi di rumah itu. Semua orang tampak sibuk keluar masuk kamar kevin. "maaf mbak, saya sedikit terlamabat, ada beberapa hal yang harus saya urus di kampus." "Cepatlah ganti bajumu dan bawa ini ke atas." Wanita itu meremas roknya yang basah membuat lantai yang ia pijaki tergenang air. "Iya mbak" Luna segera mengganti bajunya dengan seragam yang sudah tersedia di ruangan. Mengisi baskom yang tadi di berikan pelayan dengan air hangat, lalu membawanya ke kamar kevin. Luna mengetuk pintu. "Masuk!" Itu suara Delvi, Luna dapat meng
Delvi yang baru saja kembali dari ruangan Rezapun di buat bingung dengang apa yang terjadi di depannya saat ini. Kevin yang marah- marah pada pengurus rumah itu sudah biasa. Sejak kecelakaan itu Kevin sulit berinteraksi positif dengan orang lain. Tetapi, apa lagi masalahnya sekarang? Tidak bisakah anak itu tak membuat keributan yang membuatnya sibuk memilih pekerja lagi? Mulai dari pekerja rumah tangga professional hingga pekerja part time seperti Luna yang terpaksa harus ia terima, karena semuanya berhenti tidak lebih dari seminggu karena kevin yang selalu main pecat sekehendaknya. "Ada apa ini kevin?" "Kenapa wanita ini masih di sini? Aku sudah memecatnya!" "Kevin ini sudah yang ke berapa kali kamu berbuat begini? Sudahlah Kevin, aku bersyukur masih ada yang mau bekerja di sini membantu pekerjaan Ratna. Kau tahu? Ratna saja sudah susah sekali aku bujuk agar dia tidak berhenti." "Aku tidak inigin melihat wanita itu masih berkeliaran di rumah ini. Jik
"Du..du..du.." senandung kecil dari bibir seseorang gadis muda mengikuti irama lagu yang sering di putar setiap pagi di sekolahnya. Dia tidak begitu suka dengan lagu mars sekolahnya itu namun kebiasaan mendengarnya setiap pagi membuat gadis muda ini tanpa sengaja menyandungkannya. Ia tidak begitu peduli dengan lagu yang sedang ia dendangkan. Apapun lagu yang melintas di kepalanya saat ini akan ia nyanyikan untuk menyambut hari karena suasana hatinya saat ini dalam keadaan bahagia.Dia Luna Hermawan, empat belas tahun seorang murid kelas dua sekolah menengah pertama. Namun tubuhnya lebih dulu dewasa dari pada umurnya. Di umur yang baru empat belas tahun, umur yang baru menginjak masa pubertas, umur yang baru dua puluh empat kali merasakan apa yang namanya menstruasi,di umur segitu tubuhnya sudah tumbuh tinggi dengan kaki yang jenjang, garis rahang yang ramping dan dagunya berbelah seperti buah apel.Luna memasuki pertkarangan kantor polisi tempat ayahnya beker
Hermawan melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, dia baru menyadari bahwa ponselnya sudah di sadap seseorang. Hermawan cukup yakin jika ponselnya di sadap. Dia punya cukup pengalaman tentang sadap menyadap."profesor Ilyas! Sial!" Hermawan membanting ponselnya hingga terguling ke bawah kursi. Ponsel prof.Ilyas tidak dapat di hubungi meski sudah di coba berkali-kali. Hermawan memajukan perseneling mobilnya, menancap gas dengan kuat sehingga mobil itu seperti terbang di jalanan. Hermawan mengendarai mobilnya menuju tempat pertemuannya dengan profesor Ilyas yang di smskan beberapa menit yang lalu. Profesor Ilyas memiliki bukti pendukung yang akan menguatkan bukti kejahatan yang ia pegang. Dengan begitu tersangka tersebut akan segera di bawa ke meja hijau.Penjahat itu buka penjahat biasa, dia memiliki akses yang besar. Hermawan menyalahkan dirinya sendiri atas keteledorannya menggunakan ponsel tersebut dan sekarang nyawa prodesor Ilyas dalam bahaya. I
Dua tahun kemudian, Panti Asuhan Dahlia"Tidak.. Luna takut pa... jangan tinggalkan Luna..." keringat mengucur deras dari dahi perempuan itu. "Papa..!" Suaranya melambat di sertai air mata."Hei Gadis bodoh! bangun. Dasar pemalas!" Joyy, anak yang seumuran dengan Luna memukul meja yang di jadikan alas tidur oleh sang gadis. Luna tertidur setelah letih seharian membersihkan panti karena salah seorang pejabat akan datang ke panti itu dua hari lagi.Luna mengucek matanya yang terasa berat dan menghapus air yang mengalir di pipi. Mimpi itu lagi, mimpi menakutkan yang selama dua tahun ini tak pernah berhenti mendatanginya. Rasa sedih, takut, dan menyesal, bekas kejadian itu tidak bisa hilang. Ketakutan dan melarikan diri. Pengecut, itulah sosok Luna dalam kepalanya. Tapi apa yang bisa di lakukan gadis diusianya waktu itu? ."Hei apa yang kau lihat pemalas! Kerjakan bagianmu cepat!""Aku sudah menyelesaikannya""Oh ya?" Joyy
Washington DC, 8 tahun kemudian"where is she, margareth?" Mario yang baru saja mendarat di tanah paman syam tampak panik menuruni tangga mendapati anak gadisnya belum ada di kamar, padahal sekarang sudah pukul dua dini hari waktu Washington DC.Margareth memandang ke arah jendela dan melihat sosok Luna dengan pakaian kulit berwarna hitam yang sedang memanjat tali untuk menjangkau kamarnya yang terletak di lantai dua. Luna meletkkan telunjuknya di bibir agar margareth tidak mengatakan yang sebenarnya."She's in her room, Mr.""Aku tidak melihatnya di mana-mana Margareth! Apa dia masih keluyuran malam-malam begini?""Apa anda sudah memeriksa kamar mandinya? Siapa tahu dia di sana.""Hah ya.. aku belum mengecek kamar mandi.""Sebaiknya coba cek dulu, Tuan"Mario berjalan ke kamar Luna di temani margareth yang tampak pucat takut kebohongannya terbongkar."Tuan" Margareth mencoba mengulur waktu.
Jakarta, Indonesia.Ruangan putih, tujuh kali delapan meter di hiasi oleh beberapa lukisan tradisional. Dalam ruangan tersebut terdapat sebuah kunsen kayu jati yang di sangkuti gorden renda dengan warna senada, di mana menghadap langsung pada sebuah pohon kapuk yang menjulang tinggi.Luna mengucek rambutnya yang basah dengan handuk kecil yang bergambar beruang di bagian ujung. Sambil menggantungkan handuk tersebut di bahu, Luna berjalan menuju laptop yang tampak menyala. Sebuah pesan dari Black mask, organisasi mata-mata tempat gadis itu bernaung. Luna mengklik ikon topeng hitam yang berputar pada layar memasukkan kata sandi 051205. Tanggal di mana kehidupannya mulai berubah.Tak menunggu lama untuk merubah pesan tersebut menjadi tulisan dalam sebuah kertas putih. Dengan seksama gadis itu membaca detil informasi yang tertulis dalam kertas tersebut. Foto seorang pria dengan kaca mata menggantung di hidungnya yang mancung. Rambut hitam legam yang
Luna tiba di sebuah rumah megah dengan di dominasi cat putih. Yang memiliki penjagaan ketat. Rumah seorang kepala polisi Reza Isnandar."anda mencari siapa?" Seorang pria dengan kepala pelontos berseragam menghampiri Luna."Saya di minta datang ke sini hari ini oleh ibu Delvi, mungkin anda bisa menanyakannya?"Pria kepala pelontos itu masuk ke pos jaga dan berbicara di telepon. "Hei nak. Siapa namamu?""Lalun, Laluna Aurora."Lelaki itu mengulangi menyebutkan nama Luna di telepon."Laluna Aurora, silahkan masuk. Anda sudah di tunggu."Pagar tinggi yang sedari tadi di tutup secaraotomatis terbuka. Taman cantik menemani perjalanan Luna menuju pintu utama. Sebelum gadis itu memencet bel, pintu itu terbuka menampilkan sosok wawanita berumur setengah abad dengan seragam hitam."Laluna Aurora?"Luna mengangguk dan mengulurkan tangannya."Saya delvi, ajudan bapak Reza Isnandar. Silahkan duduk." Luna memperbaiki let
Delvi yang baru saja kembali dari ruangan Rezapun di buat bingung dengang apa yang terjadi di depannya saat ini. Kevin yang marah- marah pada pengurus rumah itu sudah biasa. Sejak kecelakaan itu Kevin sulit berinteraksi positif dengan orang lain. Tetapi, apa lagi masalahnya sekarang? Tidak bisakah anak itu tak membuat keributan yang membuatnya sibuk memilih pekerja lagi? Mulai dari pekerja rumah tangga professional hingga pekerja part time seperti Luna yang terpaksa harus ia terima, karena semuanya berhenti tidak lebih dari seminggu karena kevin yang selalu main pecat sekehendaknya. "Ada apa ini kevin?" "Kenapa wanita ini masih di sini? Aku sudah memecatnya!" "Kevin ini sudah yang ke berapa kali kamu berbuat begini? Sudahlah Kevin, aku bersyukur masih ada yang mau bekerja di sini membantu pekerjaan Ratna. Kau tahu? Ratna saja sudah susah sekali aku bujuk agar dia tidak berhenti." "Aku tidak inigin melihat wanita itu masih berkeliaran di rumah ini. Jik
PERGI! SINGKIRKAN WAJAH KALIAN! AKU TAK BUTUH DI KASIHANI!" Suara kevin menggema dari lantai dua. Lelaki itu mengusir terapisnya dan melemparkan semua yang dapat ia jangkau. Seorang pelayan tampak terburu-buru membawa baskom dengan basah kuyup. "Laluna! Isi baskom ini dan bawa ke atas. Inikan tugasmu, kenapa malah aku yang basah kuyup begini?" Luna yang baru saja datang berusaha mencerna apa yang terjadi di rumah itu. Semua orang tampak sibuk keluar masuk kamar kevin. "maaf mbak, saya sedikit terlamabat, ada beberapa hal yang harus saya urus di kampus." "Cepatlah ganti bajumu dan bawa ini ke atas." Wanita itu meremas roknya yang basah membuat lantai yang ia pijaki tergenang air. "Iya mbak" Luna segera mengganti bajunya dengan seragam yang sudah tersedia di ruangan. Mengisi baskom yang tadi di berikan pelayan dengan air hangat, lalu membawanya ke kamar kevin. Luna mengetuk pintu. "Masuk!" Itu suara Delvi, Luna dapat meng
Sama halnya seperti kemarin Luna menghentikan taxi di halte dan menunggu Herrys di sana. Menaiki busway yang di naiki Herrys tanpa sepengetahuan lelaki itu. Kali ini Herrys tidak menghentikan busway di depan universitas, tetapi di depan sebuah rumah sakit swasta. Luna mengikuti lelaki itu seperti bayangan, tanpa terlihat dan tanpa di ketahui .Herrys menyusuri lorong rumah sakit dan memasuki sebuah ruangan dokter. Tidak ada yang perlu di curigai dengan gerak-gerik Herrys pagi ini sehingga Luna memilih untuk menunggu lelaki itu di taman depan rumah sakit. Ia agak membenci rumah sakit, benci bau dan hawa yang ada dalam bangunan tersebut.Gadis itu mengenakan headset ke telinga sambil sesekali memandang pintu rumah sakit menunggu sosok Herrys."Kenapa kamu menendang bola itu terlalu keras? Kamu lihat sekarang bola itu menggelinding jauh. Sana minta sama om itu!" Dua orang bocah laki-laki berseragam rumah sakit yang sedang bermain bola menarik perhatian Luna. Ia mem
Dengan lemah dan lunglai Luna menekan kontak lampu di dekat pintu flat sehingga ruangan tersebut tampak benderang. Sepulang dari rumah Reza Isnandar Luna pergi kemakam Ayahnya. Menyedihkan memandang makam ayahnya yang di tumbuhi semak, sedangkan ia tidak bisa mendekati makam itu untuk mengelus nisannya berdoa atau menangis di sana. Hanya memandang makam tersebut dan mendoakannya dari makam orang lain, berharap agar doa itu sampai kepada sang Ayah di sana.Kenapa?Karena kita tidak tahu, bisa jadi seseorang sudah menunggunya untuk mengunjungi makam itu sejak lama. Jika mereka bisa memperlakukan ayahnya tang seorang polisi begitu kejamnya, bagaimana tidak mungkin mereka juga mencari keberadaan Luna.Luna merogoh ponsel dalam jaket tipisnya, tulisan nomor yang tidak di ketahui terpampang di layar ponsel tersebut."Ya?""Bagaimana misimu hari ini?""Mudah. Bukankah aki sudah mengemailmu?""Begitukah? Aku belum membukanya. Jadi?""A
Luna tiba di sebuah rumah megah dengan di dominasi cat putih. Yang memiliki penjagaan ketat. Rumah seorang kepala polisi Reza Isnandar."anda mencari siapa?" Seorang pria dengan kepala pelontos berseragam menghampiri Luna."Saya di minta datang ke sini hari ini oleh ibu Delvi, mungkin anda bisa menanyakannya?"Pria kepala pelontos itu masuk ke pos jaga dan berbicara di telepon. "Hei nak. Siapa namamu?""Lalun, Laluna Aurora."Lelaki itu mengulangi menyebutkan nama Luna di telepon."Laluna Aurora, silahkan masuk. Anda sudah di tunggu."Pagar tinggi yang sedari tadi di tutup secaraotomatis terbuka. Taman cantik menemani perjalanan Luna menuju pintu utama. Sebelum gadis itu memencet bel, pintu itu terbuka menampilkan sosok wawanita berumur setengah abad dengan seragam hitam."Laluna Aurora?"Luna mengangguk dan mengulurkan tangannya."Saya delvi, ajudan bapak Reza Isnandar. Silahkan duduk." Luna memperbaiki let
Jakarta, Indonesia.Ruangan putih, tujuh kali delapan meter di hiasi oleh beberapa lukisan tradisional. Dalam ruangan tersebut terdapat sebuah kunsen kayu jati yang di sangkuti gorden renda dengan warna senada, di mana menghadap langsung pada sebuah pohon kapuk yang menjulang tinggi.Luna mengucek rambutnya yang basah dengan handuk kecil yang bergambar beruang di bagian ujung. Sambil menggantungkan handuk tersebut di bahu, Luna berjalan menuju laptop yang tampak menyala. Sebuah pesan dari Black mask, organisasi mata-mata tempat gadis itu bernaung. Luna mengklik ikon topeng hitam yang berputar pada layar memasukkan kata sandi 051205. Tanggal di mana kehidupannya mulai berubah.Tak menunggu lama untuk merubah pesan tersebut menjadi tulisan dalam sebuah kertas putih. Dengan seksama gadis itu membaca detil informasi yang tertulis dalam kertas tersebut. Foto seorang pria dengan kaca mata menggantung di hidungnya yang mancung. Rambut hitam legam yang
Washington DC, 8 tahun kemudian"where is she, margareth?" Mario yang baru saja mendarat di tanah paman syam tampak panik menuruni tangga mendapati anak gadisnya belum ada di kamar, padahal sekarang sudah pukul dua dini hari waktu Washington DC.Margareth memandang ke arah jendela dan melihat sosok Luna dengan pakaian kulit berwarna hitam yang sedang memanjat tali untuk menjangkau kamarnya yang terletak di lantai dua. Luna meletkkan telunjuknya di bibir agar margareth tidak mengatakan yang sebenarnya."She's in her room, Mr.""Aku tidak melihatnya di mana-mana Margareth! Apa dia masih keluyuran malam-malam begini?""Apa anda sudah memeriksa kamar mandinya? Siapa tahu dia di sana.""Hah ya.. aku belum mengecek kamar mandi.""Sebaiknya coba cek dulu, Tuan"Mario berjalan ke kamar Luna di temani margareth yang tampak pucat takut kebohongannya terbongkar."Tuan" Margareth mencoba mengulur waktu.
Dua tahun kemudian, Panti Asuhan Dahlia"Tidak.. Luna takut pa... jangan tinggalkan Luna..." keringat mengucur deras dari dahi perempuan itu. "Papa..!" Suaranya melambat di sertai air mata."Hei Gadis bodoh! bangun. Dasar pemalas!" Joyy, anak yang seumuran dengan Luna memukul meja yang di jadikan alas tidur oleh sang gadis. Luna tertidur setelah letih seharian membersihkan panti karena salah seorang pejabat akan datang ke panti itu dua hari lagi.Luna mengucek matanya yang terasa berat dan menghapus air yang mengalir di pipi. Mimpi itu lagi, mimpi menakutkan yang selama dua tahun ini tak pernah berhenti mendatanginya. Rasa sedih, takut, dan menyesal, bekas kejadian itu tidak bisa hilang. Ketakutan dan melarikan diri. Pengecut, itulah sosok Luna dalam kepalanya. Tapi apa yang bisa di lakukan gadis diusianya waktu itu? ."Hei apa yang kau lihat pemalas! Kerjakan bagianmu cepat!""Aku sudah menyelesaikannya""Oh ya?" Joyy
Hermawan melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, dia baru menyadari bahwa ponselnya sudah di sadap seseorang. Hermawan cukup yakin jika ponselnya di sadap. Dia punya cukup pengalaman tentang sadap menyadap."profesor Ilyas! Sial!" Hermawan membanting ponselnya hingga terguling ke bawah kursi. Ponsel prof.Ilyas tidak dapat di hubungi meski sudah di coba berkali-kali. Hermawan memajukan perseneling mobilnya, menancap gas dengan kuat sehingga mobil itu seperti terbang di jalanan. Hermawan mengendarai mobilnya menuju tempat pertemuannya dengan profesor Ilyas yang di smskan beberapa menit yang lalu. Profesor Ilyas memiliki bukti pendukung yang akan menguatkan bukti kejahatan yang ia pegang. Dengan begitu tersangka tersebut akan segera di bawa ke meja hijau.Penjahat itu buka penjahat biasa, dia memiliki akses yang besar. Hermawan menyalahkan dirinya sendiri atas keteledorannya menggunakan ponsel tersebut dan sekarang nyawa prodesor Ilyas dalam bahaya. I