Share

Bab 5

Jakarta, Indonesia.

Ruangan putih, tujuh kali delapan meter di hiasi oleh beberapa lukisan tradisional. Dalam ruangan tersebut terdapat sebuah kunsen kayu jati yang di sangkuti gorden renda dengan warna senada, di mana menghadap langsung pada sebuah pohon kapuk yang menjulang tinggi.

Luna mengucek rambutnya yang basah dengan handuk kecil yang bergambar beruang di bagian ujung. Sambil menggantungkan handuk tersebut di bahu, Luna berjalan menuju laptop yang tampak menyala. Sebuah pesan dari Black mask, organisasi mata-mata tempat gadis itu bernaung. Luna mengklik ikon topeng hitam yang berputar pada layar memasukkan kata sandi 051205. Tanggal di mana kehidupannya mulai berubah.

Tak menunggu lama untuk merubah pesan tersebut menjadi tulisan dalam sebuah kertas putih. Dengan seksama gadis itu membaca detil informasi yang tertulis dalam kertas tersebut. Foto seorang pria dengan kaca mata menggantung di hidungnya yang mancung. Rambut hitam legam yang berantakan.

Tek...

Jentikan pada kertas meninggalkan bekas lipatan pada kertas tersebut.

"Sedikit mengecewakan memang. Kita lihat cara apa yang bisa ku pakai untuk mendekatimu." Luna mengangkat ponselnya yang sedari tadi bergetar dengan mode silent. Nomor tidak di ketahui terpampang pada layar posel tersebut. Pastilah ini dari organisasi. Kim, siapa lagi.

"Ya" ucap Luna di sela kegiatannya mencerna informasi.

"Kau sudah menerima file nya?"

"Baru saja. Kau serius dia Herrys Pramu Ilyas?"

"Seperti yang sudah kau baca. Ku fikir, aku agak kasian padanya sepertinya bocah itu di manfaatkan oleh keluarganya sendiri."

"Hei sejak kapan Black Mask Pion ~sebutan bagi missioner organisasi~ peduli pada targetnya?"

"Entahlah, kasian saja. Baiklah selamat bekerja."

"Thank's Kim"

Tut...tut...tut...

"Anak itu tak lulus kelas kepribadian sepertinya!" Gerutu gadis itu. Luna melempar ponselnya ke kasur empuk dengan seprei putih dan motif bunga-bunga teratai. Tidak beberapa lama ponsel itu kembali berdering.

"oh Tuhan, siapa lagi?" Luna berdehem saat tahu itu adalah panggilan dari ayahnya, Mario. "Hai Dad"

"Hm. Sesibuk itukah kau di pagi pertamamu di indonesia?"

"Seorang teman menelponku Dad. Oh ya, ada apa?"

"Lalun, kudengar kau menolak tinggal di apartemen yang ku sewakan?"

Luna menggosokkan kaki ke lantai mencoba mencari alasan, " Bukan begitu Dad, aku hanya ingin mandiri. Kau sudah banyak berjasa untukku. Kufikir aku akan merasa lebih nyaman jika aku bisa mengusahakan kebutuhanku sendiri. Kau tahu aku juga akan bekerja paruh waktu."

"Apa kau meragukanku?"

"Tentu tidak Dad, siapa yang mampu meragukan Mario Hadiningrat. Salah seorang pemimpin partai Revolusi. Ah ya, how's your speech?"

"Kau tidak menontonnya?"

"maafkan aku, semalam aku terlalu letih. Aku akan menonton siaran ulangnya nanti, hem?"

"Tanggapannya cukup baik kurasa. Jadi apa kau akan tetap bersikukuh tinggal di flat kecilmu itu?"

"Daaad"

"Oke..oke.. keras kepala, jika ada apa-apa kabari aku segera. Kau paham, Nak?"

"Tentu Dad" gadis itu tersenyum di balik ponsel yang menenmpel di pipinya. Dia merasa beruntung memiliki ayah angkat sebaik Mario.

                                         ***

Pantulan wajah pucat dari cermin memastikan bahwa wanita di depannya sudah siap untuk keluar ruangan. Iklim empat musim yang biasa menyelimutinya membuat gadis tersebut menyesuaikan diri dengan sendirinya. Setidaknya hingga kemarin saat dia masih berada di negri paman sam. Luna mengambil kaca mata denga bingkai hitam corak bintang di atas nakas dan memakainya. Mata gadis itu mengerjab berkali-kali, menyesuaikan diri denga lensa yang membatasi pandangan. Setelah cukup yakin dengan penampilannya gadis itu bergegas keluar.

Tak seperti Amerika di Bulan Desember. Cuaca di jakarta terlalu panas, 34 derajat celcius, mungkin kau tak perlu merebus telur lagi, cukup meletakkannya di beranda. Berlebihan? Memang. Tapi begitulah Jakarta di hari ini.

Tuhan, apa negara ini adalah negara terdekat dari neraka? Jika memang begitu, maafkanlah negara ini, dan kembalikan kemakmurannya.

Luna menyetop taksi lambang burung yang berhenti tepat di dpeannya, tujuannya adalah halte kemang. Setelah sampai, gadis ramping itu menyerahkan pecahan ratusan ribu tanpa menunggu kembalian, segera berteduh di atas naungan atap halte.

"Neng.... neng kembaliannya."

"Ambil saja pak"

Syukurlah setidaknya masih ada beberapa orang jujur di negri ini.

Lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit berlalu, tapi Luna belum juga masuk ke dalam busway. Padahal sebelumnya sudah ada busway yang lewat dan kosong. Gadis itu menunggu seseorang. Senyumnya mengembang saat orang yang sejak tadi di tunggunya datang.

Berangkat ke kampus jam sebelas siang di hari Sabtu. ceklis.

Luna memasukkan kembali notenya ke dalam saku ransel yang ia sandang. Gadis itu memperhatikan penampilan Herrys dari atas hingga bawah. Tidak ada perbedaan yang signifikan dari foto yang ia lihat tadi pagi. Hanya hari ini lelaki itu memakai kemeja dan sebuah jaket tipis dengan icon merk daganng tersebut di dada kirinya. Sepatu yang lelaki itu gunakan tampak kusam dan kucel. Satu hal yang dapat Luna tangkap dari pemandangan sekarang ini, bahwa sepatu tersebut adlah sepatu yang paling sering di gunakan lelaki itu.

Busway rute universitas yang ias tuju sudah tampak di ujung koridor, di saat weekend dan pada jam seperti sekarang, para pengguna bus memang lebih sepi, tidak seperti di saat jam kerja. Gadis itu memasukkan permen karet ke dalam mulutnya. Saat bus berada di depan halte dia menerobos beberapa orang sehingga saat ini ia tepat berada di depan Herrys. Luna mengeluarkan permen karet dari mulutnya, memasukkan sebuah alat pelacak kemudian menjatuhkan sisa permen karet tersebut di tangga bus. Sehingga sepatu Herrys menginjaknya.

Tap.

Tepat.

sejauh ini semua tampak mudah.

selalu menggunakan headset saat di dalam bus sambil membaca buku. Ceklis.

Luna kembali menuliskan ke dalam buku kecil di tangannya. Gadis itu tersenyum, menyandang tas ransel berjalan melewati Herrys dengan pandangan yang tak lepas dari sosok lelaki itu. Sambil tersenyum Luna memencet tombol didepan pintu dan turun di halte berikutnya.

Sampai berjumpa lagi Herrys Pramu Ilyas.

pintu busway tertutup tepat di depan lelaki yang sedang sibuk dengan bukunya yang bahkan sedari tadi tidak menyadri seseorang memandanginya dengan senyum kemenangan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status