Jakarta, Indonesia.
Ruangan putih, tujuh kali delapan meter di hiasi oleh beberapa lukisan tradisional. Dalam ruangan tersebut terdapat sebuah kunsen kayu jati yang di sangkuti gorden renda dengan warna senada, di mana menghadap langsung pada sebuah pohon kapuk yang menjulang tinggi.
Luna mengucek rambutnya yang basah dengan handuk kecil yang bergambar beruang di bagian ujung. Sambil menggantungkan handuk tersebut di bahu, Luna berjalan menuju laptop yang tampak menyala. Sebuah pesan dari Black mask, organisasi mata-mata tempat gadis itu bernaung. Luna mengklik ikon topeng hitam yang berputar pada layar memasukkan kata sandi 051205. Tanggal di mana kehidupannya mulai berubah.
Tak menunggu lama untuk merubah pesan tersebut menjadi tulisan dalam sebuah kertas putih. Dengan seksama gadis itu membaca detil informasi yang tertulis dalam kertas tersebut. Foto seorang pria dengan kaca mata menggantung di hidungnya yang mancung. Rambut hitam legam yang berantakan.
Tek...
Jentikan pada kertas meninggalkan bekas lipatan pada kertas tersebut.
"Sedikit mengecewakan memang. Kita lihat cara apa yang bisa ku pakai untuk mendekatimu." Luna mengangkat ponselnya yang sedari tadi bergetar dengan mode silent. Nomor tidak di ketahui terpampang pada layar posel tersebut. Pastilah ini dari organisasi. Kim, siapa lagi.
"Ya" ucap Luna di sela kegiatannya mencerna informasi.
"Kau sudah menerima file nya?"
"Baru saja. Kau serius dia Herrys Pramu Ilyas?"
"Seperti yang sudah kau baca. Ku fikir, aku agak kasian padanya sepertinya bocah itu di manfaatkan oleh keluarganya sendiri."
"Hei sejak kapan Black Mask Pion ~sebutan bagi missioner organisasi~ peduli pada targetnya?"
"Entahlah, kasian saja. Baiklah selamat bekerja."
"Thank's Kim"
Tut...tut...tut...
"Anak itu tak lulus kelas kepribadian sepertinya!" Gerutu gadis itu. Luna melempar ponselnya ke kasur empuk dengan seprei putih dan motif bunga-bunga teratai. Tidak beberapa lama ponsel itu kembali berdering.
"oh Tuhan, siapa lagi?" Luna berdehem saat tahu itu adalah panggilan dari ayahnya, Mario. "Hai Dad"
"Hm. Sesibuk itukah kau di pagi pertamamu di indonesia?"
"Seorang teman menelponku Dad. Oh ya, ada apa?"
"Lalun, kudengar kau menolak tinggal di apartemen yang ku sewakan?"
Luna menggosokkan kaki ke lantai mencoba mencari alasan, " Bukan begitu Dad, aku hanya ingin mandiri. Kau sudah banyak berjasa untukku. Kufikir aku akan merasa lebih nyaman jika aku bisa mengusahakan kebutuhanku sendiri. Kau tahu aku juga akan bekerja paruh waktu."
"Apa kau meragukanku?"
"Tentu tidak Dad, siapa yang mampu meragukan Mario Hadiningrat. Salah seorang pemimpin partai Revolusi. Ah ya, how's your speech?"
"Kau tidak menontonnya?"
"maafkan aku, semalam aku terlalu letih. Aku akan menonton siaran ulangnya nanti, hem?"
"Tanggapannya cukup baik kurasa. Jadi apa kau akan tetap bersikukuh tinggal di flat kecilmu itu?"
"Daaad"
"Oke..oke.. keras kepala, jika ada apa-apa kabari aku segera. Kau paham, Nak?"
"Tentu Dad" gadis itu tersenyum di balik ponsel yang menenmpel di pipinya. Dia merasa beruntung memiliki ayah angkat sebaik Mario.
***
Pantulan wajah pucat dari cermin memastikan bahwa wanita di depannya sudah siap untuk keluar ruangan. Iklim empat musim yang biasa menyelimutinya membuat gadis tersebut menyesuaikan diri dengan sendirinya. Setidaknya hingga kemarin saat dia masih berada di negri paman sam. Luna mengambil kaca mata denga bingkai hitam corak bintang di atas nakas dan memakainya. Mata gadis itu mengerjab berkali-kali, menyesuaikan diri denga lensa yang membatasi pandangan. Setelah cukup yakin dengan penampilannya gadis itu bergegas keluar.Tak seperti Amerika di Bulan Desember. Cuaca di jakarta terlalu panas, 34 derajat celcius, mungkin kau tak perlu merebus telur lagi, cukup meletakkannya di beranda. Berlebihan? Memang. Tapi begitulah Jakarta di hari ini.
Tuhan, apa negara ini adalah negara terdekat dari neraka? Jika memang begitu, maafkanlah negara ini, dan kembalikan kemakmurannya.
Luna menyetop taksi lambang burung yang berhenti tepat di dpeannya, tujuannya adalah halte kemang. Setelah sampai, gadis ramping itu menyerahkan pecahan ratusan ribu tanpa menunggu kembalian, segera berteduh di atas naungan atap halte.
"Neng.... neng kembaliannya."
"Ambil saja pak"
Syukurlah setidaknya masih ada beberapa orang jujur di negri ini.
Lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit berlalu, tapi Luna belum juga masuk ke dalam busway. Padahal sebelumnya sudah ada busway yang lewat dan kosong. Gadis itu menunggu seseorang. Senyumnya mengembang saat orang yang sejak tadi di tunggunya datang.
Berangkat ke kampus jam sebelas siang di hari Sabtu. ceklis.
Luna memasukkan kembali notenya ke dalam saku ransel yang ia sandang. Gadis itu memperhatikan penampilan Herrys dari atas hingga bawah. Tidak ada perbedaan yang signifikan dari foto yang ia lihat tadi pagi. Hanya hari ini lelaki itu memakai kemeja dan sebuah jaket tipis dengan icon merk daganng tersebut di dada kirinya. Sepatu yang lelaki itu gunakan tampak kusam dan kucel. Satu hal yang dapat Luna tangkap dari pemandangan sekarang ini, bahwa sepatu tersebut adlah sepatu yang paling sering di gunakan lelaki itu.
Busway rute universitas yang ias tuju sudah tampak di ujung koridor, di saat weekend dan pada jam seperti sekarang, para pengguna bus memang lebih sepi, tidak seperti di saat jam kerja. Gadis itu memasukkan permen karet ke dalam mulutnya. Saat bus berada di depan halte dia menerobos beberapa orang sehingga saat ini ia tepat berada di depan Herrys. Luna mengeluarkan permen karet dari mulutnya, memasukkan sebuah alat pelacak kemudian menjatuhkan sisa permen karet tersebut di tangga bus. Sehingga sepatu Herrys menginjaknya.
Tap.
Tepat.
sejauh ini semua tampak mudah.
selalu menggunakan headset saat di dalam bus sambil membaca buku. Ceklis.
Luna kembali menuliskan ke dalam buku kecil di tangannya. Gadis itu tersenyum, menyandang tas ransel berjalan melewati Herrys dengan pandangan yang tak lepas dari sosok lelaki itu. Sambil tersenyum Luna memencet tombol didepan pintu dan turun di halte berikutnya.
Sampai berjumpa lagi Herrys Pramu Ilyas.
pintu busway tertutup tepat di depan lelaki yang sedang sibuk dengan bukunya yang bahkan sedari tadi tidak menyadri seseorang memandanginya dengan senyum kemenangan.
Luna tiba di sebuah rumah megah dengan di dominasi cat putih. Yang memiliki penjagaan ketat. Rumah seorang kepala polisi Reza Isnandar."anda mencari siapa?" Seorang pria dengan kepala pelontos berseragam menghampiri Luna."Saya di minta datang ke sini hari ini oleh ibu Delvi, mungkin anda bisa menanyakannya?"Pria kepala pelontos itu masuk ke pos jaga dan berbicara di telepon. "Hei nak. Siapa namamu?""Lalun, Laluna Aurora."Lelaki itu mengulangi menyebutkan nama Luna di telepon."Laluna Aurora, silahkan masuk. Anda sudah di tunggu."Pagar tinggi yang sedari tadi di tutup secaraotomatis terbuka. Taman cantik menemani perjalanan Luna menuju pintu utama. Sebelum gadis itu memencet bel, pintu itu terbuka menampilkan sosok wawanita berumur setengah abad dengan seragam hitam."Laluna Aurora?"Luna mengangguk dan mengulurkan tangannya."Saya delvi, ajudan bapak Reza Isnandar. Silahkan duduk." Luna memperbaiki let
Dengan lemah dan lunglai Luna menekan kontak lampu di dekat pintu flat sehingga ruangan tersebut tampak benderang. Sepulang dari rumah Reza Isnandar Luna pergi kemakam Ayahnya. Menyedihkan memandang makam ayahnya yang di tumbuhi semak, sedangkan ia tidak bisa mendekati makam itu untuk mengelus nisannya berdoa atau menangis di sana. Hanya memandang makam tersebut dan mendoakannya dari makam orang lain, berharap agar doa itu sampai kepada sang Ayah di sana.Kenapa?Karena kita tidak tahu, bisa jadi seseorang sudah menunggunya untuk mengunjungi makam itu sejak lama. Jika mereka bisa memperlakukan ayahnya tang seorang polisi begitu kejamnya, bagaimana tidak mungkin mereka juga mencari keberadaan Luna.Luna merogoh ponsel dalam jaket tipisnya, tulisan nomor yang tidak di ketahui terpampang di layar ponsel tersebut."Ya?""Bagaimana misimu hari ini?""Mudah. Bukankah aki sudah mengemailmu?""Begitukah? Aku belum membukanya. Jadi?""A
Sama halnya seperti kemarin Luna menghentikan taxi di halte dan menunggu Herrys di sana. Menaiki busway yang di naiki Herrys tanpa sepengetahuan lelaki itu. Kali ini Herrys tidak menghentikan busway di depan universitas, tetapi di depan sebuah rumah sakit swasta. Luna mengikuti lelaki itu seperti bayangan, tanpa terlihat dan tanpa di ketahui .Herrys menyusuri lorong rumah sakit dan memasuki sebuah ruangan dokter. Tidak ada yang perlu di curigai dengan gerak-gerik Herrys pagi ini sehingga Luna memilih untuk menunggu lelaki itu di taman depan rumah sakit. Ia agak membenci rumah sakit, benci bau dan hawa yang ada dalam bangunan tersebut.Gadis itu mengenakan headset ke telinga sambil sesekali memandang pintu rumah sakit menunggu sosok Herrys."Kenapa kamu menendang bola itu terlalu keras? Kamu lihat sekarang bola itu menggelinding jauh. Sana minta sama om itu!" Dua orang bocah laki-laki berseragam rumah sakit yang sedang bermain bola menarik perhatian Luna. Ia mem
PERGI! SINGKIRKAN WAJAH KALIAN! AKU TAK BUTUH DI KASIHANI!" Suara kevin menggema dari lantai dua. Lelaki itu mengusir terapisnya dan melemparkan semua yang dapat ia jangkau. Seorang pelayan tampak terburu-buru membawa baskom dengan basah kuyup. "Laluna! Isi baskom ini dan bawa ke atas. Inikan tugasmu, kenapa malah aku yang basah kuyup begini?" Luna yang baru saja datang berusaha mencerna apa yang terjadi di rumah itu. Semua orang tampak sibuk keluar masuk kamar kevin. "maaf mbak, saya sedikit terlamabat, ada beberapa hal yang harus saya urus di kampus." "Cepatlah ganti bajumu dan bawa ini ke atas." Wanita itu meremas roknya yang basah membuat lantai yang ia pijaki tergenang air. "Iya mbak" Luna segera mengganti bajunya dengan seragam yang sudah tersedia di ruangan. Mengisi baskom yang tadi di berikan pelayan dengan air hangat, lalu membawanya ke kamar kevin. Luna mengetuk pintu. "Masuk!" Itu suara Delvi, Luna dapat meng
Delvi yang baru saja kembali dari ruangan Rezapun di buat bingung dengang apa yang terjadi di depannya saat ini. Kevin yang marah- marah pada pengurus rumah itu sudah biasa. Sejak kecelakaan itu Kevin sulit berinteraksi positif dengan orang lain. Tetapi, apa lagi masalahnya sekarang? Tidak bisakah anak itu tak membuat keributan yang membuatnya sibuk memilih pekerja lagi? Mulai dari pekerja rumah tangga professional hingga pekerja part time seperti Luna yang terpaksa harus ia terima, karena semuanya berhenti tidak lebih dari seminggu karena kevin yang selalu main pecat sekehendaknya. "Ada apa ini kevin?" "Kenapa wanita ini masih di sini? Aku sudah memecatnya!" "Kevin ini sudah yang ke berapa kali kamu berbuat begini? Sudahlah Kevin, aku bersyukur masih ada yang mau bekerja di sini membantu pekerjaan Ratna. Kau tahu? Ratna saja sudah susah sekali aku bujuk agar dia tidak berhenti." "Aku tidak inigin melihat wanita itu masih berkeliaran di rumah ini. Jik
"Du..du..du.." senandung kecil dari bibir seseorang gadis muda mengikuti irama lagu yang sering di putar setiap pagi di sekolahnya. Dia tidak begitu suka dengan lagu mars sekolahnya itu namun kebiasaan mendengarnya setiap pagi membuat gadis muda ini tanpa sengaja menyandungkannya. Ia tidak begitu peduli dengan lagu yang sedang ia dendangkan. Apapun lagu yang melintas di kepalanya saat ini akan ia nyanyikan untuk menyambut hari karena suasana hatinya saat ini dalam keadaan bahagia.Dia Luna Hermawan, empat belas tahun seorang murid kelas dua sekolah menengah pertama. Namun tubuhnya lebih dulu dewasa dari pada umurnya. Di umur yang baru empat belas tahun, umur yang baru menginjak masa pubertas, umur yang baru dua puluh empat kali merasakan apa yang namanya menstruasi,di umur segitu tubuhnya sudah tumbuh tinggi dengan kaki yang jenjang, garis rahang yang ramping dan dagunya berbelah seperti buah apel.Luna memasuki pertkarangan kantor polisi tempat ayahnya beker
Hermawan melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, dia baru menyadari bahwa ponselnya sudah di sadap seseorang. Hermawan cukup yakin jika ponselnya di sadap. Dia punya cukup pengalaman tentang sadap menyadap."profesor Ilyas! Sial!" Hermawan membanting ponselnya hingga terguling ke bawah kursi. Ponsel prof.Ilyas tidak dapat di hubungi meski sudah di coba berkali-kali. Hermawan memajukan perseneling mobilnya, menancap gas dengan kuat sehingga mobil itu seperti terbang di jalanan. Hermawan mengendarai mobilnya menuju tempat pertemuannya dengan profesor Ilyas yang di smskan beberapa menit yang lalu. Profesor Ilyas memiliki bukti pendukung yang akan menguatkan bukti kejahatan yang ia pegang. Dengan begitu tersangka tersebut akan segera di bawa ke meja hijau.Penjahat itu buka penjahat biasa, dia memiliki akses yang besar. Hermawan menyalahkan dirinya sendiri atas keteledorannya menggunakan ponsel tersebut dan sekarang nyawa prodesor Ilyas dalam bahaya. I
Dua tahun kemudian, Panti Asuhan Dahlia"Tidak.. Luna takut pa... jangan tinggalkan Luna..." keringat mengucur deras dari dahi perempuan itu. "Papa..!" Suaranya melambat di sertai air mata."Hei Gadis bodoh! bangun. Dasar pemalas!" Joyy, anak yang seumuran dengan Luna memukul meja yang di jadikan alas tidur oleh sang gadis. Luna tertidur setelah letih seharian membersihkan panti karena salah seorang pejabat akan datang ke panti itu dua hari lagi.Luna mengucek matanya yang terasa berat dan menghapus air yang mengalir di pipi. Mimpi itu lagi, mimpi menakutkan yang selama dua tahun ini tak pernah berhenti mendatanginya. Rasa sedih, takut, dan menyesal, bekas kejadian itu tidak bisa hilang. Ketakutan dan melarikan diri. Pengecut, itulah sosok Luna dalam kepalanya. Tapi apa yang bisa di lakukan gadis diusianya waktu itu? ."Hei apa yang kau lihat pemalas! Kerjakan bagianmu cepat!""Aku sudah menyelesaikannya""Oh ya?" Joyy