"Mas, lebaran nanti bisa pulang kan?" tanya wanita itu di telepon.
Seseorang di seberang sana nampak terdiam sejenak. Mungkin sedang berpikir. Haruskah lelaki itu butuh berpikir untuk pulang ke kampung halaman bertemu dengan istri dan anak-anaknya?
"Mmm, mas belum tahu lebaran tahun ini bisa pulang atau tidak, Dek. Nanti mas kabari lagi ya?"
"Tapi anak-anak sudah nanyain terus, Mas. Mereka sudah rindu sama kamu," protes sang istri.
"Iya deh, nanti mas usahakan pulang. Tapi sepertinya mungkin pulangnya habis lebaran, Dek. Itu pun nggak bisa lama-lama."
"Kok habis lebaran? Memangnya kantor buka pas lebaran? Biasanya enggak kan, Mas?"
"Bukan gitu, ee ... maksud mas, iya, mas kejatah piket pas hari H. Gentian lah sama temen-teman, Dek. Masa' mas bisa pulang terus pas lebaran. Nggak enak sama yang lain," kata lelaki itu menjelaskan.
Humaira termenung. Apa iya ada piket di kantor suaminya pas hari lebaran? Selama bertahun-tahun menjadi istri Dhani, lelaki itu belum pernah sekalipun mempermasalahkan piket di hari lebaran di kantor tempatnya bekerja itu.
"Ra, Aira sayang, kamu masih di sana kan?" Suara Dhani membuyarkan lamunan Aira.
"Iya, Mas. Masih kok. Ini tadi lagi masak buat makan siang anak-anak, takut gosong," kata Aira berbohong.
"Oooh ya udah kalau gitu, ditutup aja telponnya, Sayang. Nanti kita sambung lagi."
"Iya, Mas. Ya sudah, Hati-hati ya, Jangan lupa sholat, jangan lupa makan. Jaga kesehatan, Mas. Assalamu'alaikum ..."
"Ya. Wa'alaikumsalam .."
Dan sambungan telepon pun putus. Aira masih saja berdiam diri di kursi meja makan memikirkan kata-kata suaminya. Anak-anaknya pasti sedih kalau ayahnya tidak pulang tahun ini. Karena beberapa hari ini mereka gencar sekali bertanya soal kepulangan sang Ayah.
"Buk, ngapain?" Shofia, anak bungsunya yang masih duduk di bangku kelas 2 SMP tiba-tiba sudah duduk di depannya. Tangannya melambai-lambai di depan wajah sang ibu yang sepertinya sedang melamun.
"Eh, kamu Dek, kapan pulang? Kok ibu nggak denger?"
"Ibu sih ngelamun aja. Mana bisa denger?" Bibir anak remaja itu nampak cemberut.
"Udah sholat? Makan yuk! Mas Alif sama mas Adnan udah pulang belum?" tanya sang ibu.
"Tadi kan Shofi dijemput sama mas Alif pulangnya. Barengan. Mas Adnan juga udah pulang kok. Tuh di kamarnya."
"Oh, ya udah. Panggil deh masnya, kita makan siang bareng," kata wanita itu.
"Oke, Buk." Gadis remaja itu pun segera bangkit.
"Eeeh, tunggu! Jangan lupa mas Alif sama mas Adnan suruh sholat dulu. Habis itu baru makan. Ya?"
"Siappp."
Tidak ada yang lebih menghibur hati wanita yang sebentar lagi menginjak usia 40 tahun itu di rumah ini, selain tiga anaknya yang kini telah beranjak remaja itu. Alif yang sudah kelas 3 SMA, Adnan kelas 1 SMA, dan adiknya, Shofia.
Sejak suaminya memutuskan merantau dan hanya bisa pulang satu atau dua kali dalam setahun saat Shofia masih duduk di bangku Sekolah Dasar, Aira sudah seperti menjadi single parent. Melakukan apapun sendiri untuk anak anaknya. Beruntunglah, Dhani tak pernah kurang memberikannya nafkah materi setiap bulan. Jadi dia bisa lebih fokus untuk merawat anak-anaknya.
.
.
.
"Mas, udah pada dapat WA dari Ayah belum? Minta berapa?" tanya Shofia di sela sela makan siang mereka.
Dua kakaknya, Alif dan Adnan mendadak menghentikan kunyahan dan saling berpandangan, lalu nampak mengisyaratkan untuk 'diam' pada adik perempuan mereka. Shofia yang dipelototi oleh dua kakaknya langsung diam, menunduk, membuat sang ibu yang memperhatikan tingkah laku mereka sedari tadi pun menjadi bertanya-tanya.
"Kalian lagi ngomongin apa sih? Dek? Mas? Ayah WA apaan?" tanya Aira penasaran.
"Enggak kok, Buk," sahut Alif.
"Enggak, Buk, Enggak," timpal Adnan.
Aira memandangi dua anak lelakinya bergantian.
"Kenapa pada bohong sih? Masa' Ibu nggak boleh tau ada apa?" ucapnya sambil tersenyum. Tapi tetap tak ada yang bicara. Bahkan sekarang ketiga anaknya itu malah nampak menunduk semuanya.
"Ada apa sih ini? Coba cerita, Ibu mau denger deh," kata Aira masih bersikap sangat tenang. Meskipun hatinya mulai penuh kecurigaan.
"Mas Alif? Mas Adnan? Adek? Nggak ada yang mau bicara nih?" Sekali lagi Aira menegaskan pada ketiga anaknya. Meminta jawaban.
"Eeee ... ini, Buk. Ayah bilang lebaran ini kan nggak bisa pulang. Sebagai gantinya, kita boleh minta uang berapa aja sama ayah. Kalau Shofia minta 3 juta buat beli hape baru." Si bungsu Shofia yang berinisiatif memberi penjelasan lebih dulu. Sementara dua kakaknya masih nampak menunduk.
"Tiga juta? Dan Ayah setuju?" Aira mengerutkan dahinya.
"Iya Buk, setuju. Ayah malah senang," kata anak gadis itu.
"Mas Alif?" Aira beralih ke anak sulungnya.
"Eeee .... 5 juta Buk buat beli laptop. Soalnya, laptopnya gentian sama Adnan terus, nggak enak."
"Dan Ayah mau? Kasih kamu 5 jutanya?" Lagi-lagi Aira mengernyit.
"Mau, Buk, sudah di transfer malah uangnya," kata si sulung.
"Mas Adnan juga di kasih?" Aira beralih ke anak keduanya.
"Iya. Lima juta juga. Semuanya sudah ditransfer ke rekeningnya Alif, Buk," kata Alif lagi.
Aira menarik nafas dalam. Ada apa dengan suaminya itu? Kenapa tiba tiba bersikap seperti ini padanya? Memberikan uang pada anak-anak dan menyuruh mereka untuk merahasiakannya?
"Mas Alif, Ibu minta tolong jangan dulu dipakai uang dari Ayah itu ya? Ibu akan bicara dulu dengan Ayah. Mas ngerti kan?" Aira menatap ke dalam mata Alif.
"Ya, Buk." Dan si sulung pun mengangguk.
"Yaaaaah ... Ibuk. Kenapa nggak boleh dipakai uangnya? Kan Shofia pengen beli hape baru, Buk." Shofia mulai merajuk.
"Shofi ..." Alif dan Adnan memanggil nama adiknya hampir bersamaan. Membuat si bungsu makin cemberut. Tapi kemudian menurut juga karena dipelototi dua kakaknya seperti itu.
"Ya, deh," katanya kemudian.
"Ya sudah. Sekarang lanjutkan makannya," kata Aira pada anak anaknya.
Dan kemudian acara makan siang itu pun berubah menjadi sangat hening. Tak seperti biasanya, yang selalu heboh dengan obrolan tentang kisah aktifitas sepagian mereka di sekolah. Tak ada yang berani berbicara melihat ibunya hanya diam menikmati makanan di piringnya.
Lalu tiba-tiba, Aira kaget saat ponselnya terdengar berbunyi. Linda, teman baiknya di SMA dulu mendadak menelponnya. Ada apa ya? Dahi Aira berkerut.
Cepat-cepat diselesaikannya makan siangnya dan diangkatnya panggilan itu setelah berpamitan pada anak-anaknya.
"Halo, Lin. Ada apa?" sapanya.
"Ra, kamu di rumah?"
"Iya. Ada apa, Lin?"
"Sorry, Ra, aku mau tanya. Tapi maaf ya sebelumnya. Kamu sama Dhani baik-baik aja kan?" tanya Linda di seberang sana dengan sedikit terbata. Terdengar sekali ada nada tidak enak pada kalimatnya.
"Aku sama Mas Dhani? Baik, baik kok. Memangnya kenapa, Lin? Kok tiba-tiba nanyain aku sama suamiku?"
"Aduh, gimana ya ngomongnya. Ee, gini, Ra. Maaf ya, aku harus ngomong ini. Siapa tahu aja kamu belum tau."
"Iya, nggak papa. Ada apa sih?" Aira semakin penasaran.
"Gini, Ra ... ini ponakanku kan dapat undangan nikahan temennya. Temennya mau nikah minggu depan sebelum puasa. Dan mempelai prianya itu, eee ... suami kamu, Ra. Aku kaget, serius. Beneran kamu nggak lagi ada masalah sama suamimu?"
Bagai disambar petir di siang bolong. Aira nyaris menjatuhkan ponsel dari tangannya yang tiba-tiba gemetar. Jadi, inikah yang disembunyikan suaminya sampai dia sulit untuk pulang lebaran tahun ini?
"Kamu serius, Lin?"
"Iya serius, Ra. Dan yang lebih bikin aku kaget. Status suami kamu itu katanya duda."
"Apa?!" Aira shock. Dia sampai menahan berat tubuhnya ke tembok agar tak ambruk.
"Kalian belum cerai 'kan?" Linda bertanya lagi.
"Belum, Lin. Aku masih istri sah mas Dhani."
"Jadi? Ya allah, Ra. Maaf ya, Ra. Aku pasti bikin kamu shock. Tapi aku serius ini, kalau Dhani yang aku lihat di foto pernikahan itu. Kalau kamu nggak percaya. Aku fotoin ya undangannya. Nanti aku kirimkan ke kamu," tawar Linda.
Aira terdiam sejenak. Untunglah dalam kondisi seperti ini dia masih bisa berpikir waras.
"Iya, Lin. Tolong fotokan untukku ya undangannya. Thanks sebelumnya."
.
.
.
Usai menerima telepon dari teman SMA nya, Aira terduduk lemas di kursi serambi.
"Ada apa, Buk?" Alif tiba-tiba sudah ada di dekatnya.
"Nggak. Nggak ada apa-apa kok. Udah selesai makannya, Mas?"
"Udah. Adek lagi nyuci piringnya," kata Alif.
"Ya udah, kalian istirahat dulu aja kalau gitu."
Saat anak sulungnya berlalu, Aira segera membuka pesan yang baru saja dikirim Linda ke aplikasi hijaunya. Dan di sanalah dia melihat foto suaminya bersanding dengan seorang wanita yang tidak dia kenal sama sekali. Seorang wanita yang masih nampak sangat muda dan cantik. Aira memejamkan mata, getir.
Beberapa detik kemudian dia telah mengamati setiap tulisan yang ada pada undangan itu. Alamat pada undangan itu ada di kota sebelah. Aira akan membutuhkan satu setengah jam perjalanan dari tempat tinggalnya sekarang.
Dan minggu depan adalah hari pernikahan mereka. "Tunggulah Mas, aku akan datang. Dan aku yakin kamu pasti akan menyesali apa yang telah kamu lakukan padaku dan anak-anakmu ini", ucapnya dalam hati.
"Mas," Aira membuka pelan pintu kamar anak sulungnya setelah mengetuknya beberapa kali. "Ada apa, Buk?" Alif berjalan menghampiri pintu melihat ibunya menyembulkan kepala dari baliknya. "Sudah mau tidur? Ibu mau bicara." "Belum ngantuk kok. Bicara apa, Buk?" Alif menyingkir dari depan pintu untuk membiarkan ibunya masuk. "Tutup pintunya ya, Mas. Ibu mau ngomong agak serius," kata Aira. Alif pun segera menutup pintu kamarnya. Lalu berjalan mendekati sang ibu yang sudah duduk di tepi ranjang. Setelah Alif duduk, Aira nampak menyerahkan ponsel pada anaknya. Sebuah foto yang beberapa hari lalu dikirimkan Linda padanya. "Ini apa, Buk?" Alif nampak sedikit bingung saat menerima ponsel ibunya. "Baca aja dulu, Mas." Kemudian dengan serius Alif mengamati foto undangan pernikahan yang diberikan oleh ibunya itu. Tak ada yang dia ucapkan saat selesai membaca isi dalam undangan itu. Apalagi saat melihat wajah ayahnya yang terpampang jelas di dalamny
Hari berikutnya Linda menelpon Aira lagi. Wanita itu benar-benar tidak menyangka Aira nekat pergi ke pernikahan suaminya. "Kamu tahu dari mana, Lin, aku pergi ke sana?" "Ya dari keponakanku lah. Dia ada di sana pas kamu bikin semua tamu undangan melongo. Lalu saat kamu pergi, ibu mertua suamimu katanya sampai pingsan." "Oya? Kasihan juga ya sebenarnya. Tapi aku nggak terima dibohongi seperti ini, Lin." "Selamat Ra, kamu menang kok. Suamimu langsung diusir dari rumah mertuanya setelah itu. Tapi ..." "Tapi apa, Lin?" "Istri mudanya mengikutinya. Dia bersikukuh tetap ingin bersama suamimu katanya." "Ooh, cinta sejati rupanya?" kata Aira sarkas. "Nggak tau deh. Katanya sih karena dia terlanjur hamil." "Ooh, jadi begitu. Oke, Lin, terima kasih ya infonya. Sebenarnya yang kulakukan kemarin belum seberapa. Aku hanya ingin memperjuangkan anak-anakku, Lin. Maaf jika harus ada beberapa orang yang tersakiti karena tindakanku. Itu bukan mauku." "
"Kamu tidak akan bisa menghidupi anak-anak tanpa aku, Dek. Itulah kenapa aku tidak akan pernah menceraikanmu," ucap Dhani dengan sombongnya. "Jangan terlalu percaya diri, Mas. Aku tidak membutuhkan belas kasihanmu untuk menghidupi anak-anakku. Mereka tidak akan kubiarkan hidup dengan melihat kehidupan kita yang seperti ini. Melihat ayahnya memperlakukan seorang wanita.dengan.semena-mena. Apa jadinya kehidupan mereka nanti jika sampai ada yang menirumu?" "Maksud kamu apa, Dek? Aku nggak ngerti kamu ini ngomong apa sih?" "Kalau aku tetap bersama kamu. Anak anak akan melihat bahwa menyakiti pasangan itu sebagai sesuatu yang wajar dan lumrah, Mas. Aku tidak ingin mereka kelak sepertimu." "Tapi aku masih mencintai kamu, Dek. Aku mencintai anak anak. Aku tidak mungkin meninggalkan kalian. Aku ... aku sebenarnya terpaksa menikahinya karena ..." "Cukup, Mas! Aku tidak mau mendengar alasan apapun darimu. Kenapa kamu menikah dengan wanita itu, sama sekali bukan urusanku
"Buk, ada eyang datang." Aira sedang berkutat di dapur untuk mempersiapkan makan malam saat Shofia mengabarkan kedatangan kakek neneknya sore itu. Mereka adalah orang tua Dhani, karena kedua orang tua Aira sendiri sudah berpulang beberapa tahun yang lalu. "Iya, di suruh masuk, Dek. Ibu cuci tangan dulu." "Sudah, Buk. Sudah di ruang tamu kok," jawab anak gadis remajanya itu. Aira sudah menduga. Mertuanya pasti akan datang sebagai penengah dalam permasalahannya dengan Dhani. Kedua orang tua yang sudah berumur itu tidak mungkin datang ke rumah ini tanpa sebab yang jelas. Usia mereka sudah cukup lanjut, itulah alasan kenapa selama ini Dhani tidak mengijinkannya dan anak-anak mereka ikut tinggal di perantauan bersamanya. Dhani adalah anak tunggal, dan kedua orang tuanya juga tidak mau diajak pindah meninggalkan rumah mereka. Jadi, Aira biasanya yang minimal dua kali seminggu menengok mereka untuk melihat keadaan. Meskipun Dhani sudah menyewa seorang asi
"Ibuk dari mana?" Alif menyambutnya di teras sesaat setelah Aira memarkirkan mobilnya di garasi. Wanita itu turun menutup pintu mobilnya, lalu berjalan beriringan dengan anak sulungnya ke dalam rumah. "Ibu habis dari toko perhiasan, Mas." Aira mendudukkan tubuh lelahnya di kursi tamu. "Lhoh, ngapain Buk?" "Ibu akhirnya jual perhiasan. Lumayan mas masih bisa laku 20an juta." "Perhiasan peninggalan eyang?" Alif mengikuti ibunya duduk. Dahinya berkerut. "Iya." "Katanya ibu mau jual motornya Alif? Kok malah perhiasannya yang dijual?" "Setelah Ibu pikir-pikir, mendingan perhiasannya aja mas yang dijual. Lagian Ibu juga nggak terlalu suka pakai perhiasan. Model perhiasan peninggalan eyang juga sudah kuno. Motor mas juga lebih berguna dibanding perhiasannya kan?" "Tapi kan Ibu sayang banget sama perhiasan itu. Satu satunya yang mengingatkan Ibu sama eyang." "Nggak apa apa, Mas. Cuma perhiasan aja kok. Yang penting doa ibu tidak pernah lupa un
"Sebenarnya Ibu ini heran, Le. Kenapa sih Kamu harus nyuruh Bapak sama Ibu nggak jujur soal pernikahanmu pada Aira?" Dhani sedang duduk di serambi rumah orang tuanya sore itu dengan sang bapak saat ibunya ikut bergabung. "Ini di luar rencanaku, Bu. Aku nggak menyangka Aira akan tahu soal pernikahan ini. Awalnya aku bermaksud merahasiakan ini dari Aira dan anak-anak. Aku ingin memberi mereka kejutan bahwa tahun ini aku sudah pindah ke kota ini memimpin kantor cabang baru. Momennya tepat, pas lebaran aku dipindahkan ke sini. Nggak taunya Aira malah datang ķe pernikahanku dan Soraya. Aku juga nggak tahu dia dapat informasi itu dari siapa." Dhani terlihat frustasi saat mengatakan semua itu. Bagaimana pun, dalam hatinya tak pernah ada niat untuk menyakiti Aira, apalagi anak-anaknya. Namun hasrat lelakinya yang meronta, saat berjauhan dengan sang istri selama berbulan-bulan membuatnya jatuh dalam pelukan karyawan barunya yang baru dua tahun bekerja di kantor itu. Soray
"Mas." Alif yang baru saja keluar dari kelasnya dan berniat menuju perpustakaan sontak menoleh. Adnan mengejar dengan langkah tergesa di belakangnya. "Ada apa?" tanyanya. "Ayah ngajak ketemuan. Nanti habis pulang sekolah." "Ya udah, temuin aja," jawabnya santai. "Tapi ayah suruh ngajak Mas Alif." "Dia nggak bilang kok. Kamu aja yang pergi. Mas nanti mau buru-buru pulang." "Tapi Mas, katanya penting. Soal Ibuk." "Kalau penting biar datang ke rumah aja. Udah Dek, nggak usah ikutan pusing," kata Alif menepuk bahu adiknya. "Mas mau kemana?" "Perpus. Mau ikut?" Adnan menggeleng. Lalu Alif pun berbalik melanjutkan langkahnya yang tadi sempat tertunda. . . . Siang harinya Adnan menunggu kakaknya di parkiran dengan gelisah. Kelasnya selesai setengah jam lebih awal dari kelas Alif. Sudah dari seperempat jam yang lalu, ponselnya tak berhenti bergetar. Dari sang ayah. Dan karena tidak enak hati, akhirnya Adnan memutuskan untuk menga
Aira mematut diri di cermin. Setelan gamis plus khimar warna salem jadi pilihannya untuk bertemu atasan Dhani malam ini. Cukup lama dia memperhatikan bayangan wajahnya di depan sana. Rupanya beberapa kerutan memang sudah lumayan terlihat jelas di wajahnya. Aira mendesah. "Ibuk cantik." Aira tersenyum tipis. Dari cermin dia bisa melihat Alif sudah berdiri bersandar di pintu kamarnya memperhatikannya yang masih duduk di depan meja rias. Anak itu sudah rapi dengan celana jeans dan kaos polonya. Alif memang sudah terlihat sangat dewasa di usianya yang hampir menginjak 18 tahun. Apalagi jika sedang mengenakan baju casualnya. Besar dan tinggi badannya pun sudah sedikit melampaui ayahnya, Dhani. "Apa sih, Mas?" Aira menepiskan tangannya ke udara sambil mengulum tersenyum. Alif pun kemudian berjalan menghampiri sang ibu. "Beneran, ibu masih cantik kok. Nggak kalah sama yang masih gadis," goda Alif. Aira tahu Alif hanya bermaksud menghiburnya saja. "Kalau ibuk