Share

LUKA HATI SEORANG ISTRI
LUKA HATI SEORANG ISTRI
Author: Reinee

TAK BISA PULANG

    "Mas, lebaran nanti bisa pulang kan?" tanya wanita itu di telepon.

Seseorang di seberang sana nampak terdiam sejenak. Mungkin sedang berpikir. Haruskah lelaki itu butuh berpikir untuk pulang ke kampung halaman bertemu dengan istri dan anak-anaknya?

    "Mmm, mas belum tahu lebaran tahun ini bisa pulang atau tidak, Dek. Nanti mas kabari lagi ya?"

    "Tapi anak-anak sudah nanyain terus, Mas. Mereka sudah rindu sama kamu," protes sang istri. 

    "Iya deh, nanti mas usahakan pulang. Tapi sepertinya mungkin pulangnya habis lebaran, Dek. Itu pun nggak bisa lama-lama."

    "Kok habis lebaran? Memangnya kantor buka pas lebaran? Biasanya enggak kan, Mas?" 

    "Bukan gitu, ee ... maksud mas, iya, mas kejatah piket pas hari H. Gentian lah sama temen-teman, Dek. Masa' mas bisa pulang terus pas lebaran. Nggak enak sama yang lain," kata lelaki itu menjelaskan. 

    Humaira termenung. Apa iya ada piket di kantor suaminya pas hari lebaran? Selama bertahun-tahun menjadi istri Dhani, lelaki itu belum pernah sekalipun mempermasalahkan piket di hari lebaran di kantor tempatnya bekerja itu. 

    "Ra, Aira sayang, kamu masih di sana kan?" Suara Dhani membuyarkan lamunan Aira.

    "Iya, Mas. Masih kok. Ini tadi lagi masak buat makan siang anak-anak, takut gosong," kata Aira berbohong. 

    "Oooh ya udah kalau gitu, ditutup aja telponnya, Sayang. Nanti kita sambung lagi."

    "Iya, Mas. Ya sudah, Hati-hati ya, Jangan lupa sholat, jangan lupa makan. Jaga kesehatan, Mas. Assalamu'alaikum ..." 

    "Ya. Wa'alaikumsalam .."

    Dan sambungan telepon pun putus. Aira masih saja berdiam diri di kursi meja makan memikirkan kata-kata suaminya. Anak-anaknya pasti sedih kalau ayahnya tidak pulang tahun ini. Karena beberapa hari ini mereka gencar sekali bertanya soal kepulangan sang Ayah. 

    "Buk, ngapain?" Shofia, anak bungsunya yang masih duduk di bangku kelas 2 SMP tiba-tiba sudah duduk di depannya. Tangannya melambai-lambai di depan wajah sang ibu yang sepertinya sedang melamun.

    "Eh, kamu Dek, kapan pulang? Kok ibu nggak denger?" 

    "Ibu sih ngelamun aja. Mana bisa denger?" Bibir anak remaja itu nampak cemberut.

    "Udah sholat? Makan yuk! Mas Alif sama mas Adnan udah pulang belum?" tanya sang ibu.

    "Tadi kan Shofi dijemput sama mas Alif pulangnya. Barengan. Mas Adnan juga udah pulang kok. Tuh di kamarnya." 

    "Oh, ya udah. Panggil deh masnya, kita makan siang bareng," kata wanita itu. 

    "Oke, Buk." Gadis remaja itu pun segera bangkit.

    "Eeeh, tunggu! Jangan lupa mas Alif sama mas Adnan suruh sholat dulu. Habis itu baru makan. Ya?"

    "Siappp."

    Tidak ada yang lebih menghibur hati wanita yang  sebentar lagi menginjak usia 40 tahun itu di rumah ini, selain tiga anaknya yang kini telah beranjak remaja itu. Alif yang sudah kelas 3 SMA, Adnan kelas 1 SMA, dan adiknya, Shofia. 

    Sejak suaminya memutuskan merantau dan hanya bisa pulang satu atau dua kali dalam setahun saat Shofia masih duduk di bangku Sekolah Dasar, Aira sudah seperti menjadi single parent. Melakukan apapun sendiri untuk anak anaknya. Beruntunglah, Dhani tak pernah kurang memberikannya nafkah materi setiap bulan. Jadi dia bisa lebih fokus untuk merawat anak-anaknya. 

.

.

.

    "Mas, udah pada dapat WA dari Ayah belum? Minta berapa?" tanya Shofia di sela sela makan siang mereka. 

    Dua kakaknya, Alif dan Adnan mendadak menghentikan kunyahan dan saling berpandangan, lalu nampak mengisyaratkan untuk 'diam' pada adik perempuan mereka. Shofia yang dipelototi oleh dua kakaknya langsung diam, menunduk, membuat sang ibu yang memperhatikan tingkah laku mereka sedari tadi pun menjadi bertanya-tanya. 

    "Kalian lagi ngomongin apa sih? Dek? Mas? Ayah WA apaan?" tanya Aira penasaran.

    "Enggak kok, Buk," sahut Alif.

    "Enggak, Buk, Enggak," timpal Adnan.

Aira memandangi dua anak lelakinya bergantian.

    "Kenapa pada bohong sih? Masa' Ibu nggak boleh tau ada apa?" ucapnya sambil tersenyum. Tapi tetap tak ada yang bicara. Bahkan sekarang ketiga anaknya itu malah nampak menunduk semuanya. 

    "Ada apa sih ini? Coba cerita, Ibu mau denger deh," kata Aira masih bersikap sangat tenang. Meskipun hatinya mulai penuh kecurigaan.

    "Mas Alif? Mas Adnan? Adek? Nggak ada yang mau bicara nih?" Sekali lagi Aira menegaskan pada ketiga anaknya. Meminta jawaban.

    "Eeee ... ini, Buk. Ayah bilang lebaran ini kan nggak bisa pulang. Sebagai gantinya, kita boleh minta uang berapa aja sama ayah. Kalau Shofia minta 3 juta buat beli hape baru." Si bungsu Shofia yang berinisiatif memberi penjelasan lebih dulu. Sementara dua kakaknya masih nampak menunduk.

    "Tiga juta? Dan Ayah setuju?" Aira mengerutkan dahinya.

    "Iya Buk, setuju. Ayah malah senang," kata anak gadis itu. 

    "Mas Alif?" Aira beralih ke anak sulungnya.

    "Eeee .... 5 juta Buk buat beli laptop. Soalnya, laptopnya gentian sama Adnan terus, nggak enak."

    "Dan Ayah mau? Kasih kamu 5 jutanya?" Lagi-lagi Aira mengernyit.

    "Mau, Buk, sudah di transfer malah uangnya," kata si sulung.

    "Mas Adnan juga di kasih?" Aira beralih ke anak keduanya.

    "Iya. Lima juta juga. Semuanya sudah ditransfer ke rekeningnya Alif, Buk," kata Alif lagi. 

    Aira menarik nafas dalam. Ada apa dengan suaminya itu? Kenapa tiba tiba bersikap seperti ini padanya? Memberikan uang pada anak-anak dan menyuruh mereka untuk merahasiakannya?

    "Mas Alif, Ibu minta tolong jangan dulu dipakai uang dari Ayah itu ya? Ibu akan bicara dulu dengan Ayah. Mas ngerti kan?" Aira menatap ke dalam mata Alif. 

    "Ya, Buk." Dan si sulung pun mengangguk.

    "Yaaaaah ... Ibuk. Kenapa nggak boleh dipakai uangnya? Kan Shofia pengen beli hape baru, Buk." Shofia mulai merajuk.

    "Shofi ..." Alif dan Adnan memanggil nama adiknya hampir bersamaan. Membuat si bungsu makin cemberut. Tapi kemudian menurut juga karena dipelototi dua kakaknya seperti itu.

    "Ya, deh," katanya kemudian.

    "Ya sudah. Sekarang lanjutkan makannya," kata Aira pada anak anaknya. 

    Dan kemudian acara makan siang itu pun berubah menjadi sangat hening. Tak seperti biasanya, yang selalu heboh dengan obrolan tentang kisah aktifitas sepagian mereka di sekolah. Tak ada yang berani berbicara melihat ibunya hanya diam menikmati makanan di piringnya. 

    Lalu tiba-tiba, Aira kaget saat ponselnya terdengar berbunyi. Linda, teman baiknya di SMA dulu mendadak menelponnya. Ada apa ya? Dahi Aira berkerut.

    Cepat-cepat diselesaikannya makan siangnya dan diangkatnya panggilan itu setelah berpamitan pada anak-anaknya. 

    "Halo, Lin. Ada apa?" sapanya.

    "Ra, kamu di rumah?"

    "Iya. Ada apa, Lin?"

    "Sorry, Ra, aku mau tanya. Tapi maaf ya sebelumnya. Kamu sama Dhani baik-baik aja kan?" tanya Linda di seberang sana dengan sedikit terbata. Terdengar sekali ada nada tidak enak pada kalimatnya.

    "Aku sama Mas Dhani? Baik, baik kok. Memangnya kenapa, Lin? Kok tiba-tiba nanyain aku sama suamiku?" 

    "Aduh, gimana ya ngomongnya. Ee, gini, Ra. Maaf ya, aku harus ngomong ini. Siapa tahu aja kamu belum tau."

    "Iya, nggak papa. Ada apa sih?" Aira semakin penasaran. 

    "Gini, Ra ... ini ponakanku kan dapat undangan nikahan temennya. Temennya mau nikah minggu depan sebelum puasa. Dan mempelai prianya itu, eee ... suami kamu, Ra. Aku kaget, serius. Beneran kamu nggak lagi ada masalah sama suamimu?"

    Bagai disambar petir di siang bolong. Aira nyaris menjatuhkan ponsel dari tangannya yang tiba-tiba gemetar. Jadi, inikah yang disembunyikan suaminya sampai dia sulit untuk pulang lebaran tahun ini?

    "Kamu serius, Lin?" 

    "Iya serius, Ra. Dan yang lebih bikin aku kaget. Status suami kamu itu katanya duda."

    "Apa?!" Aira shock. Dia sampai menahan berat tubuhnya ke tembok agar tak ambruk.

    "Kalian belum cerai 'kan?" Linda bertanya lagi.

    "Belum, Lin. Aku masih istri sah mas Dhani."

    "Jadi? Ya allah, Ra. Maaf ya, Ra. Aku pasti bikin kamu shock. Tapi aku serius ini, kalau Dhani yang aku lihat di foto pernikahan itu. Kalau kamu nggak percaya. Aku fotoin ya undangannya. Nanti aku kirimkan ke kamu," tawar Linda.

    Aira terdiam sejenak. Untunglah dalam kondisi seperti ini dia masih bisa berpikir waras.

    "Iya, Lin. Tolong fotokan untukku ya undangannya. Thanks sebelumnya."

.

.

.

    Usai menerima telepon dari teman SMA nya, Aira terduduk lemas di kursi serambi.

    "Ada apa, Buk?" Alif tiba-tiba sudah ada di dekatnya.

    "Nggak. Nggak ada apa-apa kok. Udah selesai makannya, Mas?"

    "Udah. Adek lagi nyuci piringnya," kata Alif.

    "Ya udah, kalian istirahat dulu aja kalau gitu."

    Saat anak sulungnya berlalu, Aira segera membuka pesan yang baru saja dikirim Linda ke aplikasi hijaunya. Dan di sanalah dia melihat foto suaminya bersanding dengan seorang wanita yang tidak dia kenal sama sekali. Seorang wanita yang masih nampak sangat muda dan cantik. Aira memejamkan mata, getir. 

    Beberapa detik kemudian dia telah mengamati setiap tulisan yang ada pada undangan itu. Alamat pada undangan itu ada di kota sebelah. Aira akan membutuhkan satu setengah jam perjalanan dari tempat tinggalnya sekarang. 

    Dan minggu depan adalah hari pernikahan mereka. "Tunggulah Mas, aku akan datang. Dan aku yakin kamu pasti akan menyesali apa yang telah kamu lakukan padaku dan anak-anakmu ini", ucapnya dalam hati.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
irwin rogate
wow suami brengsek.
goodnovel comment avatar
Jamiah Kampil
wow panas panas ......
goodnovel comment avatar
Gusty Ibunda Alwufi
nyimak thor. baru bab 1 sdh bikin baper
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status