Aira mematut diri di cermin. Setelan gamis plus khimar warna salem jadi pilihannya untuk bertemu atasan Dhani malam ini. Cukup lama dia memperhatikan bayangan wajahnya di depan sana. Rupanya beberapa kerutan memang sudah lumayan terlihat jelas di wajahnya. Aira mendesah.
"Ibuk cantik."
Aira tersenyum tipis. Dari cermin dia bisa melihat Alif sudah berdiri bersandar di pintu kamarnya memperhatikannya yang masih duduk di depan meja rias.
Anak itu sudah rapi dengan celana jeans dan kaos polonya. Alif memang sudah terlihat sangat dewasa di usianya yang hampir menginjak 18 tahun. Apalagi jika sedang mengenakan baju casualnya. Besar dan tinggi badannya pun sudah sedikit melampaui ayahnya, Dhani.
"Apa sih, Mas?" Aira menepiskan tangannya ke udara sambil mengulum tersenyum. Alif pun kemudian berjalan menghampiri sang ibu.
"Beneran, ibu masih cantik kok. Nggak kalah sama yang masih gadis," goda Alif. Aira tahu Alif hanya bermaksud menghiburnya saja.
"Kalau ibuk cantik, ayah nggak akan berpaling," kata Aira sambil bangkit, meraih tas tangannya di atas meja rias. Masih dengan senyum di bibirnya yang dipolesnya lipstik warna peach.
"Itu karena ayah aja yang nggak bersyukur," timpal Alif. Aira hanya menahan senyum.
"Dah ah, ngomong apa, Mas? Yuk jalan!" ajak Aira. Dan Alif pun mengekor di belakang ibunya.
.
.
.
Alif memilih memarkirkan mobil ibunya di pelataran parkir depan hotel. Dan saat memandang sekeliling, mata awasnya langsung bisa mengenali sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berhenti.
"Ayah ada di sini, Buk," katanya.
"Oya?" Aira menoleh ke arah yang ditunjuk Alif. Iya benar, itu memang mobil Dhani yang sedang terparkir di pelataran hotel.
"Sepertinya waktunya nggak tepat, Mas. Kita balik aja yuk?" ajak Aira.
"Sudah nggak ada waktu, Buk. Besok hari peresmiannya kan?" tanya Alif.
"Iya, katanya," jawab Aira sedikit ragu.
"Kita tunggu sebentar. Siapa tahu dia sudah mau pulang."
Aira menatap anak sulungnya sambil mengulum senyum. Dia merasa ada yang aneh dengan kalimat Alif.
"Ayah, Mas. Bukan 'Dia'," koreksi Aira. Bagaimana pun Aira ingin Alif tetap menghormati ayahnya meskipun dia dan suaminya akhirnya berpisah nanti.
"Iya, Dia," canda Alif, membuat Aira terkekeh.
"Kamu ini, Mas, Mas." Aira mencubit gemas lengan anaknya.
.
.
.
Ternyata Alif benar, seperempat jam kemudian, nampak sepasang insan keluar dari lobby hotel sambil berpegangan tangan. Itu ayahnya dan istri barunya. Alif masih ingat sekali wajah perempuan itu. Memang masih muda. Jika dilihat dari penampilannya, masih lebih pantas jadi pacar Alif dibanding istri ayahnya.
Sejenak Alif melirik ibunya yang diam terpaku mengawasi pemandangan di depannya. Hatinya pasti hancur. Dan refleks saja, tangan Alif terulur menggenggam tangan kanan sang ibu.
Dhani pasti tidak menyadari bahwa istri dan anaknya juga sedang berada di tempat itu, hingga dengan santainya dia berjalan sangat mesra dengan perempuan itu menuju ke mobilnya.
Setelah mobil ayahnya pergi, Alif pun membukakan pintu untuk ibunya. Aira nampak mengusap ekor matanya sebelum turun dari mobil.
"Nggak usah sedih, Buk. Ada Alif," kata anak itu. Lagi lagi Aira hanya bisa tersenyum. Alif memang selalu bisa membuatnya tenang.
"Malem, Mbak. Pak ... emm ..., siapa Buk namanya?" tanya Alif.
"Hermawan Prasnowo Tejosukmono," sahut Aira.
"Iya, itu. Bisa ketemu?" tanya Alif pada resepsionis cantik yang bertugas di hotel malam itu.
"Maaf, kalau boleh tau, ibu siapa?" tanya sang resepsionis.
"Istrinya Pak Dhani Hendrawan Salim. Bilang saja begitu," kata Alif menjelaskan.
"Baik, tunggu sebentar ya, saya sambungkan dulu ke kamar beliau."
Lalu, resepsionis itupun terlihat berbicara melalui telepon saluran internal ke kamar tamu hotel.
" .... Baik, Pak. Selamat malam," ucapnya kemudian sesaat sebelum menutup telepon.
"Silahkan langsung ke lantai 5 kamar nomer 11, Bu. Pak Hermawan dan istri sudah menunggu," katanya kemudian.
Alif segera menggandeng tangan Aira menuju lift.
.
.
.
"Istrinya Pak Dhani ya?" Seorang wanita cantik. Mungkin berusia hampir setengah abad, tapi masih terlihat cantik dengan penampilan yang sangat elegan menyambutnya di pintu kamar hotel.
"Benar, Bu," jawab Aira sambil mengulurkan tangannya untuk menjabat. Ada rasa kikuk dan ragu yang dirasakan Aira. Namun wanita itu justru langsung memeluk dan mencium pipi kanan dan kiri Aira, membuatnya wanita itu sangat canggung diperlakukan dengan begitu baik.
"Ayo, masuk. Dan ini si ganteng ini, siapa?" tanya wanita itu saat pandangannya beralih ke arah Alif. Alif hanya memandang wanita itu dengan raut datar.
"Anak sulung saya, Bu."
"Alif," kata Alif memperkenalkan diri.
"Oh iya, Alif. Mari masuk, ada sofa kok di dalam. Ayo!" ajak wanita itu ramah.
"Ini bu Dhani dan putranya ya?" Pak Hermawan nampak berjalan dari arah mini kitchen kamar suitenya untuk bergabung. Menyalami Aira dan Alif, lalu ikut duduk di sebelah sang istri.
"Tadi baru saja pak Dhani dari sini, sama bawahannya. Iya kan, Mah?" kata Pak Hermawan pada sang istri.
"Iya, si Soraya sekretarisnya. Saya pikir tadi Ibu sedang sibuk, jadi sekretarisnya yang diajak," timpal Bu Hermawan.
Aira hanya tersenyum menanggapi itu. Sakit.
"Sebenarnya, Saya ke sini juga ingin membicarakan masalah suami saya, Pak, Bu," kata Aira.
"Sepertinya serius?" tanya bu Hermawan. Sejenak dia memandang ke arah suaminya. Dan mereka berdua pun bertatapan lumayan lama. "Baiklah bu Dhani. Silahkan, Kami akan mendengarkan. Ada apa?" lanjutnya kemudian.
"Sebelum ramadhan kemarin, suami saya menikah lagi." Aira menghentikan kalimatnya, menatap dua orang di depannya. Sebenarnya dia hanya ingin tahu bagaimana reaksi mereka.
Tapi aneh. Tak ada reaksi berlebihan yang ditunjukkan Pak Hermawan. Justru sepasang suami istri ini bahkan seperti kaget. Apakah pak Hermawan hanya akting saja? batin Aira.
"Pernikahan bagaimana maksud Ibu? Maaf kalau saya salah, apakah pak Dhani menikah lagi dengan wanita lain, begitu? Poligami?" tanya bu Hermawan menyela. Raut mukanya seperti kurang enak hati saat mengatakan itu.
"Benar, Bu. Dengan wanita bernama Soraya."
"Apa?!" Bukan cuma bu Hermawan, Pak Hermawan bahkan nampak lebih kaget. Aira mengerutkan dahinya. Benarkah Pak Hermawan tidak tahu? Kenapa dia sampai begitu kaget?
"Apa itu benar, bu Dhani?" bu Hermawan kembali bertanya.
"Benar, Bu. Saya sendiri mendatangi pernikahannya bersama anak saya ini. Dan maksud kedatangan saya kesini, saya ingin menanyakan sesuatu, khususnya pada pak Hermawan."
"Sama saya, Bu?" Pak Hermawan nampak mengerutkan dahi.
"Benar, Pak. Menurut pengakuan suami saya, pernikahan itu bukan atas kemauannya sendiri, melainkan ...." Aira menghentikan kalimatnya. Sedikit ragu untuk melanjutkan. "Apakah benar bapak yang menyuruh suami saya untuk menikahi wanita itu? Dan wanita itu yang sebenarnya bapak yang menghamili?"
"Apa?!" Bu Hermawan membelalakkan mata. Dia bergantian menatap Aira dan suaminya. Pak Hermawan yang dipandang justru nampak kebingungn.
"Maksudnya bagaimana ini, Bu? Saya kok kurang paham," kata pak Hermawan.
"Sebelumnya saya minta maaf jika daya lancang. Saya hanya ingin tahu apakah yang dikatakan suami saya itu.benar atau tidak. Jadi, suami saya mengaku bahwa wanita yang dinikahinya itu hamil oleh anda, Pak. Dan anda meminta suami saya untuk menggantikan anda menikahinya untuk mendapatkan jabatan kepala cabang. Apakah itu benar?"
"Astagaaa, Dhaniiii!" Pak Hermawan kini bangkit. Memegang kepala dengan dua tangannya. Dia nampak sangat kaget dan marah.
Sementara bu Hermawan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak, bu Dhani. Saya bisa pastikan itu tidak benar. Saya sangat kenal suami saya. Suami saya sudah tidak mungkin memiliki anak. Pak Hermawan ini sudah steril, Bu Dhani. Jadi, pasti ada yang tidak beres dengan suami anda." Bu Hermawan yang sepertinya segera menyadari situasi, segera menjelaskan.
"Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud mengacaukan rumah tangga bapak dan Ibu. Tapi rumah tangga saya telah hancur dengan alasan seperti itu. Jadi saya pikir saya harus mencari jawaban atas semua ini. Untuk itulah saya datang ke sini. Maafkan kelancangan saya. Dan maafkan jika semua yang saya tanyakan tadi tidak benar."
"Tidak. Tidak, bu Dhani, Anda tidak bersalah. Pah, duduklah! Ada yang tidak beres ini dengan bawahanmu," kata sang istri. Pak Hermawan yang nampak kacau pun segera duduk kembali.
"Jelas ini fitnah atas nama baikku, Mah. Dhani, Dhani, bagaimana mungkin dia bisa berbuat seperti itu? Padahal aku sangat mempercayainya."
Mata lelaki kaya itu memerah, menggeleng gelengkan kepalanya. Seperti menahan amarah yang siap diledakkan saat itu juga.
Suasana rumah keluarga Salim nampak sedikit sibuk malam itu. Pak Salim nampak sudah siap dengan dandanan jas warna hitamnya, sementara istrinya sudah rapi dengan kebaya dan sanggul besar di kepalanya. Raut muka mereka nampak begitu sumringah. Apalagi yang bisa membuat mereka bangga selain pelantikan putra semata wayangnya, Dhani Hendrawan Salim, sebagai Kepala Cabang kantor barunya yang diresmikan beberapa saat lagi. Dhani, keluar dari kamarnya dengan setelan jas warna navy, sementara Soraya sudah terlihat seksi dengan dress panjang ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan warna senada dengan suaminya. Seharusnya Aira lah yang malam ini mendampingi suaminya itu dalam pelantikan malam ini. Tapi apalah daya, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Dhani telah memiliki pendamping lain untuk acara membanggakannya malam ini. Istri mudanya yang juga berprofesi sebagai sekretarisnya selama ini. "Ayo buruan, Le. Nanti kita terlambat lho!" teriak sang Ibu dari
Aira berdiri dengan tepuk tangannya yang cukup keras. Saat semua mata memandang ke arahnya, wanita berhijab warna gelap itu kemudian sedikit membungkuk ke arah pak Hermawan dan sang istri serta menyilangkan kedua telapak tangannya di dada sebagai tanda ucapan terima kasih. Lantas, tak menunggu lama lagi, wanita itu pun segera berlalu meninggalkan ruangan dengan senyum kemenangannya. Lalu semua pemilik pasang mata yang sedari tadi memandang ke arahnya kembali riuh dengan bisikan bisikan sata tubuh Aira menghilang di balik pintu ruangan. "Wah, itu tadi pasti istri pertamanya." "Dia berhasil mempermalukan suami dan pelakornya. Habat ya?" "Siapa sih tadi? Keren banget ya? Istri pertamanya pak Dhani bukan?" "Wow ... langsung di skak mat sama istri tuanya. Gilee!" "Wah sayang ya, kenapa tadi nggak direcord sih. Kan bisa diviralin di sosmed Lumayan." Dan banyak lagi ocehan-ocehan lainnya yang memenuhi ruangan pertemuan itu. Sementara Pak Salim masih berd
Dua bulan setelah kejadian itu, Aira nampak kebingungan karena hari itu Adnan tak juga menampakkan diri di rumah. "Udah, Buk, tenang aja. Pasti dia bentar lagi pulang kok. Kayak kemarin-kemarin itu kan, jam berapa kemarin pulangnya?" "Jam 9 malam, Mas. Bayangkan! Adnan ini kenapa ya kok jadi gini sekarang. Susah dikasih tau. Ibuk heran." Aira berdecak sambil masih terus mondar mandir entah sudah berapa puluh kali di ruang tamu itu. Alif yang melihat tingkah laku ibunya jadi ikutan frustasi. Adnan, anak kedua Aira yang baru duduk di bangku kelas 1 SMA itu, untuk ketiga kalinya pulang sangat telat beberapa hari terakhir ini. Ponselnya kali ini bahkan mati, tak seperti beberapa waktu yang lalu saat dia juga pulang telat seperti ini. Aira seperti induk ayam yang kehilangan anaknya. Raut wajahnya campuran antara cemas, marah, dan frustasi. Malam sudah semakin bergulir. Jarum jam di kamar tamu juga sudah menunjuk pukul delapan malam. Dan selama membesarkan
"Ayolah lah, Mas. Berapa sih memangnya harga mobil? Soraya kan bosen di rumah terus. Bisa stress aku kalau gini, Mas. Bayi kita nanti kalau ikutan stres juga gimana?" Soraya merajuk pada suaminya sore itu yang baru saja pulang dari tempat kerjanya yang baru. Dua bulan setelah gagalnya pelantikan sebagai kepala cabang, Dhani memang memutuskan untuk menolak pekerjaan yang masih ditawarkan oleh Pak Hermawan untuk tetap bekerja di kantor itu sebagai karyawan biasa. Lelaki itu memilih mencari pekerjaan lain yang dianggapnya lebih pantas untuknya. Dan akhirnya dia pun bisa mendapatkan pekerjaan baru sebagai seorang supervisor di sebuah pabrik di kota itu lewat bantuan seorang teman sekolahnya dulu. Dia pikir itu jabatan yang lebih lumayan dibanding dia harus kembali menjadi karyawan biasa di kantor tempat kerjanya dulu. Meskipun itu sebenarnya sangat memalukan bahwa dia justru turun jabatan sejauh itu, namun hidupnya dengan Soraya harus tetap berjalan. Apalagi wanita keduan
Dhani baru saja masuk ke kamar saat ponselnya mendadak berdering. Dahinya sedikit berkerut ketika dilihatnya nama 'Aira' terpampang di layar. Dia sudah bisa menebak ini pasti tentang Adnan. "Ya, Dek?" sapanya saat berhasil tersambung. "Mas, Adnan sudah di situ kan?" Suara Aira dari seberang. "Iya, sudah. Sampai sekitar jam 8 tadi. Ini anaknya sudah di kamar, tidur," jawab Dhani menjelaskan. Sejenak hening. Dhani terlihat masih menunggu apa yang akan dikatakan Aira di seberang. "Titip Adnan ya, Mas. Jaga jangan sampai dia kenapa-napa. Aku nggak akan maafin kamu kalau sampai ada apa-apa sama anak kita, Mas." Kalimat itu terdengar terbata. Sepertinya Aira berkata sambil menahan tangis. "Jangan khawatir, dia bersama ayahnya. Tidak seharusnya kamu khawatir berlebihan, Ra." "Ya sudah kalau gitu. Katakan padanya aku menelpon," kata Aira sebelum menutup sambungan teleponnya. "Ya," jawab Dhani singkat. Dan entah kenapa ada perasaan aneh di hati lelaki
"Aira!" "Linda?!" Kedua wanita yang sudah lama tak bertemu itu pun saling berpelukan di sebuah mall. "Ya Allah, Ra. Kamu apa kabar? Makin cantik aja?" "Ah, bisa aja kamu, Lin. Kamu malah lebih cantik. Alhamdulillah kabarku baik. Kamu juga kan? Lagi belanja nih?" "Biasa lah, mau kondangan, suami minta dicariin baju baru. Kayak anak kecil deh." Dan keduanya pun terkekeh. "Kamu ngapain, Ra? Borong ya?" "Biasa juga," kata Aira sambil melirik ke Shofia yang berdiri di sampingnya sambil menenteng belanjaannya. "Kalau kamu suami yang rewel, kalau aku yang ini nih," goda Aira menyenggol bahu anaknya. Shofia yang merasa disindir langsung cemberut. "Ibuk apaan sih?" "Ini putri kamu?" tanya Linda. "Iya. Satu-satunya yang paling cantik." "Enak ya, Ra. Anak udah gede-gede gini. Akibat aku nikah telat nih, anakku semata wayang masih kecil. Belum bisa diajak jalan kemana-mana." "Nanti lama lama juga gede, Lin," tawa Aira. "Iya sih ge
"Bapak jadi beliin menantu kita mobil?" Bu Salim nampak bersungut-sungut sepulang dari arisan di rumah tetangganya. Dengan langkah tergesa dia menghampiri suaminya yang sedang duduk di teras sambil menikmati sebatang rokok di tangan. "Iya. Ibu nggak lihat apa mobil baru yang barusan keluar itu tadi?" kata Pak Salim dengan jumawanya. "Aku lihat, Pak. Makanya aku buru-buru pulang. Bapak ini kok keterlaluan to. Duit ratusan juta itu Pak, kenapa dihambur-hamburkan buat beli barang seperti itu?" Bu Salim dengan raut begitu kesal mendudukkan diri di sebelah suaminya. "Lhoh, dihambur-hamburkan gimana sih, Bu? Itu kukasih buat si Soraya, menantu kesayangan kita. Anggap saja itu hadiah karena sebentar lagi dia akan melahirkan cucu kita. Menantu kan artinya anak kita juga to? Kenapa ibu bilang dihamburkan?" "Ya Allah, Pak. Sayang sama menantu itu boleh-boleh saja. Tapi lihatlah situasi. Ini keadaan kita lagi terpuruk, kerjaannya si Dhani udah nggak kayak dulu yang gajinya ge
"Nanti kuliahnya pulang jam berapa, Mas?" tanya suara ibunya di seberang telepon. Alif sedang berjalan sedikit tergesa di koridor gedung utama kampus menuju aula menjelang siang itu. "Sebentar lagi mungkin, Buk. Ini masih ada satu kuliah umum. Habis itu pulang kayaknya. Kenapa, Buk?" "Ini, Mas. Kalau mampir ketemu sama Adnan dulu bisa nggak? Mas lihat keadaan dia. Perasaan ibuk kok agak nggak enak ya akhir-akhir ini." Terdengar helaan nafas berat sang ibu dari seberang. "Ooh, ya udah nanti habis dari kampus aku mampir ke sekolah." Alif melirik arloji di pergelangan tangannya. Pas, sehabis kuliah terakhirnya hari ini, dia masih belum terlambat untuk bertemu adiknya itu jika jadwal sekolah Adnan seperti biasa. "Bisa ya, Mas?" tanya Aira lagi. "Iya, bisa bisa, Buk. Alif kuliah dulu. Tenang aj ...." "Aowww, aduuh!!! Sialan, kalau jalan liat liat dong!! Gimana sih?!!" umpat seorang gadis yang baru saja tak sengaja tersenggol badan Alif di koridor. Buk