"Kenapa sih tiba-tiba tanya-tanya masalah kayak gitu, Reth?""Heh? Apa? Enggak, nggak apa-apa. Pengen tau aja pandangan cowok soal itu." Maretha mendadak gugup dengan pertanyaan Abidzar yang tak disangkanya itu."Allah itu sudah memberikan jodoh pada masing-masing orang. Dan saat sepasang jodoh itu sudah dipertemukan, hal-hal seperti itu sudah nggak akan ada pengaruhnya lagi. Maksudku, pasangan yang memang sudah ditakdirkan berjodoh tak akan sempat memikirkan hal-hal kayak gitu, Reth. Lagian orang-orang sekarang kurasa lebih open minded kok. Kita para cowok juga nggak merasa suci-suci amat. Jadi kalau aku, seperti apa di masa sekarang jauh lebih penting sih dibanding masih terus berkutat mempermasalahkan masa lalunya.""Oya?""Aku sih gitu.""Trus ngapain kamu ngejar-ngejar aku? Bukannya ka
Mendengar kalimat Abidzar, Alif tiba-tiba bisa menebak bahwa adik tirinya itu kemungkinan sudah mulai suka sama Abidzar. Buktinya dia sudah mau membuka diri untuk membahas masalah yang lebih pribadi pada sahabatnya itu."Memangnya Retha bilang apa sama kamu?""Dia sih cuma pengen tau pendapatku soal cewek yang udah nggak virgin. Trus dia juga tanya masalah pasangan hidup yang sudah nggak virgin. Sori ya Lif sebelumnya, apa Maretha itu ...." Abidzar tak sampai hati melanjutkan kalimatnya."Aku bukan orang yang berhak menjawab itu, Bi. Aku rasa kamu sendiri yang harus nanyain langsung sama Retha kalau memang kamu serius sama dia. Memangnya kalau boleh tau seserius apa sih kamu sama Retha?""Mau jawaban jujur, Lif?"
Siang itu Alif rupanya mulai mengenal sosok Aisha. Gadis yang terlihat seperti anak kecil saat di kampus itu ternyata lebih mandiri dari yang dia tahu. Ayahnya berprofesi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, membesarkan Aisha sendiri tanpa bantuan pembantu. Sejak SMP ternyata Aisha telah diajari mandiri oleh ayahnya itu. Dia pun tumbuh menjadi gadis yang serba bisa dalam mengurus rumah."Kadang aku iri Lif waktu jaman masih sekolah, melihat teman-teman masih punya keluarga lengkap. Tapi tiap kali ayah selalu bisa membesarkan hatiku. Dan dia mampu menunjukkan padaku bahwa hidup bersamanya saja juga sudah cukup."Aisha masih melanjutkan pembicaraan di sela-sela acara makan mereka."Hidup itu hanya saling lihat satu sama lain kok, Sha. Yang kelihatannya bahagia belum tentu merasa seperti itu aslinya. Saat kamu cerita tadi aku malah merasa kamu itu lebih beruntung m
"Retha!" Alif segera menyambar beberapa buku yang sudah diincarnya sejak tadi dari etalase saat dilihatnya seperti sosok adiknya di rak buku tak jauh dari tempatnya berdiri.Gadis yang merasa dipanggil itu pun langsung menoleh. Dia kaget melihat ternyata Alif pun sedang berada di toko buku yang sama dengan dirinya saat itu."Sama siapa?" tanya Alif saat akhirnya berhasil mendekat pada adiknya."Mmmm, sama ... Abidzar," jawabnya sedikit gugup."Oya? Mana dia?" Alif mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari sosok Abidzar di tempat itu. Bibirnya nampak mengembangkan senyum saat akhirnya menemukan pemuda itu diantara buku-buku bisnis."Kamu sendiri sama siapa?" tanya balik Maretha setelah merasa Alif tak lagi sedang menertawakannya.
"Mas, lebaran nanti bisa pulang kan?" tanya wanita itu di telepon. Seseorang di seberang sana nampak terdiam sejenak. Mungkin sedang berpikir. Haruskah lelaki itu butuh berpikir untuk pulang ke kampung halaman bertemu dengan istri dan anak-anaknya? "Mmm, mas belum tahu lebaran tahun ini bisa pulang atau tidak, Dek. Nanti mas kabari lagi ya?" "Tapi anak-anak sudah nanyain terus, Mas. Mereka sudah rindu sama kamu," protes sang istri. "Iya deh, nanti mas usahakan pulang. Tapi sepertinya mungkin pulangnya habis lebaran, Dek. Itu pun nggak bisa lama-lama." "Kok habis lebaran? Memangnya kantor buka pas lebaran? Biasanya enggak kan, Mas?" "Bukan gitu, ee ... maksud mas, iya, mas kejatah piket pas hari H. Gentian lah sama temen-teman, Dek. Masa' mas bisa pulang terus pas lebaran. Nggak enak sama yang lain," kata lelaki itu menjelaskan. Humaira termenung. Apa iya ada piket di kantor suaminya pas hari lebaran? Selama bertahun-tahun menjadi istri Dhani, lelaki it
"Mas," Aira membuka pelan pintu kamar anak sulungnya setelah mengetuknya beberapa kali. "Ada apa, Buk?" Alif berjalan menghampiri pintu melihat ibunya menyembulkan kepala dari baliknya. "Sudah mau tidur? Ibu mau bicara." "Belum ngantuk kok. Bicara apa, Buk?" Alif menyingkir dari depan pintu untuk membiarkan ibunya masuk. "Tutup pintunya ya, Mas. Ibu mau ngomong agak serius," kata Aira. Alif pun segera menutup pintu kamarnya. Lalu berjalan mendekati sang ibu yang sudah duduk di tepi ranjang. Setelah Alif duduk, Aira nampak menyerahkan ponsel pada anaknya. Sebuah foto yang beberapa hari lalu dikirimkan Linda padanya. "Ini apa, Buk?" Alif nampak sedikit bingung saat menerima ponsel ibunya. "Baca aja dulu, Mas." Kemudian dengan serius Alif mengamati foto undangan pernikahan yang diberikan oleh ibunya itu. Tak ada yang dia ucapkan saat selesai membaca isi dalam undangan itu. Apalagi saat melihat wajah ayahnya yang terpampang jelas di dalamny
Hari berikutnya Linda menelpon Aira lagi. Wanita itu benar-benar tidak menyangka Aira nekat pergi ke pernikahan suaminya. "Kamu tahu dari mana, Lin, aku pergi ke sana?" "Ya dari keponakanku lah. Dia ada di sana pas kamu bikin semua tamu undangan melongo. Lalu saat kamu pergi, ibu mertua suamimu katanya sampai pingsan." "Oya? Kasihan juga ya sebenarnya. Tapi aku nggak terima dibohongi seperti ini, Lin." "Selamat Ra, kamu menang kok. Suamimu langsung diusir dari rumah mertuanya setelah itu. Tapi ..." "Tapi apa, Lin?" "Istri mudanya mengikutinya. Dia bersikukuh tetap ingin bersama suamimu katanya." "Ooh, cinta sejati rupanya?" kata Aira sarkas. "Nggak tau deh. Katanya sih karena dia terlanjur hamil." "Ooh, jadi begitu. Oke, Lin, terima kasih ya infonya. Sebenarnya yang kulakukan kemarin belum seberapa. Aku hanya ingin memperjuangkan anak-anakku, Lin. Maaf jika harus ada beberapa orang yang tersakiti karena tindakanku. Itu bukan mauku." "
"Kamu tidak akan bisa menghidupi anak-anak tanpa aku, Dek. Itulah kenapa aku tidak akan pernah menceraikanmu," ucap Dhani dengan sombongnya. "Jangan terlalu percaya diri, Mas. Aku tidak membutuhkan belas kasihanmu untuk menghidupi anak-anakku. Mereka tidak akan kubiarkan hidup dengan melihat kehidupan kita yang seperti ini. Melihat ayahnya memperlakukan seorang wanita.dengan.semena-mena. Apa jadinya kehidupan mereka nanti jika sampai ada yang menirumu?" "Maksud kamu apa, Dek? Aku nggak ngerti kamu ini ngomong apa sih?" "Kalau aku tetap bersama kamu. Anak anak akan melihat bahwa menyakiti pasangan itu sebagai sesuatu yang wajar dan lumrah, Mas. Aku tidak ingin mereka kelak sepertimu." "Tapi aku masih mencintai kamu, Dek. Aku mencintai anak anak. Aku tidak mungkin meninggalkan kalian. Aku ... aku sebenarnya terpaksa menikahinya karena ..." "Cukup, Mas! Aku tidak mau mendengar alasan apapun darimu. Kenapa kamu menikah dengan wanita itu, sama sekali bukan urusanku