"Kamu tidak akan bisa menghidupi anak-anak tanpa aku, Dek. Itulah kenapa aku tidak akan pernah menceraikanmu," ucap Dhani dengan sombongnya.
"Jangan terlalu percaya diri, Mas. Aku tidak membutuhkan belas kasihanmu untuk menghidupi anak-anakku. Mereka tidak akan kubiarkan hidup dengan melihat kehidupan kita yang seperti ini. Melihat ayahnya memperlakukan seorang wanita.dengan.semena-mena. Apa jadinya kehidupan mereka nanti jika sampai ada yang menirumu?"
"Maksud kamu apa, Dek? Aku nggak ngerti kamu ini ngomong apa sih?"
"Kalau aku tetap bersama kamu. Anak anak akan melihat bahwa menyakiti pasangan itu sebagai sesuatu yang wajar dan lumrah, Mas. Aku tidak ingin mereka kelak sepertimu."
"Tapi aku masih mencintai kamu, Dek. Aku mencintai anak anak. Aku tidak mungkin meninggalkan kalian. Aku ... aku sebenarnya terpaksa menikahinya karena ..."
"Cukup, Mas! Aku tidak mau mendengar alasan apapun darimu. Kenapa kamu menikah dengan wanita itu, sama sekali bukan urusanku. Yang jelas, tidak ada keterpaksaan yang sampai direncanakan sedemikian rupa seperti ini. Kebohonganmu sudah sangat keterlaluan, Mas. Sekarang, tolong pergi dari sini. Tinggalkan aku dan anak-anak. Kami tidak membutuhkan kamu lagi di rumah ini, Mas!"
"Dek, tidak bisa begitu! Ini masih rumahku lho. Aku masih suamimu, ayah dari anak-anak. Aku masih berhak tinggal di sini."
"Jangan sembarangan, Mas! Rumah ini, mobil, dan motor yang pernah kamu beli itu tidak sebanding dengan bertahun-tahun kamu tidak pernah ikut merawat mereka. Semua ini belum ada apa-apanya, Mas. Masih tega kamu mau ambil semua yang sudah kamu berikan pada kami ini? Tolong pergi sekarang!" kata.Aira sedikit berteriak.
"Nggak, Dek. Aku nggak akan pergi!" Dhani tak mau kalah. Nada bicaranya pun lebih tinggi.
"Ayah pergi saja. Tidak ada gunanya ayah di sini. Kami sudah tidak butuh ayah lagi."
Alif tiba tiba muncul dari ruang tengah. Disusul Adnan yang tadi sempat menyusulnya ke kamar Shofi saat Alif mengejarnya.
"Kamu dengar itu, Mas? Sekarang pergilah!" kata Aira penuh kemenangan.
Dhani kaget mendengar keberanian anak-anak yang selama ini selalu berperilaku manis itu padanya. Wajahnya sampai memerah menahan marah yang tak bisa sepenuhnya dia luapkan pada anak-anaknya itu. Dhani tahu memarahi anak-anaknya artinya adalah kehilangan simpati mereka.
"Kamu keterlaluan, Dek. Kamu mengajarkan anak-anak untuk membenciku?"
"Aku tidak pernah mengajarkan mereka untuk membencimu. Kelakuanmu sendiri yang membuat mereka benci padamu. Harusnya kamu berpikir dulu sebelum melakukan sesuatu, Mas."
"Oke, oke. Kalian ternyata memang sudah tidak bisa diatur sekarang. Hanya dengan melihatku melakukan.hal seperti ini saja, kalian melupakan.begitu saja pengorbananku menghidupi kalian selama bertahun-tahun. Aku cuma mau lihat saja apakah setelah ini kalian masih bisa bertahan tanpa uang dariku. Aku akan lihat, Aira!"
Usai berkata begitu, Dhani pun segera berlalu meninggalkan rumah dengan wajah bersungut sungut menahan emosi. Dan saat mobil yang dikendarai suaminya terdengar telah meninggalkan depan rumahnya, Aira ambruk di kursi. Ketegaran yang tadi sempat ditunjukkannya pada suaminya habis sudah.
Bukan meratapi nasibnya jika dia sampai terlihat lemah seperti itu, tapi sejujurnya Aira mengkhawatirkan nasib anak-anaknya setelah ini. Dia tahu, selama ini kehidupannya memang sepenuhnya dari hasil kerja suaminya. Karena sebagai ibu rumah tangga dengan tiga anak, Aira mutlak pernah punya waktu untuk bekerja.
"Ibuk!" Alif dan Adnan bergegas menghampiri sang ibu yang terduduk lemas di kursi tamu. Alif memegangi pundak sang ibu yang terlihat berguncang karena menangis.
"Dek, tolong ambilkan minum ya?" pinta Alif pada adiknya. Dan Adnan segera menuju ke dapur untuk mengambilkan minum untuk ibunya.
Setelah meneguk segelas air yang diberikan oleh anaknya, Aira pun menyuruh dua anak lelakinya untuk duduk di sebelahnya.
"Maafkan ibu ya, Mas. Ibu terpaksa melakukan ini. Ibu bukan ingin egois atau mementingkan perasaan ibu sendiri. Tapi ibu tidak ingin lagi hidup bersama ayah kalian. Maaf jika nanti setelah ini hidup kita tak akan sama lagi seperti.kemarin." Suara Aira terbata. Dua bulir.bening segera meluncur dari dua sudut matanya.
"Sudah, ibu nggak usah berpikir seperti itu. Ibu istirahat dulu saja. Alif antar ke kamar ya?" kata anak sulungnya.
Alif membantu ibunya bangkit, lalu menggandengnya menuju kamar. Sementara Adnan mengikutinya dari belakang.
"Terima kasih, Mas. Ibu akan istirahat sebentar. Tolong awasi Shofi ya? Jangan sampai Adek berbuat aneh-aneh."
"Ya, Buk. Ibu tenang saja."
Sepeninggalan anak-anaknya, matanya pun tak bisa terpejam. Aira memandang langit langit kamarnya sambil terus berpikir.
Setelah ini, suaminya pasti tidak akan lagi memberikannya nafkah seperti biasa. Dia harus mulai bangkit sekarang. Seharusnya memang sejak dulu Aira berpikir untuk mencari penghasilan sendiri. Namun, apakah dia tahu takdir apa yang akan terjadi di masa depannya?
Seandainya dia tahu Dhani akan berbuat setega ini padanya, pastilah dia akan sudah mempersiapkan jauh hari sebelumnya untuk bisa mandiri. Namun bukankah saat menikah dulu, mereka sudah berjanji untuk saling mengasihi sampai mati dan tidak saling menyakiti? Lalu jika kenyataannya seperti ini, siapa yang patut disalahkan?
Berpikir, berpikir, dan berpikir. Aira sekarang harus memikirkan apa yang akan dilakukannya untuk membuatnya bisa bertahan hidup bersama anak-anaknya. Dia tidak akan membiarkan suaminya melihatnya lemah, hingga lelaki itu akan kembali bisa menginjak-injak harga diri Aira lagi.
.
.
.
"Mas, ibu mau minta ijin menjual motornya satu, boleh?" tanya Aira saat mereka selesai makan malam itu.
"Buat apa, Buk?" tanya Alif.
"Ibu butuh modal untuk membuka usaha. Ibu akan berjualan makanan, Mas. Biar kita bisa bertahan hidup karena ayah kan sudah tidak akan mengurusi kita lagi. Gimana? Boleh?"
Alif tercenung mendengar kata-kata ibunya. Dia.mengerti.sekarang kenapa ibunya meminta maaf semalam. Mungkin.dia pun harus bersiap untuk tak lagi bergantung pada ayahnya.
"Kalau motornya dijual satu, Adnan gimana sekolahnya, Buk?" Berbeda dengan sang kakak, Adnan terlihat protes.
"Sementara Adnan boncengan dulu sama mas Alif. Nanti Shofi biar Ibu yang antar jemput pake mobil."
"Tapi kan jadwal kami kadang beda pulangnya, Buk?" ujar Adnan lagi.
Sejenak semuanya terdiam. Shofia pun yang nampak lebih pendiam setelah insiden dengan sang ayah tadi siang hanya menunduk memainkan sendok di piringnya.
"Ya sudah kalau gitu. Ibu jual perhiasan simpanan ibu saja." Aira mendesah pelan. Sebenarnya sangat sayang. Beberapa perhiasan yang diberikan oleh mendiang Ibunya harus dia relakan untuk membuka usaha. Namun Aira tidak ingin anak-anaknya merasa tidak nyaman karena merasa harus berkorban.
"Nggak usah, Buk. Biar motor Alif aja yang dijual. Alif bisa pulang naik angkot. Nanti berangkatnya aja nebeng Ibu sambil ngantar Shofi."
"Tapi Mas, Kamu kan butuh cepat kemana-mana. Sudah mau ujian kan?" tanya Aira meyakinkan.
"Nggak papa, Buk. Santai aja."
"Bener Mas nggak apa apa?"
"Bener, Buk. Jual aja motor Alif. Ibu mau bikin makanan apa sih? Gimana kalau sambil dijual online saja?"
"Dijual online, Mas? Tapi caranya gimana? Kan Ibu nggak tau."
"Tenang, nanti Alif ajarkan caranya sama ibu. Temen Alif banyak kok yang pada jualan.online. Nanti deh Alif tanyakan juga pada mereka. Nanti Alif bantuin juga memasarkannya. Adek-adek juga pasti mau bantuin kok. Ya kan?" Alif beralih menatap kedua adiknya bergantian.
Adnan yang agak kurang enak hati sudah menolak permintaan ibunya untuk menjual motor tadi hanya mengangguk pelan. Sementara Shofia justru sangat antusias mendengar itu.
"Iya, mau, mau. Shofi mau bantuin ibu jualan," kata gadis remaja itu dengan wajah cerianya.
Melihat semangat anak-anaknya, Aira pun merasa begitu bahagia. Seandainya saja tidak ada mereka. Entah apa yang akan terjadi padanya saat ini.
"Buk, ada eyang datang." Aira sedang berkutat di dapur untuk mempersiapkan makan malam saat Shofia mengabarkan kedatangan kakek neneknya sore itu. Mereka adalah orang tua Dhani, karena kedua orang tua Aira sendiri sudah berpulang beberapa tahun yang lalu. "Iya, di suruh masuk, Dek. Ibu cuci tangan dulu." "Sudah, Buk. Sudah di ruang tamu kok," jawab anak gadis remajanya itu. Aira sudah menduga. Mertuanya pasti akan datang sebagai penengah dalam permasalahannya dengan Dhani. Kedua orang tua yang sudah berumur itu tidak mungkin datang ke rumah ini tanpa sebab yang jelas. Usia mereka sudah cukup lanjut, itulah alasan kenapa selama ini Dhani tidak mengijinkannya dan anak-anak mereka ikut tinggal di perantauan bersamanya. Dhani adalah anak tunggal, dan kedua orang tuanya juga tidak mau diajak pindah meninggalkan rumah mereka. Jadi, Aira biasanya yang minimal dua kali seminggu menengok mereka untuk melihat keadaan. Meskipun Dhani sudah menyewa seorang asi
"Ibuk dari mana?" Alif menyambutnya di teras sesaat setelah Aira memarkirkan mobilnya di garasi. Wanita itu turun menutup pintu mobilnya, lalu berjalan beriringan dengan anak sulungnya ke dalam rumah. "Ibu habis dari toko perhiasan, Mas." Aira mendudukkan tubuh lelahnya di kursi tamu. "Lhoh, ngapain Buk?" "Ibu akhirnya jual perhiasan. Lumayan mas masih bisa laku 20an juta." "Perhiasan peninggalan eyang?" Alif mengikuti ibunya duduk. Dahinya berkerut. "Iya." "Katanya ibu mau jual motornya Alif? Kok malah perhiasannya yang dijual?" "Setelah Ibu pikir-pikir, mendingan perhiasannya aja mas yang dijual. Lagian Ibu juga nggak terlalu suka pakai perhiasan. Model perhiasan peninggalan eyang juga sudah kuno. Motor mas juga lebih berguna dibanding perhiasannya kan?" "Tapi kan Ibu sayang banget sama perhiasan itu. Satu satunya yang mengingatkan Ibu sama eyang." "Nggak apa apa, Mas. Cuma perhiasan aja kok. Yang penting doa ibu tidak pernah lupa un
"Sebenarnya Ibu ini heran, Le. Kenapa sih Kamu harus nyuruh Bapak sama Ibu nggak jujur soal pernikahanmu pada Aira?" Dhani sedang duduk di serambi rumah orang tuanya sore itu dengan sang bapak saat ibunya ikut bergabung. "Ini di luar rencanaku, Bu. Aku nggak menyangka Aira akan tahu soal pernikahan ini. Awalnya aku bermaksud merahasiakan ini dari Aira dan anak-anak. Aku ingin memberi mereka kejutan bahwa tahun ini aku sudah pindah ke kota ini memimpin kantor cabang baru. Momennya tepat, pas lebaran aku dipindahkan ke sini. Nggak taunya Aira malah datang ķe pernikahanku dan Soraya. Aku juga nggak tahu dia dapat informasi itu dari siapa." Dhani terlihat frustasi saat mengatakan semua itu. Bagaimana pun, dalam hatinya tak pernah ada niat untuk menyakiti Aira, apalagi anak-anaknya. Namun hasrat lelakinya yang meronta, saat berjauhan dengan sang istri selama berbulan-bulan membuatnya jatuh dalam pelukan karyawan barunya yang baru dua tahun bekerja di kantor itu. Soray
"Mas." Alif yang baru saja keluar dari kelasnya dan berniat menuju perpustakaan sontak menoleh. Adnan mengejar dengan langkah tergesa di belakangnya. "Ada apa?" tanyanya. "Ayah ngajak ketemuan. Nanti habis pulang sekolah." "Ya udah, temuin aja," jawabnya santai. "Tapi ayah suruh ngajak Mas Alif." "Dia nggak bilang kok. Kamu aja yang pergi. Mas nanti mau buru-buru pulang." "Tapi Mas, katanya penting. Soal Ibuk." "Kalau penting biar datang ke rumah aja. Udah Dek, nggak usah ikutan pusing," kata Alif menepuk bahu adiknya. "Mas mau kemana?" "Perpus. Mau ikut?" Adnan menggeleng. Lalu Alif pun berbalik melanjutkan langkahnya yang tadi sempat tertunda. . . . Siang harinya Adnan menunggu kakaknya di parkiran dengan gelisah. Kelasnya selesai setengah jam lebih awal dari kelas Alif. Sudah dari seperempat jam yang lalu, ponselnya tak berhenti bergetar. Dari sang ayah. Dan karena tidak enak hati, akhirnya Adnan memutuskan untuk menga
Aira mematut diri di cermin. Setelan gamis plus khimar warna salem jadi pilihannya untuk bertemu atasan Dhani malam ini. Cukup lama dia memperhatikan bayangan wajahnya di depan sana. Rupanya beberapa kerutan memang sudah lumayan terlihat jelas di wajahnya. Aira mendesah. "Ibuk cantik." Aira tersenyum tipis. Dari cermin dia bisa melihat Alif sudah berdiri bersandar di pintu kamarnya memperhatikannya yang masih duduk di depan meja rias. Anak itu sudah rapi dengan celana jeans dan kaos polonya. Alif memang sudah terlihat sangat dewasa di usianya yang hampir menginjak 18 tahun. Apalagi jika sedang mengenakan baju casualnya. Besar dan tinggi badannya pun sudah sedikit melampaui ayahnya, Dhani. "Apa sih, Mas?" Aira menepiskan tangannya ke udara sambil mengulum tersenyum. Alif pun kemudian berjalan menghampiri sang ibu. "Beneran, ibu masih cantik kok. Nggak kalah sama yang masih gadis," goda Alif. Aira tahu Alif hanya bermaksud menghiburnya saja. "Kalau ibuk
Suasana rumah keluarga Salim nampak sedikit sibuk malam itu. Pak Salim nampak sudah siap dengan dandanan jas warna hitamnya, sementara istrinya sudah rapi dengan kebaya dan sanggul besar di kepalanya. Raut muka mereka nampak begitu sumringah. Apalagi yang bisa membuat mereka bangga selain pelantikan putra semata wayangnya, Dhani Hendrawan Salim, sebagai Kepala Cabang kantor barunya yang diresmikan beberapa saat lagi. Dhani, keluar dari kamarnya dengan setelan jas warna navy, sementara Soraya sudah terlihat seksi dengan dress panjang ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan warna senada dengan suaminya. Seharusnya Aira lah yang malam ini mendampingi suaminya itu dalam pelantikan malam ini. Tapi apalah daya, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Dhani telah memiliki pendamping lain untuk acara membanggakannya malam ini. Istri mudanya yang juga berprofesi sebagai sekretarisnya selama ini. "Ayo buruan, Le. Nanti kita terlambat lho!" teriak sang Ibu dari
Aira berdiri dengan tepuk tangannya yang cukup keras. Saat semua mata memandang ke arahnya, wanita berhijab warna gelap itu kemudian sedikit membungkuk ke arah pak Hermawan dan sang istri serta menyilangkan kedua telapak tangannya di dada sebagai tanda ucapan terima kasih. Lantas, tak menunggu lama lagi, wanita itu pun segera berlalu meninggalkan ruangan dengan senyum kemenangannya. Lalu semua pemilik pasang mata yang sedari tadi memandang ke arahnya kembali riuh dengan bisikan bisikan sata tubuh Aira menghilang di balik pintu ruangan. "Wah, itu tadi pasti istri pertamanya." "Dia berhasil mempermalukan suami dan pelakornya. Habat ya?" "Siapa sih tadi? Keren banget ya? Istri pertamanya pak Dhani bukan?" "Wow ... langsung di skak mat sama istri tuanya. Gilee!" "Wah sayang ya, kenapa tadi nggak direcord sih. Kan bisa diviralin di sosmed Lumayan." Dan banyak lagi ocehan-ocehan lainnya yang memenuhi ruangan pertemuan itu. Sementara Pak Salim masih berd
Dua bulan setelah kejadian itu, Aira nampak kebingungan karena hari itu Adnan tak juga menampakkan diri di rumah. "Udah, Buk, tenang aja. Pasti dia bentar lagi pulang kok. Kayak kemarin-kemarin itu kan, jam berapa kemarin pulangnya?" "Jam 9 malam, Mas. Bayangkan! Adnan ini kenapa ya kok jadi gini sekarang. Susah dikasih tau. Ibuk heran." Aira berdecak sambil masih terus mondar mandir entah sudah berapa puluh kali di ruang tamu itu. Alif yang melihat tingkah laku ibunya jadi ikutan frustasi. Adnan, anak kedua Aira yang baru duduk di bangku kelas 1 SMA itu, untuk ketiga kalinya pulang sangat telat beberapa hari terakhir ini. Ponselnya kali ini bahkan mati, tak seperti beberapa waktu yang lalu saat dia juga pulang telat seperti ini. Aira seperti induk ayam yang kehilangan anaknya. Raut wajahnya campuran antara cemas, marah, dan frustasi. Malam sudah semakin bergulir. Jarum jam di kamar tamu juga sudah menunjuk pukul delapan malam. Dan selama membesarkan