Dua bulan setelah kejadian itu, Aira nampak kebingungan karena hari itu Adnan tak juga menampakkan diri di rumah. "Udah, Buk, tenang aja. Pasti dia bentar lagi pulang kok. Kayak kemarin-kemarin itu kan, jam berapa kemarin pulangnya?" "Jam 9 malam, Mas. Bayangkan! Adnan ini kenapa ya kok jadi gini sekarang. Susah dikasih tau. Ibuk heran." Aira berdecak sambil masih terus mondar mandir entah sudah berapa puluh kali di ruang tamu itu. Alif yang melihat tingkah laku ibunya jadi ikutan frustasi. Adnan, anak kedua Aira yang baru duduk di bangku kelas 1 SMA itu, untuk ketiga kalinya pulang sangat telat beberapa hari terakhir ini. Ponselnya kali ini bahkan mati, tak seperti beberapa waktu yang lalu saat dia juga pulang telat seperti ini. Aira seperti induk ayam yang kehilangan anaknya. Raut wajahnya campuran antara cemas, marah, dan frustasi. Malam sudah semakin bergulir. Jarum jam di kamar tamu juga sudah menunjuk pukul delapan malam. Dan selama membesarkan
"Ayolah lah, Mas. Berapa sih memangnya harga mobil? Soraya kan bosen di rumah terus. Bisa stress aku kalau gini, Mas. Bayi kita nanti kalau ikutan stres juga gimana?" Soraya merajuk pada suaminya sore itu yang baru saja pulang dari tempat kerjanya yang baru. Dua bulan setelah gagalnya pelantikan sebagai kepala cabang, Dhani memang memutuskan untuk menolak pekerjaan yang masih ditawarkan oleh Pak Hermawan untuk tetap bekerja di kantor itu sebagai karyawan biasa. Lelaki itu memilih mencari pekerjaan lain yang dianggapnya lebih pantas untuknya. Dan akhirnya dia pun bisa mendapatkan pekerjaan baru sebagai seorang supervisor di sebuah pabrik di kota itu lewat bantuan seorang teman sekolahnya dulu. Dia pikir itu jabatan yang lebih lumayan dibanding dia harus kembali menjadi karyawan biasa di kantor tempat kerjanya dulu. Meskipun itu sebenarnya sangat memalukan bahwa dia justru turun jabatan sejauh itu, namun hidupnya dengan Soraya harus tetap berjalan. Apalagi wanita keduan
Dhani baru saja masuk ke kamar saat ponselnya mendadak berdering. Dahinya sedikit berkerut ketika dilihatnya nama 'Aira' terpampang di layar. Dia sudah bisa menebak ini pasti tentang Adnan. "Ya, Dek?" sapanya saat berhasil tersambung. "Mas, Adnan sudah di situ kan?" Suara Aira dari seberang. "Iya, sudah. Sampai sekitar jam 8 tadi. Ini anaknya sudah di kamar, tidur," jawab Dhani menjelaskan. Sejenak hening. Dhani terlihat masih menunggu apa yang akan dikatakan Aira di seberang. "Titip Adnan ya, Mas. Jaga jangan sampai dia kenapa-napa. Aku nggak akan maafin kamu kalau sampai ada apa-apa sama anak kita, Mas." Kalimat itu terdengar terbata. Sepertinya Aira berkata sambil menahan tangis. "Jangan khawatir, dia bersama ayahnya. Tidak seharusnya kamu khawatir berlebihan, Ra." "Ya sudah kalau gitu. Katakan padanya aku menelpon," kata Aira sebelum menutup sambungan teleponnya. "Ya," jawab Dhani singkat. Dan entah kenapa ada perasaan aneh di hati lelaki
"Aira!" "Linda?!" Kedua wanita yang sudah lama tak bertemu itu pun saling berpelukan di sebuah mall. "Ya Allah, Ra. Kamu apa kabar? Makin cantik aja?" "Ah, bisa aja kamu, Lin. Kamu malah lebih cantik. Alhamdulillah kabarku baik. Kamu juga kan? Lagi belanja nih?" "Biasa lah, mau kondangan, suami minta dicariin baju baru. Kayak anak kecil deh." Dan keduanya pun terkekeh. "Kamu ngapain, Ra? Borong ya?" "Biasa juga," kata Aira sambil melirik ke Shofia yang berdiri di sampingnya sambil menenteng belanjaannya. "Kalau kamu suami yang rewel, kalau aku yang ini nih," goda Aira menyenggol bahu anaknya. Shofia yang merasa disindir langsung cemberut. "Ibuk apaan sih?" "Ini putri kamu?" tanya Linda. "Iya. Satu-satunya yang paling cantik." "Enak ya, Ra. Anak udah gede-gede gini. Akibat aku nikah telat nih, anakku semata wayang masih kecil. Belum bisa diajak jalan kemana-mana." "Nanti lama lama juga gede, Lin," tawa Aira. "Iya sih ge
"Bapak jadi beliin menantu kita mobil?" Bu Salim nampak bersungut-sungut sepulang dari arisan di rumah tetangganya. Dengan langkah tergesa dia menghampiri suaminya yang sedang duduk di teras sambil menikmati sebatang rokok di tangan. "Iya. Ibu nggak lihat apa mobil baru yang barusan keluar itu tadi?" kata Pak Salim dengan jumawanya. "Aku lihat, Pak. Makanya aku buru-buru pulang. Bapak ini kok keterlaluan to. Duit ratusan juta itu Pak, kenapa dihambur-hamburkan buat beli barang seperti itu?" Bu Salim dengan raut begitu kesal mendudukkan diri di sebelah suaminya. "Lhoh, dihambur-hamburkan gimana sih, Bu? Itu kukasih buat si Soraya, menantu kesayangan kita. Anggap saja itu hadiah karena sebentar lagi dia akan melahirkan cucu kita. Menantu kan artinya anak kita juga to? Kenapa ibu bilang dihamburkan?" "Ya Allah, Pak. Sayang sama menantu itu boleh-boleh saja. Tapi lihatlah situasi. Ini keadaan kita lagi terpuruk, kerjaannya si Dhani udah nggak kayak dulu yang gajinya ge
"Nanti kuliahnya pulang jam berapa, Mas?" tanya suara ibunya di seberang telepon. Alif sedang berjalan sedikit tergesa di koridor gedung utama kampus menuju aula menjelang siang itu. "Sebentar lagi mungkin, Buk. Ini masih ada satu kuliah umum. Habis itu pulang kayaknya. Kenapa, Buk?" "Ini, Mas. Kalau mampir ketemu sama Adnan dulu bisa nggak? Mas lihat keadaan dia. Perasaan ibuk kok agak nggak enak ya akhir-akhir ini." Terdengar helaan nafas berat sang ibu dari seberang. "Ooh, ya udah nanti habis dari kampus aku mampir ke sekolah." Alif melirik arloji di pergelangan tangannya. Pas, sehabis kuliah terakhirnya hari ini, dia masih belum terlambat untuk bertemu adiknya itu jika jadwal sekolah Adnan seperti biasa. "Bisa ya, Mas?" tanya Aira lagi. "Iya, bisa bisa, Buk. Alif kuliah dulu. Tenang aj ...." "Aowww, aduuh!!! Sialan, kalau jalan liat liat dong!! Gimana sih?!!" umpat seorang gadis yang baru saja tak sengaja tersenggol badan Alif di koridor. Buk
"Baru pulang, Nan?" Kalimat khas sang kakek saat melihat cucu lelakinya pulang dari sekolah. Bahkan dia tidak bertanya hal lain meskipun hari ini Adnan pulang hampir jam setengah 7 malam dan masih mengenakan seragam sekolahnya. "Iya. Eyang mau kemana? Kok rapi?" tanya sang cucu sambil mencium punggung tangan kakeknya. "Biasa, kondangan di desa sebelah," jawab Pak Salim sambil membenarkan letak peci di kepalanya. "Bune, ayo cepetan! Acaranya udah mau mulai ini," teriak lelaki tua itu kemudian memanggil istrinya. "Ya, Pak. Ini lho sudah selesai." Bu Salim berjalan tergesa dari dalam rumah. "Lho, Nan. Baru pulang kamu? Dari mana?" tanya Bu Salim. "Biasa, ngerjain tugas sama temen, Eyang," jawab sang cucu. "Ooh, yo wis. Habis mandi cepetan makan yo? Tadi eyang masak ayam goreng kesukaan kamu. Wis yo, eyang jalan dulu," pamit Bu Salim. "Iya. Eh, ayah belum pulang ya?" Adnan mengamati sekeliling dan menyadari jika mobil ayahnya memang belum ada di ruma
"Nama kamu Alif, kan? Hai, Aku Retha." Gadis itu mengulurkan tangannya untuk menjabat. Alif yang sedang fokus dengan bacaan di depannya mendongak. Lalu memindai dari atas ke bawah dan matanya berhenti pada tangan yang terulur itu. Tapi tangannya sendiri tak bergerak. Dia tahu siapa gadis yang sedang berdiri di samping tempat duduknya itu. Dari baju kurang bahan yang dikenakannya, Alif ingat dia adalah mahasiswi ekonomi yang kemarin tak sengaja dia tabrak saat akan menuju ke aula kampus. "Mau apa?" tanyanya dingin. Mendengar jawaban Alif, Maretha melengos sambil berdecak. Ternyata benar apa yang dibilang teman temannya tadi. Beberapa menit yang lalu, Maretha sedang duduk melingkar di salah satu sudut meja perpustakaan bersama tiga sahabatnya saat Alif datang di tempat itu. Dengan gayanya yang cool, pemuda itu langsung menuju ke rak buku, mengambil salah satu bacaan di sana, kemudian mengambil tempat duduk di salah satu sudut berseberangan dengan tempat Mare