"Aira!" "Linda?!" Kedua wanita yang sudah lama tak bertemu itu pun saling berpelukan di sebuah mall. "Ya Allah, Ra. Kamu apa kabar? Makin cantik aja?" "Ah, bisa aja kamu, Lin. Kamu malah lebih cantik. Alhamdulillah kabarku baik. Kamu juga kan? Lagi belanja nih?" "Biasa lah, mau kondangan, suami minta dicariin baju baru. Kayak anak kecil deh." Dan keduanya pun terkekeh. "Kamu ngapain, Ra? Borong ya?" "Biasa juga," kata Aira sambil melirik ke Shofia yang berdiri di sampingnya sambil menenteng belanjaannya. "Kalau kamu suami yang rewel, kalau aku yang ini nih," goda Aira menyenggol bahu anaknya. Shofia yang merasa disindir langsung cemberut. "Ibuk apaan sih?" "Ini putri kamu?" tanya Linda. "Iya. Satu-satunya yang paling cantik." "Enak ya, Ra. Anak udah gede-gede gini. Akibat aku nikah telat nih, anakku semata wayang masih kecil. Belum bisa diajak jalan kemana-mana." "Nanti lama lama juga gede, Lin," tawa Aira. "Iya sih ge
"Bapak jadi beliin menantu kita mobil?" Bu Salim nampak bersungut-sungut sepulang dari arisan di rumah tetangganya. Dengan langkah tergesa dia menghampiri suaminya yang sedang duduk di teras sambil menikmati sebatang rokok di tangan. "Iya. Ibu nggak lihat apa mobil baru yang barusan keluar itu tadi?" kata Pak Salim dengan jumawanya. "Aku lihat, Pak. Makanya aku buru-buru pulang. Bapak ini kok keterlaluan to. Duit ratusan juta itu Pak, kenapa dihambur-hamburkan buat beli barang seperti itu?" Bu Salim dengan raut begitu kesal mendudukkan diri di sebelah suaminya. "Lhoh, dihambur-hamburkan gimana sih, Bu? Itu kukasih buat si Soraya, menantu kesayangan kita. Anggap saja itu hadiah karena sebentar lagi dia akan melahirkan cucu kita. Menantu kan artinya anak kita juga to? Kenapa ibu bilang dihamburkan?" "Ya Allah, Pak. Sayang sama menantu itu boleh-boleh saja. Tapi lihatlah situasi. Ini keadaan kita lagi terpuruk, kerjaannya si Dhani udah nggak kayak dulu yang gajinya ge
"Nanti kuliahnya pulang jam berapa, Mas?" tanya suara ibunya di seberang telepon. Alif sedang berjalan sedikit tergesa di koridor gedung utama kampus menuju aula menjelang siang itu. "Sebentar lagi mungkin, Buk. Ini masih ada satu kuliah umum. Habis itu pulang kayaknya. Kenapa, Buk?" "Ini, Mas. Kalau mampir ketemu sama Adnan dulu bisa nggak? Mas lihat keadaan dia. Perasaan ibuk kok agak nggak enak ya akhir-akhir ini." Terdengar helaan nafas berat sang ibu dari seberang. "Ooh, ya udah nanti habis dari kampus aku mampir ke sekolah." Alif melirik arloji di pergelangan tangannya. Pas, sehabis kuliah terakhirnya hari ini, dia masih belum terlambat untuk bertemu adiknya itu jika jadwal sekolah Adnan seperti biasa. "Bisa ya, Mas?" tanya Aira lagi. "Iya, bisa bisa, Buk. Alif kuliah dulu. Tenang aj ...." "Aowww, aduuh!!! Sialan, kalau jalan liat liat dong!! Gimana sih?!!" umpat seorang gadis yang baru saja tak sengaja tersenggol badan Alif di koridor. Buk
"Baru pulang, Nan?" Kalimat khas sang kakek saat melihat cucu lelakinya pulang dari sekolah. Bahkan dia tidak bertanya hal lain meskipun hari ini Adnan pulang hampir jam setengah 7 malam dan masih mengenakan seragam sekolahnya. "Iya. Eyang mau kemana? Kok rapi?" tanya sang cucu sambil mencium punggung tangan kakeknya. "Biasa, kondangan di desa sebelah," jawab Pak Salim sambil membenarkan letak peci di kepalanya. "Bune, ayo cepetan! Acaranya udah mau mulai ini," teriak lelaki tua itu kemudian memanggil istrinya. "Ya, Pak. Ini lho sudah selesai." Bu Salim berjalan tergesa dari dalam rumah. "Lho, Nan. Baru pulang kamu? Dari mana?" tanya Bu Salim. "Biasa, ngerjain tugas sama temen, Eyang," jawab sang cucu. "Ooh, yo wis. Habis mandi cepetan makan yo? Tadi eyang masak ayam goreng kesukaan kamu. Wis yo, eyang jalan dulu," pamit Bu Salim. "Iya. Eh, ayah belum pulang ya?" Adnan mengamati sekeliling dan menyadari jika mobil ayahnya memang belum ada di ruma
"Nama kamu Alif, kan? Hai, Aku Retha." Gadis itu mengulurkan tangannya untuk menjabat. Alif yang sedang fokus dengan bacaan di depannya mendongak. Lalu memindai dari atas ke bawah dan matanya berhenti pada tangan yang terulur itu. Tapi tangannya sendiri tak bergerak. Dia tahu siapa gadis yang sedang berdiri di samping tempat duduknya itu. Dari baju kurang bahan yang dikenakannya, Alif ingat dia adalah mahasiswi ekonomi yang kemarin tak sengaja dia tabrak saat akan menuju ke aula kampus. "Mau apa?" tanyanya dingin. Mendengar jawaban Alif, Maretha melengos sambil berdecak. Ternyata benar apa yang dibilang teman temannya tadi. Beberapa menit yang lalu, Maretha sedang duduk melingkar di salah satu sudut meja perpustakaan bersama tiga sahabatnya saat Alif datang di tempat itu. Dengan gayanya yang cool, pemuda itu langsung menuju ke rak buku, mengambil salah satu bacaan di sana, kemudian mengambil tempat duduk di salah satu sudut berseberangan dengan tempat Mare
Usai memarkirkan motornya di garasi, Adnan berlalu begitu saja meninggalkan ibu dan kakaknya yang masih terbengong dengan kedatangannya yang sudah larut malam. Remaja itu bergegas masuk rumah dan langsung menuju kamarnya. Aira yang khawatir sempat bermaksud untuk mengejarnya. Namun Alif mencegah. "Biarin dulu, Buk. Mungkin lagi ada masalah," kata Alif. Aira mengangguk, lalu urung mengikuti anak keduanya ke kamar. Wanita itu pun beranjak ke dapur untuk menyiapkan teh hangat untuk Adnan. Tak berapa lama kemudian, Adnan muncul dari ruang tengah sudah menenteng handuk di tangan. "Mau mandi, Nan?" tanya Aira. Adnan hanya memandang ibunya sekilas tanpa bicara apapun. Lalu bergegas begitu saja menuju kamar mandi. Alif yang juga baru saja masuk ke dapur memandang ibunya sambil mengedikkan bahu. Ada yang aneh dengan adiknya. "Ada apa ya, Mas? Apa berantem sama ayah?" Aira mendekati anak sulungnya. Bertanya dengan berbisik. "Mungkin, Buk." Kembali Alif mengang
"Oke. Aku terima tantanganmu," kata Alif. "Tapi aku mau taruhannya mobil kamu. Kalau kamu kalah, mobil kamu jadi milik aku. Gimana?" "Mobil ini?" Mata Maretha membelalak, tak percaya dengan permintaan Alif yang menurutnya sangat keterlaluan itu. "Iya. Kenapa? Nggak berani? Sayang sama mobil?" sindir Alif. "Enggak. Bukan gitu." Maretha memandang wajah di depannya sejenak. Nampak sedang berpikir. Lalu kemudian dia pun memutuskan. "Oke! Aku setuju. Deal," katanya. Alif yang mendengar itu pun mengulum senyum. "Mana ponselmu?" Alif mengulurkan tangannya. Maretha justru terdiam, bingung. "Malah bengong? Mana ponsel? Aku kasih nomerku," lanjut Alif. "Oh." Gadis itupun segera mengambil ponsel dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Alif. Alif nampak menuliskan sesuatu di layar dan tak lama kemudian mengembalikannya pada Maretha. "Nanti chat aku. Aku kasih alamat rumahku. Kita pulang pergi kuliah bareng. Dua minggu aja kan?" "Iya.
Adnan melangkah ke ruang guru sedikit tergesa mengikuti langkah lelaki di depannya. Ada sedikit kekhawatiran di hatinya saat ini. Beberapa menit yang lalu, seorang guru menjemputnya di ruang kelasnya, meminta ijin guru yang sedang mengajar di kelas untuk membawa Adnan karena ada tamu yang ingin bertemu, yang katanya ibunya. Tentu saja Adnan penasaran. Selama ini ibunya tak pernah menyusulnya ke sekolah jika tidak sangat penting. Jadi, remaja itu mengira pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Saat sampai di ruangan khusus yang biasa dipakai untuk menerima tamu, guru laki-laki itu pun menyuruh Adnan masuk. Sementara dia sendiri kembali ke ruang kerjanya. Perlahan Adnan memasuki ruangan. Tapi alangkah terkejutnya dia karena yang dia lihat bukan Ibunya, melainkan Soraya. "Tante ngapain ke sini?" "Duduk dulu, Nan. Tante perlu bicara sama kamu," kata Soraya. "Sebaiknya Tante pulang saja." "Adnan, kamu mau satu sekolah tau kalau bicaramu keras begitu? D