'Nggak lupa jadwal kuliahku hari ini kan?' tulis Alif di pesan yang ditujukannya untuk Maretha pagi itu. 'Iyaa, bawel amat. Nih juga udah siap. Tinggal sarapan.' balas Maretha sambil menyunggingkan senyum. Ada bahagia saat melihat nama Alif di layar ponselnya tadi. Apakah dia sedang jatuh hati pada targetnya kali ini? Setelah menyelesaikan make up tipis, gadis itu segera menyambar tasnya untuk kemudian turun ke lantai bawah dimana sang ayah sudah menunggunya untuk sarapan. "Tumben, bajunya begitu?" Seno yang pagi ini melihat anak gadisnya memakai kemeja sedikit longgar dipadu celana jeans warna hitam memandang dengan penuh tanya. "Apaan sih papa. Udaranya dingin, makanya pakai baju yang anget," kata Maretha beralasan. Seno pun tersenyum melihat raut muka anaknya yang tiba-tiba memerah. Maretha terlihat buru buru menggeser piring di depannya untuk kemudian fokus dengan sarapannya pagi itu. "Oya, Reth. Papa sebenarnya rencana mau ngenalin kamu sama
"Apa, Mas?! Kembali sama kamu?" Aira menyunggingkan senyum remehnya pada lelaki yang sedang duduk di hadapannya itu. "Itu tidak mungkin, Mas. Perasaanku sudah tidak ada lagi untuk kamu. Sudah lenyap ditelan pengkhianatan yang kamu lakukan dulu." "Demi anak-anak, Ra. Kita akan coba kembali seperti dulu." "Kamu pikir aku bisa melupakan semua yang pernah kamu lakukan sama aku dengan semudah itu, Mas? Aneh sekali kamu ini. Benar-benar tidak punya perasaan." "Tapi, Ra. Anak anak pasti akan lebih bahagia jika kita bisa kembali bersama. Dibanding mereka hidup dengan ayah tiri." "Mereka itu sudah besar, Mas. Mereka tau bagaimana harus bersikap. Jangan khawatir." Lalu Aira pun bangkit, bermaksud untuk pergi meninggalkan tempat itu. "Aku permisi, Mas. Rasanya sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Tolong fokuslah ke kehidupanmu yang sekarang. Aku juga akan menikmati kehidupanku sendiri." "Ra, tunggu!" Dhani terus memanggilnya saat Aira berlalu pergi m
Soraya bersimpuh tersedu-sedu di lantai, sementara muka Pak Salim terlihat lebam dimana mana, duduk di sofa sambil memegangi sudut bibir tuanya yang berdarah. Dhani benar-benar kalap saat ibunya menelpon siang itu menyuruhnya untuk pulang lalu menceritakan semua yang dia lihat padanya. Tidak terima dan sangat terhina, itu mungkin perasaan yang tepat menggambarkan Dhani saat ini. "Dia yang terus maksa aku, Mas. Dia bilang itu balasan untuk mobil yang dibelikan untukku," alasan Soraya berulang kali membela diri. Memohon pada suaminya untuk dimaafkan. Tapi Dhani sepertinya benar-benar sudah tidak bisa mendengar kata maaf dari wanita yang pernah sangat membuatnya tergila-gila itu. Tanpa pikir panjang, lelaki itu langsung saja menghajar ayahnya habis-habisan. Amarahnya tak terkendali sebelum bu Salim dengan susah payah berhasil menghentikannya. "Sekarang kalian berdua pergi dari rumah ini. Terserah kalian mau kemana. Aku sudah muak dengan kalian berdua. Dan aku akan s
Seno nampak menyambut antusias saat Aira dan ketiga anaknya datang. Lelaki yang masih nampak gagah di usianya yang sudah berkepala empat itu telah mempersiapkan makan malam yang spesial untuk mereka di sebuah restoran terkenal di pusat kota. "Aku senang kamu bisa datang dengan semua anak-anak, Ra," sambut Seno dengan raut bahagia. "Kebetulan mereka semua sedang tidak ada acara, Mas. Jadi semuanya bisa ikut ke sini. Oya Mas, putrinya mana? Kok nggak kelihatan?" Mata Aira nampak melihat ke kiri dan ke kanan, sedikit penasaran karena sedari dari hanya Seno yang dilihatnya di tempat itu. "Oh, dia nanti menyusul ke sini sebentar lagi, Ra. Masih hang-out sama teman-teman katanya. Ya maklumlah Ra, anak seusia dia lagi seneng senengnya main. Tambah susah kalau diatur atur." "Nggak apa-apa, Mas. Jangan terlalu dikekang karena justru nanti berontak." "Kadang aku iri sama kamu malah. Anak-anak kamu laki-laki ini malah lebih penurut dari si Maretha lho. Dia itu sering ban
"Lif, tunggu!" Maretha berteriak teriak mengejar Alif dari ruang kuliah pemuda itu di lantai dua hingga ke parkiran. Namun Alif terus saja melangkah tak menghiraukannya. Maretha terus saja berteriak, tak peduli banyak pasang mata di kampus mereka yang memperhatikan adegan itu. Hingga akhirnya saat panggilannya sudah tidak mungkin lagi didengar oleh Alif karena pemuda itu telah masuk ke dalam mobilnya sendiri, Maretha pun menghadang di depan mobil sambil merentangkan kedua tangannya. Alif tentu saja menjadi gusar. Dia segera turun dan mendekati gadis itu. "Kamu apa-apaan sih?" "Kamu yang apa-apaan? Aku panggil kamu dari tadi lho, Lif." Raut mukanya seperti menahan tangis karena kesal, membuat Alif sedikit jatuh iba. "Ada apa? Katakan!" "Kamu menghentikan perjanjian kita?" tanya Maretha dengan wajah memelasnya. Alif sontak tersenyum remeh sambil meletakkan dua tangannya di pinggang. "Tidak ada lagi perjanjian, Maretha. Kamu ingat kan apa yang kam
"Lif, kita mau kemana sih? Hati-hati dong nyetirnya!" Maretha sedikit panik saat tiba-tiba saja Alif membelokkan mobilnya ke arah lain. Harusnya sepulang kuliah, Alif langsung melajukan mobil Maretha ke rumahnya. Setelah itu, seperti biasa, Maretha akan pulang sendiri setelah Alif turun. Namun di jalanan yang tak begitu padat siang itu, saat matanya tak sengaja melihat motor adiknya di depannya tadi, buru buru Alif membanting setir mengikuti motor Adnan yang berjalan pelan meninggalkan arah rumah mereka. Biasanya, Alif bukan termasuk sosok kakak yang serba ingin tahu dengan segala urusan adik-adiknya. Dia bahkan selalu percaya bahwa kedua adiknya itu tidak akan melakukan sesuatu hal yang di luar kendali. Dan Alif merasa sangat mengenal mereka sedari kecil tumbuh bersama. Namun pembicaraannya beberapa hari yang lalu dengan ibunya terus terang saja sedikit mengganggunya. "Mungkin ke tempat temannya dulu, Buk," kata Alif waktu itu saat melihat ibunya mondar-m
Setelah mengusir ibunya pergi dari kamarnya, nyatanya anak itu justru menangis di dalamnya. Tangisan tanpa suara. Hanya bulir bening yang lolos dari dua sudut matanya. Adnan menelangkupkan wajahnya ke lutut yang ditekuknya. Entah bagaimana cara dia mengatakan hal itu pada sang ibu. Yang dia tahu, dia bukan lagi anak ibunya yang baik dan penurut seperti dulu. Sebenarnya awalnya Adnan sangat ingin melupakan peristiwa yang pernah terjadi dan sangat mengerikan bersama ibu tirinya itu. Meskipun setelah itu, hidupnya telah menjadi berubah. Bukannya bertaubat dan memohon ampun serta memperbaiki diri, Adnan justru menjadi terjerumus dengan pergaulan bebas. Dia bahkan lebih banyak bergaul dengan teman-temannya yang memiliki pemikiran yang sama di sekolahnya. Dan sayangnya, Aira tidak pernah menyadari akan hal itu. Keadaan menjadi semakin parah saat ada kabar diusirnya ibu tirinya oleh sang ayah dari rumah. Retaknya hubungan Soraya dengan Dhani rupanya membuatnya sangat mendendam pad
"Ini barang-barang yang saya temukan kemarin di tas Adnan, Bu Aira, Pak Dhani." Bu Nilam meletakkan dengan hati-hati beberapa benda di atas meja yang seketika membuat Aira dan Dhani membelalakkan mata, shock. Mata Aira pun bahkan langsung berkabut melihat benda-benda itu. Sudah sebegitu lalaikah dia menjaga Adnan? Sejak kapan anak keduanya itu menggunakan barang-barang yang seharusnya belum boleh dimilikinya itu? Dhani sendiri hanya lebih ke rasa kaget. Dia justru memperhatikan satu persatu benda-benda di atas meja itu dengan insting kelelakiannya. Dia ingat dulu pernah memiliki benda-benda seperti itu juga saat masih muda, tapi tentu tidak semuda usia Adnan saat ini. Alat pengaman dan benda-benda lainnya yang harusnya hanya boleh dipunyai oleh orang-orang yang sudah dewasa dan menikah, tentunya. "Ini baru sebagian, Bu, Pak. Yang lebih mengejutkannya ada di dalam sini." Bu Nilam mengeluarkan sebuah benda yang Aira sangat kenal, yaitu ponsel milik Adnan. Aira dan