"Apa, Mas?! Kembali sama kamu?" Aira menyunggingkan senyum remehnya pada lelaki yang sedang duduk di hadapannya itu. "Itu tidak mungkin, Mas. Perasaanku sudah tidak ada lagi untuk kamu. Sudah lenyap ditelan pengkhianatan yang kamu lakukan dulu." "Demi anak-anak, Ra. Kita akan coba kembali seperti dulu." "Kamu pikir aku bisa melupakan semua yang pernah kamu lakukan sama aku dengan semudah itu, Mas? Aneh sekali kamu ini. Benar-benar tidak punya perasaan." "Tapi, Ra. Anak anak pasti akan lebih bahagia jika kita bisa kembali bersama. Dibanding mereka hidup dengan ayah tiri." "Mereka itu sudah besar, Mas. Mereka tau bagaimana harus bersikap. Jangan khawatir." Lalu Aira pun bangkit, bermaksud untuk pergi meninggalkan tempat itu. "Aku permisi, Mas. Rasanya sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Tolong fokuslah ke kehidupanmu yang sekarang. Aku juga akan menikmati kehidupanku sendiri." "Ra, tunggu!" Dhani terus memanggilnya saat Aira berlalu pergi m
Soraya bersimpuh tersedu-sedu di lantai, sementara muka Pak Salim terlihat lebam dimana mana, duduk di sofa sambil memegangi sudut bibir tuanya yang berdarah. Dhani benar-benar kalap saat ibunya menelpon siang itu menyuruhnya untuk pulang lalu menceritakan semua yang dia lihat padanya. Tidak terima dan sangat terhina, itu mungkin perasaan yang tepat menggambarkan Dhani saat ini. "Dia yang terus maksa aku, Mas. Dia bilang itu balasan untuk mobil yang dibelikan untukku," alasan Soraya berulang kali membela diri. Memohon pada suaminya untuk dimaafkan. Tapi Dhani sepertinya benar-benar sudah tidak bisa mendengar kata maaf dari wanita yang pernah sangat membuatnya tergila-gila itu. Tanpa pikir panjang, lelaki itu langsung saja menghajar ayahnya habis-habisan. Amarahnya tak terkendali sebelum bu Salim dengan susah payah berhasil menghentikannya. "Sekarang kalian berdua pergi dari rumah ini. Terserah kalian mau kemana. Aku sudah muak dengan kalian berdua. Dan aku akan s
Seno nampak menyambut antusias saat Aira dan ketiga anaknya datang. Lelaki yang masih nampak gagah di usianya yang sudah berkepala empat itu telah mempersiapkan makan malam yang spesial untuk mereka di sebuah restoran terkenal di pusat kota. "Aku senang kamu bisa datang dengan semua anak-anak, Ra," sambut Seno dengan raut bahagia. "Kebetulan mereka semua sedang tidak ada acara, Mas. Jadi semuanya bisa ikut ke sini. Oya Mas, putrinya mana? Kok nggak kelihatan?" Mata Aira nampak melihat ke kiri dan ke kanan, sedikit penasaran karena sedari dari hanya Seno yang dilihatnya di tempat itu. "Oh, dia nanti menyusul ke sini sebentar lagi, Ra. Masih hang-out sama teman-teman katanya. Ya maklumlah Ra, anak seusia dia lagi seneng senengnya main. Tambah susah kalau diatur atur." "Nggak apa-apa, Mas. Jangan terlalu dikekang karena justru nanti berontak." "Kadang aku iri sama kamu malah. Anak-anak kamu laki-laki ini malah lebih penurut dari si Maretha lho. Dia itu sering ban
"Lif, tunggu!" Maretha berteriak teriak mengejar Alif dari ruang kuliah pemuda itu di lantai dua hingga ke parkiran. Namun Alif terus saja melangkah tak menghiraukannya. Maretha terus saja berteriak, tak peduli banyak pasang mata di kampus mereka yang memperhatikan adegan itu. Hingga akhirnya saat panggilannya sudah tidak mungkin lagi didengar oleh Alif karena pemuda itu telah masuk ke dalam mobilnya sendiri, Maretha pun menghadang di depan mobil sambil merentangkan kedua tangannya. Alif tentu saja menjadi gusar. Dia segera turun dan mendekati gadis itu. "Kamu apa-apaan sih?" "Kamu yang apa-apaan? Aku panggil kamu dari tadi lho, Lif." Raut mukanya seperti menahan tangis karena kesal, membuat Alif sedikit jatuh iba. "Ada apa? Katakan!" "Kamu menghentikan perjanjian kita?" tanya Maretha dengan wajah memelasnya. Alif sontak tersenyum remeh sambil meletakkan dua tangannya di pinggang. "Tidak ada lagi perjanjian, Maretha. Kamu ingat kan apa yang kam
"Lif, kita mau kemana sih? Hati-hati dong nyetirnya!" Maretha sedikit panik saat tiba-tiba saja Alif membelokkan mobilnya ke arah lain. Harusnya sepulang kuliah, Alif langsung melajukan mobil Maretha ke rumahnya. Setelah itu, seperti biasa, Maretha akan pulang sendiri setelah Alif turun. Namun di jalanan yang tak begitu padat siang itu, saat matanya tak sengaja melihat motor adiknya di depannya tadi, buru buru Alif membanting setir mengikuti motor Adnan yang berjalan pelan meninggalkan arah rumah mereka. Biasanya, Alif bukan termasuk sosok kakak yang serba ingin tahu dengan segala urusan adik-adiknya. Dia bahkan selalu percaya bahwa kedua adiknya itu tidak akan melakukan sesuatu hal yang di luar kendali. Dan Alif merasa sangat mengenal mereka sedari kecil tumbuh bersama. Namun pembicaraannya beberapa hari yang lalu dengan ibunya terus terang saja sedikit mengganggunya. "Mungkin ke tempat temannya dulu, Buk," kata Alif waktu itu saat melihat ibunya mondar-m
Setelah mengusir ibunya pergi dari kamarnya, nyatanya anak itu justru menangis di dalamnya. Tangisan tanpa suara. Hanya bulir bening yang lolos dari dua sudut matanya. Adnan menelangkupkan wajahnya ke lutut yang ditekuknya. Entah bagaimana cara dia mengatakan hal itu pada sang ibu. Yang dia tahu, dia bukan lagi anak ibunya yang baik dan penurut seperti dulu. Sebenarnya awalnya Adnan sangat ingin melupakan peristiwa yang pernah terjadi dan sangat mengerikan bersama ibu tirinya itu. Meskipun setelah itu, hidupnya telah menjadi berubah. Bukannya bertaubat dan memohon ampun serta memperbaiki diri, Adnan justru menjadi terjerumus dengan pergaulan bebas. Dia bahkan lebih banyak bergaul dengan teman-temannya yang memiliki pemikiran yang sama di sekolahnya. Dan sayangnya, Aira tidak pernah menyadari akan hal itu. Keadaan menjadi semakin parah saat ada kabar diusirnya ibu tirinya oleh sang ayah dari rumah. Retaknya hubungan Soraya dengan Dhani rupanya membuatnya sangat mendendam pad
"Ini barang-barang yang saya temukan kemarin di tas Adnan, Bu Aira, Pak Dhani." Bu Nilam meletakkan dengan hati-hati beberapa benda di atas meja yang seketika membuat Aira dan Dhani membelalakkan mata, shock. Mata Aira pun bahkan langsung berkabut melihat benda-benda itu. Sudah sebegitu lalaikah dia menjaga Adnan? Sejak kapan anak keduanya itu menggunakan barang-barang yang seharusnya belum boleh dimilikinya itu? Dhani sendiri hanya lebih ke rasa kaget. Dia justru memperhatikan satu persatu benda-benda di atas meja itu dengan insting kelelakiannya. Dia ingat dulu pernah memiliki benda-benda seperti itu juga saat masih muda, tapi tentu tidak semuda usia Adnan saat ini. Alat pengaman dan benda-benda lainnya yang harusnya hanya boleh dipunyai oleh orang-orang yang sudah dewasa dan menikah, tentunya. "Ini baru sebagian, Bu, Pak. Yang lebih mengejutkannya ada di dalam sini." Bu Nilam mengeluarkan sebuah benda yang Aira sangat kenal, yaitu ponsel milik Adnan. Aira dan
"Ah semua itu omong kosong! Guru itu hanya mengada-ada saja." "Adnan! Kenapa bicara seperti itu? Ayah ini bicara baik-baik sama kamu," kata Dhani mulai bersungut. Dia mulai merasa tidak dihargai sebagai orang tua karena Adnan dari tadi terus-terusan membela diri dan tidak mau mengatakan apa yang terjadi. Melihat mantan suaminya mulai emosi, Aira segera mendekat, menyentuh bahu Dhani pelan. "Jangan kasar, mas," katanya setengah berbisik. "Nan, ayah sama ibu itu pengennya kamu bisa diajak ngomong baik-baik. Agar kita bisa mencari jalan keluar dari semua ini, terutama untuk kamu." Lelaki itu nampak mulai mereda lagi. Walaupun sebenarnya mengendalikan diri bukan salah satu hal yang dikuasai Dhani, namun demi Aira, dia harus bisa melakukan apapun agar mantan istrinya itu mau memaafkannya. "Kami nggak marah, Nak. Kami hanya ingin kamu tau kalau semua orang sayang dan peduli sama kamu. Semua pengen bantu Adnan lepas dari masalah ini," sahut Aira dengan kalimatnya se
"Retha!" Alif segera menyambar beberapa buku yang sudah diincarnya sejak tadi dari etalase saat dilihatnya seperti sosok adiknya di rak buku tak jauh dari tempatnya berdiri.Gadis yang merasa dipanggil itu pun langsung menoleh. Dia kaget melihat ternyata Alif pun sedang berada di toko buku yang sama dengan dirinya saat itu."Sama siapa?" tanya Alif saat akhirnya berhasil mendekat pada adiknya."Mmmm, sama ... Abidzar," jawabnya sedikit gugup."Oya? Mana dia?" Alif mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari sosok Abidzar di tempat itu. Bibirnya nampak mengembangkan senyum saat akhirnya menemukan pemuda itu diantara buku-buku bisnis."Kamu sendiri sama siapa?" tanya balik Maretha setelah merasa Alif tak lagi sedang menertawakannya.
Siang itu Alif rupanya mulai mengenal sosok Aisha. Gadis yang terlihat seperti anak kecil saat di kampus itu ternyata lebih mandiri dari yang dia tahu. Ayahnya berprofesi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, membesarkan Aisha sendiri tanpa bantuan pembantu. Sejak SMP ternyata Aisha telah diajari mandiri oleh ayahnya itu. Dia pun tumbuh menjadi gadis yang serba bisa dalam mengurus rumah."Kadang aku iri Lif waktu jaman masih sekolah, melihat teman-teman masih punya keluarga lengkap. Tapi tiap kali ayah selalu bisa membesarkan hatiku. Dan dia mampu menunjukkan padaku bahwa hidup bersamanya saja juga sudah cukup."Aisha masih melanjutkan pembicaraan di sela-sela acara makan mereka."Hidup itu hanya saling lihat satu sama lain kok, Sha. Yang kelihatannya bahagia belum tentu merasa seperti itu aslinya. Saat kamu cerita tadi aku malah merasa kamu itu lebih beruntung m
Mendengar kalimat Abidzar, Alif tiba-tiba bisa menebak bahwa adik tirinya itu kemungkinan sudah mulai suka sama Abidzar. Buktinya dia sudah mau membuka diri untuk membahas masalah yang lebih pribadi pada sahabatnya itu."Memangnya Retha bilang apa sama kamu?""Dia sih cuma pengen tau pendapatku soal cewek yang udah nggak virgin. Trus dia juga tanya masalah pasangan hidup yang sudah nggak virgin. Sori ya Lif sebelumnya, apa Maretha itu ...." Abidzar tak sampai hati melanjutkan kalimatnya."Aku bukan orang yang berhak menjawab itu, Bi. Aku rasa kamu sendiri yang harus nanyain langsung sama Retha kalau memang kamu serius sama dia. Memangnya kalau boleh tau seserius apa sih kamu sama Retha?""Mau jawaban jujur, Lif?"
"Kenapa sih tiba-tiba tanya-tanya masalah kayak gitu, Reth?""Heh? Apa? Enggak, nggak apa-apa. Pengen tau aja pandangan cowok soal itu." Maretha mendadak gugup dengan pertanyaan Abidzar yang tak disangkanya itu."Allah itu sudah memberikan jodoh pada masing-masing orang. Dan saat sepasang jodoh itu sudah dipertemukan, hal-hal seperti itu sudah nggak akan ada pengaruhnya lagi. Maksudku, pasangan yang memang sudah ditakdirkan berjodoh tak akan sempat memikirkan hal-hal kayak gitu, Reth. Lagian orang-orang sekarang kurasa lebih open minded kok. Kita para cowok juga nggak merasa suci-suci amat. Jadi kalau aku, seperti apa di masa sekarang jauh lebih penting sih dibanding masih terus berkutat mempermasalahkan masa lalunya.""Oya?""Aku sih gitu.""Trus ngapain kamu ngejar-ngejar aku? Bukannya ka
Hari menjelang siang saat Adnan baru bisa menghempaskan punggungnya ke sebuah sandaran bangku rumah sakit tak jauh dari kamar perawatan istri dan anaknya.Rasa kantuk yang dari dini hari sempat tak dirasakannya kini seperti menggelayuti dan membuatnya tak tahan lagi, hingga kemudian pemuda itu pun jatuh tertidur di bangku itu.Baru sekitar lima belas menit Adnan terlelap, tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi. Dengan gerakan cepat karena kaget, Adnan pun sontak bangkit dari posisi rebahannya. Kemudian segera diraihnya ponsel itu. Dahinya sedikit berkerut saat melihat sebuah panggilan dari nomer asing."Ya?" sapanya sedikit malas."Nak Adnan?" tanya suara seorang wanita dari seberang.Awalnya Adnan mengira itu salah satu temannya atau teman Gina yang ingin mengucapkan
Kali ini Maretha hanya terdiam. Gadis itu hampir saja melupakan pertemuannya dengan sang papa dan ibu tirinya. Waktu itu dirinya dan Alif memang sudah janji pada kedua orangtua itu akan menjalin hubungan kakak dan adik dengan baik lagi seperti sebelumnya."Oke, oke, baik. Kalau kamu mau hubungan kita baik, jangan ganggu-ganggu aku lagi dong kalau gitu.""Kenapa harus begitu? Aku kan peduli sama kamu, Reth. Kamu jangan salah paham.""Sudah kubilang aku nggak butuh pelindung ya, Lif. Ngeyel banget sih kamu itu." Maretha kini terlihat mulai kesal. Tapi dalam hati sebenarnya tak ada yang tahu bahwa dia senang dengan perhatian Alif padanya hingga saat ini.Alif kembali menengok ke sekeliling. Saat dirasanya mereka hanya berdua saja di t
Malam harinya, Vina terlihat baru keluar dari kamarnya. Sementara Maretha terlihat sedang membuat spaghetti di dapur kecil rumah mereka."Sudah pulang temen kamu, Reth?""Udah dari tadi kali, Mah. Mama sih tidurnya ngebo gitu.""Mama bosen, Reth. Papa kamu udah kirim kamu uang belum bulan ini?""Nggak tau, belum liat rekening. Udah palingan, Ma. Papa kan nggak pernah telat ngasih uang Retha. Memangnya kenapa sih?""Mama pengen shopping. Duit mama habis kan buat beli rumah ini. Tolongin mama dong, Sayang.""Tolongin apa, Mah?""Bilangin papa buat kasih modal mama. Mama mau bisnis lagi.""Bisnis apaan lagi, Maaah? Berlian lagi? Entar kesangkut masalah lagi?" ujar Maretha terlihat kurang su
Beberapa menit setelah kepergian Adnan, dada Soraya tiba-tiba sesak. Wanita itu tak henti menangis. Entah apa yang dia tangisi. Ibu dan bapaknya sampai kebingungan dengan perilaku anak bungsunya itu."Seandainya waktu bisa kuputar ulang, aku tak ingin merusak kebahagiaan keluarga mbak Aira dengan mas Dhani. Mereka memiliki anak-anak yang berhati begitu luar biasa, Buk."Akhirnya setelah didesak oleh sang ibu, Soraya pun meluapkan perasaannya. Bapak dan ibunya hanya bisa membesarkan hati wanita itu sebisanya."Sudahlah, Nduk. Kamu sudah minta maaf. Mereka orang-orang baik, ibu yakin juga sudah memaafkan kamu. Sekarang tenangkan pikiranmu. Ikhlas ya, Nduk."Kemudian Bu Suherman pun memeluk anaknya dengan erat. Haru segera saja menyelimuti kamar luas yang penuh dengan aura kesedihan itu...
Dalam perjalanan ke rumah orangtua Gina, Adnan justru tak bisa tenang. Entah kenapa perjumpaannya dengan Soraya tadi begitu mengganggu pikirannya."Itu tadi istrinya mas Dhani yang dulu pernah datang ke rumah kita untuk minta maaf kan, Sayang?" tanya Seno di sela-sela perjalanan mereka.Aira yang sedari tadi tengah memperhatikan Adnan yang duduk di jok belakang dari kaca spion sedikit kaget dengan pertanyaan Seno yang tiba-tiba."I-iya Mas, yang itu," jawabnya sedikit terbata."Kasihan sekali ya kondisinya sekarang. Dulu waktu ke rumah kita itu sepertinya belum separah itu ya? Padahal Baru berapa bulan yang lalu ya, Ra?" Seno seperti sedang larut dalam hitung-hitungan."Aku juga hampir nggak percaya tadi, Mas. Seandainya mas Seno pernah melihatnya saat masih sehat du