"Lif, kita mau kemana sih? Hati-hati dong nyetirnya!" Maretha sedikit panik saat tiba-tiba saja Alif membelokkan mobilnya ke arah lain. Harusnya sepulang kuliah, Alif langsung melajukan mobil Maretha ke rumahnya. Setelah itu, seperti biasa, Maretha akan pulang sendiri setelah Alif turun. Namun di jalanan yang tak begitu padat siang itu, saat matanya tak sengaja melihat motor adiknya di depannya tadi, buru buru Alif membanting setir mengikuti motor Adnan yang berjalan pelan meninggalkan arah rumah mereka. Biasanya, Alif bukan termasuk sosok kakak yang serba ingin tahu dengan segala urusan adik-adiknya. Dia bahkan selalu percaya bahwa kedua adiknya itu tidak akan melakukan sesuatu hal yang di luar kendali. Dan Alif merasa sangat mengenal mereka sedari kecil tumbuh bersama. Namun pembicaraannya beberapa hari yang lalu dengan ibunya terus terang saja sedikit mengganggunya. "Mungkin ke tempat temannya dulu, Buk," kata Alif waktu itu saat melihat ibunya mondar-m
Setelah mengusir ibunya pergi dari kamarnya, nyatanya anak itu justru menangis di dalamnya. Tangisan tanpa suara. Hanya bulir bening yang lolos dari dua sudut matanya. Adnan menelangkupkan wajahnya ke lutut yang ditekuknya. Entah bagaimana cara dia mengatakan hal itu pada sang ibu. Yang dia tahu, dia bukan lagi anak ibunya yang baik dan penurut seperti dulu. Sebenarnya awalnya Adnan sangat ingin melupakan peristiwa yang pernah terjadi dan sangat mengerikan bersama ibu tirinya itu. Meskipun setelah itu, hidupnya telah menjadi berubah. Bukannya bertaubat dan memohon ampun serta memperbaiki diri, Adnan justru menjadi terjerumus dengan pergaulan bebas. Dia bahkan lebih banyak bergaul dengan teman-temannya yang memiliki pemikiran yang sama di sekolahnya. Dan sayangnya, Aira tidak pernah menyadari akan hal itu. Keadaan menjadi semakin parah saat ada kabar diusirnya ibu tirinya oleh sang ayah dari rumah. Retaknya hubungan Soraya dengan Dhani rupanya membuatnya sangat mendendam pad
"Ini barang-barang yang saya temukan kemarin di tas Adnan, Bu Aira, Pak Dhani." Bu Nilam meletakkan dengan hati-hati beberapa benda di atas meja yang seketika membuat Aira dan Dhani membelalakkan mata, shock. Mata Aira pun bahkan langsung berkabut melihat benda-benda itu. Sudah sebegitu lalaikah dia menjaga Adnan? Sejak kapan anak keduanya itu menggunakan barang-barang yang seharusnya belum boleh dimilikinya itu? Dhani sendiri hanya lebih ke rasa kaget. Dia justru memperhatikan satu persatu benda-benda di atas meja itu dengan insting kelelakiannya. Dia ingat dulu pernah memiliki benda-benda seperti itu juga saat masih muda, tapi tentu tidak semuda usia Adnan saat ini. Alat pengaman dan benda-benda lainnya yang harusnya hanya boleh dipunyai oleh orang-orang yang sudah dewasa dan menikah, tentunya. "Ini baru sebagian, Bu, Pak. Yang lebih mengejutkannya ada di dalam sini." Bu Nilam mengeluarkan sebuah benda yang Aira sangat kenal, yaitu ponsel milik Adnan. Aira dan
"Ah semua itu omong kosong! Guru itu hanya mengada-ada saja." "Adnan! Kenapa bicara seperti itu? Ayah ini bicara baik-baik sama kamu," kata Dhani mulai bersungut. Dia mulai merasa tidak dihargai sebagai orang tua karena Adnan dari tadi terus-terusan membela diri dan tidak mau mengatakan apa yang terjadi. Melihat mantan suaminya mulai emosi, Aira segera mendekat, menyentuh bahu Dhani pelan. "Jangan kasar, mas," katanya setengah berbisik. "Nan, ayah sama ibu itu pengennya kamu bisa diajak ngomong baik-baik. Agar kita bisa mencari jalan keluar dari semua ini, terutama untuk kamu." Lelaki itu nampak mulai mereda lagi. Walaupun sebenarnya mengendalikan diri bukan salah satu hal yang dikuasai Dhani, namun demi Aira, dia harus bisa melakukan apapun agar mantan istrinya itu mau memaafkannya. "Kami nggak marah, Nak. Kami hanya ingin kamu tau kalau semua orang sayang dan peduli sama kamu. Semua pengen bantu Adnan lepas dari masalah ini," sahut Aira dengan kalimatnya se
Soraya dan Adnan baru saja turun dari mobil malam itu di pelataran area kost, saat tiba-tiba beberapa orang dengan pakaian gelap mendekat. "Ibu Soraya?" tanya salah seorang diantaranya. Wanita yang baru saja menutup pintu mobil itu sontak kaget. "Ya?" "Silahkan ikut kami ke kantor polisi. Anda ditangkap atas tuduhan penyekapan dan pelecehan anak di bawah umur." "Apa? Penyekapan? Anda pasti salah orang, Pak." Mata Soraya membelalak. Tidak menyangka bahwa malam ini mendadak saja dia ditangkap atas tuduhan yang sama sekali tidak dia sadari sebelumnya. Sementara Adnan yang berdiri tak jauh dari wanita itu juga nampak kaget dan hanya melihat kejadian itu dengan tak mengerti. Bahkan dia hanya diam saat melihat Soraya berteriak-teriak memberontak saat dibawa masuk ke mobil polisi. "Adik ini yang namanya Adnan?" Seorang petugas lagi tiba-tiba sudah berada di dekatnya. "I-ya," jawabnya terbata, terlihat masih shock dengan apa yang terjadi di hadapannya.
Soraya dan Adnan baru saja turun dari mobil malam itu di pelataran area kost, saat tiba-tiba beberapa orang dengan pakaian gelap mendekat. "Ibu Soraya?" tanya salah seorang diantaranya. Wanita yang baru saja menutup pintu mobil itu sontak kaget. "Ya?" "Silahkan ikut kami ke kantor polisi. Anda ditangkap atas tuduhan penyekapan dan pelecehan anak di bawah umur." "Apa? Penyekapan? Anda pasti salah orang, Pak." Mata Soraya membelalak. Tidak menyangka bahwa malam ini mendadak saja dia ditangkap atas tuduhan yang sama sekali tidak dia sadari sebelumnya. Sementara Adnan yang berdiri tak jauh dari wanita itu juga nampak kaget dan hanya melihat kejadian itu dengan tak mengerti. Bahkan dia hanya diam saat melihat Soraya berteriak-teriak memberontak saat dibawa masuk ke mobil polisi. "Adik ini yang namanya Adnan?" Seorang petugas lagi tiba-tiba sudah berada di dekatnya. "I-ya," jawabnya terbata, terlihat masih shock dengan apa yang terjadi di hadapannya.
"Jadi kamu cuma mau ngajakin aku ngomongin ini, Lif?" Maretha meletakkan kembali peralatan makannya dengan kesal. Alif yang awalnya dia pikir mau menyatakan cinta itu justru mengajaknya membahas hubungan kedua orang tua mereka. "Kita akan lebih baik jadi saudara, Reth. Nggak akan ada yang tersakiti." "Tapi aku suka kamu, Lif. Aku nggak mau jadi adik kamu. Aku maunya jadi pasangan kamu." "Coba kamu pikirkan lagi perasaan papa kamu. Mereka saling cinta, Reth. Dan pasti nggak mudah lho jatuh cinta di usia yang sudah tua. Butuh mencocokkan banyak hal dan itu jauh lebih sulit. Kalau kita, masih banyak kemungkinan nanti kamu ketemu sama cowok-cowok lain yang akan bikin kamu jatuh cinta lagi. Iya kan?" Maretha tak menjawab. Dia hanya memandangi wajah pemuda di depannya tak percaya. Bagaimana mungkin Alif justru memikirkan perasaan orang tua mereka dibanding perasaannya. "Kamu bisa bilang gini karena kamu nggak suka kan sama aku?" ujar Maretha mulai ketus. "Kam
"Mama kecewa sama kamu, Reth!" Vina menatap anak gadisnya tak percaya. Anak yang diharapkannya bisa menjadi jalan untuk kembali pada mantan suaminya itu, hari ini justru datang mengabarkan bahwa Seno akan segera melangsungkan pernikahannya dengan Aira. "Mah, jangan begitu." Maretha mendekat ke arah mamanya, lalu memeluk pinggangnya dengan manja dan penuh sayang. "Kamu udah nggak sayang sama mama ternyata. Sekarang kamu malah mendukung papa sama wanita itu." Vina melengos, tak mempedulikan pelukan sang anak. "Tapi papa mencintai Tante Aira, Mah. Retha udah tanya berulang kali sama papa. Papa bilang dia nggak bisa lagi kembali sama mama." Raut muka gadis itu nampak sedih saat mendongak ke wajah ibunya yang masih saja tak mau melihat ke arahnya. "Retha ingin papa bahagia," lanjutnya kemudian. "Trus kamu nggak ingin melihat mamamu ini bahagia, gitu?" Vina makin melengos. "Bukan begitu, Mah. Duuuh mama jangan salah paham dong. Retha yakin kok mama habis ini juga