Tiga bulan kemudian Seno dan Aira pun memutuskan untuk menikah. Sebelum itu, keduanya ternyata telah mempersiapkan rumah yang lebih besar untuk menjadi istana bagi pasangan pengantin baru itu dan anak-anak mereka. Seno dan Aira bahagia saat akhirnya memboyong semua buah hatinya untuk berkumpul menjadi satu di tempat baru yang dipersiapkan Seno di sebuah kawasan pemukiman elit di kota itu. Awalnya, Seno masih harus bolak balik dari rumah lamanya ke rumah Aira karena Maretha masih belum mau bergabung tinggal bersama mereka di rumah baru. Walaupun menyetujui usulan Alif untuk menerima pernikahan orangtua mereka, bukan berarti sifat Maretha lalu berubah 180 derajat menjadi seorang gadis yang dewasa. Dia tetaplah Maretha yang dulu, yang masih suka merajuk, kolokan, dan masih harus dituruti segala kemauannya oleh sang papa. Termasuk bahwa papanya harus membeli rumah baru agar dia bersedia tinggal bersama dengan ibu barunya dan saudara-saudara tirinya. Maretha tidak ingin tinggal
"Lif, itu Adnan kan?" Maretha menunjuk ke arah sebuah tempat yang adalah sebuah bangunan lembaga pemasyarakatan. Dahi Alif berkerut melihat ke arah yang ditunjuk adik tirinya. Mereka baru aja akan berangkat ke kampus saat hari menjelang siang. Dan Alif benar-benar tak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat sang adik yang sedang memarkirkan motornya di luar gedung orang-orang pesakitan itu. Mau apa Adnan ke tempat seperti itu? Pikirannya berkecamuk. Karena rasa penasarannya, Alif kemudian memutar balik mobilnya saat sampai di lampu merah terdekat. Lalu dihentikannya mobilnya di seberang gedung dimana adik laki-lakinya tadi nampak memarkirkan motor kesayangannya. "Adnan ngapain ya ke situ?" gumamnya seolah bertanya pada dirinya sendiri. "Kamu mau aku selidiki?" usul Maretha. "Jangan macam-macam. Adnan kan sekarang udah kenal kamu. Dia bakalan tau lah kalau kamu masuk kesana untuk mengikutinya." Alif melotot ke arah adik tirinya. "O iya ya." Maretha
"Mas lihat kamu waktu itu di penjara sama mantan istrinya ayah, Dek." Alif bangkit dari tempat berbaringnya di tempat tidur Adnan, menatap punggung adiknya di meja belajarnya yang kemudian perlahan berbalik menghadapnya. Namun Adnan hanya menatapnya tak mengucapkan sepatah kata pun. "Kamu masih berhubungan sama dia?" Alif bertanya dengan hati-hati. Adnan menatap kakaknya sedikit ragu. Alif mengetahui dia bersama Soraya hari itu, tapi kenapa ibunya tidak marah padanya? Apakah berarti kakaknya itu tak memberitahu ibunya tentang kejadian itu? "Hanya ngantar dia pulang ke rumahnya. Dia keluar dari penjara hari itu." Setelah merasa yakin kakaknya menjaga rahasianya, Adnan pun mulai menjelaskan. "Dek, kalau ibu tau, dia pasti ..." "Jangan kasih tau ibu, Mas," sahut Adnan cepat. Alif perlahan menggeser letak duduknya agar lebih mendekat ke adiknya. Berharap tak ada orang di rumah ini yang akan mendengar pembicaraan mereka. "Tapi cepat atau lambat ibu pasti tau
Semenjak nomer kontaknya diblokir oleh mantan anak tirinya, Soraya menjadi sedikit pemurung. Entah kenapa justru perlakuan anak mantan suaminya padanya itu begitu membekas di hatinya. Dan dia merasa begitu kehilangan ketika tiba-tiba tanpa berkata apapun pemuda itu memblokir kontaknya. Namun bukan Soraya jika dia menyerah. Beberapa kali dia mencoba menghubungi Adnan lagi. Namun pemuda itu selalu memblokir nomernya lagi saat tahu bahwa dirinya yang menghubungi. "Nggak makan kamu, Nduk?" Ibunya menghampiri saat dia sedang duduk termenung di teras rumah sore itu. Soraya menggeleng. "Ada apa?" tanya ibunya lagi. "Nggak ada apa-apa, Bu," jawabnya singkat. "Wajah kamu pucat lho. Beberapa hari ibu perhatikan kamu makannya sedikit." "Aku agak kurang enak badan saja, Bu. Nggak nafsu makan." "Justru kamu harus paksakan makan kalau badan kamu lagi sakit begitu, Nduk. Nanti malah kebablasan penyakitnya nggak sembuh-sembuh," ucap sang ibu. "Enggak apa-apa kok, B
"Adnan, tunggu!" Seorang gadis yang masih mengenakan seragam putih abu-abunya mengejar langkah Adnan siang itu menuju ke parkiran sebuah butik distro cukup terkenal di kota setempat. Adnan yang merasa dipanggil pun segera menoleh. Namun, wajahnya mendadak sedikit pucat saat melihat siapa yang sedang berjalan cepat ke arahnya. "Aku mencarimu kemana-mana, kenapa sih kamu menghindari aku?" tanya ketus gadis cantik berambut lurus sepinggang itu. "Aku nggak menghindar," elak Adnan sambil merapatkan tubuhnya ke motor kesayangannya. "Kalau nggak menghindar apa namanya? Kamu tidak menjawab teleponku, bahkan pesanku dari kemarin saja tidak kamu baca." Gadis itu mulai mengomel. "Maaf, Gina, aku sibuk." "Oooh sibuk ya? Kalau sudah begini kamu bilang kamu sibuk?" "Apa sih mau kamu?" Melihat gadis itu mulai berbicara tidak mengenakkan, akhirnya Adnan sedikit tersulut emosi juga. Dia sebenarnya bukan tidak tahu apa maksud gadis di depannya itu mencari-carinya.
Aira belum menyadari ada yang telah menunggunya di teras rumahnya saat dia turun dari mobil dan berjalan dengan tangan Seno menggamit erat pinggangnya. Keduanya terlihat asik mengobrol sambil berjalan saat tiba-tiba langkah Aira terhenti di tangga teras. Dia terhuyung nyaris jatuh saat kakinya seperti tak seimbang menahan berat tubuh saking kagetnya. Beruntung Seno sigap menangkap tubuh istrinya. "Ada apa, Sayang?" kata lelaki itu nampak khawatir. Aira tak menjawab, hanya matanya yang terus menatap lekat ke arah dua orang tamu yang sedang ada di teras rumah itu. Sementara Alif yang tadi melihat ibunya sempat limbung, sudah berada di dekatnya sekarang. "Mereka ke sini nyari Ibuk. Katanya mau minta maaf," bisik Alif di telinga ibunya sambil membantu memegangi lengan Aira. Namun baru saja Alif menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Soraya berlari ke arah mereka dan berlutut memegang kaki Aira sambil terisak. "Maafkan aku, Mbak Aira," ucapnya terbata. Aira bingung
"Ambil ini!" Adnan mengulurkan satu benda kecil terbungkus platik pada Gina. Matanya sesekali melirik ke segala arah seolah takut ada yang melihat apa yang sedang mereka lakukan. "Ini apa, Nan?" Gina menerimanya dan segera memasukkannya ke dalam saku seragamnya. "Aku beli di online. Katanya kalau diminum sekali, langsung bisa ilang." "Serius?" "Kata penjualnya gitu." "Bahaya enggak buat aku?" "Gin, pliss." Adnan mendekatkan wajahnya ke pacarnya. "Jangan tanya bahaya atau tidak, karena aku juga ngga tau. Aku taunya cuma ini solusi buat kita. Ngerti nggak sih?" "Iya aku ngerti, Nan. Tapi aku takut terjadi sesuatu sama aku kalau aku minum ini nanti." Wajah gadis itu nampak memucat sekarang. "Trus maunya kamu apa?" Adnan nampak mulai gusar. "Aku juga nggak tau. Tapi, bisakah kamu temani aku nanti?" "What?? Temenin dimana? Di rumah kamu? Ya nggak mungkin lah." "Kita ke hotel lagi atau ke kostnya Vira, temenku yang waktu itu." "
Perbincangan antar dua keluarga di dalam ruang perawatan VIP Gina itu berlangsung sedikit tegang. Adnan hanya bisa menunduk mendengarkan dua pasang orang tua yang sedang membahas kelakuannya yang sangat mengecewakan itu. Sementara Gina, mendengarkan dengan sesekali terisak di atas ranjang perawatannya. "Sebenarnya, tadinya kami bermaksud melaporkan perbuatan anak anda ke pihak yang berwajib. Namun setelah saya mendengar dari Bu Nilam tentang anda, Bu Aira, saya jadi berubah pikiran. Sepertinya kita bisa membicarakan ini secara baik-baik tanpa membawa aib ini keluar," jelas ibunda Gina panjang lebar, yang juga kemudian diiyakan dengan anggukan kepala oleh suaminya. "Saya justru yang berterima kasih, Bu. Anda baik sekali mau mempertimbangkan kesalahan anak saya. Saya nggak tau apa jadinya jika anda dan bapak melaporkan Adnan ke polisi. Dia bahkan belum lulus sekolah." "Itulah, Bu Aira, jadi saya minta dengan hormat kerjasamanya. Semua sudah terlanjur. Anak saya hamil. B
"Retha!" Alif segera menyambar beberapa buku yang sudah diincarnya sejak tadi dari etalase saat dilihatnya seperti sosok adiknya di rak buku tak jauh dari tempatnya berdiri.Gadis yang merasa dipanggil itu pun langsung menoleh. Dia kaget melihat ternyata Alif pun sedang berada di toko buku yang sama dengan dirinya saat itu."Sama siapa?" tanya Alif saat akhirnya berhasil mendekat pada adiknya."Mmmm, sama ... Abidzar," jawabnya sedikit gugup."Oya? Mana dia?" Alif mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari sosok Abidzar di tempat itu. Bibirnya nampak mengembangkan senyum saat akhirnya menemukan pemuda itu diantara buku-buku bisnis."Kamu sendiri sama siapa?" tanya balik Maretha setelah merasa Alif tak lagi sedang menertawakannya.
Siang itu Alif rupanya mulai mengenal sosok Aisha. Gadis yang terlihat seperti anak kecil saat di kampus itu ternyata lebih mandiri dari yang dia tahu. Ayahnya berprofesi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, membesarkan Aisha sendiri tanpa bantuan pembantu. Sejak SMP ternyata Aisha telah diajari mandiri oleh ayahnya itu. Dia pun tumbuh menjadi gadis yang serba bisa dalam mengurus rumah."Kadang aku iri Lif waktu jaman masih sekolah, melihat teman-teman masih punya keluarga lengkap. Tapi tiap kali ayah selalu bisa membesarkan hatiku. Dan dia mampu menunjukkan padaku bahwa hidup bersamanya saja juga sudah cukup."Aisha masih melanjutkan pembicaraan di sela-sela acara makan mereka."Hidup itu hanya saling lihat satu sama lain kok, Sha. Yang kelihatannya bahagia belum tentu merasa seperti itu aslinya. Saat kamu cerita tadi aku malah merasa kamu itu lebih beruntung m
Mendengar kalimat Abidzar, Alif tiba-tiba bisa menebak bahwa adik tirinya itu kemungkinan sudah mulai suka sama Abidzar. Buktinya dia sudah mau membuka diri untuk membahas masalah yang lebih pribadi pada sahabatnya itu."Memangnya Retha bilang apa sama kamu?""Dia sih cuma pengen tau pendapatku soal cewek yang udah nggak virgin. Trus dia juga tanya masalah pasangan hidup yang sudah nggak virgin. Sori ya Lif sebelumnya, apa Maretha itu ...." Abidzar tak sampai hati melanjutkan kalimatnya."Aku bukan orang yang berhak menjawab itu, Bi. Aku rasa kamu sendiri yang harus nanyain langsung sama Retha kalau memang kamu serius sama dia. Memangnya kalau boleh tau seserius apa sih kamu sama Retha?""Mau jawaban jujur, Lif?"
"Kenapa sih tiba-tiba tanya-tanya masalah kayak gitu, Reth?""Heh? Apa? Enggak, nggak apa-apa. Pengen tau aja pandangan cowok soal itu." Maretha mendadak gugup dengan pertanyaan Abidzar yang tak disangkanya itu."Allah itu sudah memberikan jodoh pada masing-masing orang. Dan saat sepasang jodoh itu sudah dipertemukan, hal-hal seperti itu sudah nggak akan ada pengaruhnya lagi. Maksudku, pasangan yang memang sudah ditakdirkan berjodoh tak akan sempat memikirkan hal-hal kayak gitu, Reth. Lagian orang-orang sekarang kurasa lebih open minded kok. Kita para cowok juga nggak merasa suci-suci amat. Jadi kalau aku, seperti apa di masa sekarang jauh lebih penting sih dibanding masih terus berkutat mempermasalahkan masa lalunya.""Oya?""Aku sih gitu.""Trus ngapain kamu ngejar-ngejar aku? Bukannya ka
Hari menjelang siang saat Adnan baru bisa menghempaskan punggungnya ke sebuah sandaran bangku rumah sakit tak jauh dari kamar perawatan istri dan anaknya.Rasa kantuk yang dari dini hari sempat tak dirasakannya kini seperti menggelayuti dan membuatnya tak tahan lagi, hingga kemudian pemuda itu pun jatuh tertidur di bangku itu.Baru sekitar lima belas menit Adnan terlelap, tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi. Dengan gerakan cepat karena kaget, Adnan pun sontak bangkit dari posisi rebahannya. Kemudian segera diraihnya ponsel itu. Dahinya sedikit berkerut saat melihat sebuah panggilan dari nomer asing."Ya?" sapanya sedikit malas."Nak Adnan?" tanya suara seorang wanita dari seberang.Awalnya Adnan mengira itu salah satu temannya atau teman Gina yang ingin mengucapkan
Kali ini Maretha hanya terdiam. Gadis itu hampir saja melupakan pertemuannya dengan sang papa dan ibu tirinya. Waktu itu dirinya dan Alif memang sudah janji pada kedua orangtua itu akan menjalin hubungan kakak dan adik dengan baik lagi seperti sebelumnya."Oke, oke, baik. Kalau kamu mau hubungan kita baik, jangan ganggu-ganggu aku lagi dong kalau gitu.""Kenapa harus begitu? Aku kan peduli sama kamu, Reth. Kamu jangan salah paham.""Sudah kubilang aku nggak butuh pelindung ya, Lif. Ngeyel banget sih kamu itu." Maretha kini terlihat mulai kesal. Tapi dalam hati sebenarnya tak ada yang tahu bahwa dia senang dengan perhatian Alif padanya hingga saat ini.Alif kembali menengok ke sekeliling. Saat dirasanya mereka hanya berdua saja di t
Malam harinya, Vina terlihat baru keluar dari kamarnya. Sementara Maretha terlihat sedang membuat spaghetti di dapur kecil rumah mereka."Sudah pulang temen kamu, Reth?""Udah dari tadi kali, Mah. Mama sih tidurnya ngebo gitu.""Mama bosen, Reth. Papa kamu udah kirim kamu uang belum bulan ini?""Nggak tau, belum liat rekening. Udah palingan, Ma. Papa kan nggak pernah telat ngasih uang Retha. Memangnya kenapa sih?""Mama pengen shopping. Duit mama habis kan buat beli rumah ini. Tolongin mama dong, Sayang.""Tolongin apa, Mah?""Bilangin papa buat kasih modal mama. Mama mau bisnis lagi.""Bisnis apaan lagi, Maaah? Berlian lagi? Entar kesangkut masalah lagi?" ujar Maretha terlihat kurang su
Beberapa menit setelah kepergian Adnan, dada Soraya tiba-tiba sesak. Wanita itu tak henti menangis. Entah apa yang dia tangisi. Ibu dan bapaknya sampai kebingungan dengan perilaku anak bungsunya itu."Seandainya waktu bisa kuputar ulang, aku tak ingin merusak kebahagiaan keluarga mbak Aira dengan mas Dhani. Mereka memiliki anak-anak yang berhati begitu luar biasa, Buk."Akhirnya setelah didesak oleh sang ibu, Soraya pun meluapkan perasaannya. Bapak dan ibunya hanya bisa membesarkan hati wanita itu sebisanya."Sudahlah, Nduk. Kamu sudah minta maaf. Mereka orang-orang baik, ibu yakin juga sudah memaafkan kamu. Sekarang tenangkan pikiranmu. Ikhlas ya, Nduk."Kemudian Bu Suherman pun memeluk anaknya dengan erat. Haru segera saja menyelimuti kamar luas yang penuh dengan aura kesedihan itu...
Dalam perjalanan ke rumah orangtua Gina, Adnan justru tak bisa tenang. Entah kenapa perjumpaannya dengan Soraya tadi begitu mengganggu pikirannya."Itu tadi istrinya mas Dhani yang dulu pernah datang ke rumah kita untuk minta maaf kan, Sayang?" tanya Seno di sela-sela perjalanan mereka.Aira yang sedari tadi tengah memperhatikan Adnan yang duduk di jok belakang dari kaca spion sedikit kaget dengan pertanyaan Seno yang tiba-tiba."I-iya Mas, yang itu," jawabnya sedikit terbata."Kasihan sekali ya kondisinya sekarang. Dulu waktu ke rumah kita itu sepertinya belum separah itu ya? Padahal Baru berapa bulan yang lalu ya, Ra?" Seno seperti sedang larut dalam hitung-hitungan."Aku juga hampir nggak percaya tadi, Mas. Seandainya mas Seno pernah melihatnya saat masih sehat du