"Adnan, tunggu!" Seorang gadis yang masih mengenakan seragam putih abu-abunya mengejar langkah Adnan siang itu menuju ke parkiran sebuah butik distro cukup terkenal di kota setempat. Adnan yang merasa dipanggil pun segera menoleh. Namun, wajahnya mendadak sedikit pucat saat melihat siapa yang sedang berjalan cepat ke arahnya. "Aku mencarimu kemana-mana, kenapa sih kamu menghindari aku?" tanya ketus gadis cantik berambut lurus sepinggang itu. "Aku nggak menghindar," elak Adnan sambil merapatkan tubuhnya ke motor kesayangannya. "Kalau nggak menghindar apa namanya? Kamu tidak menjawab teleponku, bahkan pesanku dari kemarin saja tidak kamu baca." Gadis itu mulai mengomel. "Maaf, Gina, aku sibuk." "Oooh sibuk ya? Kalau sudah begini kamu bilang kamu sibuk?" "Apa sih mau kamu?" Melihat gadis itu mulai berbicara tidak mengenakkan, akhirnya Adnan sedikit tersulut emosi juga. Dia sebenarnya bukan tidak tahu apa maksud gadis di depannya itu mencari-carinya.
Aira belum menyadari ada yang telah menunggunya di teras rumahnya saat dia turun dari mobil dan berjalan dengan tangan Seno menggamit erat pinggangnya. Keduanya terlihat asik mengobrol sambil berjalan saat tiba-tiba langkah Aira terhenti di tangga teras. Dia terhuyung nyaris jatuh saat kakinya seperti tak seimbang menahan berat tubuh saking kagetnya. Beruntung Seno sigap menangkap tubuh istrinya. "Ada apa, Sayang?" kata lelaki itu nampak khawatir. Aira tak menjawab, hanya matanya yang terus menatap lekat ke arah dua orang tamu yang sedang ada di teras rumah itu. Sementara Alif yang tadi melihat ibunya sempat limbung, sudah berada di dekatnya sekarang. "Mereka ke sini nyari Ibuk. Katanya mau minta maaf," bisik Alif di telinga ibunya sambil membantu memegangi lengan Aira. Namun baru saja Alif menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Soraya berlari ke arah mereka dan berlutut memegang kaki Aira sambil terisak. "Maafkan aku, Mbak Aira," ucapnya terbata. Aira bingung
"Ambil ini!" Adnan mengulurkan satu benda kecil terbungkus platik pada Gina. Matanya sesekali melirik ke segala arah seolah takut ada yang melihat apa yang sedang mereka lakukan. "Ini apa, Nan?" Gina menerimanya dan segera memasukkannya ke dalam saku seragamnya. "Aku beli di online. Katanya kalau diminum sekali, langsung bisa ilang." "Serius?" "Kata penjualnya gitu." "Bahaya enggak buat aku?" "Gin, pliss." Adnan mendekatkan wajahnya ke pacarnya. "Jangan tanya bahaya atau tidak, karena aku juga ngga tau. Aku taunya cuma ini solusi buat kita. Ngerti nggak sih?" "Iya aku ngerti, Nan. Tapi aku takut terjadi sesuatu sama aku kalau aku minum ini nanti." Wajah gadis itu nampak memucat sekarang. "Trus maunya kamu apa?" Adnan nampak mulai gusar. "Aku juga nggak tau. Tapi, bisakah kamu temani aku nanti?" "What?? Temenin dimana? Di rumah kamu? Ya nggak mungkin lah." "Kita ke hotel lagi atau ke kostnya Vira, temenku yang waktu itu." "
Perbincangan antar dua keluarga di dalam ruang perawatan VIP Gina itu berlangsung sedikit tegang. Adnan hanya bisa menunduk mendengarkan dua pasang orang tua yang sedang membahas kelakuannya yang sangat mengecewakan itu. Sementara Gina, mendengarkan dengan sesekali terisak di atas ranjang perawatannya. "Sebenarnya, tadinya kami bermaksud melaporkan perbuatan anak anda ke pihak yang berwajib. Namun setelah saya mendengar dari Bu Nilam tentang anda, Bu Aira, saya jadi berubah pikiran. Sepertinya kita bisa membicarakan ini secara baik-baik tanpa membawa aib ini keluar," jelas ibunda Gina panjang lebar, yang juga kemudian diiyakan dengan anggukan kepala oleh suaminya. "Saya justru yang berterima kasih, Bu. Anda baik sekali mau mempertimbangkan kesalahan anak saya. Saya nggak tau apa jadinya jika anda dan bapak melaporkan Adnan ke polisi. Dia bahkan belum lulus sekolah." "Itulah, Bu Aira, jadi saya minta dengan hormat kerjasamanya. Semua sudah terlanjur. Anak saya hamil. B
"Ada apa, Mas?" Aira nampak mengerutkan dahinya kala melihat suaminya termenung setelah membaca sesuatu di layar ponselnya.Mereka berdua sedang berada di salah satu kafe milik mereka untuk memeriksa persiapan sebuah acara yang akan diadakan di tempat itu saat sebuah pesan dari Maretha tiba-tiba masuk ke ponsel Seno."Retha tadi berangkat kuliah bareng Alif kan, Sayang?" tanyanya pada sang istri yang sedang sibuk membuka-buka buka file laporan keuangan di atas meja kerja."Iya sama Alif seperti biasa, Mas. Memangnya kenapa?" Aira memandag suaminya, menyelidik penasaran."Alifnya udh pulang belum ya? Ini, Retha kok malah minta dijemput di tempat temennya katanya." Raut wajah lelaki itu nampak keheranan."Masa sih, Mas? Sebentar coba aku telponkan Alif." Aira segera meraih ponselnya di atas meja, lalu sejurus kemudian mula
'Jangan menunggunya, dia sedang bersamaku.'Sebuah pesan masuk ke ponsel Aira dari nomer tak dikenal di tengah kebingungannya menerka-nerka dimana keberadaan suaminya. Kaimat itu diakhiri dengan satu emoticon senyum. Lalu disusul dengan sebuah video singkat sepasang insan yang sedang bercumbu.Meskipun video itu terlalu singkat, dan hampir tak terlalu jelas, yang pasti Aira bisa melihat jelas bahwa tubuh suaminya yang ada di dalam video itu. Dan yang lebih menyakitkan, lelaki itu sedang bersama dengan mantan istrinya.Jadi ini yang suaminya bilang ingin menjemput anak gadisnya? Aira hampir saja menjatuhkan ponselnya ke lantai. Namun beruntung dia masih sempat berpegangan ke salah satu kursi di serambi kafe."Bu Aira nggak apa-apa?" Seorang karyawan wanita menghampirinya dan membantu memegangi Aira yang tadi terlihat sekilas sedikit limbung.
Rasa bersalah membuat gadis itu benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Entah kenapa bayangan wajah kecewa Alif dan tatapan Aira yang tak seperti biasanya terus muncul di pelupuk mata dan sangat mengganggunya. Maretha tak bisa menebak apa sebenarnya yang telah terjadi setelah dia meninggalkan papanya di apartemen sang mama semalam. Sqtu hal yang dia tahu bahwa sekarang hubungan papanya dan ibu tirinya sedang tidak baik-baik saja. Dan itu tentu saja akibat ulah mamanya dan dia. Matahari bahkan belum menampakkan sinarnya saat Maretha kemudian memutuskan untuk bergegas meninggalkan kamarnya dan berjalan pelan menuju garasi. Tujuan satu-satunya hanyalah apartemen sang mama. Dia sangat yakin papanya masih ada di sana. Dan dia bertekad untuk membawanya pulang untuk membereskan semua kekacauan ini. Alif yang juga sudah terbangun pagi itu bergegas ke arah jendela kamarnya saat mendengar suara mobil Maretha menjauh dari garasi rumah. Pemuda itu hanya menatap kepergian adik tirinya sambil
"Maretha tidak ada di sini," kata wanita itu menatap Alif yang berdiri di depan pintu dengan pandangan tak suka. "Papanya bilang dia ada di sini. Jangan bohong!" Alif tak begitu saja percaya. Pandangannya jadi penuh selidik. "Memangnya untuk apa aku berbohong?" Vina maki tidak suka dengan bicara Alif yang seolah tak mempercayainya. "Maretha! Retha! Ayo pulang!" Alif mulai berteriak memanggil-manggil nama adik tirinya. "Tidak usah berteriak! Cari saja di dalam kalau tidak percaya." Vina segera menggeser posisi tubuhnya yang sedari tadi berdiri di ambang pintu bermaksud membiarkan Alif masuk untuk menemukan apa yang sedang dicarinya. Beberapa menit kemudian, pemuda itu pun kembali keluar lagi disambut tatapan sinis dari Vina. "Masih tidak percaya?" katanya dengan nada ejekan. "Kemana dia?" lugas Alif. "Kalau pun aku tahu. Aku tak akan memberitahukannya padamu." Alif menatap tajam ke arah wanita sepantaran ibunya itu. Andai saja bukan orang yang lebih tua, Alif pasti sudah me
"Retha!" Alif segera menyambar beberapa buku yang sudah diincarnya sejak tadi dari etalase saat dilihatnya seperti sosok adiknya di rak buku tak jauh dari tempatnya berdiri.Gadis yang merasa dipanggil itu pun langsung menoleh. Dia kaget melihat ternyata Alif pun sedang berada di toko buku yang sama dengan dirinya saat itu."Sama siapa?" tanya Alif saat akhirnya berhasil mendekat pada adiknya."Mmmm, sama ... Abidzar," jawabnya sedikit gugup."Oya? Mana dia?" Alif mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari sosok Abidzar di tempat itu. Bibirnya nampak mengembangkan senyum saat akhirnya menemukan pemuda itu diantara buku-buku bisnis."Kamu sendiri sama siapa?" tanya balik Maretha setelah merasa Alif tak lagi sedang menertawakannya.
Siang itu Alif rupanya mulai mengenal sosok Aisha. Gadis yang terlihat seperti anak kecil saat di kampus itu ternyata lebih mandiri dari yang dia tahu. Ayahnya berprofesi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, membesarkan Aisha sendiri tanpa bantuan pembantu. Sejak SMP ternyata Aisha telah diajari mandiri oleh ayahnya itu. Dia pun tumbuh menjadi gadis yang serba bisa dalam mengurus rumah."Kadang aku iri Lif waktu jaman masih sekolah, melihat teman-teman masih punya keluarga lengkap. Tapi tiap kali ayah selalu bisa membesarkan hatiku. Dan dia mampu menunjukkan padaku bahwa hidup bersamanya saja juga sudah cukup."Aisha masih melanjutkan pembicaraan di sela-sela acara makan mereka."Hidup itu hanya saling lihat satu sama lain kok, Sha. Yang kelihatannya bahagia belum tentu merasa seperti itu aslinya. Saat kamu cerita tadi aku malah merasa kamu itu lebih beruntung m
Mendengar kalimat Abidzar, Alif tiba-tiba bisa menebak bahwa adik tirinya itu kemungkinan sudah mulai suka sama Abidzar. Buktinya dia sudah mau membuka diri untuk membahas masalah yang lebih pribadi pada sahabatnya itu."Memangnya Retha bilang apa sama kamu?""Dia sih cuma pengen tau pendapatku soal cewek yang udah nggak virgin. Trus dia juga tanya masalah pasangan hidup yang sudah nggak virgin. Sori ya Lif sebelumnya, apa Maretha itu ...." Abidzar tak sampai hati melanjutkan kalimatnya."Aku bukan orang yang berhak menjawab itu, Bi. Aku rasa kamu sendiri yang harus nanyain langsung sama Retha kalau memang kamu serius sama dia. Memangnya kalau boleh tau seserius apa sih kamu sama Retha?""Mau jawaban jujur, Lif?"
"Kenapa sih tiba-tiba tanya-tanya masalah kayak gitu, Reth?""Heh? Apa? Enggak, nggak apa-apa. Pengen tau aja pandangan cowok soal itu." Maretha mendadak gugup dengan pertanyaan Abidzar yang tak disangkanya itu."Allah itu sudah memberikan jodoh pada masing-masing orang. Dan saat sepasang jodoh itu sudah dipertemukan, hal-hal seperti itu sudah nggak akan ada pengaruhnya lagi. Maksudku, pasangan yang memang sudah ditakdirkan berjodoh tak akan sempat memikirkan hal-hal kayak gitu, Reth. Lagian orang-orang sekarang kurasa lebih open minded kok. Kita para cowok juga nggak merasa suci-suci amat. Jadi kalau aku, seperti apa di masa sekarang jauh lebih penting sih dibanding masih terus berkutat mempermasalahkan masa lalunya.""Oya?""Aku sih gitu.""Trus ngapain kamu ngejar-ngejar aku? Bukannya ka
Hari menjelang siang saat Adnan baru bisa menghempaskan punggungnya ke sebuah sandaran bangku rumah sakit tak jauh dari kamar perawatan istri dan anaknya.Rasa kantuk yang dari dini hari sempat tak dirasakannya kini seperti menggelayuti dan membuatnya tak tahan lagi, hingga kemudian pemuda itu pun jatuh tertidur di bangku itu.Baru sekitar lima belas menit Adnan terlelap, tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi. Dengan gerakan cepat karena kaget, Adnan pun sontak bangkit dari posisi rebahannya. Kemudian segera diraihnya ponsel itu. Dahinya sedikit berkerut saat melihat sebuah panggilan dari nomer asing."Ya?" sapanya sedikit malas."Nak Adnan?" tanya suara seorang wanita dari seberang.Awalnya Adnan mengira itu salah satu temannya atau teman Gina yang ingin mengucapkan
Kali ini Maretha hanya terdiam. Gadis itu hampir saja melupakan pertemuannya dengan sang papa dan ibu tirinya. Waktu itu dirinya dan Alif memang sudah janji pada kedua orangtua itu akan menjalin hubungan kakak dan adik dengan baik lagi seperti sebelumnya."Oke, oke, baik. Kalau kamu mau hubungan kita baik, jangan ganggu-ganggu aku lagi dong kalau gitu.""Kenapa harus begitu? Aku kan peduli sama kamu, Reth. Kamu jangan salah paham.""Sudah kubilang aku nggak butuh pelindung ya, Lif. Ngeyel banget sih kamu itu." Maretha kini terlihat mulai kesal. Tapi dalam hati sebenarnya tak ada yang tahu bahwa dia senang dengan perhatian Alif padanya hingga saat ini.Alif kembali menengok ke sekeliling. Saat dirasanya mereka hanya berdua saja di t
Malam harinya, Vina terlihat baru keluar dari kamarnya. Sementara Maretha terlihat sedang membuat spaghetti di dapur kecil rumah mereka."Sudah pulang temen kamu, Reth?""Udah dari tadi kali, Mah. Mama sih tidurnya ngebo gitu.""Mama bosen, Reth. Papa kamu udah kirim kamu uang belum bulan ini?""Nggak tau, belum liat rekening. Udah palingan, Ma. Papa kan nggak pernah telat ngasih uang Retha. Memangnya kenapa sih?""Mama pengen shopping. Duit mama habis kan buat beli rumah ini. Tolongin mama dong, Sayang.""Tolongin apa, Mah?""Bilangin papa buat kasih modal mama. Mama mau bisnis lagi.""Bisnis apaan lagi, Maaah? Berlian lagi? Entar kesangkut masalah lagi?" ujar Maretha terlihat kurang su
Beberapa menit setelah kepergian Adnan, dada Soraya tiba-tiba sesak. Wanita itu tak henti menangis. Entah apa yang dia tangisi. Ibu dan bapaknya sampai kebingungan dengan perilaku anak bungsunya itu."Seandainya waktu bisa kuputar ulang, aku tak ingin merusak kebahagiaan keluarga mbak Aira dengan mas Dhani. Mereka memiliki anak-anak yang berhati begitu luar biasa, Buk."Akhirnya setelah didesak oleh sang ibu, Soraya pun meluapkan perasaannya. Bapak dan ibunya hanya bisa membesarkan hati wanita itu sebisanya."Sudahlah, Nduk. Kamu sudah minta maaf. Mereka orang-orang baik, ibu yakin juga sudah memaafkan kamu. Sekarang tenangkan pikiranmu. Ikhlas ya, Nduk."Kemudian Bu Suherman pun memeluk anaknya dengan erat. Haru segera saja menyelimuti kamar luas yang penuh dengan aura kesedihan itu...
Dalam perjalanan ke rumah orangtua Gina, Adnan justru tak bisa tenang. Entah kenapa perjumpaannya dengan Soraya tadi begitu mengganggu pikirannya."Itu tadi istrinya mas Dhani yang dulu pernah datang ke rumah kita untuk minta maaf kan, Sayang?" tanya Seno di sela-sela perjalanan mereka.Aira yang sedari tadi tengah memperhatikan Adnan yang duduk di jok belakang dari kaca spion sedikit kaget dengan pertanyaan Seno yang tiba-tiba."I-iya Mas, yang itu," jawabnya sedikit terbata."Kasihan sekali ya kondisinya sekarang. Dulu waktu ke rumah kita itu sepertinya belum separah itu ya? Padahal Baru berapa bulan yang lalu ya, Ra?" Seno seperti sedang larut dalam hitung-hitungan."Aku juga hampir nggak percaya tadi, Mas. Seandainya mas Seno pernah melihatnya saat masih sehat du