"Maretha tidak ada di sini," kata wanita itu menatap Alif yang berdiri di depan pintu dengan pandangan tak suka. "Papanya bilang dia ada di sini. Jangan bohong!" Alif tak begitu saja percaya. Pandangannya jadi penuh selidik. "Memangnya untuk apa aku berbohong?" Vina maki tidak suka dengan bicara Alif yang seolah tak mempercayainya. "Maretha! Retha! Ayo pulang!" Alif mulai berteriak memanggil-manggil nama adik tirinya. "Tidak usah berteriak! Cari saja di dalam kalau tidak percaya." Vina segera menggeser posisi tubuhnya yang sedari tadi berdiri di ambang pintu bermaksud membiarkan Alif masuk untuk menemukan apa yang sedang dicarinya. Beberapa menit kemudian, pemuda itu pun kembali keluar lagi disambut tatapan sinis dari Vina. "Masih tidak percaya?" katanya dengan nada ejekan. "Kemana dia?" lugas Alif. "Kalau pun aku tahu. Aku tak akan memberitahukannya padamu." Alif menatap tajam ke arah wanita sepantaran ibunya itu. Andai saja bukan orang yang lebih tua, Alif pasti sudah me
"Ini tempat apa sih?" tanya Maretha keheranan pada wanita sebayanya yang berjalan begitu santai dengan menggandeng lengannya melewati koridor dimana kanan kirinya dipenuhi pasangan-pasangan seusia mereka yang tengah berbuat tak sepantasnya. Malam sebelumnya setelah mendengar kata-kata sang mama bahwa wanita yang telah melahirkannya itu begitu kecewa terhadapnya, Maretha tak merasa punya keberanian untuk pulang ke rumah papanya. Sementara itu, bayangan wajah Alif yang tengah marah membuatnya juga sangat enggan menemui pemuda itu lagi. Hingga kemudian diputuskannya untuk tidak pergi ke tempat tinggal ketiga sahabatnya karena Alif pasti akan menemukannya jika dia pergi ke tempat mereka. Tiba-tiba ada perasaan jengkel dan marah yang menggelayutinya karena merasa tidak diinginkan oleh siapa-siapa. Papanya, mamanya, saudara-saudara tirinya terutama Alif. Dan itu membuatnya berpikir begitu konyol. Menghilang sementara waktu agar mereka menyadari arti kehadirannya dalam kehidupan. Mareth
"Kita lapor saja ke polisi, Mas. Aku takut terjadi apa-apa sama Maretha," desak Aira.Semua sudah kembali berkumpul di rumah lagi setelah pencarian Maretha yang tanpa hasil."Tapi ini masih belum 2x24 jam, Sayang. Aku nggak yakin polisi juga bisa langsung bertindak. Lagipula Retha itu sudah dewasa. Masa' iya akan dipercaya kalau dia hilang?" Seno terlihat sedikit putus asa."Tapi nggak ada salahnya sih Pa kita lapor ke polisi. Setidaknya hari ini nanti sudah akan dua hari. Mungkin akan lebih cepat ketemu dengan bantuan polisi," kata Alif membenarkan sang ibu.Saat Seno sedang memikirkan saran anak dan istrinya itu, tiba-tiba terdengar ponsel Aira berbunyi. Sekilas wanita itu mengamati nama yang ada di layar ponselnya. Dhani, nama mantan suaminya terpampang di sana. Ada apa? tanya Aira dalam hari. Namun buru-buru Aira mengheningkan bunyi ponselnya ka
Rapi dengan celana jeans dan kaos polo warna hitamnya yang begitu kontras dengan kulitnya yang bersih, Alif segera menyambar tas punggungnya dan bermaksud hendak keluar dari kamar. Namun langkahnya terhenti di depan pintu saat dilihatnya wajah kuyu Maretha yang berdiri di sana masih dengan piyama satinnya. "Lhoh, kok belum siap-siap? Ada jadwal kuliah kan hari ini?" Alif mengerutkan dahinya, memandang keheranan ke arah adiknya. "Bisa temenin aku ngobrol sebentar nggak, Lif?" Mata itu sembab dan seperti tak berani menatap ke orang yang diajaknya bicara. "Sekarang?" Alif pun seperti tahu ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan adiknya itu padanya. Saat Maretha mengangguk, Alif meraih pergelangan tangan gadis itu untuk diajaknya masuk. Diletakkannya kembali tas yang sudah bertengger di bahu kanannya tadi di atas mejanya. Lalu mendudukkan Maretha di tepian tempat tidur. "Ada apa?" tanyanya. Namun yang ditanya justru melengos ke arah lain dengan mata yang mulai berbayang. "
Pagi itu begitu cerah saat Alif dan Maretha tiba di parkiran antara kampus Fakultas Teknik dan Fakultas Ekonomi. "Nanti selesai jam berapa?" tanya Alif seperti biasa."Ntar deh aku whatsapp. Aku juga belum tau. Katanya sih hari ini mau ada kuliah tambahan. Nggak tau deh jadi apa enggak," sahut gadis itu lincah."Ya udah. Nanti bilang aja kalau udah mau pulang. Dah sana buruan, ntar telat, lagi," ucap Alif sambil membenarkan letak tali tas di pundaknya. Maretha berniat meninggalkan Alif saat tiba-tiba seorang gadis manis berhijab lebar berlari kecil menuju ke arah mereka usai menutup pintu mobilnya. "Alif!" teriaknya. Maretha yang melihat kejadian itu mendadak mengurungkan niatnya untuk berlalu dari hadapan sang kakak tiri. "Hai, Aisha," sapa Alif saat gadis itu sudah lumayan dekat. "Assalamu'alaikum, Lif," sapa gadis itu kemudian. "Wa'alaikumsalam, ada apa Sha?" "Enggak, itu cuma mau nanya. Hari ini kita jadi latihan praktek mata kuliahnya Profesor Gunardi kan?" "Oooh iya ya,
Usai membersihkan diri, pemuda itu pun kembali turun menuju ke ruang makan. Namun rupanya Maretha sudah dulu berada di sana menikmati makan siangnya yang telat sendirian. Wajahnya masih saja terlihat tak ceria. Apalagi saat melihat Alif mendekat ke arahnya."Makan yang banyak. Katanya laper," ucap Alif basa basi. Berjalan mengambil piring lalu mendudukkan dirinya di depan sang adik.Tak ada sahutan apapun dari gadis di depannya, membuat Alif jadi semakin merasa bersalah. Beberapa kali pertanyaannya hanya dianggap angin lalu oleh Maretha di sela-sela acara makan mereka. Hingga kemudian Alif memutuskan untuk berdiam diri juga....Samp
Maretha baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu saat Seno, ayahnya, mengagetkannya dengan tatapan tak suka dari arah sofa. Sementara ibu tirinya, Aira, menampakkan wajah cemasnya di samping suaminya itu."Dari mana saja jam segini baru pulang?" tanya sang ayah dengan tatapan garangnya yang tak biasa. Sekilas lelaki itu melihat ke arah jam besar di tembok ruang tamunya hanya agar anak gadisnya menyadari betapa larutnya dia pulang hari ini.Waktu memang sudah menunjuk hampir jam 1 dini hari dan Maretha seperti tak sadar dirinya telah membuat seisi rumah kalang kabut dibuatnya hari itu. Apalagi saat Alif memberikan informasi pada kedua orangtua itu bahwa hari itu Maretha tak berangkat ke kampus."Sudah Mas, biarkan Retha istirahat dulu. Besok saja diobrolkan
Pagi harinya semuanya sudah berkumpul di ruang makan seperti biasa. Tentu saja, kecuali Maretha. Sophia yang merasakan sedikit kejanggalan di meja makan karena terlalu hening mulai membuka suara."Kok pada diam sih? Pada sariawan ya?" celetuknya."Hush!" Adnan yang sebenarnya juga mendengar keributan semalam dari kamarnya berusaha membuat diam sang adik."Habisnya pada diam semua. Ada apa sih?" tanya anak itu lagi dengan polosnya."Sudah, Dek. Habiskan makanannya. Jangan ngomong terus!" ujar Alif, diiringi gaya cemberut khas adiknya sembari memainkan kembali sendok di atas piring makannya."Mbak Retha belum pulang ya, Buk?" Karena masih sangat penasaran dengan yang sedang terjadi, Sophia pun rupanya belum bisa diam."Sudah k