Usai membersihkan diri, pemuda itu pun kembali turun menuju ke ruang makan. Namun rupanya Maretha sudah dulu berada di sana menikmati makan siangnya yang telat sendirian. Wajahnya masih saja terlihat tak ceria. Apalagi saat melihat Alif mendekat ke arahnya."Makan yang banyak. Katanya laper," ucap Alif basa basi. Berjalan mengambil piring lalu mendudukkan dirinya di depan sang adik.Tak ada sahutan apapun dari gadis di depannya, membuat Alif jadi semakin merasa bersalah. Beberapa kali pertanyaannya hanya dianggap angin lalu oleh Maretha di sela-sela acara makan mereka. Hingga kemudian Alif memutuskan untuk berdiam diri juga....Samp
Maretha baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu saat Seno, ayahnya, mengagetkannya dengan tatapan tak suka dari arah sofa. Sementara ibu tirinya, Aira, menampakkan wajah cemasnya di samping suaminya itu."Dari mana saja jam segini baru pulang?" tanya sang ayah dengan tatapan garangnya yang tak biasa. Sekilas lelaki itu melihat ke arah jam besar di tembok ruang tamunya hanya agar anak gadisnya menyadari betapa larutnya dia pulang hari ini.Waktu memang sudah menunjuk hampir jam 1 dini hari dan Maretha seperti tak sadar dirinya telah membuat seisi rumah kalang kabut dibuatnya hari itu. Apalagi saat Alif memberikan informasi pada kedua orangtua itu bahwa hari itu Maretha tak berangkat ke kampus."Sudah Mas, biarkan Retha istirahat dulu. Besok saja diobrolkan
Pagi harinya semuanya sudah berkumpul di ruang makan seperti biasa. Tentu saja, kecuali Maretha. Sophia yang merasakan sedikit kejanggalan di meja makan karena terlalu hening mulai membuka suara."Kok pada diam sih? Pada sariawan ya?" celetuknya."Hush!" Adnan yang sebenarnya juga mendengar keributan semalam dari kamarnya berusaha membuat diam sang adik."Habisnya pada diam semua. Ada apa sih?" tanya anak itu lagi dengan polosnya."Sudah, Dek. Habiskan makanannya. Jangan ngomong terus!" ujar Alif, diiringi gaya cemberut khas adiknya sembari memainkan kembali sendok di atas piring makannya."Mbak Retha belum pulang ya, Buk?" Karena masih sangat penasaran dengan yang sedang terjadi, Sophia pun rupanya belum bisa diam."Sudah k
"Sebenarnya sebelum ibu sama papa Seno menikah, seserius apa sih hubungan kalian? Kamu dan Maretha beneran nggak pernah pacaran kan seperti yang Mas ceritakan sama ibu dulu itu?" Aira mulai serius. Menatap tepat ke mata anak sulungnya seolah ingin mendapatkan informasi yang akurat."Serius, Buk. Alif sama Retha itu nggak pernah pacaran. Tapi ....""Tapi kenapa, Mas?""Jujur, Retha memang pernah bilang suka sama Alif. Tapi waktu Alif bilang kami berdua lebih baik jadi saudara aja, dia sepertinya ngerti kok waktu itu. Bahkan hubungan kita kan memang lebih baik saat menjadi kakak adik. Hanya saja ....""Hanya saja kenapa, Mas?""Tadi sebelum pergi meninggalkan rumah, dia sempat mengatakan sesuatu, Buk. Alif juga nggak nyangka dia bisa bicara kayak gitu.""B
Tak berapa lama Maretha pun sudah nampak berbicara dengan seseorang di telepon. Kemudian menyusul bergabung dengan Jenna saat telah menyelesaikan pembicaraannya. Namun baru sempat mendudukkan diri di kursi makan, gadis itu dikejutkan dengan suara ponselnya."Kok diliatin aja gitu sih? Nggak diangkat?" tanya Jenna keheranan. Menatap Maretha dengan senyuman menggodanya saat melihat nama Alif terpampang di layar HP gadis itu."Males," ujar Maretha ketus."Mau Tante bantu jawab?" goda Jenna lagi dengan senyumannya."Enggak, enggak. Nggak usah, Tan. Biar Retha aja.Maretha pun kembali bangkit. Lalu berjalan menjauh dariJenna."Ada apa?" sapanya asal-asalan."Assalamu'alaikum ...." ucap Alif dari seb
"Jadi maksud kamu, kamu merasa diabaikan sama papa? Ya ampun Rethaaa. Kita semua kan tahu papa memang lagi sibuk banget ngurus cabang-cabang kafe barunya akhir-akhir ini. Kok kamu nggak bisa ngertiin itu sih? Jangan kayak anak kecil gitu dong, Reth.""Ah itu cuma alasan aja!" Maretha kembali tertawa lebar. "Aku bukan anak kecil Lif, yang hanya bisa diam saja melihat ketidak adilan. Ibu kamu sudah merebut papa dariku. Awalnya aku memang tak menyadari itu. Tapi lama kelamaan sikap papa semakin berubah. Dia bukan lagi papa yang aku kenal dulu.""Rethaa, kamu salah paham. Papa kamu nggak mungkin berbuat seperti itu. Dia nggak mungkin mengabaikan kamu, Reth.""Buktinya begitu, Lif. Mau nyangkal gimana lagi? Dia bahkan nggak pernah tau dan nggak pernah mau tau apa yang telah terjadi padaku di malam aku ingin lompat dari gedung waktu itu kan? Kamu juga, Lif. Andai saja aku ta
Hari berganti. Ketidakhadiran Maretha di rumah Seno dan Aira rupanya lambat laun telah menjadi biasa bagi para penghuni rumah lainnya. Meski begitu, Seno selalu rutin mengunjungi anak gadisnya itu di tempat sahabat mantan istrinya, Jenna.Sementara Alif, lebih sering berusaha menemui Maretha di kampusnya. Meskipun kenyataannya gadis itu selalu menolak untuk bicara lebih banyak pada kakak tirinya itu.Seperti hari ini, Alif baru saja kembali dari gedung kampus Fakultas Ekonomi saat Aisha menghentikan langkahnya di taman kampus."Lif, ada waktu nggak?" tanya gadis manis berhijab lebar itu."Kenapa, Sha?" Alif berhenti di dekat sebuah bangku taman, lalu mendudukkan dirinya di samping teman sekelasnya itu saat melihat wajah serius Aisha yang sedang membawa sebuah buku tebal di tangannya.
[Lagi apa, Reth?]Sebuah pesan masuk saat Maretha baru saja sampai di apartemen Jenna.Gadis itu tak segera membalas pesan itu. Dia justru sibuk memperhatikan foto profil dari kontak yang mengiriminya pesan.Ahhaa, pucuk dicinta ulam tiba. Rupanya Abidzar bergerak lebih cepat dari dugaannya. Cowok itu malah lebih dulu mendapatkan nomer kontaknya. Jadi Maretha tak perlu repot-repot lagi berbaik-baik dengannya agar mereka bisa lebih dekat lagi. Namun begitu, tetap saja Maretha tak ingin terlihat terlalu murahan.[Siapa ini?]Akhirnya Maretha membalas pesan itu usai melempar tasnya ke sofa. Bibirnya tersenyum saat mengetikkan balasan itu.Tak menunggu lama, pesan balasan pun masuk.[Aku Abidzar. M