"Sophia nggak boleh gitu lagi. Mas Adnan lagi ada masalah. Sophia nggak boleh malah nambah-nambahin masalah.""Memangnya Adnan sama Gina kenapa sih, Buk?""Gina tadi siang pamit sama ibuk, katanya mau pulang ke rumah mama papanya. Ibu sudah nawarin buat nganterin tapi ternyata sudah pesen taksi online duluan. Dia bilang sih katanya sudah pamit sama Adnan. Eh ternyata kata Adnan belum. Ngambek sepertinya karena si Adnan nggak mau nganterin nonton kemarin.""Rumit juga ya punya istri," celetuk Alif usai mendengar penjelasan sang ibu."Makanya kalau belum sanggup punya istri jangan macam-macam," seloroh Sophia."Sophieee," ujar Aira mengingatkan."Iya nih Sophie kebiasaan. Jangan suka ngomong gitu, Dek. Nggak baik. Kan orang bisa tersinggung den
"Kata Alif sih begitu, Mas. Tiap hari Alif juga berusaha membujuknya untuk mau kembali ke sini. Tapi sepertinya Maretha memang tidak mau lagi pulang, Mas.""Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku bisa nggak tau tentang semua itu, Ra. Bodoh sekali aku ini. Tidak memperhatikan anak sendiri.""Alasan Alif tidak memberitahu kita karena dia juga berpikir Maretha sudah bisa menerima semua itu, Mas. Tapi ternyata belum.""Jadi mereka berdua mengorbankan perasaan untuk kita, Sayang? Alif dan Maretha?""Sepertinya begitu, Mas. Alif ingin melihat aku bahagia setelah berpisah dari mas Dhani.""Dan dia mengesampingkan perasaannya sendiri? Ya Tuhan, anak anak."Seno mengusap wajahnya perlahan. Terlihat jelas sekali raut penyesalan mendalam dalam diri lelaki itu.
Usai jam kuliah, Alif sudah menunggu di depan kelas Maretha. Sementara Seno dan Aira rupanya telah menunggu mereka di taman kampus.Melihat dua anak muda yang berjalan beriringan menuju ke arah mereka, Aira dan Seno pun segera bangkit."Sudah selesai kuliah kalian?" tanya Seno basa-basi. Kedua anak itu nampak mengangguk. Maretha yang baru menyadari kehadiran Aira di tempat itu juga mendadak jadi sedikit canggung."Kamu mau ikut papa atau mobil Alif, Reth?" tanya Seno lagi."Retha ikut Alif aja," sahutnya cepat. Alif sampai kaget dibuatnya. Mungkin ini karena ada ibu tirinya bersama papanya, makanya dia memilih untuk ikut dengan mobil Alif.Setengah jam perjalanan, akhirnya keempatnya sampai juga di sebuah restauran lumayan mahal di kota itu. Seno sengaja memesan private ro
"Halo mas Dhani, apa kabar?" sapanya ramah saat melihat mantan suami dari istrinya itu memasuki ruangan. Seno sedikit keheranan melihat penampilan Dhani kali ini yang sedikit agak berubah. Lelaki yang juga merupakan ayah dari anak-anak tirinya itu sepertinya badannya semakin kurus saja."Alhamdulillah baik, Mas. Aku ke sini mau ketemu Aira," ucapnya meminta ijin."Duduk dulu, Mas." Seno mempersilahkan Dhani untuk duduk di sofa ruang kerjanya. Biasanya lelaki itu hanya akan menerima tamunya di sofa saat ingin melakukan pembicaraan yang lebih santai."Kebetulan hari ini Aira gak ikut ke kantor. Memang beberapa hari ini sengaja nggak aku suruh kerja dulu. Anak-anak sedikit rewel karena sering ditinggal," ucap lelaki itu sambil terkekeh ringan. Dhani pun berusaha mengimbangi guyonan suami baru mantan istrinya itu dengan baik.
"Nggak Bu, nggak bisa! Mana mungkin bapak membiarkan Soraya ketemu sama laki-laki yang tidak punya harga diri itu. Nggak akan bapak biarkan itu terjadi.""Tapi, Pak. Bagaimana kalau itu ternyata permintaan terakhir anakmu? Apa nanti kamu tidak akan menyesal?""Permintaan terakhir apa? Apa kamu mengharapkan kematian anakmu sendiri, Bu?""Bukan begitu, Paak. Aku hanya kasihan sama Soraya. Aku bisa merasakan betapa inginnya dia bertemu mantan suaminya itu. Dia minta ke sana hanya karena ingin ditemani si Dhani pergi ke makam anak mereka, Pak. Apa salahnya?"Pak Suherman pun terdiam. Lelaki tua itu memang tahu, segala upayanya selama ini untuk kesembuhan Soraya memang seperti sia-sia saja. Penyakit yang bagi sebagian orang bisa diatasi itu rupanya tidak berlaku untuk anaknya. Semakin hari tubuh Soraya semakin menderita digerogoti oleh p
Dua jam kemudian, Seno, Aira, dan Adnan pun sudah melaju menuju rumah Dhani. Ketiganya mendapat sambutan ramah dari Dhani dan Bu Salim. Wanita tua iu nampak berbinar kala melihat cucu keduanya datang bersama ibu dan papa sambungnya."Aira, ibuk kangen sama kamu. Kenapa nggak pernah main-main ke sini, Nduk?" sambut bu Salim sambil memeluk mantan menantunya itu dengan hangat. Sementara dari kursi rodanya, pak Salim yang beberapa waktu terakhir mengalami stroke hanya bisa memandangi cucu dan mantan menantunya dengan tatapan aneh. Matanya mendadak nampak berkaca-kaca, seolah ada yang ingin dia ungkapkan tapi mulutnya memang sudah tak bisa berkata-kata."Iya, maaf ya, Buk. Aira agak sibuk akhir-akhir ini. Anak-anak juga sibuk dengan sekolahnya. Ibu sendiri bagaimana, sehat?""Ya begini ini lah, Ra. Sudah tambah sering sakit sakitan aja. Dikit-dikit masuk angin," ucap
Dalam perjalanan ke rumah orangtua Gina, Adnan justru tak bisa tenang. Entah kenapa perjumpaannya dengan Soraya tadi begitu mengganggu pikirannya."Itu tadi istrinya mas Dhani yang dulu pernah datang ke rumah kita untuk minta maaf kan, Sayang?" tanya Seno di sela-sela perjalanan mereka.Aira yang sedari tadi tengah memperhatikan Adnan yang duduk di jok belakang dari kaca spion sedikit kaget dengan pertanyaan Seno yang tiba-tiba."I-iya Mas, yang itu," jawabnya sedikit terbata."Kasihan sekali ya kondisinya sekarang. Dulu waktu ke rumah kita itu sepertinya belum separah itu ya? Padahal Baru berapa bulan yang lalu ya, Ra?" Seno seperti sedang larut dalam hitung-hitungan."Aku juga hampir nggak percaya tadi, Mas. Seandainya mas Seno pernah melihatnya saat masih sehat du
Beberapa menit setelah kepergian Adnan, dada Soraya tiba-tiba sesak. Wanita itu tak henti menangis. Entah apa yang dia tangisi. Ibu dan bapaknya sampai kebingungan dengan perilaku anak bungsunya itu."Seandainya waktu bisa kuputar ulang, aku tak ingin merusak kebahagiaan keluarga mbak Aira dengan mas Dhani. Mereka memiliki anak-anak yang berhati begitu luar biasa, Buk."Akhirnya setelah didesak oleh sang ibu, Soraya pun meluapkan perasaannya. Bapak dan ibunya hanya bisa membesarkan hati wanita itu sebisanya."Sudahlah, Nduk. Kamu sudah minta maaf. Mereka orang-orang baik, ibu yakin juga sudah memaafkan kamu. Sekarang tenangkan pikiranmu. Ikhlas ya, Nduk."Kemudian Bu Suherman pun memeluk anaknya dengan erat. Haru segera saja menyelimuti kamar luas yang penuh dengan aura kesedihan itu...