Tak berapa lama Maretha pun sudah nampak berbicara dengan seseorang di telepon. Kemudian menyusul bergabung dengan Jenna saat telah menyelesaikan pembicaraannya. Namun baru sempat mendudukkan diri di kursi makan, gadis itu dikejutkan dengan suara ponselnya."Kok diliatin aja gitu sih? Nggak diangkat?" tanya Jenna keheranan. Menatap Maretha dengan senyuman menggodanya saat melihat nama Alif terpampang di layar HP gadis itu."Males," ujar Maretha ketus."Mau Tante bantu jawab?" goda Jenna lagi dengan senyumannya."Enggak, enggak. Nggak usah, Tan. Biar Retha aja.Maretha pun kembali bangkit. Lalu berjalan menjauh dariJenna."Ada apa?" sapanya asal-asalan."Assalamu'alaikum ...." ucap Alif dari seb
"Jadi maksud kamu, kamu merasa diabaikan sama papa? Ya ampun Rethaaa. Kita semua kan tahu papa memang lagi sibuk banget ngurus cabang-cabang kafe barunya akhir-akhir ini. Kok kamu nggak bisa ngertiin itu sih? Jangan kayak anak kecil gitu dong, Reth.""Ah itu cuma alasan aja!" Maretha kembali tertawa lebar. "Aku bukan anak kecil Lif, yang hanya bisa diam saja melihat ketidak adilan. Ibu kamu sudah merebut papa dariku. Awalnya aku memang tak menyadari itu. Tapi lama kelamaan sikap papa semakin berubah. Dia bukan lagi papa yang aku kenal dulu.""Rethaa, kamu salah paham. Papa kamu nggak mungkin berbuat seperti itu. Dia nggak mungkin mengabaikan kamu, Reth.""Buktinya begitu, Lif. Mau nyangkal gimana lagi? Dia bahkan nggak pernah tau dan nggak pernah mau tau apa yang telah terjadi padaku di malam aku ingin lompat dari gedung waktu itu kan? Kamu juga, Lif. Andai saja aku ta
Hari berganti. Ketidakhadiran Maretha di rumah Seno dan Aira rupanya lambat laun telah menjadi biasa bagi para penghuni rumah lainnya. Meski begitu, Seno selalu rutin mengunjungi anak gadisnya itu di tempat sahabat mantan istrinya, Jenna.Sementara Alif, lebih sering berusaha menemui Maretha di kampusnya. Meskipun kenyataannya gadis itu selalu menolak untuk bicara lebih banyak pada kakak tirinya itu.Seperti hari ini, Alif baru saja kembali dari gedung kampus Fakultas Ekonomi saat Aisha menghentikan langkahnya di taman kampus."Lif, ada waktu nggak?" tanya gadis manis berhijab lebar itu."Kenapa, Sha?" Alif berhenti di dekat sebuah bangku taman, lalu mendudukkan dirinya di samping teman sekelasnya itu saat melihat wajah serius Aisha yang sedang membawa sebuah buku tebal di tangannya.
[Lagi apa, Reth?]Sebuah pesan masuk saat Maretha baru saja sampai di apartemen Jenna.Gadis itu tak segera membalas pesan itu. Dia justru sibuk memperhatikan foto profil dari kontak yang mengiriminya pesan.Ahhaa, pucuk dicinta ulam tiba. Rupanya Abidzar bergerak lebih cepat dari dugaannya. Cowok itu malah lebih dulu mendapatkan nomer kontaknya. Jadi Maretha tak perlu repot-repot lagi berbaik-baik dengannya agar mereka bisa lebih dekat lagi. Namun begitu, tetap saja Maretha tak ingin terlihat terlalu murahan.[Siapa ini?]Akhirnya Maretha membalas pesan itu usai melempar tasnya ke sofa. Bibirnya tersenyum saat mengetikkan balasan itu.Tak menunggu lama, pesan balasan pun masuk.[Aku Abidzar. M
"Sophia nggak boleh gitu lagi. Mas Adnan lagi ada masalah. Sophia nggak boleh malah nambah-nambahin masalah.""Memangnya Adnan sama Gina kenapa sih, Buk?""Gina tadi siang pamit sama ibuk, katanya mau pulang ke rumah mama papanya. Ibu sudah nawarin buat nganterin tapi ternyata sudah pesen taksi online duluan. Dia bilang sih katanya sudah pamit sama Adnan. Eh ternyata kata Adnan belum. Ngambek sepertinya karena si Adnan nggak mau nganterin nonton kemarin.""Rumit juga ya punya istri," celetuk Alif usai mendengar penjelasan sang ibu."Makanya kalau belum sanggup punya istri jangan macam-macam," seloroh Sophia."Sophieee," ujar Aira mengingatkan."Iya nih Sophie kebiasaan. Jangan suka ngomong gitu, Dek. Nggak baik. Kan orang bisa tersinggung den
"Kata Alif sih begitu, Mas. Tiap hari Alif juga berusaha membujuknya untuk mau kembali ke sini. Tapi sepertinya Maretha memang tidak mau lagi pulang, Mas.""Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku bisa nggak tau tentang semua itu, Ra. Bodoh sekali aku ini. Tidak memperhatikan anak sendiri.""Alasan Alif tidak memberitahu kita karena dia juga berpikir Maretha sudah bisa menerima semua itu, Mas. Tapi ternyata belum.""Jadi mereka berdua mengorbankan perasaan untuk kita, Sayang? Alif dan Maretha?""Sepertinya begitu, Mas. Alif ingin melihat aku bahagia setelah berpisah dari mas Dhani.""Dan dia mengesampingkan perasaannya sendiri? Ya Tuhan, anak anak."Seno mengusap wajahnya perlahan. Terlihat jelas sekali raut penyesalan mendalam dalam diri lelaki itu.
Usai jam kuliah, Alif sudah menunggu di depan kelas Maretha. Sementara Seno dan Aira rupanya telah menunggu mereka di taman kampus.Melihat dua anak muda yang berjalan beriringan menuju ke arah mereka, Aira dan Seno pun segera bangkit."Sudah selesai kuliah kalian?" tanya Seno basa-basi. Kedua anak itu nampak mengangguk. Maretha yang baru menyadari kehadiran Aira di tempat itu juga mendadak jadi sedikit canggung."Kamu mau ikut papa atau mobil Alif, Reth?" tanya Seno lagi."Retha ikut Alif aja," sahutnya cepat. Alif sampai kaget dibuatnya. Mungkin ini karena ada ibu tirinya bersama papanya, makanya dia memilih untuk ikut dengan mobil Alif.Setengah jam perjalanan, akhirnya keempatnya sampai juga di sebuah restauran lumayan mahal di kota itu. Seno sengaja memesan private ro
"Halo mas Dhani, apa kabar?" sapanya ramah saat melihat mantan suami dari istrinya itu memasuki ruangan. Seno sedikit keheranan melihat penampilan Dhani kali ini yang sedikit agak berubah. Lelaki yang juga merupakan ayah dari anak-anak tirinya itu sepertinya badannya semakin kurus saja."Alhamdulillah baik, Mas. Aku ke sini mau ketemu Aira," ucapnya meminta ijin."Duduk dulu, Mas." Seno mempersilahkan Dhani untuk duduk di sofa ruang kerjanya. Biasanya lelaki itu hanya akan menerima tamunya di sofa saat ingin melakukan pembicaraan yang lebih santai."Kebetulan hari ini Aira gak ikut ke kantor. Memang beberapa hari ini sengaja nggak aku suruh kerja dulu. Anak-anak sedikit rewel karena sering ditinggal," ucap lelaki itu sambil terkekeh ringan. Dhani pun berusaha mengimbangi guyonan suami baru mantan istrinya itu dengan baik.