Rapi dengan celana jeans dan kaos polo warna hitamnya yang begitu kontras dengan kulitnya yang bersih, Alif segera menyambar tas punggungnya dan bermaksud hendak keluar dari kamar. Namun langkahnya terhenti di depan pintu saat dilihatnya wajah kuyu Maretha yang berdiri di sana masih dengan piyama satinnya. "Lhoh, kok belum siap-siap? Ada jadwal kuliah kan hari ini?" Alif mengerutkan dahinya, memandang keheranan ke arah adiknya. "Bisa temenin aku ngobrol sebentar nggak, Lif?" Mata itu sembab dan seperti tak berani menatap ke orang yang diajaknya bicara. "Sekarang?" Alif pun seperti tahu ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan adiknya itu padanya. Saat Maretha mengangguk, Alif meraih pergelangan tangan gadis itu untuk diajaknya masuk. Diletakkannya kembali tas yang sudah bertengger di bahu kanannya tadi di atas mejanya. Lalu mendudukkan Maretha di tepian tempat tidur. "Ada apa?" tanyanya. Namun yang ditanya justru melengos ke arah lain dengan mata yang mulai berbayang. "
Pagi itu begitu cerah saat Alif dan Maretha tiba di parkiran antara kampus Fakultas Teknik dan Fakultas Ekonomi. "Nanti selesai jam berapa?" tanya Alif seperti biasa."Ntar deh aku whatsapp. Aku juga belum tau. Katanya sih hari ini mau ada kuliah tambahan. Nggak tau deh jadi apa enggak," sahut gadis itu lincah."Ya udah. Nanti bilang aja kalau udah mau pulang. Dah sana buruan, ntar telat, lagi," ucap Alif sambil membenarkan letak tali tas di pundaknya. Maretha berniat meninggalkan Alif saat tiba-tiba seorang gadis manis berhijab lebar berlari kecil menuju ke arah mereka usai menutup pintu mobilnya. "Alif!" teriaknya. Maretha yang melihat kejadian itu mendadak mengurungkan niatnya untuk berlalu dari hadapan sang kakak tiri. "Hai, Aisha," sapa Alif saat gadis itu sudah lumayan dekat. "Assalamu'alaikum, Lif," sapa gadis itu kemudian. "Wa'alaikumsalam, ada apa Sha?" "Enggak, itu cuma mau nanya. Hari ini kita jadi latihan praktek mata kuliahnya Profesor Gunardi kan?" "Oooh iya ya,
Usai membersihkan diri, pemuda itu pun kembali turun menuju ke ruang makan. Namun rupanya Maretha sudah dulu berada di sana menikmati makan siangnya yang telat sendirian. Wajahnya masih saja terlihat tak ceria. Apalagi saat melihat Alif mendekat ke arahnya."Makan yang banyak. Katanya laper," ucap Alif basa basi. Berjalan mengambil piring lalu mendudukkan dirinya di depan sang adik.Tak ada sahutan apapun dari gadis di depannya, membuat Alif jadi semakin merasa bersalah. Beberapa kali pertanyaannya hanya dianggap angin lalu oleh Maretha di sela-sela acara makan mereka. Hingga kemudian Alif memutuskan untuk berdiam diri juga....Samp
Maretha baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu saat Seno, ayahnya, mengagetkannya dengan tatapan tak suka dari arah sofa. Sementara ibu tirinya, Aira, menampakkan wajah cemasnya di samping suaminya itu."Dari mana saja jam segini baru pulang?" tanya sang ayah dengan tatapan garangnya yang tak biasa. Sekilas lelaki itu melihat ke arah jam besar di tembok ruang tamunya hanya agar anak gadisnya menyadari betapa larutnya dia pulang hari ini.Waktu memang sudah menunjuk hampir jam 1 dini hari dan Maretha seperti tak sadar dirinya telah membuat seisi rumah kalang kabut dibuatnya hari itu. Apalagi saat Alif memberikan informasi pada kedua orangtua itu bahwa hari itu Maretha tak berangkat ke kampus."Sudah Mas, biarkan Retha istirahat dulu. Besok saja diobrolkan
Pagi harinya semuanya sudah berkumpul di ruang makan seperti biasa. Tentu saja, kecuali Maretha. Sophia yang merasakan sedikit kejanggalan di meja makan karena terlalu hening mulai membuka suara."Kok pada diam sih? Pada sariawan ya?" celetuknya."Hush!" Adnan yang sebenarnya juga mendengar keributan semalam dari kamarnya berusaha membuat diam sang adik."Habisnya pada diam semua. Ada apa sih?" tanya anak itu lagi dengan polosnya."Sudah, Dek. Habiskan makanannya. Jangan ngomong terus!" ujar Alif, diiringi gaya cemberut khas adiknya sembari memainkan kembali sendok di atas piring makannya."Mbak Retha belum pulang ya, Buk?" Karena masih sangat penasaran dengan yang sedang terjadi, Sophia pun rupanya belum bisa diam."Sudah k
"Sebenarnya sebelum ibu sama papa Seno menikah, seserius apa sih hubungan kalian? Kamu dan Maretha beneran nggak pernah pacaran kan seperti yang Mas ceritakan sama ibu dulu itu?" Aira mulai serius. Menatap tepat ke mata anak sulungnya seolah ingin mendapatkan informasi yang akurat."Serius, Buk. Alif sama Retha itu nggak pernah pacaran. Tapi ....""Tapi kenapa, Mas?""Jujur, Retha memang pernah bilang suka sama Alif. Tapi waktu Alif bilang kami berdua lebih baik jadi saudara aja, dia sepertinya ngerti kok waktu itu. Bahkan hubungan kita kan memang lebih baik saat menjadi kakak adik. Hanya saja ....""Hanya saja kenapa, Mas?""Tadi sebelum pergi meninggalkan rumah, dia sempat mengatakan sesuatu, Buk. Alif juga nggak nyangka dia bisa bicara kayak gitu.""B
Tak berapa lama Maretha pun sudah nampak berbicara dengan seseorang di telepon. Kemudian menyusul bergabung dengan Jenna saat telah menyelesaikan pembicaraannya. Namun baru sempat mendudukkan diri di kursi makan, gadis itu dikejutkan dengan suara ponselnya."Kok diliatin aja gitu sih? Nggak diangkat?" tanya Jenna keheranan. Menatap Maretha dengan senyuman menggodanya saat melihat nama Alif terpampang di layar HP gadis itu."Males," ujar Maretha ketus."Mau Tante bantu jawab?" goda Jenna lagi dengan senyumannya."Enggak, enggak. Nggak usah, Tan. Biar Retha aja.Maretha pun kembali bangkit. Lalu berjalan menjauh dariJenna."Ada apa?" sapanya asal-asalan."Assalamu'alaikum ...." ucap Alif dari seb
"Jadi maksud kamu, kamu merasa diabaikan sama papa? Ya ampun Rethaaa. Kita semua kan tahu papa memang lagi sibuk banget ngurus cabang-cabang kafe barunya akhir-akhir ini. Kok kamu nggak bisa ngertiin itu sih? Jangan kayak anak kecil gitu dong, Reth.""Ah itu cuma alasan aja!" Maretha kembali tertawa lebar. "Aku bukan anak kecil Lif, yang hanya bisa diam saja melihat ketidak adilan. Ibu kamu sudah merebut papa dariku. Awalnya aku memang tak menyadari itu. Tapi lama kelamaan sikap papa semakin berubah. Dia bukan lagi papa yang aku kenal dulu.""Rethaa, kamu salah paham. Papa kamu nggak mungkin berbuat seperti itu. Dia nggak mungkin mengabaikan kamu, Reth.""Buktinya begitu, Lif. Mau nyangkal gimana lagi? Dia bahkan nggak pernah tau dan nggak pernah mau tau apa yang telah terjadi padaku di malam aku ingin lompat dari gedung waktu itu kan? Kamu juga, Lif. Andai saja aku ta